SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.

TITANIC TERNYATA TENGGELAM

TITANIC TERNYATA TENGGELAM

 


Mendengar kata teknologi orang biasanya membayangkan peralatan canggih yang serba modern. Perkataan itu sendiri baru populer pada abad ke-18. Namun, kata tekne dan logos sudah digunakan tiga ratus tahun sebelum Masehi dalam tulisan Sokrates. Lagi pula sebenarnya teknologi sudah dipraktikkan orang dari zaman dulu. Apa itu teknologi? Batang kayu adalah benda alam. Ketika batang kayu itu dikerjakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah perahu untuk menyeberangi danau, batang kayu itu telah berubah dari benda alam menjadi benda hasil karya teknologi.

Sebuah mobil harganya mahal. Bahan baku utama mobil itu adalah sekian ratus kilo besi. Sebenarnya, harga sekian ratus kilo besi jauh lebih murah daripada harga mobil itu. Katakanlah harga bahan bakunya itu hanya 1/10 dari harga mobil. Sisa harganya, yaitu 9/10 kita bayar untuk teknologi mobil tersebut.

Dari dua contoh itu tampak arti teknologi. Teknologi adalah kemampuan mengolah dan membuat benda atau bahan menjadi alat yang berdaya guna untuk maksud tertentu. Jelas, teknologi sangat berguna untuk kehidupan. Apa jadinya hidup kita tanpa teknologi pengobatan. Akan tetapi, pada pihak lain, teknologi bisa juga mengancam hidup, misalnya limbah akibat teknologi nuklir atau kemusnahan akibat teknologi perang. Teknologi bisa menghidupkan dan juga bisa mematikan. Lepas dari dampak menghidupkan atau mematikan, sebuah karya teknologi dapat membuat orang lupa diri atau arogan alias takabur. Gejala takabur itu tampak dalam kecenderungan menjadikan teknologi sebagai ukuran atau matra tunggal. Mutu rumah sakit hanya diukur dari faktor teknologi, akibatnya faktor lain seperti kebersihan, keramahan, dan kejujuran diabaikan. Kemajuan negara diukur hanya dengan kemajuan teknologi sehingga demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi dikesampingkan.

Akibatnya, manusia juga diukur dengan matra tunggal. Makna manusia melulu dianggap sebagai sumber daya, yaitu sumber daya untuk teknologi. Pendidikan di sekolah pun dipersempit dengan tujuan ke arah tunggal, yaitu menyiapkan tenaga untuk teknologi. Pendidikan seperti ini memerosotkan naradidik yang sebenarnya adalah subjek bermatra ganda dalam hidup yang berarah ganda menjadi objek yang bermatra tunggal dalam hidup yang berarah tunggal.

Gejala takabur lain, misalnya, adalah penganak-emasan teknologi dan menjadikannya sebagai proyek mercusuar. Ada negara yang berhasil mengirim astronot ke ruang angkasa, padahal rakyatnya harus antri berebut roti. Ada negara yang bisa membuat senjata nuklir, padahal rakyatnya jadi gelandangan di tepi jalan. Ada negara yang punya program mengekspor pesawat terbang, padahal untuk kebutuhan yang paling sederhana seperti jagung dan keledai, cangkul dan jala ikan masih harus impor, itu pun dengan meminjam uang dari negara lain.

Teknologi dapat membuat kita mempunyai rasa yakin diri berlebihan (over-selfconfidence). Karena peralatan bedah di rumah sakit begitu canggih, baik pihak rumah sakit maupun pihak pasien merasa begitu yakin bahwa operasi jantung ini tidak mungkin gagal. Ternyata kuman kecil di jari perawat menimbulkan infeksi. Akibatnya, pasien meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Rasa takabur dan sombong ini tampak pada Raja Hosea dan para jenderalnya. Mereka baru berhasil mengembangkan teknologi perang yang paling mutakhir untuk zaman itu, yaitu kereta berkuda. Dengan peralatan canggih ini, yang tidak dimiliki pihak lawan, raja yakin bahwa pertempuran tidak mungkin gagal. Beberapa tahun sebelum Raja Hosea menjadi raja, arogansi ini sudah dinubuatkan Nabi Hosea (nama sama!), ketika ia berkata, "Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu, maka keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan..." (Hos. 10:13-14). Nabi menegur raja ketika raja lebih mengandalkan teknologi daripada Tuhan. Ternyata teguran itu benar. Beberapa belas tahun kemudian negara hancur, sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-Raja 17.

Takabur akan teknologi juga terjadi pada kasus kapal Titanic yang tenggelam pada tahun 1912. Kapal itu dirancang dan dibangun selama beberapa tahun dengan teknologi yang paling modern untuk zaman itu. Kapal ini adalah kapal yang paling canggih peralatannya, paling kuat, paling cepat, paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Dengan penuh rasa yakin diri orang berkata, "Kapal ini unsinkable. Kapal ini tidak bisa tenggelam." Akan tetapi, ternyata pada pelayarannya yang pertama dari Southampten ke New York kapal ini menyerempet gumpalan es lalu konstruksi dindingnya robek. Air masuk. Beberapa jam kemudian tubuh kapal ini pecah menjadi dua bagian. Lalu, ia tenggelam ke dalam dasar samudra. Kisah nyata ini difilmkan secara memukau oleh sutradara James Cameron. la menerangkan, "Saya ingin memperlihatkan bahwa kekuatan manusia justru hancur oleh kelemahannya sendiri, yaitu kesombongan dan keserakahan."

Perancang dan kapten kapal ini tidak bisa percaya pada mata sendiri ketika melihat air masuk. Kapal mulai miring. Makin lama makin miring. Semburan air masuk dari kanan dan kiri. Penumpang menjerit dan berlarian kian kemari dengan ketakutan dan kepanikan. Di tengah keributan itu perancang dan kapten kapal cuma terbisu dan terpaku. Tidak mungkin! Tidak mungkin Titanic tenggelam! Akan tetapi, ternyata Titanic tenggelam. Titanic hasil teknologi tertinggi. Titanic yang tercanggih, terkuat, terbesar, terbagus, tercepat, dan termahal ternyata tenggelam. Titanic ternyata toh tenggelam. Trenyuh. Tragis. Teramat trenyuh. Teramat tragis.

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 


Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

YESUS, SEORANG TUKANG

YESUS, SEORANG TUKANG

 


Tukang apa? Tukang kayu, demikian jawab kita. Memang itulah yang ditulis di Markus 6:1-6. Tetapi, sayang jawaban itu kurang tepat. Pengarang Injil Markus sebenarnya menggunakan istilah tekton (dari kata ini kemudian muncul kata arsitek). Seorang tekton pada zaman Yesus di Israel adalah perajin atau tukang yang terampil membuat rupa-rupa barang dari bahan kayu, logam, atau batu.

Memang boleh saja kita menyebut Yesus tukang kayu, namun hendaknya diingat bahwa pekerjaan Yesus bukanlah seperti tukang kayu yang kita ketahui sekarang. Pekerjaan dan peralatan tukang kayu pada zaman itu sangat berbeda dari apa yang ada sekarang. Lagi pula sebagai seorang tekton, Yesus bukan hanya membuat barang dari kayu, melainkan juga dari besi dan mungkin juga dari batu. Beberapa sejarawan umum yang hidup tidak lama sesudah zaman Yesus mencatat hal itu. Yustinus menulis, "Pekerjaan yang la lakukan... adalah membuat bajak dan kuk." Hilarius mencatat,"__ yang dibuat-Nya adalah rupa-rupa perkakas dari besi." Jadi, agaknya dari masa remaja sampai usia sekitar 30 tahun Yesus membuat dan memperbaiki barang-barang seperti pintu, jendela, kursi, meja, dipan, gerobak, bajak, cangkul, dan sebagainya.

Apa hubungan hal itu dengan iman kita sekarang? Baiklah kita periksa dulu catatan Alkitab. Yang memuat cerita ini hanya Markus dan Matius. Lagi pula yang dimuat kedua penginjil itu sebenarnya bukan pernyataan mereka sendiri, melainkan pernyataan yang diucapkan oleh penduduk kota Nazaret. Kedua catatan itu juga berbeda. Markus, penduduk Nazaret berkata, "Bukankah la ini tukang kayu....?" (Mrk. 6:3). Sedangkan menurut Matius, mereka berkata, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" (Mat. 13:55).

Persamaan antara kedua ucapan itu adalah bahwa kedua-duanya bernada merendahkan. Penduduk Nazaret merasa kurang pantas bahwa seorang tukang kayu (atau anak seorang tukang kayu) mengajar di sinagoge.

Perhatikan bahwa orang-orang itu sebetulnya terkesan akan ajaran Yesus. Dalam Markus 6:2 tertulis, "... jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia." Mereka juga mengakui bahwa ajaran Yesus benar dan bijak sehingga mereka bertanya, "Hikmat apa pulakah ...?" (ay.2). Akan tetapi, mereka kurang bisa menerima bahwa ajaran itu disampaikan oleh seorang tukang kayu dari kota mereka sendiri. Akibatnya menurut ayat 3 mereka "kecewa dan menolak Dia".

Mungkin bukan hanya para penduduk Nazaret itu saja yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun mungkin akan sulit menerima Yesus sebagai Mesias jika mereka mengetahui bahwa Yesus dulunya hanyalah seorang tukang kayu biasa.

Barangkali itu sebabnya Matius menambah kata "anak" untuk memperhalus ucapan penduduk Nazaret menjadi, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" Barangkali itu pula sebabnya Lukas dan Yohanes sama sekali tidak mencantumkan cerita ini. Di seluruh Kitab Injil hanya dari Markus inilah kita mendapat informasi bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Pengarang kitab-kitab Injil lain mungkin agak khawatir bahwa para pembaca akan menjadi ragu-ragu untuk menerima Yesus sebagai Mesias kalau dibeberkan kenyataan bahwa Yesus dulunya seorang tukang kayu. Mungkin itu pula sebabnya semua pengarang Injil tidak bercerita apa-apa tentang masa usia Yesus antara 12 sampai 30 tahun.

Memang pekerjaan seorang tukang kayu terlalu jauh dari jabatan Mesias. Karena itu, ada orang yang sulit menerima kenyataan bahwa Mesias dulunya adalah seorang tukang kayu. Untunglah, Markus mempunyai kejujuran untuk mengungkapkan fakta ini. Pada waktu Markus menyusun Injil ini, yaitu sekitar 35 tahun setelah kenaikan Tuhan Yesus, agaknya tradisi pemberitaan gereja sangat berwarna mesianis. Artinya, yang dikenang hanyalah keilahian Yesus, sedangkan keinsanian-Nya ditutupi. Lalu, di sini Markus tampil secara unik dengan pemberitaan yang tidak berwarna mesianis. Markus tidak malu mengenang Yesus sebagai manusia biasa yang bekerja sebagai seorang tekton.

Catatan Markus yang tampak sepele ini telah menjadi warisan iman kepada gereja sepanjang abad. Warisan yang kita imani itu memang agak misterius. Yesus adalah Mesias, tetapi mengapa la hidup dan bekerja sebagai seorang tukang kayu? Namun, misteri mesianis ini justru memperjelas iman kita kepada Allah yang kita kenal melalui Yesus. Allah adalah Allah yang dengan sadar dan sengaja memilih pekerjaan tukang kayu, ketika la datang ke dunia. Allah tidak merasa hina untuk hidup dan bekerja sebagai seorang tukang. Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita, yang kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dulunya adalah seorang tukang.

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

 


Pada malam itu Pdt. Clement Suleeman berusaha memperbaiki kipas angin yang lebih banyak mengeluarkan bunyi krek-krek krek-krek daripada mengeluarkan angin segar. la berkata, "Boeh lke nggak tahan nyamuk." Jadi, kipas angin itu juga harus berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kami berdua sedang menyiapkan ruangan di Balai Pertemuan GKI Samanhudi. Suleeman adalah pendeta jemaat itu dan saya baru saja memulai masa vikariat di jemaat tersebut. Malam itu ada pertemuan kecil dengan Dr. Robert Boehlke, misionaris Gereja Presbiterian Amerika yang baru saja tiba di Indonesia untuk mengajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT Jakarta. Yang menghadiri pertemuan itu sekitar tujuh atau delapan orang dari DGI (kemudian: PGI) dan dari gereja-gereja di Jakarta. Bahan pembicaraannya adalah bekal apa yang dibutuhkan oleh calon pendeta di Indonesia untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai pendidik di dalam gereja. Konkretnya, apa yang harus diajarkan di STT Jakarta dalam rangka PAK. Tidak ada keistimewaan apa-apa pada pertemuan malam itu. Itu sebuah pertemuan biasa dan kecil. Baru kemudian hari ternyata bahwa pertemuan kecil pada tahun 1963 itu mempunyai dampak yang cukup besar bagi gereja-gereja dan sekolah-sekolah teologi Indonesia.

Untuk memahami duduk perkaranya, kita perlu menengok lebih jauh ke belakang yaitu ke tahun 1955, Pada tahun itu DGI menyelenggarakan sebuah konferensi "kecil" tingkat nasional di Sukabumi tentang PAK. Disebut "kecil" karena pokok bahasannya bukan tergolong yang menarik, apalagi untuk jadi bahan berita surat kabar. Lokasinya pun "kecil", yaitu asrama panti asuhan yang kamar mandinya massal. Tetapi, nanti akan kita lihat bahwa konferensi "kecil ini berdampak cukup besar.

Menarik untuk diperhatikan bahwa pada saat itu DGI baru berusia lima tahun dan masih ibarat anak balita yang mengalami rupa-rupa penyakit anak. Namun, ternyata DGI merasa perlu untuk menggerakkan konferensi tentang PAK. Nara sumber utama konferensi itu adalah Dr. Elmer Homrighausen, rektor Sekolah Teologi Princeton. Beberapa pembicara lain menanggapi konteks lapangan kerja PAK misalnya Dr. Johanes Leimena dan Notohamidjojo, S.H. dari sudut masyarakat, Dr. D.C. Mulder dari sudut kemajemukan agama dan Pdt Devanesen dari sudut gerakan oikumene. Masukan dari sudut biblika disampaikan oleh Dr. Christoph Barth. Penerjemah konferensi ini adalah Clement Suleeman, ketika itu pendeta Gereja Kristus Chung Hua Ci Tu Ciao Hui di Jatinegara.

Keputusan yang diambil oleh konferensi ini adalah antara lain meminta agar gereja-gereja mengutamakan tugasnya dalam membina warga jemaat mulai dari anak hingga dewasa dalam bertumbuh dan mengaitkan iman dengan kehidupan dalam masyarakat. Untuk maksud itu diserukan agar sekolah-sekolah teologi mengajarkan PAK dalam kurikulumnya. Sebagai langkah pertama diputuskan agar DGI mengirim seorang calon dosen STT Jakarta untuk belajar PAK di Amerika dan mengundang seorang pakar PAK dari luar negeri untuk mengajar di STT Jakarta. Juga diputuskan agar Badan Penerbit Kristen menopang usaha ini dengan menerbitkan buku-buku yang diperlukan.

Sebagai pelaksanaan keputusan itu setahun kemudian berangkatlah Pdt. Suleeman dalam usia 37 tahun untuk belajar di Amerika dan Belanda. Sekembalinya di Jakarta ia mulai memperkenalkan mata pelajaran PAK di STT Jakarta sambil tetap menjadi pendeta di GKI Samanhudi. Lalu pada tahun 1963 DGI memanggil Dr. Robert Boehlke untuk mulai mengajar di STT Jakarta. Maka, pada suatu malam yang banyak nyamuk yang diceritakan pada awal tulisan ini, 1963 terjadilah pertemuan kecil yang diceritakan pada awal tulisan ini.

Apa dampak dari kejadian-kejadian di atas? Yang pasti, dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi sekarang diberikan PAK. Mula-mula hanya satu mata pelajaran, kemudian menjadi rumpun yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran. STT Jakarta masih terus menambah dan mengubah jumlah serta muatan PAK dalam kurikulumnya. Direncanakan STT Jakarta akan menawarkan hampir sekitar tiga puluh mata pelajaran wajib dan pilihan dalam rumpun konsentrasi PAK: Teori/ Teologi PAK 1 & 2, Psikologi PAK 1 & 2, Kurikulum PAK 1 & 2, Metodik 1 & 2, Sejarah PAK 1 & 2, Perencanaan PAK 1 & 2, Bacaan Filsafat PAK 1 & 2, Didaktik, PAK Anak, PAK Remaja/Pemuda, PAK Dewasa, PAK Lansia, PAK Penyandang Cacat, PAK Musik & Ibadah, PAK Perkembangan Moral, PAK Perkembangan Kepribadian, PAK Perkembangan Religius, Praktik Mengajar 1 & 2, Manajemen PAK dan beberapa lainnya.

Bandingkan perkembangan itu, dari nol menjadi sekitar tiga puluh. Sebelum tahun 1955 para calon pendeta sama sekali tidak menerima pembekalan di bidang PAK, tetapi generasi-generasi kemudian menerima sampai sekitar tiga puluh mata pelajaran PAK. Apakah ini berarti bahwa kualitas pembinaan di gereja meningkat? Belum tentu. Pelajaran bukan jaminan sebab bisa saja orang belajar, tetapi tidak mau dan tidak mampu mempraktikkannya. Namun, kita mempunyai optimisme bahwa semua ini menjadi awal kecil yang makin lama makin berdampak pada pertumbuhan dan pemberdayaan Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat kehidupan iman umat di Indonesia.

Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat dan satu periode yang sangat terbatas. Padahal gereja di sepanjang zaman sudah bergumul dalam hal tugas pendidikannya. Tinjauan yang menyeluruh tentang pelayanan pendidikan gereja terdapat dalam buku Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola. Jilid kedua dari buku ini bersubjudul Dari Comenius Sampai PAK di Indonesia. Dengan membaca kedua buku ini kita melihat pemikiran dan perbuatan banyak orang sepanjang masa yang kemudian menjadi suatu garis yang menggambarkan turun naiknya kesungguhan gereja dalam mendidik umat. Pemikiran dan perbuatan itu tampak kecil, tetapi semua itu turut menentukan maju mundurnya gereja di suatu tempat dan zaman.

Sejarah memang terbentuk dari kejadian-kejadian kecil. Orang yang berperan serta dalam kejadian itu mungkin berkata, "Ah, apa yang saya perbuat itu kecil saja." Tetapi apa yang semula kecil kelak bisa berdampak besar. Kita sendiri mungkin tidak akan melihat dan mengalami bahwa karya kecil yang sekarang sedang kita kerjakan kelak akan berdampak besar.

Untuk menjadi pelaku sejarah, kita berperan serta dalam kejadian-kejadian kecil. Dalam penglihatannya, Zakharia mendengar suara Tuhan, "Sebab siapa yang memandang hina dari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel" (Za. 4:10). Zerubabel ketika itu sedang memimpin umat dalam memugar dan membangun ulang bait Allah. Bagian awal dari pekerjaan ini tidak menyenangkan sebab berbulan-bulan lamanya orang hanya mengorek-ngorek dan membersihkan puing reruntuhan Bait Allah yang sudah hancur. Itu adalah "peristiwa-peristiwa kecil". Tetapi, walaupun mereka sekarang memandang rendah peristiwa kecil itu, kelak mereka akan bergembira kalau batu-batu pilihan sudah ditemukan. Agaknya, itu adalah batu-batu yang masih utuh yang dulunya adalah batu fondasi gedung Bait Allah yang orisinal. Dengan batu-batu itu mereka akan mendirikan gedung Bait Allah yang baru.

Kejadian kecil memang kurang menarik. Tetapi, sejarah justru terjadi karena kejadian-kejadian kecil. Kita mungkin pelaku kejadian kecil, namun kejadian kecil itu kelak bisa berdampak besar. Segala karya besar berawal dari karya kecil. Kita adalah alat kecil dalam sejarah perkembangan Kerajaan Allah. Bukankah Yesus sendiri mengumpa makan Kerajaan Allah seperti biji yang kecil. Dia berkata, "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya" (Mat. 13:31-32).

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

 

Anda mungkin tidak percaya, saya pernah jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua dolar sejam. Ceritanya begini.

Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak. Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.

Tidak lama kemudian, rupanya "perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung. Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga senang.

Nah, langganan saya itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang, halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah. Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.

Tugas saya cukup mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11 orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.

Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada. Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan. Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss." Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis. Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia. Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka jadi baby-sitter.

Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead, sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur, saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ. Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki bukit.

Ada lagi pengalaman kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran. Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak resmi masih ada lagi.

Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya. Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat "enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat pemberitahuan).

Alkitab memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia. Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis, "Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan, "The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of the world and of human nature."

Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.

Begitulah dalam hidup ini saya sudah menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.

Mungkin Anda bertanya, dari semua pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa tahu...

BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

Seandainya dibagi atas babak, maka hidup Musa terdiri atas tiga babak yang masing-masing berlangsung 40 tahun. Seandainya tiap babak diberi judul, maka babak pertama berjudul "Aku bisa!" Pada babak pertama, usia Musa baru menjelang 40 tahun. Ia masih ambisius, idealis, dan optimis. Cerita di dalam Keluaran 2:11-15 menggambarkan karakter itu. Musa mulai menemukan jati dirinya sebagai orang Israel (Sebutan lazim zaman itu: Ibrani). Ia panas hati melihat orang-orang sebangsanya diperbudak bangsa Mesir. Mungkin selama beberapa tahun ia memikirkan rencana untuk memimpin pemberontakan. la yakin bahwa ia mampu mendorong dan mengerahkan bangsanya untuk memberontak. Pada suatu, hari ia melihat kesempatan yang baik untuk memercik api pemberontakan. Ada seorang budak Israel dianiaya mandor Mesir. Musa langsung membela orang Israel itu. Musa memperhitungkan bahwa ia akan mulai dipercaya sebagai pemimpin bangsanya. Namun, dugaannya meleset. Orang-orang sebangsanya malah mencemooh dia. Musa terkejut dan takut. la pasti akan didakwa sebagai pembunuh dan pemberontak. Maka, cepat-cepat Musa melarikan diri ke negeri Midian.

Mulailah Musa memasuki babak hidupnya yang kedua. Kegagalannya yang lalu meninggalkan trauma yang membekas. la jadi takut berprakarsa dan memimpin. la jadi sangat hati-hati. Mungkin terlalu berhati-hati sehingga selalu diliputi keraguan. Begitulah selama 40 tahun ia bersembunyi di Midian sebagai seorang gembala. Babak kedua hidup Musa berjudul "Aku Tidak Bisa".

Hal itu tampak ketika pada suatu hari Tuhan menugaskan Musa menghadap Firaun dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Israel. Dulu tanpa disuruh pun Musa yakin dan bersemangat. Tetapi sekarang Musa merasa kurang yakin, la takut kegagalannya terulang lagi. Karena itu, ia menjawab, "Siapakah aku ini, maka aku yang menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Kel. 3:11). Melihat keragu-raguan Musa itu, Tuhan membesarkan hati Musa dan menjanjikan penyertaan-Nya. Sampai lima kali Tuhan menugaskan dan meyakinkan Musa, namun lima kali pula Musa menolak (ay. 11, 13 dan 4:1, 10, 13).

Akhirnya, Musa menerima juga penugasan itu. Ia memasuki babak ketiga dalam hidupnya. Selama 40 tahun ia memimpin perjalanan umatnya ke negeri yang dijanjikan. Bayangkan bagaimana repotnya memimpin rombongan yang begitu besar, termasuk anak kecil dan orang lanjut usia, menempuh perjalanan melalui padang pasir selama sekian puluh tahun. Itu sebuah pekerjaan yang begitu sulit, namun akhirnya terlaksana juga dengan baik. Janji Tuhan untuk menyertai ternyata betul. Tuhan bisa melakukan semua itu.

Babak ketiga hidup Musa berjudul "Tuhan Bisa!" Dengan penuh rasa pesona dan lega Musa bernyanyi, "Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia ..." (Ul. 32:11, 12).

Kalau Musa duduk termenung menengok ke masa lampau, ia terkenang haru dan tersenyum kagum mengingat kembali babak-babak hidupnya. Pada babak pertama ia terlalu yakin akan dirinya dan selalu berkata, "Aku bisa!"; tetapi akhirnya ia jatuh. Pada babak kedua ia dihantui ketakutan bahwa ia akan jatuh kembali, maka ia hanya mengeluh, "Aku tidak bisa." Lalu pada babak ketiga ia mengalami bahwa pada waktu ia sudah menyerah dan berserah kepada Tuhan, justru Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu, sehingga Musa berseru dengan takjub, "Tuhan bisa!"

Barangkali itulah juga babak-babak dalam hidup kita. Ketika kita baru lulus atau baru mendapat kedudukan, kita merasa diri pandai dan hebat. Kita penuh rasa yakin diri. Kita melaju dengan cepat. Kita ambisius. Menilai diri berlebihan. Sok bisa. Sok kuat. Sok tahu. Tetapi sepandai-pandai tupai melompat, sekali ia terjatuh juga. Itulah babak pertama karier kita.

Trauma kejatuhan itu biasanya membekas. Kita takut jatuh untuk kedua kalinya. Kita menjadi ekstra hati-hati, atau mungkin terlalu berhati-hati. Akibatnya kita jadi gampang kecil hati. Itu babak kedua karier kita.

Pada babak ketiga, kita bertumbuh menjadi mantap dan tenang. Kita mulai mempunyai waktu untuk merenung. Kita mulai merasakan bahwa sebenarnya bukanlah kita yang berkarya, melainkan Tuhanlah yang berkarya melalui diri kita.

Itulah perjalanan babak-babak hidup kita. Pada babak pertama kita berjalan sendiri, cepat, lari, dan melompat, tetapi tiba-tiba jatuh dan tersentak. Lalu pada babak kedua kita kesakitan dan mungkin hampir tidak berani jalan lagi. Kemudian pada babak ketiga kita belajar berjalan sambil berpegang pada Tuhan, atau lebih tepat lagi belajar membiarkan diri dipegang oleh Tuhan. Pada babak pertama kita hidup dalam angan-angan, pada babak kedua dalam mimpi buruk, tetapi pada babak ketiga dalam pengharapan.

Pada babak pertama kita bersorak, "Saya bisa!" Pada babak kedua kita mengeluh, "Saya tidak bisa." Pada babak ketiga kita mengaku, "Tuhan bisa!"

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


MARI KERJA SAMBIL KETAWA

MARI KERJA SAMBIL KETAWA

Di Jakarta ada jalan yang bersih, tenang dan rindang untuk pejalan kaki. Namun, ada juga yang berdebu, hiruk pikuk dan pengap. Jalan Taman Sari bisa digolongkan pada yang kedua. Ketika masih bujangan, hampir tiap hari saya melewati jalan itu. Sebabnya, pacar saya tinggal di dekat situ. Karena itu, kami sering berjalan atau bersepeda melewati Jalan Taman Sari menyusuri kali yang penuh sampah. Namun, debu dan bau sampah itu sama sekali tidak terasa mengganggu. Yang saya rasakan hanyalah perasaan senang, apalagi pada saat-saat kami bersentuhan dan berpegangan. Sekarang saya akan pikir-pikir dulu kalau disuruh berjalan atau bersepeda di jalan yang penuh debu itu.

Mungkin Anda juga pernah mengalami hal seperti itu. Misalnya, menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan membosankan. Tetapi ketika Anda melakukan itu dalam suasana yang menyenangkan, kelelahan dan kebosanan itu tidak terasa. Atau, Anda melakukan suatu pekerjaan. Ketika dilakukan dengan perasaan jengkel, maka pekerjaan terasa berat. Namun, pekerjaan yang sama itu terasa ringan ketika dilakukan dengan hati yang senang. Nah, di sini letak rahasianya: perasaan senang. Pekerjaan yang berat sekalipun terasa ringan jika kita merasa senang melakukannya. Sebaliknya, pekerjaan yang ringan akan terasa berat jika kita merasa enggan dan jengkel.

Sebab itu, faktor yang banyak menentukan keberhasilan kerja adalah kegembiraan. Tanpa kegembiraan kerja, maka pekerjaan apa pun akan terasa bagaikan tekanan atau hukuman. Kalau kita berangkat atau memulai suatu pekerjaan dengan perasaan enggan dan jengkel, pekerjaan itu terasa menekan dan membosankan. Kita melakukannya dengan perasaan terpaksa. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung untuk membuat kesalahan-kesalahan. Orang yang mengemudi mobil sambil marah-marah lebih gampang menabrak dari pada orang yang mengemudi sambil bersenandung.

Kegembiraan kerja juga turut memengaruhi pembentukan motivasi konsentrasi, kreativitas dan produktivitas kerja. Orang yang bekerja dalam suasana tegang dan terpaksa biasanya akan rendah motivasinya. Konsentrasinya mudah buyar. Kreativitasnya tidak muncul. Mutu hasil kerjanya buruk. Produknya juga sedikit. Untuk bekerja, diperlukan kegembiraan kerja. Kegembiraan itu akan menimbulkan semangat. Bagaimana kita mau hidup dan bekerja kalau kita tidak mempunyai semangat. Seperti kata pengarang Amsal, "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat" (15:13). Ia juga menulis, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang" (17:22).

Pengarang Kitab Pengkhotbah bahkan menyatakan bahwa ke gembiraan kerja adalah hal yang paling diperlukan. Ia menulis, "Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya" (2:24a). Artinya, orang yang bahagia adalah orang yang bisa bergembira dengan pekerjaannya dan dengan rezeki hasil pekerjaannya. Sepiring nasi dengan ikan asin terasa lebih sedap jika kita mensyukurinya sebagai rezeki hasil jerih payah dengan rasa senang dari pada rupa-rupa makanan mahal yang sebenarnya bukan hasil kejujuran kerja atau yang kita makan dengan perasaan jengkel. Perhatikan bahwa ayat itu masih ada lanjutannya, "Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" (Pkh. 2:24b dan 25). Pengkhotbah mengaku bahwa kesempatan kerja dan rezeki hasil kerja datang dari Tuhan, sebab itu ia mensyukurinya.

Bisa mensyukuri hasil pekerjaan adalah pangkal kegembiraan kerja. Itu hanya bisa terjadi kalau kita mempunyai sikap terbuka untuk menyenangi dan mensyukuri. Di dunia hanya ada satu orang yang dapat memberikan kegembiraan kerja kepada kita. Orang itu adalah kita sendiri. Pekerjaan adalah neraka kalau kita bekerja sambil cemberut, tetapi pekerjaan adalah surga kalau kita bisa menyukai pekerjaan itu. Baik buruknya suasana kerja tergantung dari sikap kita sendiri.

Sebab itu, kita bekerja dengan senyum. Tersenyum geli melihat kesalahan, tersenyum bangga melihat keberhasilan. Bekerja dengan ketawa. Tertawa melihat celah-celah yang jenaka dalam dunia kerja. Tertawa dan menertawakan diri sendiri atas kebodohan yang kita perbuat. Misalnya, menertawakan diri sendiri ketika kita terkecoh menghadapi pertanyaan yang sebetulnya sederhana sekali.

Konon petani Meksiko terkenal pandai menciptakan suasana kerja yang riang. Sepanjang hari mereka bekerja sambil bernyanyi. Lalu sore hari ketika semua pekerjaan selesai, mereka naik kuda pakai sombrero (topi pandan yang lebar) sambil membawa gitar mengelilingi ladang untuk memandangi hasil kerja mereka. Sekarang saya bertanya kepada Anda, "Mengapa para petani Meksiko itu naik kuda dengan membawa gitar?" Silakan Anda jawab. Supaya jelas, saya ulangi pertanyaannya, "Kenapa mereka membawa gitar?" Mau tahu jawabnya? Ini dia: Tentu saja gitar. Emangnya orang naik kuda mau disuruh bawa piano atau organ? Yang bener aja.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

Ketika akan masuk sekolah teologi, umur saya baru 17 tahun, badan ceking (tetapi ceking-ceking juga cakep), masih berceta pendek; pokoknya masih krucuk (anak bawang). Perasaan saya waktu itu campur baur: girang tetapi juga dag-dig-dug.

Banyak hal baru akan saya alami: meninggalkan rumah, lepas dari orangtua, mengatur hidup sendiri, merdeka dari "kolonialisme" kakak perempuan (saya punya tiga cici yang sama seperti cici di dunia, yaitu suka menyuruh-nyuruh), bebas dari "kerja rodi" (mengepel lantai, menimba air, dan menyapu kebun siap untuk diserahterimakan kepada adik). Banyak pula hal yang menarik: naik kereta api dari Bandung ke Malang (sebelum itu paling jauh cuma ke Sukabumi dan Cibatu), melihat Jawa Tengah dan Jawa Timur, tinggal di asrama dan masuk sekolah teologi. Saya merasa asyik, girang dan bersemangat, namun pada lain pihak bingung, bimbang, dan takut.

Bagaimana perasaan orang-orang terdekat dengan saya? Mereka tidak mengutarakannya. Tetapi mereka semua menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampak ingin berbuat sesuatu untuk saya. Saya merasa didukung. Saya merasa ditopang. Ini membesarkan hati. Seorang paman membuka lemari dan memberi beberapa celana panjang. Ajaib, celana itu sangat pas. Ia juga mengeluarkan sepatunya. Ajaib lagi, sepatu itu juga pas. Lalu cici-cici menghujani rupa-rupa hadiah: selimut, handuk, saputangan, sabun, piama, kaos dan lain-lain (eh, ternyata punya cici juga banyak gunanya!). Yang masih perlu adalah koper (zaman itu belum ada travel bag). Maka, seorang bibi memberi koper besi (sekarang di museum juga tidak ada, itu koper terbuat dari pelat seng dengan grendel besi). Koper itu sudah karatan (barangkali bikinan zaman VOC), tetapi oleh saya langsung dicat mengilap.

Lalu ada lagi topangan lain. Sehari menjelang keberangkatan tiba-tiba datang Empek Dji Leng. Baiklah saya ceritakan dulu siapa dia. Empek (= Opa) Dji Leng berusia hampir 70 tahun, anggota GKI Kebonjati. Saya sering bertemu dengan dia di rumahnya atau di gereja untuk urusan surat-surat pelawatan sebab ibu saya pelawat diakonia. Kemudian hari seorang cucu Empek Dji Leng, yaitu Sem Purwadisastra, juga masuk sekolah teologi. Nah, pada siang itu Empek Dji Leng disapah oleh istrinya yang juga sudah lanjut usia, sengaja datang ke rumah untuk memberi beberapa telur rebus sebagai bekal saya di kereta api. Empek Dji Leng tidak banyak berbicara. Becak yang membawa dia menunggu di depan rumah. Dengan suara yang bergetar lemah ia berkata, "Hong An, jadi boksu (= pendeta) jalannya panjang. Musti ada panggilan Tuhan. Empek doain biar Hong An jadi." Saya terdiam menunduk.

Keesokan harinya, ayah dan ibu sudah bangun pukul 3 pagi. Saya diantar ke stasiun. Maka, berangkatlah saya. Kereta api melewati Cikampek, belok ke Cirebon, menyusuri pantai utara Jawa Tengah (mata saya membelalak, itulah kali pertama saya melihat laut!), lewat Semarang dan tiba di Surabaya larut malam. Di sini saya merasakan lagi adanya topangan. Seorang mantan tetangga (orang Sunda beragama Islam) menjemput di stasiun. Saya menginap di kamarnya di asrama Akademi Pos. la membagi piring nasinya dengan saya. Keesokan harinya ia mengantar saya ke stasiun. la begitu ikhlas menolong.

Kereta api berangkat menuju Malang. Saya merenung. Begitu banyak orang menopang saya. Saya sedang bingung dan bimbang. lalu orang-orang yang terdekat semuanya bersikap menopang. Itu menguatkan. Tiap babak baru dalam perjalanan hidup dan karier beris banyak tanda tanya. Masa depan tidak menjamin kepastian. Kita jadi ragu-ragu, cemas, dan takut. Pada saat seperti itu kita merasakan betapa besar artinya topangan orang lain. Pada saat seperti itu pemazmur berbisik meminta topangan dari Tuhan, "Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu..." (Mzm. 119:116).

Kereta api berjalan terus. Bagi penumpang lain kereta ini menuju ke Malang, bagi saya kereta ini menuju ke masa depan. Masa depan yang penuh tanda tanya. Apakah saya akan diterima di sekolah teologi? Apakah saya bisa naik kelas? Apakah akhirnya saya akan lulus? Akan jadi apa saya nanti?

Perjalanan kereta api hanya tinggal setengah jam lagi. Tetapi perjalanan hidup dan kerja saya masih puluhan tahun. Akan jadi apa saya nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidup saya? Saya bingung dan bimbang. Tetapi saya merasa ada topangan. Pada bagian awal perjalanan ini pun saya sudah ditopang oleh banyak orang. Saya jadi mantap.

Kereta api melaju terus. Di jendela kanan tampak Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Di jendela kiri Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Tetapi di depan saya tampak wajah. Wajah yang menopang. Wajah ibu. Wajah ayah. Wajah kakak. Wajah adik. Wajah paman. Wajah bibi Wajah tetangga yang Muslim itu. Wajah Empek Dji Leng. Suaranya halus bergetar, "Empek doain biar Hong An jadi."


Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

Pada suatu hari iblis mencari seseorang yang semula murah hati untuk dijadikan kikir, semula berserah untuk dijadikan serakah dan cepat marah. Iblis memilih seorang petani yang sedang bekerja di ladang. "Nah, petani miskin ini akan kujadikan lebih miskin lagi. Pasti dia akan jadi kikir dan serakah." 

Sebagai langkah pertama, Iblis mencuri bekal makanan milik petani itu. Pada waktu makan siang petani itu mencari-cari bekal makanannya. la merasa heran, "Aneh betul, makananku hilang. Aku akan lapar sepanjang hari ini. Mungkin ada tetangga yang mencurinya. Biarlah, barangkali tetanggaku itu sedang kesulitan makanan." Iblis heran melihat reaksi petani yang begitu ikhlas dan damai. Rencananya gagal. Dengan lesu ia melapor ke para Iblis lain. Mereka langsung menertawakan dia, "Tentu saja kau gagal. Kalau mau bikin orang jadi kikir dan serakah, jangan jadikan dia miskin. Jadikan dia kaya!"

Mulailah Iblis menyusun rencana jangka panjang. Ia memberi kesuburan khusus pada ladang petani itu. Ketika petani lain mengeluh akibat panen yang gagal, petani yang satu ini justru berlimpah panennya. Lumbungnya penuh dengan gandum. Petani miskin ini langsung menjadi kaya. Petani ini tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan kelebihan gandumnya. Lalu Iblis memberi ilham. Gandum itu bisa dibuat minuman keras vodka. Ternyata vodka bikinan petani ini laku di kota. Petani ini menjadi semakin kaya.

Untuk merayakan suksesnya, petani ini mengundang para tetangganya berpesta. Vodka disajikan lalu orang mulai mabuk. Dalam keadaan mabuk, petani itu menagih tetangga-tetangganya untuk mengembalikan gandum yang mereka pinjam. Petani itu langsung marah ketika para tetangga belum sanggup membayar akibat masa paceklik. la memaki-maki, "Bayar! Awas kalau kamu tidak membayar. Itu gandumku tahu? Gandum hasil keringatku!" Lalu mereka pun mulai bertengkar. Kacaulah pesta itu.


Iblis mengintip dari jauh dengan senyum kemenangan. Sambil menunjuk ia berkata kepada Iblis-Iblis lain, "Lihat, itu dia orangnya. Dulu ketika masih miskin, bekal makanannya ia ikhlaskan. Tetapi, sekarang meski lumbungnya sudah luber, ia begitu kikir."

Apa maksud Leo Tolstoy menuturkan cerita ini? Kalau disimak alur cerita ini banyak mirip dengan cerita-cerita lain dari pengarang yang sama. Bandingkan misalnya dengan cerita Tolstoy tentang pembeli tanah yang serakah di buku Selamat Mengikut Dia. Leo Tolstoy (1828-1910) adalah seorang bangsawan dan tuan tanah yang kaya raya di Rusia. Tetapi ia tidak mau hidup sebagai orang kaya. Ia membagikan tanahnya kepada petani-petani miskin. Ia belajar teologi dan menjadi pengarang. Untuk kebutuhan hidupnya ia bercocok tanam dan membuat roti sendiri.

Tolstoy menekankan bahwa Kerajaan Surga ada dalam diri Yesus. Lalu apa yang tampak dalam diri Yesus? Seorang yang tidak terikat pada harta benda. Seorang yang terbebas dari keserakahan. Seorang yang tidak mengejar keberhasilan. Seorang yang bahagia. Yesus berkata, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Luk. 6:20. Bandingkan dengan versi Mat. 5:3: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah...").

Tolstoy seakan-akan bertanya, "Kapan petani ini berbahagia?" la menjawab, "Sebelum petani ini menjadi kaya". Semula pikiran petani ini bebas dari belenggu harta benda. Hatinya damai. la tidak dikejar oleh keserakahan. Hubungannya dengan tetangga adalah hubungan manusia dengan manusia. Akan tetapi, kemudian pikirannya dikuasai oleh harta benda. Hatinya tidak damai lagi. Hubungannya dengan tetangga merosot menjadi hubungan antara pemilik benda dengan peminjam benda.

Dari luar tampaknya keluarga petani ini lebih beruntung. Namun, dari dalam keadaannya berbeda. Suasana keluarga yang semula tenang kemudian menjadi tegang. Hanya karena istrinya menumpahkan sedikit vodka, petani itu naik pitam bukan kepalang, "Bodoh! Kamu kira ini air hujan? Ini vodka. Ini mahal, tahu?" Ada lagi isu teologis yang hendak diangkat oleh Tolstoy. Benarkah sukses itu berkat dari Tuhan? Belum tentu. Sukses belum tentu berasal dari Tuhan sebab berkat Tuhan tidak selalu berbentuk sukses. Bisa jadi sukses diberikan oleh Iblis sebagai strategi untuk menjatuhkan kita.

Entah apa riwayat petani itu selanjutnya. Entah apa pula yang terjadi dengan Iblis ini. Bisa jadi Iblis ini kemudian menjadi penceramah seminar di hotel-hotel berbintang. Di situ ia memberi kiat kepada para Iblis lain tentang metode mengubah orang yang semula berserah menjadi orang yang serakah, yang semula murah hati menjadi kikir, semula jujur menjadi korup dan jahat. Di tiap seminar selalu ada peserta yang bertanya, "Apa kiatnya?" Lalu dengan senyum kemenangan ia menjawab, "Oh, Saudaraku yang terkasih. Itu gampang. Suruh mereka merindukan sukses. Ajak mereka berdoa minta sukses. Lalu berikan sukses."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)