KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya, (Mrk. 10:42-44)

Salah satu alasan mengapa dunia begitu mengerikan dan tak sama bagi kehidupan manusiawi ialah dunia memang tertata oleh pola hubungan hierarkis. Selalu saja ada sejumlah kecil pemimpin di atas, dengan bawahan yang tak banyak jumlahnya, namun makin ke bawah makin bertambah banyak, dan akhirnya sejumlah besar pengikut berada di dasar piramida kekuasaan.

Yang lebih menyedihkan, hierarki yang menjulang ke atas itu sering diklaim mendapatkan kuasa dari Allah sendiri. Itu sebabnya mengapa kata "hierarki" dipakai; yang terdiri atas dua kata: hieros (suci) dan arche (tatanan atau kepemimpinan).  "Tak jarang sebuah hierarki memakai nama Allah untuk melestarikan kekuasaan yang sudah tertata."

Terhadap budaya umum dunia. Yesus menawarkan sebuah budaya alternatif radikal-budaya tandingan (counter-culture). Yesus sangat memahaminya kala berkata, "... mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (ay. 42). Inilah hierarki yang berlangsung di banyak tempat dan zaman. Namun, segera Yesus mengusulkan alternatif radikal-Nya: siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah menjadi pelayan (ay. 43-44).

Model kepemimpinan baru Yesus itu sungguh menjungkirbalikkan piramida hierarkis hingga sungsang-terbalik 180 derajat. Sang pemimpin haruslah menjadi pelayan. Yang pertama menjadi yang terakhir. Inilah kepemimpinan-hamba atau doularki (doulos + arche). Sering juga disebut servant-leadership.

Ketika memasuki sebuah komunitas dengan semangat berkarya, pikirkanlah satu hal! Siapa komunitas yang akan kita kembangkan itu? Siapa manusia-manusia yang akan kita sapa itu? Jika kita memasukinya dengan mentalitas juruselamat dan menampilkan diri sebagai pemimpin besar, bos yang harus dihormati, percayalah kegagalan tinggal menunggu waktu.

Masukilah komunitas tersebut, sapalah orang-orang di dalamnya dengan sikap takzim dan hormat. Sebab, kita diutus ke dalamnya, bukan untuk menjadi pemimpin yang berada di atas mereka, namun menjadi pelayan mereka. Jika kita harus melaksanakan tugas kepemimpinan, jadilah pemimpin yang melayani. Hanya dengan cara itulah, kita dapat menyuarakan pesan Injil yang menentang semua pola penguasaan hierarkis, semua pola kepemimpinan yang menekan rakyat atau umat.