SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 


Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

YESUS, SEORANG TUKANG

YESUS, SEORANG TUKANG

 


Tukang apa? Tukang kayu, demikian jawab kita. Memang itulah yang ditulis di Markus 6:1-6. Tetapi, sayang jawaban itu kurang tepat. Pengarang Injil Markus sebenarnya menggunakan istilah tekton (dari kata ini kemudian muncul kata arsitek). Seorang tekton pada zaman Yesus di Israel adalah perajin atau tukang yang terampil membuat rupa-rupa barang dari bahan kayu, logam, atau batu.

Memang boleh saja kita menyebut Yesus tukang kayu, namun hendaknya diingat bahwa pekerjaan Yesus bukanlah seperti tukang kayu yang kita ketahui sekarang. Pekerjaan dan peralatan tukang kayu pada zaman itu sangat berbeda dari apa yang ada sekarang. Lagi pula sebagai seorang tekton, Yesus bukan hanya membuat barang dari kayu, melainkan juga dari besi dan mungkin juga dari batu. Beberapa sejarawan umum yang hidup tidak lama sesudah zaman Yesus mencatat hal itu. Yustinus menulis, "Pekerjaan yang la lakukan... adalah membuat bajak dan kuk." Hilarius mencatat,"__ yang dibuat-Nya adalah rupa-rupa perkakas dari besi." Jadi, agaknya dari masa remaja sampai usia sekitar 30 tahun Yesus membuat dan memperbaiki barang-barang seperti pintu, jendela, kursi, meja, dipan, gerobak, bajak, cangkul, dan sebagainya.

Apa hubungan hal itu dengan iman kita sekarang? Baiklah kita periksa dulu catatan Alkitab. Yang memuat cerita ini hanya Markus dan Matius. Lagi pula yang dimuat kedua penginjil itu sebenarnya bukan pernyataan mereka sendiri, melainkan pernyataan yang diucapkan oleh penduduk kota Nazaret. Kedua catatan itu juga berbeda. Markus, penduduk Nazaret berkata, "Bukankah la ini tukang kayu....?" (Mrk. 6:3). Sedangkan menurut Matius, mereka berkata, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" (Mat. 13:55).

Persamaan antara kedua ucapan itu adalah bahwa kedua-duanya bernada merendahkan. Penduduk Nazaret merasa kurang pantas bahwa seorang tukang kayu (atau anak seorang tukang kayu) mengajar di sinagoge.

Perhatikan bahwa orang-orang itu sebetulnya terkesan akan ajaran Yesus. Dalam Markus 6:2 tertulis, "... jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia." Mereka juga mengakui bahwa ajaran Yesus benar dan bijak sehingga mereka bertanya, "Hikmat apa pulakah ...?" (ay.2). Akan tetapi, mereka kurang bisa menerima bahwa ajaran itu disampaikan oleh seorang tukang kayu dari kota mereka sendiri. Akibatnya menurut ayat 3 mereka "kecewa dan menolak Dia".

Mungkin bukan hanya para penduduk Nazaret itu saja yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun mungkin akan sulit menerima Yesus sebagai Mesias jika mereka mengetahui bahwa Yesus dulunya hanyalah seorang tukang kayu biasa.

Barangkali itu sebabnya Matius menambah kata "anak" untuk memperhalus ucapan penduduk Nazaret menjadi, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" Barangkali itu pula sebabnya Lukas dan Yohanes sama sekali tidak mencantumkan cerita ini. Di seluruh Kitab Injil hanya dari Markus inilah kita mendapat informasi bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Pengarang kitab-kitab Injil lain mungkin agak khawatir bahwa para pembaca akan menjadi ragu-ragu untuk menerima Yesus sebagai Mesias kalau dibeberkan kenyataan bahwa Yesus dulunya seorang tukang kayu. Mungkin itu pula sebabnya semua pengarang Injil tidak bercerita apa-apa tentang masa usia Yesus antara 12 sampai 30 tahun.

Memang pekerjaan seorang tukang kayu terlalu jauh dari jabatan Mesias. Karena itu, ada orang yang sulit menerima kenyataan bahwa Mesias dulunya adalah seorang tukang kayu. Untunglah, Markus mempunyai kejujuran untuk mengungkapkan fakta ini. Pada waktu Markus menyusun Injil ini, yaitu sekitar 35 tahun setelah kenaikan Tuhan Yesus, agaknya tradisi pemberitaan gereja sangat berwarna mesianis. Artinya, yang dikenang hanyalah keilahian Yesus, sedangkan keinsanian-Nya ditutupi. Lalu, di sini Markus tampil secara unik dengan pemberitaan yang tidak berwarna mesianis. Markus tidak malu mengenang Yesus sebagai manusia biasa yang bekerja sebagai seorang tekton.

Catatan Markus yang tampak sepele ini telah menjadi warisan iman kepada gereja sepanjang abad. Warisan yang kita imani itu memang agak misterius. Yesus adalah Mesias, tetapi mengapa la hidup dan bekerja sebagai seorang tukang kayu? Namun, misteri mesianis ini justru memperjelas iman kita kepada Allah yang kita kenal melalui Yesus. Allah adalah Allah yang dengan sadar dan sengaja memilih pekerjaan tukang kayu, ketika la datang ke dunia. Allah tidak merasa hina untuk hidup dan bekerja sebagai seorang tukang. Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita, yang kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dulunya adalah seorang tukang.

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

 


Pada malam itu Pdt. Clement Suleeman berusaha memperbaiki kipas angin yang lebih banyak mengeluarkan bunyi krek-krek krek-krek daripada mengeluarkan angin segar. la berkata, "Boeh lke nggak tahan nyamuk." Jadi, kipas angin itu juga harus berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kami berdua sedang menyiapkan ruangan di Balai Pertemuan GKI Samanhudi. Suleeman adalah pendeta jemaat itu dan saya baru saja memulai masa vikariat di jemaat tersebut. Malam itu ada pertemuan kecil dengan Dr. Robert Boehlke, misionaris Gereja Presbiterian Amerika yang baru saja tiba di Indonesia untuk mengajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT Jakarta. Yang menghadiri pertemuan itu sekitar tujuh atau delapan orang dari DGI (kemudian: PGI) dan dari gereja-gereja di Jakarta. Bahan pembicaraannya adalah bekal apa yang dibutuhkan oleh calon pendeta di Indonesia untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai pendidik di dalam gereja. Konkretnya, apa yang harus diajarkan di STT Jakarta dalam rangka PAK. Tidak ada keistimewaan apa-apa pada pertemuan malam itu. Itu sebuah pertemuan biasa dan kecil. Baru kemudian hari ternyata bahwa pertemuan kecil pada tahun 1963 itu mempunyai dampak yang cukup besar bagi gereja-gereja dan sekolah-sekolah teologi Indonesia.

Untuk memahami duduk perkaranya, kita perlu menengok lebih jauh ke belakang yaitu ke tahun 1955, Pada tahun itu DGI menyelenggarakan sebuah konferensi "kecil" tingkat nasional di Sukabumi tentang PAK. Disebut "kecil" karena pokok bahasannya bukan tergolong yang menarik, apalagi untuk jadi bahan berita surat kabar. Lokasinya pun "kecil", yaitu asrama panti asuhan yang kamar mandinya massal. Tetapi, nanti akan kita lihat bahwa konferensi "kecil ini berdampak cukup besar.

Menarik untuk diperhatikan bahwa pada saat itu DGI baru berusia lima tahun dan masih ibarat anak balita yang mengalami rupa-rupa penyakit anak. Namun, ternyata DGI merasa perlu untuk menggerakkan konferensi tentang PAK. Nara sumber utama konferensi itu adalah Dr. Elmer Homrighausen, rektor Sekolah Teologi Princeton. Beberapa pembicara lain menanggapi konteks lapangan kerja PAK misalnya Dr. Johanes Leimena dan Notohamidjojo, S.H. dari sudut masyarakat, Dr. D.C. Mulder dari sudut kemajemukan agama dan Pdt Devanesen dari sudut gerakan oikumene. Masukan dari sudut biblika disampaikan oleh Dr. Christoph Barth. Penerjemah konferensi ini adalah Clement Suleeman, ketika itu pendeta Gereja Kristus Chung Hua Ci Tu Ciao Hui di Jatinegara.

Keputusan yang diambil oleh konferensi ini adalah antara lain meminta agar gereja-gereja mengutamakan tugasnya dalam membina warga jemaat mulai dari anak hingga dewasa dalam bertumbuh dan mengaitkan iman dengan kehidupan dalam masyarakat. Untuk maksud itu diserukan agar sekolah-sekolah teologi mengajarkan PAK dalam kurikulumnya. Sebagai langkah pertama diputuskan agar DGI mengirim seorang calon dosen STT Jakarta untuk belajar PAK di Amerika dan mengundang seorang pakar PAK dari luar negeri untuk mengajar di STT Jakarta. Juga diputuskan agar Badan Penerbit Kristen menopang usaha ini dengan menerbitkan buku-buku yang diperlukan.

Sebagai pelaksanaan keputusan itu setahun kemudian berangkatlah Pdt. Suleeman dalam usia 37 tahun untuk belajar di Amerika dan Belanda. Sekembalinya di Jakarta ia mulai memperkenalkan mata pelajaran PAK di STT Jakarta sambil tetap menjadi pendeta di GKI Samanhudi. Lalu pada tahun 1963 DGI memanggil Dr. Robert Boehlke untuk mulai mengajar di STT Jakarta. Maka, pada suatu malam yang banyak nyamuk yang diceritakan pada awal tulisan ini, 1963 terjadilah pertemuan kecil yang diceritakan pada awal tulisan ini.

Apa dampak dari kejadian-kejadian di atas? Yang pasti, dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi sekarang diberikan PAK. Mula-mula hanya satu mata pelajaran, kemudian menjadi rumpun yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran. STT Jakarta masih terus menambah dan mengubah jumlah serta muatan PAK dalam kurikulumnya. Direncanakan STT Jakarta akan menawarkan hampir sekitar tiga puluh mata pelajaran wajib dan pilihan dalam rumpun konsentrasi PAK: Teori/ Teologi PAK 1 & 2, Psikologi PAK 1 & 2, Kurikulum PAK 1 & 2, Metodik 1 & 2, Sejarah PAK 1 & 2, Perencanaan PAK 1 & 2, Bacaan Filsafat PAK 1 & 2, Didaktik, PAK Anak, PAK Remaja/Pemuda, PAK Dewasa, PAK Lansia, PAK Penyandang Cacat, PAK Musik & Ibadah, PAK Perkembangan Moral, PAK Perkembangan Kepribadian, PAK Perkembangan Religius, Praktik Mengajar 1 & 2, Manajemen PAK dan beberapa lainnya.

Bandingkan perkembangan itu, dari nol menjadi sekitar tiga puluh. Sebelum tahun 1955 para calon pendeta sama sekali tidak menerima pembekalan di bidang PAK, tetapi generasi-generasi kemudian menerima sampai sekitar tiga puluh mata pelajaran PAK. Apakah ini berarti bahwa kualitas pembinaan di gereja meningkat? Belum tentu. Pelajaran bukan jaminan sebab bisa saja orang belajar, tetapi tidak mau dan tidak mampu mempraktikkannya. Namun, kita mempunyai optimisme bahwa semua ini menjadi awal kecil yang makin lama makin berdampak pada pertumbuhan dan pemberdayaan Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat kehidupan iman umat di Indonesia.

Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat dan satu periode yang sangat terbatas. Padahal gereja di sepanjang zaman sudah bergumul dalam hal tugas pendidikannya. Tinjauan yang menyeluruh tentang pelayanan pendidikan gereja terdapat dalam buku Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola. Jilid kedua dari buku ini bersubjudul Dari Comenius Sampai PAK di Indonesia. Dengan membaca kedua buku ini kita melihat pemikiran dan perbuatan banyak orang sepanjang masa yang kemudian menjadi suatu garis yang menggambarkan turun naiknya kesungguhan gereja dalam mendidik umat. Pemikiran dan perbuatan itu tampak kecil, tetapi semua itu turut menentukan maju mundurnya gereja di suatu tempat dan zaman.

Sejarah memang terbentuk dari kejadian-kejadian kecil. Orang yang berperan serta dalam kejadian itu mungkin berkata, "Ah, apa yang saya perbuat itu kecil saja." Tetapi apa yang semula kecil kelak bisa berdampak besar. Kita sendiri mungkin tidak akan melihat dan mengalami bahwa karya kecil yang sekarang sedang kita kerjakan kelak akan berdampak besar.

Untuk menjadi pelaku sejarah, kita berperan serta dalam kejadian-kejadian kecil. Dalam penglihatannya, Zakharia mendengar suara Tuhan, "Sebab siapa yang memandang hina dari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel" (Za. 4:10). Zerubabel ketika itu sedang memimpin umat dalam memugar dan membangun ulang bait Allah. Bagian awal dari pekerjaan ini tidak menyenangkan sebab berbulan-bulan lamanya orang hanya mengorek-ngorek dan membersihkan puing reruntuhan Bait Allah yang sudah hancur. Itu adalah "peristiwa-peristiwa kecil". Tetapi, walaupun mereka sekarang memandang rendah peristiwa kecil itu, kelak mereka akan bergembira kalau batu-batu pilihan sudah ditemukan. Agaknya, itu adalah batu-batu yang masih utuh yang dulunya adalah batu fondasi gedung Bait Allah yang orisinal. Dengan batu-batu itu mereka akan mendirikan gedung Bait Allah yang baru.

Kejadian kecil memang kurang menarik. Tetapi, sejarah justru terjadi karena kejadian-kejadian kecil. Kita mungkin pelaku kejadian kecil, namun kejadian kecil itu kelak bisa berdampak besar. Segala karya besar berawal dari karya kecil. Kita adalah alat kecil dalam sejarah perkembangan Kerajaan Allah. Bukankah Yesus sendiri mengumpa makan Kerajaan Allah seperti biji yang kecil. Dia berkata, "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya" (Mat. 13:31-32).

BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

Seandainya dibagi atas babak, maka hidup Musa terdiri atas tiga babak yang masing-masing berlangsung 40 tahun. Seandainya tiap babak diberi judul, maka babak pertama berjudul "Aku bisa!" Pada babak pertama, usia Musa baru menjelang 40 tahun. Ia masih ambisius, idealis, dan optimis. Cerita di dalam Keluaran 2:11-15 menggambarkan karakter itu. Musa mulai menemukan jati dirinya sebagai orang Israel (Sebutan lazim zaman itu: Ibrani). Ia panas hati melihat orang-orang sebangsanya diperbudak bangsa Mesir. Mungkin selama beberapa tahun ia memikirkan rencana untuk memimpin pemberontakan. la yakin bahwa ia mampu mendorong dan mengerahkan bangsanya untuk memberontak. Pada suatu, hari ia melihat kesempatan yang baik untuk memercik api pemberontakan. Ada seorang budak Israel dianiaya mandor Mesir. Musa langsung membela orang Israel itu. Musa memperhitungkan bahwa ia akan mulai dipercaya sebagai pemimpin bangsanya. Namun, dugaannya meleset. Orang-orang sebangsanya malah mencemooh dia. Musa terkejut dan takut. la pasti akan didakwa sebagai pembunuh dan pemberontak. Maka, cepat-cepat Musa melarikan diri ke negeri Midian.

Mulailah Musa memasuki babak hidupnya yang kedua. Kegagalannya yang lalu meninggalkan trauma yang membekas. la jadi takut berprakarsa dan memimpin. la jadi sangat hati-hati. Mungkin terlalu berhati-hati sehingga selalu diliputi keraguan. Begitulah selama 40 tahun ia bersembunyi di Midian sebagai seorang gembala. Babak kedua hidup Musa berjudul "Aku Tidak Bisa".

Hal itu tampak ketika pada suatu hari Tuhan menugaskan Musa menghadap Firaun dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Israel. Dulu tanpa disuruh pun Musa yakin dan bersemangat. Tetapi sekarang Musa merasa kurang yakin, la takut kegagalannya terulang lagi. Karena itu, ia menjawab, "Siapakah aku ini, maka aku yang menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Kel. 3:11). Melihat keragu-raguan Musa itu, Tuhan membesarkan hati Musa dan menjanjikan penyertaan-Nya. Sampai lima kali Tuhan menugaskan dan meyakinkan Musa, namun lima kali pula Musa menolak (ay. 11, 13 dan 4:1, 10, 13).

Akhirnya, Musa menerima juga penugasan itu. Ia memasuki babak ketiga dalam hidupnya. Selama 40 tahun ia memimpin perjalanan umatnya ke negeri yang dijanjikan. Bayangkan bagaimana repotnya memimpin rombongan yang begitu besar, termasuk anak kecil dan orang lanjut usia, menempuh perjalanan melalui padang pasir selama sekian puluh tahun. Itu sebuah pekerjaan yang begitu sulit, namun akhirnya terlaksana juga dengan baik. Janji Tuhan untuk menyertai ternyata betul. Tuhan bisa melakukan semua itu.

Babak ketiga hidup Musa berjudul "Tuhan Bisa!" Dengan penuh rasa pesona dan lega Musa bernyanyi, "Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia ..." (Ul. 32:11, 12).

Kalau Musa duduk termenung menengok ke masa lampau, ia terkenang haru dan tersenyum kagum mengingat kembali babak-babak hidupnya. Pada babak pertama ia terlalu yakin akan dirinya dan selalu berkata, "Aku bisa!"; tetapi akhirnya ia jatuh. Pada babak kedua ia dihantui ketakutan bahwa ia akan jatuh kembali, maka ia hanya mengeluh, "Aku tidak bisa." Lalu pada babak ketiga ia mengalami bahwa pada waktu ia sudah menyerah dan berserah kepada Tuhan, justru Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu, sehingga Musa berseru dengan takjub, "Tuhan bisa!"

Barangkali itulah juga babak-babak dalam hidup kita. Ketika kita baru lulus atau baru mendapat kedudukan, kita merasa diri pandai dan hebat. Kita penuh rasa yakin diri. Kita melaju dengan cepat. Kita ambisius. Menilai diri berlebihan. Sok bisa. Sok kuat. Sok tahu. Tetapi sepandai-pandai tupai melompat, sekali ia terjatuh juga. Itulah babak pertama karier kita.

Trauma kejatuhan itu biasanya membekas. Kita takut jatuh untuk kedua kalinya. Kita menjadi ekstra hati-hati, atau mungkin terlalu berhati-hati. Akibatnya kita jadi gampang kecil hati. Itu babak kedua karier kita.

Pada babak ketiga, kita bertumbuh menjadi mantap dan tenang. Kita mulai mempunyai waktu untuk merenung. Kita mulai merasakan bahwa sebenarnya bukanlah kita yang berkarya, melainkan Tuhanlah yang berkarya melalui diri kita.

Itulah perjalanan babak-babak hidup kita. Pada babak pertama kita berjalan sendiri, cepat, lari, dan melompat, tetapi tiba-tiba jatuh dan tersentak. Lalu pada babak kedua kita kesakitan dan mungkin hampir tidak berani jalan lagi. Kemudian pada babak ketiga kita belajar berjalan sambil berpegang pada Tuhan, atau lebih tepat lagi belajar membiarkan diri dipegang oleh Tuhan. Pada babak pertama kita hidup dalam angan-angan, pada babak kedua dalam mimpi buruk, tetapi pada babak ketiga dalam pengharapan.

Pada babak pertama kita bersorak, "Saya bisa!" Pada babak kedua kita mengeluh, "Saya tidak bisa." Pada babak ketiga kita mengaku, "Tuhan bisa!"

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

Pada suatu hari iblis mencari seseorang yang semula murah hati untuk dijadikan kikir, semula berserah untuk dijadikan serakah dan cepat marah. Iblis memilih seorang petani yang sedang bekerja di ladang. "Nah, petani miskin ini akan kujadikan lebih miskin lagi. Pasti dia akan jadi kikir dan serakah." 

Sebagai langkah pertama, Iblis mencuri bekal makanan milik petani itu. Pada waktu makan siang petani itu mencari-cari bekal makanannya. la merasa heran, "Aneh betul, makananku hilang. Aku akan lapar sepanjang hari ini. Mungkin ada tetangga yang mencurinya. Biarlah, barangkali tetanggaku itu sedang kesulitan makanan." Iblis heran melihat reaksi petani yang begitu ikhlas dan damai. Rencananya gagal. Dengan lesu ia melapor ke para Iblis lain. Mereka langsung menertawakan dia, "Tentu saja kau gagal. Kalau mau bikin orang jadi kikir dan serakah, jangan jadikan dia miskin. Jadikan dia kaya!"

Mulailah Iblis menyusun rencana jangka panjang. Ia memberi kesuburan khusus pada ladang petani itu. Ketika petani lain mengeluh akibat panen yang gagal, petani yang satu ini justru berlimpah panennya. Lumbungnya penuh dengan gandum. Petani miskin ini langsung menjadi kaya. Petani ini tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan kelebihan gandumnya. Lalu Iblis memberi ilham. Gandum itu bisa dibuat minuman keras vodka. Ternyata vodka bikinan petani ini laku di kota. Petani ini menjadi semakin kaya.

Untuk merayakan suksesnya, petani ini mengundang para tetangganya berpesta. Vodka disajikan lalu orang mulai mabuk. Dalam keadaan mabuk, petani itu menagih tetangga-tetangganya untuk mengembalikan gandum yang mereka pinjam. Petani itu langsung marah ketika para tetangga belum sanggup membayar akibat masa paceklik. la memaki-maki, "Bayar! Awas kalau kamu tidak membayar. Itu gandumku tahu? Gandum hasil keringatku!" Lalu mereka pun mulai bertengkar. Kacaulah pesta itu.


Iblis mengintip dari jauh dengan senyum kemenangan. Sambil menunjuk ia berkata kepada Iblis-Iblis lain, "Lihat, itu dia orangnya. Dulu ketika masih miskin, bekal makanannya ia ikhlaskan. Tetapi, sekarang meski lumbungnya sudah luber, ia begitu kikir."

Apa maksud Leo Tolstoy menuturkan cerita ini? Kalau disimak alur cerita ini banyak mirip dengan cerita-cerita lain dari pengarang yang sama. Bandingkan misalnya dengan cerita Tolstoy tentang pembeli tanah yang serakah di buku Selamat Mengikut Dia. Leo Tolstoy (1828-1910) adalah seorang bangsawan dan tuan tanah yang kaya raya di Rusia. Tetapi ia tidak mau hidup sebagai orang kaya. Ia membagikan tanahnya kepada petani-petani miskin. Ia belajar teologi dan menjadi pengarang. Untuk kebutuhan hidupnya ia bercocok tanam dan membuat roti sendiri.

Tolstoy menekankan bahwa Kerajaan Surga ada dalam diri Yesus. Lalu apa yang tampak dalam diri Yesus? Seorang yang tidak terikat pada harta benda. Seorang yang terbebas dari keserakahan. Seorang yang tidak mengejar keberhasilan. Seorang yang bahagia. Yesus berkata, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Luk. 6:20. Bandingkan dengan versi Mat. 5:3: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah...").

Tolstoy seakan-akan bertanya, "Kapan petani ini berbahagia?" la menjawab, "Sebelum petani ini menjadi kaya". Semula pikiran petani ini bebas dari belenggu harta benda. Hatinya damai. la tidak dikejar oleh keserakahan. Hubungannya dengan tetangga adalah hubungan manusia dengan manusia. Akan tetapi, kemudian pikirannya dikuasai oleh harta benda. Hatinya tidak damai lagi. Hubungannya dengan tetangga merosot menjadi hubungan antara pemilik benda dengan peminjam benda.

Dari luar tampaknya keluarga petani ini lebih beruntung. Namun, dari dalam keadaannya berbeda. Suasana keluarga yang semula tenang kemudian menjadi tegang. Hanya karena istrinya menumpahkan sedikit vodka, petani itu naik pitam bukan kepalang, "Bodoh! Kamu kira ini air hujan? Ini vodka. Ini mahal, tahu?" Ada lagi isu teologis yang hendak diangkat oleh Tolstoy. Benarkah sukses itu berkat dari Tuhan? Belum tentu. Sukses belum tentu berasal dari Tuhan sebab berkat Tuhan tidak selalu berbentuk sukses. Bisa jadi sukses diberikan oleh Iblis sebagai strategi untuk menjatuhkan kita.

Entah apa riwayat petani itu selanjutnya. Entah apa pula yang terjadi dengan Iblis ini. Bisa jadi Iblis ini kemudian menjadi penceramah seminar di hotel-hotel berbintang. Di situ ia memberi kiat kepada para Iblis lain tentang metode mengubah orang yang semula berserah menjadi orang yang serakah, yang semula murah hati menjadi kikir, semula jujur menjadi korup dan jahat. Di tiap seminar selalu ada peserta yang bertanya, "Apa kiatnya?" Lalu dengan senyum kemenangan ia menjawab, "Oh, Saudaraku yang terkasih. Itu gampang. Suruh mereka merindukan sukses. Ajak mereka berdoa minta sukses. Lalu berikan sukses."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 

Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

PEREMPUAN DAN LELAKI SEBAGAI MITRA

PEREMPUAN DAN LELAKI SEBAGAI MITRA

 

Dulu tidak ada perempuan atau lelaki. Yang ada hanya satu jenis manusia, yaitu androgynus. Manusia tersebut segalanya serba ganda. Kepalanya dua, satu menghadap ke depan, yang lain ke belakang. Tangannya empat. Kakinya juga empat. Pokoknya segalanya ganda. Karena itu, kecakapannya juga ganda. Akibatnya para dewa khawatir kalau-kalau manusia akan mengalahkan dewa. Sebab itu, Dewa Zeus membelah manusia menjadi dua, satu menjadi perempuan dan satu menjadi lelaki. Hubungan antara makhluk perempuan dan makhluk lelaki ini ternyata penuh kontroversi. Kalau berjauhan mereka saling merindukan. Namun, kalau sudah bertemu mereka bertengkar. Nanti rindu lagi, lalu bertengkar lagi. Dan seterusnya. Demikian cerita Plato (428-348 SM).

Dongeng itu menggambarkan kompleksitas kemitraan antara pria dan wanita. Keduanya saling membutuhkan. Namun, kemitraan atau kerja sama mereka banyak persoalannya. Menurut Alkitab, penciptaan lelaki dan perempuan juga berkaitan dengan kemitraan. Dalam Kejadian 2:18 tertulis, "TUHAN Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Banyak orang mengira bahwa ayat ini berbicara mengenai pernikahan. Memang, itu tidak keliru. Akan tetapi, menurut ayat ini tujuan Tuhan menciptakan penolong bagi Adam bukan hanya supaya mereka menikah, melainkan supaya mereka bekerja sama.

Tuhan prihatin bahwa Adam tidak bermitra. Maka Tuhan bertekad "Aku akan menjadikan penolong baginya." Dalam ayat berikutnya Tuhan langsung menciptakan makhluk lain untuk menjadi penolong Adam. Siapakah makhluk lain itu? Apakah perempuan? Bukan! Silahkan baca ayat itu. "Lalu TUHAN Allah membentuk... segala binatang ..." (ay. 19).

Tuhan menciptakan mitra bagi Adam. Mitra itu adalah hewan. Memang benar hewan bisa menjadi mitra yang banyak berguna. Namun, betapa pun besar gunanya, hewan tidak sepadan dengan manusia. Dalam ayat 20 tertulis, "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak... tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia." Sebab itu, dalam ayat-ayat berikutnya Tuhan menciptakan makhluk yang sepadan. Maka terciptalah perempuan.

Cerita penciptaan perempuan ini banyak seginya yang menarik. Perempuan disebut penolong. Yang menyebutnya penolong bukan Adam, melainkan Tuhan sendiri. "Aku akan menjadikan baginya" (ay. 18). Istilah penolong tidak enak kedengarannya. Dalam Alkitab bahasa aslinya lebih tidak enak lagi, yaitu ezer, artinya 'pembantu' atau 'bantuan'. Mengapa wanita penolong atau pembantu? Istilah ini berkesan merendahkan derajat wanita. Namun, sebetulnya tidak. Istilah ini justru meninggikan derajat wanita. Sebab dalam Mazmur 121:1, 2 Tuhan disebut ezer. Tuhan adalah ezer Israel, artinya pertolongan atau bantuan untuk Israel. Jadi, istilah penolong dalam cerita ini justru mengagungkan kedudukan perempuan. Siapakah yang lebih kuat kedudukannya, pihak yang ditolong ataukah pihak yang menolong?

Penolong ini bersifat sepadan. Ada yang mengartikan ini sebagai jodoh. Bukan itu maksud ayat ini. Dalam bahasa aslinya, neged berarti imbangan, tandingan, pantaran, yang bisa dihadapi dan bisa berhadapan. Maksudnya perempuan adalah mitra yang sepantar, tidak lebih rendah, tetapi juga tidak lebih tinggi. Kapan terciptanya perempuan? Menurut Kejadian 2, binatang jantan dan betina diciptakan sama-sama. Ada sapi jantan, ada sapi betina. Ada ayam jago, ada ayam petelur. Tetapi lelaki dan perempuan diciptakan secara terpisah, seakan-akan pengarang mau berkata: lelaki bukan jantan atau jago, perempuan bukan betina atau petelur. Adanya perbedaan kelamin bukan berarti harus adanya hubungan kelamin.

Bagaimana terciptanya perempuan? Ketika menciptakan Hawa, Tuhan sengaja membuat Adam tidur, bahkan tidur nyenyak. "Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak" (ay. 21a). Mengapa begitu? Mungkin supaya Adam jangan ikut melihat dan membantu. Sebab, kalau Adam ikut membantu, bisa jadi ia merasa diri punya saham dan merasa memiliki perempuan. Tidak! Adam tidak ikut membuat. Harap Anda simak. Ceritanya sangat sederhana, tetapi pesannya sangat hakiki: perempuan bukan bikinan lelaki sebab itu perempuan bukan milik lelaki dan bukan pula mainan lelaki.

Bagaimana cara Tuhan membuat perempuan? Menurut ayat 21b, Tuhan membuatnya dari tulang rusuk lelaki. Perempuan diambil dari tulang sisi. Bukan dari tulang kepala supaya jangan menjadi penguasa. Bukan dari tulang kaki supaya jangan diinjak-injak. Simaklah kedalaman cerita ini. Ceritanya kuno, tetapi pesannya progresif: perempuan bukan atasan, tetapi bukan pula bawahan, melainkan mitra yang sejajar.

Kapan Adam melihat Hawa untuk pertama kali? Ketika Adam bangun tidur. Bayangkan bagaimana kagetnya Adam. Begitu melek tiba-tiba ada perempuan yang tidak dikenal lagi duduk di pinggir ranjang, rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. Akan tetapi, perempuan itu tersenyum manis. Sungguh menawan. Sebab itu Adam langsung kegirangan, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki laki" (2:23). Dalam bahasa aslinya, ucapan Adam itu merupakan permainan kata: la akan dinamai isysya, sebab ia diambil dari isy. Isy berarti 'lelaki', isysya berarti 'lelaki-wati'.

Maka jadilah Adam dan Hawa mitra yang bekerja sama mengurus Taman Eden. Keduanya diberi otonomi penuh. Semua pohon boleh dipetik buahnya. Hanya ada satu pohon yang dilarang. Apa maksud Tuhan menetapkan satu pohon terlarang? Untuk menjadi batas. Segala sesuatu perlu ada batasnya. Sebab, manusia sering tidak tahu batas. Sudah cukup mau banyak. Sudah banyak, mau lebih banyak lagi. Maka Tuhan menetapkan batas.

Akan tetapi, dasar serakah, batas itu dilanggar. Maka, Tuhan meminta pertanggungjawaban. Perhatikan bagaimana Adam dan Hawa mengatur tanggung jawab. Seharusnya mitra memikul tanggung jawab secara bersama. Akan tetapi, apa yang terjadi? Ternyata kedua mitra itu saling lempar tanggung jawab. Adam membela diri, "Bukan saya, tetapi perempuan itu." Lalu Hawa juga cepat-cepat bela diri. "Bukan saya, tetapi ular itu."

Menjadi mitra memang tidak gampang. Untuk itu diperlukan kematangan dalam beberapa aspek kepribadian. Salah satu di antaranya adalah bisa saling menghargai, artinya mengakui dan mengagumi keunggulan pihak lain. Rupanya ini salah satu kendala pada kemitraan lelaki dan perempuan. Lelaki cenderung menganggap perempuan lebih bodoh. Banyak suami menyebut istrinya bodoh. Konon pada suatu hari Adam bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, kenapa sih perempuan yang kauciptakan itu begitu cantik?" Tuhan menjawab, "Supaya kamu mau kawin dengan dia." Lalu Adam bertanya lagi, "Tapi Tuhan, kenapa dia begitu bodoh?" Tuhan menjawab, "Supaya dia mau kawin dengan kamu!"

Cerita penciptaan dilanjutkan pada pasal 3. Adam dan Hawa meninggalkan Taman Eden. Banyak orang membaca pasal ini dengan kacamata negatif. Yang dilihat hanya hukuman. Coba kita simak. Tuhan bersabda kepada Adam, "... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah" (Kej. 3:17). Sebetulnya, ini bukan hanya hukuman, melainkan juga berkat sebab di sini Tuhan menjanjikan rezeki. Kepada Hawa Tuhan bersabda, ... dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu..." (3:16). Ini juga bukan hukuman, melainkan berkat berupa kemungkinan untuk mempunyai anak.

Kedua ucapan Tuhan itu telah menjadi tradisi pola pembagian kerja antara lelaki dan perempuan. Lelaki berburu dan berladang. Perempuan bertugas di rumah. Pada zaman itu hampir semua pekerjaan di luar rumah mengandalkan kekuatan fisik. Akibatnya, hanya lelaki yang bekerja di luar rumah. Akan tetapi, kini keadaan sudah berubah. Banyak jenis pekerjaan tidak lagi mengandalkan kekuatan fisik, melainkan kekuatan pikiran. Dalam abad elektronik, yang perlu bukan otot, melainkan otak. Tolok ukurnya bukan lagi kemampuan fisik, melainkan kemampuan intelek. Dalam hal fisik mungkin perempuan kalah, tetapi dalam hal intelek belum tentu.

Cerita bergulir terus. Adam dan Hawa berjalan meninggalkan Taman Eden. Mereka memerlukan pakaian. Mereka tidak bisa bertelanjang terus. Siapakah yang membuat pakaian? Lelaki atau perempuan? Jawabnya ada di ayat 21. "Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu." Tuhan menjadi penjahit pertama. Lalu apa yang diperbuat Tuhan dengan pakaian itu? Menurut ayat itu, Tuhan "mengenakannya kepada mereka". Seperti seorang ibu menolong anaknya berpakaian.

Begitulah lelaki dan perempuan melanjutkan kehidupan sebagai mitra. Ada kemitraan sebagai suami-istri dalam keluarga. Ada pula kemitraan sebagai rekan di sekolah, di kantor, di pabrik, di gereja dan lainnya. Lapangan kerja sama pria dan wanita memang tidak sesempit keluarga. Lelaki dan perempuan bisa bekerja sama tanpa perlu punya perasaan erotis. Seorang astronot lelaki dan astronot perempuan bisa berada selama beberapa minggu dalam kapsul di ruang angkasa tanpa perasaan erotis. Dalam psikologi ini disebut companionate love. Cirinya adalah kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan bersifat passionate atau berahi, melainkan companionate atau bersahabat karena kagum pada kepribadian atau kepandaian rekannya itu.

Apa pun konteks kemitraannya, lelaki dan perempuan biasanya saling melengkapi. Yang satu lebih berani, yang lain lebih hati-hati. Yang satu lebih cepat, yang lain lebih cermat. Akan tetapi, menjadi mitra tidaklah mudah. Di sini ada dua watak yang berbeda, dua naluri yang berbeda dan dua tabiat yang berbeda. Konon, Adam kembali lagi kepada Tuhan. Ia berkata, "Tuhan istri saya sekarang sudah tidak bodoh lagi. Tetapi, bawelnya nggak ketulungan. Kuping ini sampai pengang. Maka saya mau kembalikan saja perempuan yang Tuhan ciptakan ini." Tuhan menjawab, "Ya, kembalikanlah." Tetapi baru seminggu, Adam datang lagi. la berkata, "Tuhan, saya kesepian. Minta lagi, deh, istri saya itu." Tuhan langsung menegur, "Apa-apaan ini? Seperti anak kecil! Sebentar dikembalikan, sebentar diminta lagi! Ini, saya berikan lagi istrimu. Tetapi syaratnya, kamu harus bisa kerja sama dengan perempuan. Kalau pengang, tutup kuping saja!"

Syahdan, sejak hari itu sampai hari ini. Adam masih terus bekerja sama dengan Hawa. Kerja sama itu tidak selalu mulus. Ada rindunya, ada bertengkarnya. Ada hangat-hangatnya, ada adem-ademnya. Ada rayu-rayunya, ada bentak-bentaknya. Begitulah kalau dua makhluk berbeda menjadi mitra kerja sama.

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

 

Seorang ibu dalam usia 30-an tahun sedang repot mengurus anak-anaknya. la berpikir alangkah bebasnya kalau kelak ia sudah tidak usah melakukan tugas-tugas seperti ini. Suaminya yang juga dalam usia 30-an tahun sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas. la juga sedang membayangkan betapa enaknya kelak kalau ia pensiun dan tiap hari menikmati suasana santai di rumah.

Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian pikiran kedua orang itu berubah total. Mereka bukan lagi mendambakan masa pensiun. Sebaliknya, sekarang mereka sedang cemas memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi kalau mereka pensiun. Pensiun memang mencemaskan. Kalau ada orang yang tidak merasa cemas, barangkali ia belum berpikir tentang masa pensiun, atau ia belum tahu apa itu sebetulnya pensiun. Soalnya, masa pensiun itu banyak "batu"nya.

Baiklah kita mulai dengan soal yang "mudah" (padahal sebetulnya ini sama sekali tidak mudah), yaitu soal uang. Pada hari kita mulai pensiun, pada hari itu juga gaji kita akan dipotong secara drastis. Segala macam tunjangan dihentikan. Yang namanya uang pensiun itu cuma sepersekian dari gaji. Yang paling terasa adalah dihapusnya tunjangan pengobatan. Mulai hari itu segala biaya untuk dokter, apotek, laboratorium, atau rumah sakit harus kita tanggung sendiri. Padahal justru semakin tua semakin sering kita berobat. Sungguh mencemaskan.

Bagi mereka yang selama ini menikmati pinjaman kendaraan dinas atau rumah dinas, persoalannya menjadi bertambah. Kendaraan perlu dikembalikan dan rumah harus dikosongkan. Kita harus pindah. Pindah ke mana? Akan tetapi, baiklah kita andaikan bahwa semua persoalan itu tidak ada atau sudah teratasi. Itu belum berarti bahwa masa pensiun otomatis akan menyenangkan. Ada banyak persoalan lain yang lebih rumit lagi.

Persoalan pertama adalah rasa hampa. Mari kita bayangkan diri sebagai seorang manajer. Selama sekian belas atau sekian puluh tahun kita telah menyatu dengan fungsi atau peran tertentu. Peran itu telah menjadi suatu bagian dari jati diri kita. Sekarang tiba-tiba kita harus melepaskan peran itu. Hati kita padat dengan pelbagai macam perasaan ketika kita mengosongkan meja dan ruangan kantor kita. Apalagi tatkala kita mencabut papan nama dari meja atau pintu ruangan itu. Berpisah dengan teman-teman sekerja juga merupakan beban emosi. Seorang demi seorang kita salami: para sekretaris, pesuruh, operator telepon, direksi, kepala bagian, satpam, dan lainnya.

Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Akan tetapi, setelah itu kita mulai merasa bingung, "Apa yang harus kukerjakan?" Kita merasa kehilangan peran. Lalu kita mulai merasa kehilangan jati diri. Kita merasa ada sesuatu yang kosong dalam diri kita. Kita merasa hidup ini menjadi hampa. Bisa jadi kita mulai bertanya dalam hati, "Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup?"

Perasaan-perasaan seperti itu dapat juga timbul pada seorang ibu rumah tangga. Selama sekitar dua puluh tahun ia mengurus anak-anaknya. Kini semua anak itu sudah mandiri atau berumah tangga sendiri. Mereka sudah mempunyai dunianya masing-masing. Akibatnya, ibu ini tidak tahu siapa yang sekarang perlu dia urus. Ibu ini kehilangan sasaran kesibukan. Mungkin beberapa tahun kemudian ibu ini sibuk merawat suaminya yang lanjut usia. Kemudian, ketika suaminya meninggal, ibu ini lagi-lagi merasa kehilangan peran. Ia merasa bingung, "Siapa yang harus kurawat sekarang?" la merasa hidup ini kini menjadi hampa.

Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang ibu rumah tangga, atau saya seorang manajer bank dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya, ketika peran itu harus dilepaskan, kita pun kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup.

Akibatnya, yang juga dapat timbul adalah post power syndrome. Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Kita mencari serta memperoleh kepuasan dengan cara memainkan atau memberlakukan kekuasaan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sangat suka mengatur dan melindungi anaknya secara berlebihan. la memberlakukan kekuasaan. Atau seorang manajer yang suka tampil sebagai penguasa dan pembesar. Orang yang banyak memberlakukan biasanya akan merasa kehilangan kekuasaan pada masa pensiunnya. Akibatnya, mungkin ia mencari jalan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Mantan manajer itu bisa jadi berusaha mengendalikan penggantinya atau menjelek-jelekkan kebijakan penggantinya.

Pensiun memang dapat menjadi suatu krisis yang menimbulkan sindrom, kompleks atau persoalan kejiwaan lain. Dalam skala Penyesuaian Sosial yang disusun oleh Holmes dan Rahe tercantum sekitar empat puluh penyebab stres, dan pensiun tercantum sebagai penyebab nomor 10 di bawah urutan kematian suami/istri, perceraian, musibah, penyakit dan pemenjaraan.

Masa pensiun memang rentan terhadap krisis karena masa pensiun ditandai oleh banyak pengurangan atau pemerosotan, yaitu merosot dalam peran, penghasilan, kekuasaan dan kekuatan fisik. Rasul Paulus dalam usianya yang lanjut juga mengalami banyak kemerosotan. Namun serempak ia juga mengalami pembaruan atau penambahan di bidang yang lain. Ia menulis, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" (2Kor 4:16).

Inilah "sisi lain dari koin" yang bernama masa pensiun. Secara fisik dan finansial kita berkurang, namun secara emosional dan spiritual kita bisa bertambah. Pola pikir kita bisa menjadi integratif, yaitu mampu mengintegrasikan masa pensiun ini dengan masa kerja yang telah kita tuntaskan dengan baik selama sekian puluh tahun. Lalu kita mensyukuri perjalanan karier yang telah kita lewati itu sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Tuhan telah memberi peran kepada kita selama sekian puluh tahun. Tuhan telah menuntun kita menjalankan peran itu sehingga akhirnya sekarang kita boleh menyelesaikannya dengan selamat.

Selanjutnya pola pikir kita pun bisa menjadi generatif, yaitu mampu mengakui bahwa kesempatan berkarya telah kita peroleh, karena itu sekarang kita menyiapkan generasi berikutnya untuk mengisi kesempatan itu. Kita telah mendapat giliran berbakti, sekarang bakti kita telah purna (penuh, selesai), lalu kita menyerahterimakan giliran itu kepada generasi penerus. Itulah "manusia batiniah" yang bisa berkembang justru pada masa pensiun. Sebab itu, masa persiapan pensiun (sering disingkat: MPP) bukanlah sekadar persiapan lahiriah (tabungan, rumah, asuransi kesehatan dsb.) melainkan terutama persiapan batiniah atau persiapan mental. Kalau yang disiapkan hanya urusan material, MPP bisa di pelesetkan menjadi "mati pelan-pelan" sebab walaupun secara material kita beres, mental kita akan tetap krisis. Sebaliknya, kalau kita siap mental, MPP bisa berarti "masa pematangan pribadi".

Akan tetapi, persiapan mental ini tidak mudah. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis "cathectic flexibility versus cathectic impoverishment". Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karier, dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain. Itu sebabnya salah satu bentuk pengisian masa pensiun yang konstruktif adalah mencari pengganti peran atau pengganti kesibukan dengan cara membantu panti asuhan, panti wredha, sekolah, gereja, poliklinik, dan sebagainya.

Kalau perhatian kita sempit dan hanya mengarah pada diri sendiri, memang masa pensiun adalah menakutkan. Kita menjadi tawar hati, sebab "manusia lahiriah" kita makin lama makin merosot. Namun, bila perhatian kita terbebas dari kesempitan itu lalu terarah pada dimensi hidup yang lebih luas dan lebih luhur, masa pensiun justru melegakan. Memang "manusia lahiriah" kita merosot, namun "manusia batiniah" kita mengembang dan mematang.

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

 


Enggano adalah sebuah pulau kecil dekat Bengkulu. Pada Perang Dunia Il pulau itu dijadikan tempat penyimpanan persediaan makanan untuk pasukan Jepang. Ketika Jepang menyerah, semua gudang itu ditinggalkan untuk penduduk setempat. Ternyata isi gudang itu luar biasa banyaknya. Padahal pada waktu itu jumlah penduduk Pulau Enggano hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka, dibagilah isi gudang itu. Tiap jiwa termasuk bayi mendapat 4 karung beras, 1 peti corned beef, 1 peti ikan sarden, 10 kaleng besar biskuit, dan banyak jenis makanan lain dalam peti besar. Dengan persediaan makanan yang begitu banyak di tiap rumah, orang tidak merasa perlu lagi bersawah dan berkebun. Tiap hari mereka hanya bersantai-santai.

Dua tahun kemudian persediaan makanan itu mulai habis. Lalu mereka mulai menggarap sawahnya lagi. Tetapi, apa yang terjadi? Sawah dan kebun mereka sudah penuh dengan alang-alang. Diperlu kan waktu beberapa bulan untuk mengolah tanah itu kembali. Ketika kemudian mereka bisa menanam, keadaan sudah terlambat. Persediaan makanan sudah betul-betul habis. Untuk menunggu panen diperlukan waktu setengah tahun. Akibatnya mereka kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi? Penduduk pulau itu mendapat kemudahan. Mereka tidak usah bekerja karena ada persediaan makanan untuk sekian tahun. Kerja keras berubah menjadi malas-malas. Ketika mereka mau bekerja lagi, sawah sudah menjadi belukar. Kemudahan membuat orang jadi terlena.

Pada hakikatnya orang cenderung memilih yang mudah. Mudah berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakannya. Mudah berarti tidak berat, tidak sukar dan tidak melelahkan. Di sekolah murid lebih senang mendapat soal yang mudah. Di tempat kerja kita memilih tugas yang mudah. Begitu juga dalam hidup, kita lebih senang berada dalam keadaan yang mudah. Kebalikan dari ke mudahan adalah kesulitan, tantangan, dan krisis. Memang kemudahan terasa menyenangkan. Kemudahan terasa sebagai berkat. Namun, dalam jangka panjang, apakah kemudahan itu berkat, ataukah bencana?

Menurut psikologi perkembangan, orang bertumbuh kepribadiannya melalui delapan tahap. Pada tiap tahap terjadi krisis. Misalnya pada tahap pertama, ketika anak berusia sekitar 1,5 tahun, ia mengalami krisis kecurigaan dasar versus kepercayaan dasar. Ia merasa curiga bahwa dirinya kurang diterima oleh pengasuhnya dan bahwa ia akan ditinggalkan sebatang kara. Jika bayi tidak berhasil mengatasi krisis ini, kelak ia menjadi orang dewasa yang cenderung berprasangka dan kurang bisa memercayai orang lain. Ia menjadi orang yang usianya dewasa, namun tahap kepribadiannya belum beranjak dari masa usia 1,5 tahun. Sebaliknya, jika bayi ini berhasil mengatasi krisis lalu merasa diterima dan bisa memercayai bahwa pengasuhnya ada meskipun tidak kelihatan, bayi ini bisa bertumbuh kepribadiannya ke tahap berikutnya. Kepribadian tumbuh melalui krisis. Keberhasilan mengatasi krisis adalah syarat untuk bisa maju ke tahap berikut.

Prinsip ini juga tampak dalam teori perkembangan masyarakat Kelompok masyarakat mana yang lebih maju? Arnold Toynbee, pakar sejarah kebudayaan, mengamati bahwa dari zaman purba hingga kini kelompok masyarakat yang lebih cepat maju adalah kelompok pendatang atau migran. Berbeda dari penduduk lama, kaum migran lebih terbuka dan lebih siap menghadapi ketidakpastian, perubahan, dan krisis. Mereka datang dengan tangan kosong, namun dengan hati yang penuh idealisme. Penduduk lama sudah mapan dengan pelbagai kemudahan sehingga tidak mempunyai dorongan untuk banting tulang, padahal para pendatang masih harus bergerak untuk survive. Karena itu, pada umumnya para pendatang lebih ulet, lebih hemat, dan lebih rajin. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan dapat membuat orang jadi statis, sedangkan krisis dapat membuat orang menjadi dinamis.

Para pengarang Perjanjian Lama bersaksi bahwa walaupun Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Allah tidak memberi kemudahan kepada umat-Nya. Sebaliknya, Allah malah membawa umat-Nya berjalan melalui krisis. Kasus itu tampat mencolok pada peristiwa Eksodus. Umat menempuh perjalanan dari delta Nil ke Kanaan yang berjarak sekitar 250 km atau kira-kira seperti dari Jakarta ke Cirebon. Secara wajar perjalanan itu dapat ditempuh dalam beberapa minggu. Namun, Allah membawa umat-Nya ke jalur yang lebih jauh dan lebih sulit sehingga akibatnya perjalanan mereka memakan waktu 40 tahun. Selama 40 tahun itu umat bukan menghadapi kemudahan, melainkan justru kesulitan dan krisis. Umat mengira bahwa mereka tidak dikasihi Allah. Akan tetapi, sebenarnya justru karena Allah mengasihi umat-Nya, la membawa mereka berjalan melalui pelbagai kesulitan sebab Allah bermaksud agar dengan kesulitan dan krisis itu umat-Nya ber tumbuh menjadi bangsa yang tangguh.

Cara Allah mendidik ini juga kemudian dicatat oleh pengarang Surat Ibrani sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan la menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang... Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibr. 12:5b 11).

Dari perikop tersebut dapat ditarik paling sedikit enam dalil teologi yang pedagogis (atau: dalil pedagogi yang teologis). Pertama, Allah digambarkan sebagai orangtua dan kita sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi. Kedua, karena itu Allah mendidik kita. Ketiga, cara mendidik yang baik bukanlah dengan memberi kemudahan, melainkan dengan memberi ganjaran (Yunani: paideia.k.k. paideuo = menegur, memarahi, menghukum, mendisiplin, menghajar). Keempat, sebab itu Allah memberi paideia kepada kita. Kelima, paideia tidak terasa menyenangkan, malah menyakitkan. Keenam, tetapi dalam jangka panjang, paideia memberi manfaat kepada kita. Jadi, pokok utama perikop ini adalah: Allah mendidik kita sebab itu la tidak memberi kemudahan, tetapi kesulitan dan tantangan. Di sini Allah digambarkan sebagai Allah yang edukatif atau sebagai pendidik ulung yang mempunyai visi tujuan mendidik untuk jangka panjang.

Konteks perikop ini adalah Surat Ibrani yang menekankan pokok bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam mewujudkan perbuatan-Nya dalam sosok Yesus. Itu berarti bahwa hidup Yesus merupakan petunjuk cara Allah mendidik. Sebab itu, hidup Yesus tidak berisi kemudahan tetapi krisis. Selama 33 tahun Yesus memilih jalan yang tidak mudah tetapi jalan yang penuh penderitaan. Akan tetapi, justru karena Yesus menempuh jalan itu dan setia sampai akhir, la menjadi simbol kemenangan atas penderitaan. Teologi Yesus bukan teologi kemudahan, melainkan teologi ketangguhan, yaitu tangguh dalam kesulitan dan krisis.

Lima ratus tahun sebelum Yesus mengajar, ternyata Kung Fu Tse memandang krisis dan kesulitan sebagai unsur yang positif dalam proses didik-mendidik. Dalam bahasa Cina krisis adalah wei-ji dan aksaranya merupakan gabungan dari aksara wei-jien (= bahaya) dan aksara ji-hwee (= peluang). Maksudnya adalah bahwa peluang mengandung bahaya atau risiko. Mereka yang mau mendapat peluang atau kesempatan harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam tiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Dalam aksara wei-ji terkandung hikmah yang dalam: peluang untuk maju timbul bukan dari kemudahan, melainkan dari kesulitan.

Sebetulnya kita tahu bahwa kemudahan bisa membuat orang jadi malas, sedangkan tantangan dan kesulitan bisa membuat orang jadi tangkas. Namun, kalau kita boleh memilih antara kemudahan dan kesulitan, kita akan memilih kemudahan sebab kemudahan itu enak padahal kesulitan terasa kejam dan menyakitkan.

Itu sebabnya banyak orangtua demi cinta melimpahkan pelbagai kemudahan kepada anaknya. Coba perhatikan, banyak anak TK dibawakan tas dan botolnya oleh penjemputnya. Ada anak yang sudah mampu mengikat tali sepatu sendiri, namun ibunya masih turun tangan. Ada calon mahasiswa yang formulir pendaftarannya diisi oleh orangtua. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi sering kali cinta itu diwujudkan dalam bentuk yang keliru, yaitu dalam bentuk kemudahan dan proteksi berlebihan. Hidup anak itu menjadi sangat mudah. Segala macam kemudahan sudah tersedia.

Anak yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemudahan, nantinya bisa menjadi orang yang kepribadiannya rapuh dan cepat ambruk. Artinya, ia tidak kuat menanggung beban frustrasi. Ia juga enggan berprakarsa. Motivasinya lemah dan daya juangnya rendah. la takut pada kesulitan; padahal hidup ini terdiri atas deretan persoalan yang sulit: pelajaran, pekerjaan, pergaulan, pernikahan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sebab itu, tokoh Pendidikan Agama Kristen Friedrich Froebel (1782-1852) berkata bahwa anak sejak kecil perlu dibimbing untuk menerima dan mengatasi pelbagai kesulitan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam hidup. Froebel menentang pandangan bahwa kesulitan merupakan hukuman dari Tuhan atau bahwa kemudahan merupakan upah dari Tuhan atas kebaikan kita. Menurut Froebel, hidup baik dan saleh itu sendiri sudah merupakan keuntungan sebab itu hidup baik dan saleh tidak perlu diupahi dengan kemudahan, sukses, dan keuntungan duniawi.

Contoh tentang kemudahan biasanya tampak dalam bisnis keluarga. Banyak bisnis keluarga berawal dari seorang miskin yang banting tulang dan peras keringat. Usahanya mulai dari nol. Berkat sifatnya yang rajin dan hemat, usahanya berkembang menjadi besar. Kemudian perusahaan ini diwariskan kepada generasi kedua yang berupaya untuk bertahan. Namun, begitu tiba pada generasi ketiga, banyak bisnis keluarga bangkrut sebab sifat rajin dan hemat dari generasi pertama sudah luntur.

Laporan konferensi tentang Bisnis Keluarga di Asia Pasifik berbunyi, "Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dan berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa oleh generasi kedua, akhirnya hancur oleh generasi ketiga karena generasi ini hidup dalam kemewahan dan tidak pernah melihat pengorbanan dan kegigihan orangtua mereka... generasi ketiga, sebagai anak-anak orang kaya tidak melihat perlunya bekerja keras. Mereka tidak mau susah dan tidak memiliki semangat ..." Kemudahan memang tampak enak. Akan tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil m ngantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus.

Kemudahan membuat kita lengah. Maka, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu, kesulitan dan krisis jangan dilihat sebagai hukuman Allah, melainkan sebagai didikan Allah. Adanya krisis bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Kata pengarang Ibrani, "Allah menghajar kita untuk kebaikan kita" (12:10).

Memang tiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Namun, tiap krisis juga mengandung peluang; peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan, dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih dewasa. Umat Allah di zaman Eksodus mengalami krisis selama 40 tahun lalu muncul sebagai bangsa yang tangguh. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang menjadi tangguh.

Dalam hidup Yesus tidak ada kemudahan, yang ada malah penderitaan. Namun, la bangkit dari penderitaan itu sebagai pemenang. Rasul Paulus turut merasakan kemenangan itu sehingga ia bersaksi, "Syukur bagi Allah yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya" (2 Kor. 2:14).