SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.

SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.