BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

 


Pada malam itu Pdt. Clement Suleeman berusaha memperbaiki kipas angin yang lebih banyak mengeluarkan bunyi krek-krek krek-krek daripada mengeluarkan angin segar. la berkata, "Boeh lke nggak tahan nyamuk." Jadi, kipas angin itu juga harus berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kami berdua sedang menyiapkan ruangan di Balai Pertemuan GKI Samanhudi. Suleeman adalah pendeta jemaat itu dan saya baru saja memulai masa vikariat di jemaat tersebut. Malam itu ada pertemuan kecil dengan Dr. Robert Boehlke, misionaris Gereja Presbiterian Amerika yang baru saja tiba di Indonesia untuk mengajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT Jakarta. Yang menghadiri pertemuan itu sekitar tujuh atau delapan orang dari DGI (kemudian: PGI) dan dari gereja-gereja di Jakarta. Bahan pembicaraannya adalah bekal apa yang dibutuhkan oleh calon pendeta di Indonesia untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai pendidik di dalam gereja. Konkretnya, apa yang harus diajarkan di STT Jakarta dalam rangka PAK. Tidak ada keistimewaan apa-apa pada pertemuan malam itu. Itu sebuah pertemuan biasa dan kecil. Baru kemudian hari ternyata bahwa pertemuan kecil pada tahun 1963 itu mempunyai dampak yang cukup besar bagi gereja-gereja dan sekolah-sekolah teologi Indonesia.

Untuk memahami duduk perkaranya, kita perlu menengok lebih jauh ke belakang yaitu ke tahun 1955, Pada tahun itu DGI menyelenggarakan sebuah konferensi "kecil" tingkat nasional di Sukabumi tentang PAK. Disebut "kecil" karena pokok bahasannya bukan tergolong yang menarik, apalagi untuk jadi bahan berita surat kabar. Lokasinya pun "kecil", yaitu asrama panti asuhan yang kamar mandinya massal. Tetapi, nanti akan kita lihat bahwa konferensi "kecil ini berdampak cukup besar.

Menarik untuk diperhatikan bahwa pada saat itu DGI baru berusia lima tahun dan masih ibarat anak balita yang mengalami rupa-rupa penyakit anak. Namun, ternyata DGI merasa perlu untuk menggerakkan konferensi tentang PAK. Nara sumber utama konferensi itu adalah Dr. Elmer Homrighausen, rektor Sekolah Teologi Princeton. Beberapa pembicara lain menanggapi konteks lapangan kerja PAK misalnya Dr. Johanes Leimena dan Notohamidjojo, S.H. dari sudut masyarakat, Dr. D.C. Mulder dari sudut kemajemukan agama dan Pdt Devanesen dari sudut gerakan oikumene. Masukan dari sudut biblika disampaikan oleh Dr. Christoph Barth. Penerjemah konferensi ini adalah Clement Suleeman, ketika itu pendeta Gereja Kristus Chung Hua Ci Tu Ciao Hui di Jatinegara.

Keputusan yang diambil oleh konferensi ini adalah antara lain meminta agar gereja-gereja mengutamakan tugasnya dalam membina warga jemaat mulai dari anak hingga dewasa dalam bertumbuh dan mengaitkan iman dengan kehidupan dalam masyarakat. Untuk maksud itu diserukan agar sekolah-sekolah teologi mengajarkan PAK dalam kurikulumnya. Sebagai langkah pertama diputuskan agar DGI mengirim seorang calon dosen STT Jakarta untuk belajar PAK di Amerika dan mengundang seorang pakar PAK dari luar negeri untuk mengajar di STT Jakarta. Juga diputuskan agar Badan Penerbit Kristen menopang usaha ini dengan menerbitkan buku-buku yang diperlukan.

Sebagai pelaksanaan keputusan itu setahun kemudian berangkatlah Pdt. Suleeman dalam usia 37 tahun untuk belajar di Amerika dan Belanda. Sekembalinya di Jakarta ia mulai memperkenalkan mata pelajaran PAK di STT Jakarta sambil tetap menjadi pendeta di GKI Samanhudi. Lalu pada tahun 1963 DGI memanggil Dr. Robert Boehlke untuk mulai mengajar di STT Jakarta. Maka, pada suatu malam yang banyak nyamuk yang diceritakan pada awal tulisan ini, 1963 terjadilah pertemuan kecil yang diceritakan pada awal tulisan ini.

Apa dampak dari kejadian-kejadian di atas? Yang pasti, dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi sekarang diberikan PAK. Mula-mula hanya satu mata pelajaran, kemudian menjadi rumpun yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran. STT Jakarta masih terus menambah dan mengubah jumlah serta muatan PAK dalam kurikulumnya. Direncanakan STT Jakarta akan menawarkan hampir sekitar tiga puluh mata pelajaran wajib dan pilihan dalam rumpun konsentrasi PAK: Teori/ Teologi PAK 1 & 2, Psikologi PAK 1 & 2, Kurikulum PAK 1 & 2, Metodik 1 & 2, Sejarah PAK 1 & 2, Perencanaan PAK 1 & 2, Bacaan Filsafat PAK 1 & 2, Didaktik, PAK Anak, PAK Remaja/Pemuda, PAK Dewasa, PAK Lansia, PAK Penyandang Cacat, PAK Musik & Ibadah, PAK Perkembangan Moral, PAK Perkembangan Kepribadian, PAK Perkembangan Religius, Praktik Mengajar 1 & 2, Manajemen PAK dan beberapa lainnya.

Bandingkan perkembangan itu, dari nol menjadi sekitar tiga puluh. Sebelum tahun 1955 para calon pendeta sama sekali tidak menerima pembekalan di bidang PAK, tetapi generasi-generasi kemudian menerima sampai sekitar tiga puluh mata pelajaran PAK. Apakah ini berarti bahwa kualitas pembinaan di gereja meningkat? Belum tentu. Pelajaran bukan jaminan sebab bisa saja orang belajar, tetapi tidak mau dan tidak mampu mempraktikkannya. Namun, kita mempunyai optimisme bahwa semua ini menjadi awal kecil yang makin lama makin berdampak pada pertumbuhan dan pemberdayaan Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat kehidupan iman umat di Indonesia.

Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat dan satu periode yang sangat terbatas. Padahal gereja di sepanjang zaman sudah bergumul dalam hal tugas pendidikannya. Tinjauan yang menyeluruh tentang pelayanan pendidikan gereja terdapat dalam buku Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola. Jilid kedua dari buku ini bersubjudul Dari Comenius Sampai PAK di Indonesia. Dengan membaca kedua buku ini kita melihat pemikiran dan perbuatan banyak orang sepanjang masa yang kemudian menjadi suatu garis yang menggambarkan turun naiknya kesungguhan gereja dalam mendidik umat. Pemikiran dan perbuatan itu tampak kecil, tetapi semua itu turut menentukan maju mundurnya gereja di suatu tempat dan zaman.

Sejarah memang terbentuk dari kejadian-kejadian kecil. Orang yang berperan serta dalam kejadian itu mungkin berkata, "Ah, apa yang saya perbuat itu kecil saja." Tetapi apa yang semula kecil kelak bisa berdampak besar. Kita sendiri mungkin tidak akan melihat dan mengalami bahwa karya kecil yang sekarang sedang kita kerjakan kelak akan berdampak besar.

Untuk menjadi pelaku sejarah, kita berperan serta dalam kejadian-kejadian kecil. Dalam penglihatannya, Zakharia mendengar suara Tuhan, "Sebab siapa yang memandang hina dari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel" (Za. 4:10). Zerubabel ketika itu sedang memimpin umat dalam memugar dan membangun ulang bait Allah. Bagian awal dari pekerjaan ini tidak menyenangkan sebab berbulan-bulan lamanya orang hanya mengorek-ngorek dan membersihkan puing reruntuhan Bait Allah yang sudah hancur. Itu adalah "peristiwa-peristiwa kecil". Tetapi, walaupun mereka sekarang memandang rendah peristiwa kecil itu, kelak mereka akan bergembira kalau batu-batu pilihan sudah ditemukan. Agaknya, itu adalah batu-batu yang masih utuh yang dulunya adalah batu fondasi gedung Bait Allah yang orisinal. Dengan batu-batu itu mereka akan mendirikan gedung Bait Allah yang baru.

Kejadian kecil memang kurang menarik. Tetapi, sejarah justru terjadi karena kejadian-kejadian kecil. Kita mungkin pelaku kejadian kecil, namun kejadian kecil itu kelak bisa berdampak besar. Segala karya besar berawal dari karya kecil. Kita adalah alat kecil dalam sejarah perkembangan Kerajaan Allah. Bukankah Yesus sendiri mengumpa makan Kerajaan Allah seperti biji yang kecil. Dia berkata, "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya" (Mat. 13:31-32).

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

 


Sebuah kursi tidak semahal meja, lemari atau ranjang. Di mana-mana ada kursi. Di ruang tunggu dokter pasti ada kursi. Di apotek ada kursi. Di stasiun bis juga ada kursi. Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan. Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi. Sebuah bangsa pecah dan ribuan orang saling bunuh hanya karena ada dua orang yang memperebutkan sebuah kursi. Kursi ternyata bukan cuma tempat duduk, melainkan juga kedudukan. Rebutan kursi terjadi di mana-mana: di partai, di organisasi, di perusahaan, bahkan juga di gereja. Mengapa bisa terjadi rebutan kursi? Tentu ada pelbagai macam penyebabnya.

Mungkin karena ada dorongan dari kelompok. Sebuah kelompok boleh jadi merasa muak dengan pemimpin yang ada. Mungkin pemimpin itu sudah terlalu lama masa jabatannya. Mungkin dalam organisasi itu tidak ada mekanisme suksesi. Lalu mereka menjagokan seseorang untuk merebut kursi kepemimpinan. Mereka menganggap tokoh ini simbol dari aspirasi mereka. Boleh jadi tokoh ini didorong untuk merebut kursi guna melawan kemapanan dan membuat perubahan.

Faktor lain adalah watak. Ada orang yang memang mempunyai kebutuhan untuk menguasai orang lain. la merasa dari kecil selalu diatur orang lain, sebab itu ia suka mengatur orang lain. la cenderung memaksakan kemauannya pada orang lain. Ia mendapat kepuasan kalau ia mengendalikan orang lain. Orang yang berwatak begini biasanya berambisi menduduki kursi pemimpin.

Namun, penyebab utama yang mendorong orang untuk begitu gigih mendapat dan kemudian mempertahankan kursi pemimpin biasanya adalah faktor imbalan-imbalan yang ada di balik kursi itu. Kita ambil kasus jabatan ketua sinode. Ada gereja yang tidak mengenal jabatan ketua sinode penuh waktu. Ketua sinodenya adalah pendeta gereja setempat. Ia tidak diberi honorarium apa pun untuk tugasnya sebagai ketua sinode. Di sinode itu tidak pernah ada kericuhan tentang kursi ketua sinode. Pemilihan ketua sinode berlangsung tenang-tenang saja. Jarang tampak suasana ambisi. Bahkan sidang sering kali sulit mendapat calon. Soalnya jarang ada orang yang bersedia dicalonkan menjadi ketua sinode. Jarang pula ada ketua sinode yang melebihi satu masa jabatan.

Namun, keadaan menjadi lain ketika gereja itu mengubah jabatan ketua sinode menjadi penuh waktu. Gereja itu menetapkan beberapa ketentuan yang berlaku bagi ketua sinode: tempat tinggalnya di kota lokasi kantor sinode (itu berarti di kota besar, padahal pendeta-pendeta lain tinggal di desa), kendaraannya mobil bagus (padahal pendeta lain cuma naik sepeda motor), ada pula tunjangan jabatan, dan sebagainya. Selanjutnya, ketua sinode juga diberi wewenang untuk mengatur penempatan dan mutasi pendeta.

Setelah jabatan ketua sinode diubah seperti itu, mulailah timbul pergesekan kekuasaan. Ada orang-orang yang berambisi menjadi ketua sinode. pemilihan ketua sinode terjadi kasak-kusuk mencari dukungan. Setelah terpilih ketua sinode itu bersikap pamer kekuasaan. Ia ingin dipilih lagi untuk masa jabatan yang berikutnya (walaupun ia sering berucap, "Saya tidak mempunyai ambisi untuk jabatan ini"). Ketika kemudian ada orang lain yang juga ingin menduduki kursi ketua sinode, terjadilah pertikaian. Kedua orang itu masing-masing mencari pengikut. Lalu, kedua kelompok pengikut itu mulai bertengkar. Pekerjaan gereja, seperti pekabaran Injil, penggembalaan, pendidikan, menjadi terlantar karena para pendeta sibuk dengan urusan sebuah kursi.


Orang ingin kursi. Kalau sudah diperolehnya ia berusaha menduduki kursi itu selama mungkin. Semua ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa kursi itu memberikan sejumlah keuntungan kepadanya. Inilah akar segala keributan di sekitar kursi. Kedudukan dan kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri: uang, fasilitas, wewenang, pengaruh, koneksi, dan sebagainya. Kedudukan dipakai untuk menguntungkan diri sendiri. Kedudukan dipakai untuk melayani kepentingannya sendiri (walaupun ia sering berteriak dengan nyaring bahwa ia melayani Tuhan dan ke pentingan umum).

Sungguh berbeda dengan apa yang diperbuat oleh Yesus. Selama tiga tahun Yesus mempunyai kedudukan. Kedudukan itu bukan dipakai oleh Yesus untuk menguntungkan diri-Nya sendiri. Kedudukan itu tidak dipakai sebagai kesempatan untuk mencari uang, fasilitas, wewenang, atau koneksi apa pun, tetapi "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Sebab itu, tidaklah menjadi soal apa kedudukan kita tinggi atau rendah yang soal adalah bagaimana dan untuk apa kita menggunakan kedudukan itu. Yesus telah memberi teladan. Kedudukan-Nya dipakai untuk membela kepentingan orang lain.

Ketika kemudian hari Rasul Paulus merenungkan kembali "masa jabatan" Yesus tersebut, ia mengomentari Yesus dengan kata-kata, "Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya ..." (Flp. 2:6-7). Perhatikan dua kata yang bertolak belakang: "mempertahankan" dan "mengosongkan". Orang lain mempertahankan diri, padahal Yesus mengosongkan diri. Kata "mengosongkan diri" itu diuraikan oleh Paulus dengan "mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diri-Nya dan taat" (ay. 7 dan 8).

Agaknya, itu yang sulit kita pelajari dari Yesus. Sebab apa yang kita perbuat sungguh bertolak belakang dengan Yesus. Kalau kita sudah duduk di kursi kita bukan mengambil rupa seorang hamba, melainkan mengambil rupa seorang baginda. Kita bukan merendahkan diri, melainkan kita merendahkan dan menekan orang lain. Kita bukan taat, kita malah membentak supaya orang lain taat pada kita. Itulah yang terjadi kalau kita sudah dapat kursi. Kita jadi mabuk kursi. Kursi itu terasa begitu enak diduduki. Oh, empuk sekali. Begitu empuk sehingga sekali kita duduk, kita lupa berdiri.

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

 


Orang itu mencangkul. Sebutir biji jagung dimasukkannya ke dalam tanah. Apa yang sedang diperbuatnya? la sedang menanam "sebutir pengharapan". Dalam benaknya ada pengharapan bahwa biji itu kelak bertumbuh dan menghasilkan jagung. la mencangkul dengan suatu motivasi besar: pengharapan. Akan tetapi, pengharapan bukan perkara sembarangan. Pertama, pengharapan harus mempunyai dasar. Dan sebuah dasar selalu berasal dari masa lampau: biji semacam itu ternyata bisa tumbuh dan menghasilkan jagung. Tanpa suatu dasar, pengharapan mudah berubah menjadi untung-untungan. Kedua, pengharapan harus disertai usaha nyata. Tanahnya digemburkan. Dipupuki. Diamankan dari gangguan binatang. Disiram. Dipelihara. Ketekunan. Kerja keras. Tanpa usaha nyata, pengharapan merosot menjadi lamunan.

Ketiga, pengharapan harus berpijak atas kewajaran. Kewajaran waktu: tak mungkin jagung itu sudah panen dalam satu bulan. Kewajaran hasil: tak mungkin satu tanaman jagung bisa memberi hasil sebanyak satu gerobak. Tanpa kewajaran, pengharapan cuma melahirkan kekecewaan. Kalau itu yang dituntut dari pengharapan akan sebutir jagung, apalagi pengharapan tentang manusia dan masa depan. Apakah pengharapan Kristen tentang manusia dan masa depan? Apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah datangnya Kerajaan Allah ke bumi ini. Apa yang dimaksud? Kerajaan Allah adalah keadaan di mana kedaulatan dan pemerintahan Allah ditaati oleh manusia. Jadi, yang kita harapkan adalah suatu keadaan baru di bumi di mana hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya menjadi hubungan damai yang sempurna (lih. Why. 21:1-4).

Apa yang menjadi dasar dari pengharapan itu? Dasarnya adalah kenyataan bahwa Kerajaan Allah sudah dimulai di dalam pekerjaan Yesus. la berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat. 12:28). Selama tiga tahun Yesus "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan datangnya tahun rahmat Allah" (Luk. 4:16-22).

Dengan pekerjaan Yesus itu, dimulailah suatu zaman baru di mana manusia melihat kehadiran Allah sebagai raja. Jadi pengharapan kita tentang Kerajaan Allah bukan timbul karena kita mencita-citakan sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, pengharapan kita berdasarkan apa yang sudah ada, yakni zaman baru hasil pekerjaan Yesus. Pengharapan Kristen adalah merindukan perwujudan dari zaman baru yang telah dimulai oleh Yesus. Zaman itu berlangsung hingga ke masa kini dan akan berlangsung ke masa depan, di mana pengharapan itu akan menjadi kenyataan yang sempurna.

Akan tetapi, adakah dasar bagi kita untuk mengharapkan bahwa di masa depan Kerajaan Allah akan diwujudkan secara sempurna? Ya, karena di masa lampau sudah diperlihatkan bahwa Allah memimpin sejarah seperti menarik suatu garis ke depan. Hal itu disaksikan dalam Kisah Keluaran Umat Israel. Di situ Allah bukan digambarkan sebagai Allah yang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, melainkan sebagai Allah yang berjalan bersama-sama dengan umat itu. Ia menuntun perjalanan umat itu dengan sebuah tiang awan. Bahkan la hadir dalam bentuk tiang awan (lihat Kel. 13:21-22).

Dengan begitu, la menjadi Allah yang berada di depan manusia la menjadi Allah yang menarik manusia untuk berjalan terus ke masa depan. la menjadi Allah yang turun tangan dalam urusan-urusan persediaan pangan (urusan ekonomi), perundangan-undangan dan perbudakan (urusan sosial), kebaktian dan hari-hari raya (urusan agama), perang dan pengangkatan pemimpin (urusan politik). Dengan turun tangannya Allah dalam urusan-urusan itu, la menunjukkan diri-Nya sebagai Allah atas segala bidang hidup manusia pada masa itu dan sebagai Allah yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi masa depan. Dalam Kisah Keluaran itu, Allah mengajar umat-Nya untuk mempunyai pengharapan atas masa depan. Akan tetapi, pengharapan harus disertai usaha. Dalam kisah Keluaran hal itu pun tampak jelas. Umat itu harus berjalan melintasi gurun selama empat puluh tahun dengan bersusah payah.

Tiap pengharapan menuntut usaha. Demikian pula pengharapan kita akan datangnya Kerajaan Allah. Akan tetapi, justru itulah yang tidak mudah. Setiap hari Minggu kita berseru, "Datanglah Kerajaan-Mu." Namun, apakah usaha kita untuk menampakkan tanda-tanda situasi Kerajaan Allah di pelbagai bidang hidup sehari-hari? Atau tidak usah jauh-jauh, adakah di dalam gereja sendiri tampak tanda-tanda dan keadaan Kerajaan Allah? Jika kita mengharapkan datangnya keadaan Kerajaan Allah, itu berarti kita harus resah terhadap keadaan di mana terdapat praktik praktik yang adalah kebalikan dari keadaan Kerajaan Allah tersebut. Perasaan resah itu harus mendorong kita untuk lebih banyak berusaha.

Pengharapan harus berpijak atas kewajaran, baik kewajaran dalam hal waktu maupun hasil. Dalam pengharapan kita akan Kerajaan Allah, ukuran kewajaran itu bukan terletak di tangan kita, melainkan tergantung dari "kerelaan kehendak" Allah sendiri (Ef. 1:5). Sebab, bukankah Allah sendiri yang akan menyempurnakan perwujudan Kerajaan-Nya (lih. Why. 21). Kita disuruh oleh Yesus untuk meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh-Nya sambil berpengharapan bahwa la akan menggenapkan pekerjaan-Nya itu secara sempurna.

Antara angan-angan dan pengharapan memang bisa terjadi kekaburan. Akan tetapi adanya dasar, usaha dan kewajaran, menjadikan pengharapan kita akan Kerajaan Allah bukan angan-angan, melainkan pengharapan. Berbahagialah orang yang mempunyai pengharapan dan yang bersedia membayar harga untuk membuat pengharapannya menjadi kenyataan
KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya, (Mrk. 10:42-44)

Salah satu alasan mengapa dunia begitu mengerikan dan tak sama bagi kehidupan manusiawi ialah dunia memang tertata oleh pola hubungan hierarkis. Selalu saja ada sejumlah kecil pemimpin di atas, dengan bawahan yang tak banyak jumlahnya, namun makin ke bawah makin bertambah banyak, dan akhirnya sejumlah besar pengikut berada di dasar piramida kekuasaan.

Yang lebih menyedihkan, hierarki yang menjulang ke atas itu sering diklaim mendapatkan kuasa dari Allah sendiri. Itu sebabnya mengapa kata "hierarki" dipakai; yang terdiri atas dua kata: hieros (suci) dan arche (tatanan atau kepemimpinan).  "Tak jarang sebuah hierarki memakai nama Allah untuk melestarikan kekuasaan yang sudah tertata."

Terhadap budaya umum dunia. Yesus menawarkan sebuah budaya alternatif radikal-budaya tandingan (counter-culture). Yesus sangat memahaminya kala berkata, "... mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (ay. 42). Inilah hierarki yang berlangsung di banyak tempat dan zaman. Namun, segera Yesus mengusulkan alternatif radikal-Nya: siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah menjadi pelayan (ay. 43-44).

Model kepemimpinan baru Yesus itu sungguh menjungkirbalikkan piramida hierarkis hingga sungsang-terbalik 180 derajat. Sang pemimpin haruslah menjadi pelayan. Yang pertama menjadi yang terakhir. Inilah kepemimpinan-hamba atau doularki (doulos + arche). Sering juga disebut servant-leadership.

Ketika memasuki sebuah komunitas dengan semangat berkarya, pikirkanlah satu hal! Siapa komunitas yang akan kita kembangkan itu? Siapa manusia-manusia yang akan kita sapa itu? Jika kita memasukinya dengan mentalitas juruselamat dan menampilkan diri sebagai pemimpin besar, bos yang harus dihormati, percayalah kegagalan tinggal menunggu waktu.

Masukilah komunitas tersebut, sapalah orang-orang di dalamnya dengan sikap takzim dan hormat. Sebab, kita diutus ke dalamnya, bukan untuk menjadi pemimpin yang berada di atas mereka, namun menjadi pelayan mereka. Jika kita harus melaksanakan tugas kepemimpinan, jadilah pemimpin yang melayani. Hanya dengan cara itulah, kita dapat menyuarakan pesan Injil yang menentang semua pola penguasaan hierarkis, semua pola kepemimpinan yang menekan rakyat atau umat.