MANAJEMEN YESUS

MANAJEMEN YESUS

Kalau manajemen kita pahami sebagai proses mengupayakan agar tugas-tugas terlaksana secara baik dengan mendayagunakan sumber daya manusia untuk berperan secara efektif, maka Yesus bisa disebut manajer yang ulung. Hampir semua prinsip manajemen personalia yang sekarang dipelajari para manajer modern sudah diterapkan oleh Tuhan Yesus.

Pertama, prinsip seleksi. Memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat merupakan langkah pertama. Untuk itu dibutuhkan persiapan. Itu sebabnya sebelum mengawali pekerjaan-Nya, Yesus menyepi terlebih dahulu (lih. Mrk. 1:12-13). Yesus seakan-akan merumuskan visi apa yang mau dicapai, bagaimana melaksanakannya, di mana dan kapan, siapa orang-orang yang akan turut melakukannya, apa kualifikasi mereka, apa rincian tugas mereka, apa yang perlu mereka pelajari, bagaimana menyiapkan mereka menjadi penerus pekerjaan Yesus. Untuk merenungkan semua itu, Yesus sampai menyediakan waktu empat puluh hari.

Seusai hari-hari menyepi itu, Yesus pun mulai memilih orang-orang yang diperlukan-Nya. Seleksi ini bukan berlangsung sekaligus. Agaknya jumlah dua belas orang yang dipilih baru rampung seluruhnya setelah beberapa minggu, yaitu setelah kejadian-kejadian seperti pesta pernikahan di Kana, penyucian Bait Allah, dan penolakan di Nazaret. Itu berarti bahwa Yesus melakukan seleksi secara bertahap sambil memulai pekerjaan-Nya.

Kedua, prinsip asosiasi. Yesus mengajak kedua belas orang itu untuk tinggal, makan, beribadah, dan bekerja bersama-sama dengan Dia. Ke mana-mana la pergi bersama mereka. Apa yang dimakan para murid, itulah juga yang dimakan oleh Yesus. la tidak membuat tangga seperti atasan dan bawahan. Ia mengasosiasikan diri dengan mereka.

Ketiga, prinsip edukasi. Setiap kegiatan, seperti kunjungan, khotbah, penyembuhan, pengusiran setan, debat dengan para ahli Taurat dan Farisi dimanfaatkan Yesus sebagai teachable moments atau kesempatan untuk mendidik dan mengajar kedua belas orang itu. Seluruh masa kerja Tuhan Yesus yang sekitar tiga tahun itu dijadikan waktu untuk membina, melatih, dan membekali dua belas orang itu.

Keempat, prinsip delegasi. Yesus tidak memegang wewenang seorang diri. Ia memberi kesempatan kepada kedua belas orang itu untuk ambil bagian. Ia mengutus mereka untuk pergi dalam tim kecil yang terdiri atas dua orang. Perhatikan bahwa la mendelegasikan wewenang, "la memberi mereka kuasa ..." (Mrk. 6:6b). Sebelum itu, Yesus mempersiapkan mereka untuk mengantisipasi kesulitan dan hambatan (lih. Mrk. 6:6b-13). Agaknya, para murid itu berpencar selama beberapa minggu.

Mendelegasikan tugas dan wewenang bukan berarti berpangku tangan. Selama para murid pergi, Yesus bekerja penuh seperti biasa. Matius mencatat: "Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah la dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil..." (11:1). Mendelegasikan juga bukan berarti cuci tangan. Setelah kedua belas orang itu kembali, Yesus menyimak apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan (Mrk. 6:30). Setelah itu, Yesus mengajak mereka menyepi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat (ay. 31).

Kelima, prinsip supervisi. Yesus mencermati hidup dan kerja kedua belas orang itu. Ia mencari tahu, "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?" (lih. Mrk. 9:33-37). la memuji seorang murid yang menjawab dengan jitu, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu..." (Mat. 16:17-19). Namun, orang yang sama itu juga ditegur karena sikapnya keliru, Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku..." (lihat Mat. 16:21-28). Selanjutnya dalam rangka supervisi Yesus juga mendampingi, menggembalakan, dan menguatkan (lih. Yoh. 19:19-29 dan 21:15-19). Yesus pun mendoakan mereka seperti dicatat di Yohanes 17.

Keenam, prinsip suksesi dan regenerasi. Berkali-kali Yesus memberitahukan bahwa la akan ditangkap, disiksa, mati, bangkit kembali, dan naik ke surga. Dengan itu Yesus menyiapkan para murid untuk jadi penerus pekerjaan Yesus. Ketika tiba saat serah-terima, maka Yesus menyerahkan tugas-tugas dan menjanjikan penyertaan atau dukungan-Nya (lih. Mat. 28:18-20).

Bagaimanakah penilaian akhir manajemen personalia Yesus ini? Pada suatu pihak bisa dikatakan sangat berhasil. Dua belas orang dari latar belakang watak, pendidikan, pekerjaan, dan pandangan politik yang berbeda (ada yang bekerja untuk pemerintah Romawi, ada yang justru menjadi anggota kelompok ekstrem anti pemerintah Romawi) bisa bertumbuh menjadi satu tim kerja. Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun mereka yang semula orang biasa (beberapa orang semula nelayan) berkembang menjadi pemimpin yang tangguh. Memang mereka tidak luput dari rasa bimbang dan takut, namun mereka ternyata mampu menjadi perintis lahirnya Gereja Abad Pertama. Mereka mampu mengatasi hambatan dari pihak pemerintah Romawi dan pihak masyarakat agama Yahudi. Proses pembinaan oleh Yesus selama tiga tahun itu ternyata menghasilkan insan-insan yang karyanya masih tampak sampai sekarang, yaitu gereja.

Namun, pada lain pihak, manajemen personalia Yesus mencatat angka drop out yang cukup berarti. Satu dari dua belas orang, atau 8,3% ternyata gagal. Akan tetapi, di manakah ada pendidikan atau pembinaan yang sama sekali luput dari drop out? Walaupun seleksi dilakukan sangat teliti dan pendidikan sangat efektif, drop out tetap bisa terjadi. Keberhasilan proses didik-mendidik bukan hanya tergan tungpada pendidik, melainkan juga pada naradidik. Itulah "faktor Yudas".

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan Yesus sudah memperhitungkan hal itu? Apakah Yesus sudah tahu sejak awal bahwa ada seseorang yang akan drop out? Mengapa orang itu dipilih? Apakah Yesus sengaja memilih Yudas sebagai bagian dari jalan penderitaan-Nya? Apa ini merupakan strategi manajemen Yesus? Semoga tidak ada "pendeta manajer" atau "manajer pendeta yang merasa punya jawab atas pertanyaan itu. Sebab, kalau dia mempunyai jawab, dia lebih ulung daripada Tuhan Yesus.