KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mrk. 10:45)

Menjadi pelayan adalah citra kepemimpinan tandingan yang Yesus ajarkan untuk menghadapi dan menjawab tantangan budaya umum yang ditandai dengan hierarki meruncing ke atas. Model alternatif ini menjungkirbalikkan piramida kepemimpinan hingga meruncing ke bawah. Yang pertama menjadi terakhir; pemimpin menjadi pelayan. Mengapa model alternatif ini sungguh menawan? Tidak lain karena Yesus tidak sekadar menyarankan, namun Ia meneladankannya, melalui kehidupan-Nya sendiri.

Itulah sebabnya, segera setelah ia mengusulkan model kepemimpinan-hamba sebagai alternatif atas model kepemimpinan tangan-besi (Mrk. 10:42-44), la berkata bahwa Anak Manusia-yaitu diri-Nya sendiri-menunjukkan hidup seorang pelayan itu melalui kehidupan-Nya sendiri (ay. 45). Paulus, dengan kekaguman yang sangat besar atas keteladanan Yesus Kristus ini, mengutip sebuah madah tentang kehidupan Yesus yang berani dan rela mengosongkan diri (Flp. 2:5-11).

Bagian pertama madah (ay. 5-8) menggambarkan Sang Allah yang mengosongkan diri-Nya (kenosis) dan menjadi seperti manusia. Tak berhenti di situ. Dia menjadi hamba yang menderita dan mati. Bahkan mati di atas kayu salib. Sebuah insan menuruni anak tangga kehinaan, hingga nadir. Itulah sebabnya bagian kedua madah ini (ay. 9-11) menuturkan tentang Sang Bapa yang meninggikan Dia di atas segala-galanya.

Acap kali, orang-orang Kristen, mungkin juga kita, lebih menyukai bagian kedua madah tadi. Yesus yang dimuliakan lebih ketimbang Yesus yang merendahkan diri. Ini terlihat jelas dalam khotbah-khotbah serta nyanyian-nyanyian rohani kita. Dan sungguh mengkhawatirkan jika kita beranggapan bahwa salib adalah bagian Yesus: kita hanya menikmati kemuliaan sebagai hasil dari salib itu. Jika memang demikian, sesungguhnya kita sedang mengejar sebuah kemuliaan murahan. Padahal, menurut Martin Luther. "cruz sola est nostra theologia"-salib merupakan satu-satunya teologi kita.

Salib Kristus merupakan identitas sesungguhnya dari komunitas Kristen. Itu sebabnya, Paulus memunculkan madah Kristus itu setelah menasihati warga jemaat di Filipi untuk membangun komunitas iman di atas dasar "pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (ay. 50)-pikiran dan perasaan yang sudi mengosongkan diri serta melayani sesama. Pikiran dan perasaan yang tersalib!

Yang seharusnya paling kita khawatirkan dalam kehidupan gereja ialah kesediaannya dan semangat besarnya dalam mengadopsi kepemimpinan-hamba, namun memanipulasinya sedemikian rupa hingga yang muncul dalam praktik masih saja sebuah hierarki meruncing ke atas.

Para pemimpin Kristen terlalu mudah untuk menuturkan kata-kata seperti "melayani" atau "pelayanan", namun dalam kenyataannya justru mempraktikkan dan melestarikan pola hierarkis yang berporos pada semangat "kekuasaan atas" [power over) sesama. Persis seperti para murid yang tak henti-hentinya berebut tempat pertama dan utama (Mrk. 10:35-41). Sungguh mengenaskan!