MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

“Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” (1Kor. 15:10)

Menjadi pribadi yang autentik adalah panggilan semua pegiat sosial. Autentik berarti asli, sejati, tak berpura-pura, dan apa adanya. Tanpa kesejatian semacam itu, seribu satu masalah pelayanan-persahabatan akan bermunculan. Kita semua tahu, setiap karya Kristiani berpusat pada relasi antarpribadi. Oleh karena itu, Anda bisa bayangkan, betapa runyamnya ketika seorang pegiat sosial yang memiliki persoalan dengan kesejatian pribadinya harus berelasi dengan orang lain.

Apalagi jika orang itu pun memiliki masalah dengan penerimaan dirinya. Wah, yang bakal terjadi tentulah relasi-relasi yang palsu. Bisa jadi, yang muncul adalah relasi antartopeng, bukan relasi antarpribadi yang autentik dan membebaskan. "Hanya dengan menerima diri apa yang bisa dibayangkan, betapa kita dapat menerima orang lain apa adanya."

Dalam dunia psikologi, lawan dari "diri yang autentik" (authentic-self) adalah "diri yang fiktif" (fictional-self). Kita bisa berkata, "Jika yang pertama adalah siapa aku sebagai ciptaan Allah yang hidup dan berkembang sampai detik ini, maka yang kedua adalah siapa aku sebagaimana diimpikan oleh orang tersebut." Diri yang fiktif mungkin saja baik, indah, dan ideal.

Namun, tetap saja ia tidak nyata. Tidak autentik. Kita memang tidak pernah diundang untuk menjadi seorang pribadi yang serba-sempurna. Itu memang impian kita. Namun sementara kita bergumul di tengah dunia ini, itu jelas tak mungkin. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi diri kita apa adanya. Hanya dengan menerima diri apa adanyalah kita dapat menerima orang lain apa adanya. Oleh karena itu, berdamai dengan diri kita sendiri merupakan pintu gerbang menuju pelayanan-persahabatan yang sejati pula.

Rasul Paulus yang pernah menjadi seorang penyiksa jemaat Kristus itu (bdk. ay. 9) menyadari benar pentingnya penerimaan diri seutuhnya, apa adanya. Setelah bertobat, ia sadar bahwa masa lalunya yang kelam tidak pernah bisa diubahnya. Itu semua menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang. Namun, Paulus juga percaya kasih karunia Allah ternyata lebih berkuasa dari pada kekuatan masa lalunya. la terbebas ketika kasih karunia Allah itulah yang mengubahnya dan ia pun bisa hidup sebagaimana ia ada sekarang. Kasih karunia Allah, yang menerima Paulus sebagaimana adanya ia mendorong Paulus untuk juga dapat menjadikan karyanya sebagai sebuah pelayanan-persahabatan yang membebaskan, berbuah dan bermakna. Jika Paulus dapat mengalami itu, kita pun tentu dapat.

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dan pada dirinya sendiri dan janganlah tiap tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4).

Akhir pekan lalu saya berkesempatan menyaksikan konserpaduan suara di Goethe Institut, Jakarta, Saya cukup antusias menikmati alunan vokal Paduan Suara BMS-yang menurut pengamat musik termasuk dalam daftar paduan suara berkualitas di Indonesia.

Bunyi gong menjadi tanda dimulainya konser malam itu. Didahului sambutan seorang master of ceremony, para anggota paduan suara pun memasuki panggung. "Pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim!"

Satu per satu, lagu-lagu klasik dari Renaisance dan Zaman keseluruhan tim!" Barok dinyanyikan dengan merdu oleh paduan suara tersebut. Malam hari itu, penampilan mereka luar biasa! Uniknya, sampai lagu terakhir yang mereka bawakan, saya tetap tidak dapat membedakan antara wars penyanyi A, penyanyi B, penyanyi C. Tentu saja, saya masih dapat membedakan suara kelompok sopran atau alto dan suara kelompok tenor atau bas namun sulit untuk membedakan antara suara penyanyi sopran yang berdiri disisi paling kanan dengan penyanyi sopran berdiri di sisi paling kini. Suara mereka sungguh blend voices.

Apa yang menjadi kunci keberhasilan mereka? Mereka saling mendengarkan. Mereka tidak sekedar bernyanyi, tetapi juga mendengarkan untuk menjaga keseimbangan suara mereka dengan rekan yang ada di sisi sebelah kanan, sisi sebelah kiri, bahkan keseimbangan antara kelompok suara yang satu dengan kelompok suara yang lain. Ada pengendalian diri serta pemahaman bahwa pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim! Saya harus melakukan semua upaya yang saya bisa, namun tetap menjaga keseimbangan dan keutuhan tim.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus mengajarkan bahwa orang beriman hendaknya mengutamakan orang lain, sehati, sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Paulus ingin agar orang percaya di Filipi berbeda dari orang yang tidak percaya, hanya mementingkan diri sendiri. Di dalam Kristus, egoisme, individualisme tidak mendapat tempat. Sebaliknya di dalam Kristus orang akan rela untuk saling mendengarkan, menasihati, menghiburkan, bersekutu dalam Roh, mengobarkan kasih mesra dan belas kasihan.

Mari, nyatakan kembali hidup Kristus melalui hidup kita yang mendengarkan orang lain, sehingga dengan suara yang padu kita dapat menyanyikan tembang keadilan dan kebenaran dengan merdu!

KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI

KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI


Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2Kor. 12:9)

Setelah berpuasa selama empat puluh hari lamanya, Yesus menghadapi tiga pencobaan yang tampak sederhana, namun sesungguhnya menyangkut persoalan hidup paling mendasar bagi semua manusia.

Pencobaan pertama yang dialami Yesus di padang gurun berkisar soal daya dan kemampuan insani. "Jika Engkau Anak Allah," kata si Jahat, "perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti" (Luk. 4:3, Mat 4:3). Yesus ditantang untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Allah dengan cara melakukan suatu tindakan ajaib. Artinya apa yang Yesus dapat lakukan dianggap membuktikan siapa Yesus. "Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita."

Kita memang sudah dilatih oleh dunia ini untuk memercayai bahwa manusia yang hebat adalah mereka yang memiliki kekuatan lebih besar dan kelemahan orang lain dipandang sebagai nista entah itu kelemahan fisik, ekonomi, inteligensia dan sebagainya. Itu sebabnya, orang-orang berlomba untuk menjadi yang terkuat. Jika perlu dengan menyembunyikan kelemahannya serapi mungkin, kekuatan dan tindakan lantas menjadi penentu utama identitas seseorang. “I am what I do” adalah apa yang aku lakukan.

Maka, kita dengan bangga memajang seluruh hasil prestasi mulai dari piala, piagam hingga foto kenangan yang semoga memberi informasi bagi mereka yang melihatnya. Betapa kuatnya kita, betapa sudah banyaknya tindakan dan prestasi kita. Selain itu, dekat dengan orang kuat juga dipandang sebagai nilai plus yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Mengapa pencobaan ini sangat serius? Tidak lain karena ia dengan mudah mengedepankan diri kita melampaui sesama kita, bahkan melampaui Allah sendiri. Itu sebabnya, dalam tradisi Kristen para pendahulu iman kita berulang kali, secara serius dan sengaja memperingatkan umat untuk tidak terjebak ke dalam dosa utama manusia yaitu kesombongan (pride, hubris). Kesombongan adalah sebuah proklamasi publik bahwa "akulah" yang utama dan terpenting. Bukan orang lain. Bukan juga Allah. Ia menjadi ilah bagi dirinya sendiri, bahkan bagi orang lain juga.

Setiap pegiat sosial harus mewaspadai pencobaan. Kesibukan dalam menjalankan kegiatan Kristiani bisa dengan mudah menyelewengkan arah utama karya kita: Allah itu sendiri dan menggantinya dengan arah utama yang baru: diri kita sendiri.

Paulus, hamba dan sahabat Kristus yang luar biasa itu, di masa tuanya mampu menghindari cobaan dan jebakan ini, ia mampu mengakui bahwa kelemahan tidak sama artinya dengan kekalahan. Kelemahan adalah sebentuk kemenangan utama, sebab hanya di dalam kelemahanlah kuasa Allah menjadi sempurna: di dalam kelemahan, "kuasa Kristus turun menaungi" dia.

Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita. Nikmatilah detik-detik saat kita merasa diri sangat lemah, menemukan diri sangat rapuh. Sebab di sanalah kuasa ilahi itu tampil di dalam kelemahan insani kita

EKSISTENSI DIRI DAN BERKARYA (BEING & DOING)

EKSISTENSI DIRI DAN BERKARYA (BEING & DOING)

Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. (1Kor.15:10).

Dalam perenungan sebelumnya, kita membaca bagaimana kasih karunia Allah yang diterima Paulus memampukan la untuk menerima diri apa adanya. Pribadi yang autentik memang merupakan prasyarat penting dalam seluruh karya Kristiani kita. Karena kasih karunia itulah kita memperoleh being yang baru. Namun, itu tidaklah cukup. Perlu dilanjutkan dengan karya dan tindakan nyata. "Being dan doing harus berjalan seimbang dan beriringan."

Itulah sebabnya Paulus melanjutkan, kasih karunia yang sama telah mendorongnya untuk "bekerja oleh karena kasih karunia ilahi bagi seorang pegiat sosial. Ia bukan hanya mengubah seseorang, melalui penerimaan diri apa adanya, namun ia juga mendorong orang itu untuk berkarya dengan giat. Memang, ada banyak alasan yang dapat memotivasi seseorang untuk berkarya dengan giat. Mulai dari alasan yang sangat mulia hingga yang sangat biasa. Bahkan juga alasan yang salah. Tentu saja kita perlu mencermati dan meneliti alasan kita berkarya. Namun agaknya kita akan sampai pada serangkaian alasan yang baik yang tidak hanya satu dan tunggal.

Kita memang tidak perlu memilih dan memilah semua alasan yang baik itu. Kita bisa saja berkarya karena rasa belas-kasihan pada sesama atau karena kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan alasan-alasan baik lainnya. Akan tetapi saya percaya, salah satu alasan yang paling penting untuk berkarya adalah karena kita telah diterima oleh Allah melalui kasih karunia-Nya.

Itulah yang membuat Paulus dapat berkata bahwa ia telah bekerja lebih keras dari orang lain, la sama sekali tidak sedang membandingkan karyanya dengan karya orang lain dan membanggakan dirinya. Sama sekali tidak. Apa yang hendak dikatakannya sebenarnya selaras dengan ucapan Yesus Kristus yang menegaskan bahwa orang yang telah banyak diampuni (karena dosa yang sangat besar) akan banyak mengasihi pula (bak Luk 7:47).

Itulah sebabnya, Paulus menegaskan bahwa kalau pun la bekerja sangat keras, itu bukan karena usaha dan kemampuannya namun karena "kasih karunia Allah yang menyertai" seluruh karyanya. Karena kasih karunia kita diterima sebagaimana adanya kota (being). Karena kasih karunia yang sama kita bekerja dengan keras (doing). Semua hanyalah kasih karunia! Tidak lebih dan tidak kurang.