DIFABEL ADALAH ANUGERAH

DIFABEL ADALAH ANUGERAH



“Barangsiapa datang kepada-Ku: ia tidak akan Kubuang” (Yoh. 6:37b)

Saya menyarankan Anda menyanyikan Kidung Jemaat 27 yang berjudul "Meski Tak Layak Diriku.” Kidung tersebut berbicara soal artinya menerima din apa adanya. Kidung indah ini digubah oleh Charlotte Elliott pada usia empat puluh tujuh tahun. Dalam usia yang seharusnya produktif itu, ia justru terbaring sakit karena kelumpuhan yang harus diterimanya seumur hidup.

Hari itu semua orang di rumahnya pergi untuk mengadakan bazar penggalangan dana bagi pembangunan sebuah sekolah. Charlotte ditinggal sendirian di rumah. Dalam kesepian dan kesedihan, ia menggumuli dan merenungi hidupnya yang tak mampu menyumbangkan apa-apa bagi pembangunan sekolah tersebut. "Allah menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu."

la kemudian mengambil alat tulis dan mulai menggubah puisi yang bertutur tentang kesediaan datang kepada Allah sebagaimana adanya kita. Cacat dan kelemahan fisik tak perlu menjadi penghalang untuk hidup bermakna dan berguna. Tanpa sepengetahuannya, puisi tersebut akhimya menyebar dan malah menghasilkan lebih banyak uang daripada kegiatan bazar yang diadakan sebelumnya.

Kisah hidup Charlotte Elliott menjadi saksi hidup dan spiritualitas yang sama yang ditulis Paulus dalam 1 Korintus 15. Kasih karunia Allah memampukan kita untuk menerima diri apa adanya untuk berkarya dalam keterbatasan kita. Yesus pun berkata bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang Nya: menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu.

Sabda Yesus ini sungguh bertolak belakang dengan masyarakat kita yang sudah terlanjur menganut sebuah mitos kenormalan (a myth of normalcy). Hanya orang-orang yang disebut "normal yang diterima dan dihargai.” Mereka yang lumpuh, cacat dan memiliki ketidakmampuan tertentu dilecehkan dicemooh dan dibuang. Mereka disebut sebagai orang-orang tak mampu (disabled). Untunglah sekarang kita memiliki istilah lain yang lebih mampu mengapresiasi dan mendorong mereka untuk juga mengapresiasi diri mereka sendiri. Istilah itu adalah diffable (differentability). Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) memuat lema "difabel" ini.

Semua orang ternyata memiliki kemampuan yang berbeda beda Orang cacat pun memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang yang tak cacat. Charlotte Elliott membuktikan hal ini, Anda pun dapat juga membuktikannya. Jika Anda memiliki cacat tertentu, terimalah diri Anda apa adanya dan berkaryalah semampu Anda Jika Anda tidak cacat, terimalah mereka yang cacat dan berilah mereka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka yang berbeda dan yang tak jarang lebih-dari yang Anda miliki.


 

MENERIMA PENERIMAAN

MENERIMA PENERIMAAN

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, la melihat ke atas dan berkata Zakheus segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu "Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita” (Luk 19.5-6).

Pada masa kini, salah satu tema paling populer dalam buku-buku psikologi modern adalah "penerimaan atau self-acceptance). Orang diajak untuk berdamai dengan dirinya sendiri menerima kelebihan dan kekurangannya, lantas melangkah maju dengan seluruh plus dan minus hidupnya itu. Syukur-syukur ia bisa mengembangkan kelebihannya dan menutupi kekurangannya.

Terlepas dari kebaikan yang telah disumbangkan banyak buku psikologi modern itu, salah satu kritik pendekatan ini adalah antroposentrisme, yaitu pemusatan pada manusia yang berlebihan. Manusia dianggap mampu memulai dan memutuskan perjalanan panjangnya dalam menerima diri sendiri. Di dalami iman Kristen, penenamaan-diri ternyata tidak bisa dilepaskan dari penerimaan Allah atas orang tersebut. Dan inilah wilayah yang tidak terjamah dalam perbincangan psikolog modern tersebut. "Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu."

Dalam bukunya The Courage to Be (1952) Paul Tillich menegaskan bahwa titik terpenting dalam proses penerimaan diri adalah menerima kenyataan bahwa ia memang diterima oleh Allah. Tanpa menerima penerimaan (accepting-acceptance) ini seseorang tak mungkin bisa menerima diri sendiri, apalagi menerima orang lain. Dalam bahasa Kristiani kita mengenal penerimaan ilahi ini sebagai pengampunan dosa. Dalam hal ini anugerah merupakan kata paling pas untuk menjelaskan penerimaan ilahi atas hidup manusia itu, terlepas dari menggelembungnya dosa.

Memperjuangkan proses penerimaan-diri tanpa menerima kenyataan bahwa ia sudah diterima oleh Allah hanya akan membawa seseorang ke dalam sebuah perjalanan palsu. Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu. Tidak ada doktrin, ritus atau hukum rohani mana pun yang menyediakan penerimaan ilahi ini. Mengapa? Sebab, penerimaan ilahi atas hidup manusia berdosa ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan pribadi-dengan-pribadi itulah sebabnya pengampunan dosa di dalam kekristenan, senantiasa menukik pada sebuah pribadi yang ilahi sekaligus insani Yesus Kristus.



Dialah Allah yang menerima manusia, sekaligus manusia yang menerima penerimaan Allah. Di dalam Kristuslah, Anda dan saya memperoleh jalan masuk untuk menerima penerimaan ilahi menerima diri sendiri dan akhirnya menerima orang lain.

Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam perjumpaan Yesus dan Zakheus. Si pemungut cukai kecil ini menerima Yesus dengan sukacita (ay. 6) setelah ia diterima oleh Yesus (ay 5), terlepas dari menggunungnya dosa dari kesalahan Zakheus. Peristiwa menerima penerimaan ini-uniknya-berlangsung ketika Yesus menawarkan diri untuk menjadi tamu di rumah Zakheus. Pada saat itulah, Yesus Sang Tamu yang diterima oleh Zakheus, berubah menjadi Yesus Tuan Rumah yang menerima Zakheus. Kini, dengarkanlah suara Yesus yang juga berkata kepada Anda, "... hari ini Aku harus menumpang dirumahmu." Dan terimalah penerimaan ilahi itu.

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

Aku tidak menyebut kamu lagi hamba.... tetapi Aku menyebut kamu sahabat... (Yoh. 15:15).

Apa lagi ini? Sebelumnya muncul istilah asing doularki, yang untungnya mudah dicernah. Yaitu: kepemimpinan-hamba. Sekarang: filiarki. Maafkan saya, jika kita harus memakai istilah ini. Alasannya sederhana saja: istilah itu dengan sangat baik dan tepat mewakili apa yang ditawarkan Yesus sebagai model kepemimpinan ideal. Loh, apakah kepemimpinan-hamba tidak ideal?

Terus terang tidak. Istilah itu muncul sebagai sebuah alternatif, tandingan, atas kepemimpinan hierarkis yang telanjur menguasai arena kepemimpinan Kristiani. Sebagai tandingan, tugasnya ialah melakukan dekonstruksi-perombakan-dan bukan konstruksi. "Kita harus memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita demikian. "Yang diimpikan Yesus. atau yang ingin dikonstruksi, bukanlah pelayanan atau penghambaan, melainkan persahabatan. Terhadap pribadi yang maunya mempertuankan diri.

Yesus menegaskan: jadilah hamba! Akan tetapi, bagi setiap orang yang telah menyatakan kesediaan melayani, Yesus bersabda, "Aku tidak lagi menyebutmu hamba, melainkan sahabat." Tentu, kita tetap boleh memandang diri sebagai hamba Kristus dan sepantasnya demikian. Namun, kita harus juga memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita sebagal sahabat- sahabat-Nya.

Jika kepemimpinan-hamba adalah doularki, maka kepemimpinan-sahabat kita sebut filarki (filia: sahabat + arche: kepemimpinan). Yang dipimpin dan yang memimpin sama-sama sahabat yang setara dan sederajat. Mereka saling mengasihi, menguatkan dan menerima, sebagaimana perlakuan seseorang terhadap sahabatnya. Bayangkan! Kita yang sepatutnya menghambakan diri kepada Sang Hamba yang telah memberikan segala-galanya kepada kita, kini disapa "Sahabat-Ku"

Oleh karena itu, tak ada jalan lain tersedia bagi kita selain mengelola hidup bersama, komunitas kita, bahkan masyarakat kita, mengelola dengan prinsip persahabatan yang telah diwartakan Kristus. Tak boleh lagi ada orang yang memandang diri lebih dari orang lain atau sebaliknya, memandang diri di bawah orang lain, hanya karena perbedaan ekonomi, pendidikan, pekerjaan atau lainnya. Di dalam gereja, baik pengamen maupun pengacara, penjual asongan atau penjual mobil mewah, sama-sama diundang untuk menjadi sahabat di dalam dan bersama Kristus.

Jadi, jika Anda mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin. apa pun itu, sadarlah: "Anda bukanlah bos penuh kuasa dengan sekelompok orang yang berada di bawah kendali Anda. Anda bukan sekadar pelayan dari orang banyak yang cukup bersikap santai menunggu karya Anda. Namun, Anda adalah sahabat dari semua orang."

Tugas utama kita adalah menanam, memupuk, serta merawat komunitas agar dapat menjadi sebuah komunitas para sahabat. Jika hal itu terjadi, di situ Kristus Sang Sahabat hadir. Dan itulah makna terdalam dari kepemimpinan-sahabat, filiarki.

KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mrk. 10:45)

Menjadi pelayan adalah citra kepemimpinan tandingan yang Yesus ajarkan untuk menghadapi dan menjawab tantangan budaya umum yang ditandai dengan hierarki meruncing ke atas. Model alternatif ini menjungkirbalikkan piramida kepemimpinan hingga meruncing ke bawah. Yang pertama menjadi terakhir; pemimpin menjadi pelayan. Mengapa model alternatif ini sungguh menawan? Tidak lain karena Yesus tidak sekadar menyarankan, namun Ia meneladankannya, melalui kehidupan-Nya sendiri.

Itulah sebabnya, segera setelah ia mengusulkan model kepemimpinan-hamba sebagai alternatif atas model kepemimpinan tangan-besi (Mrk. 10:42-44), la berkata bahwa Anak Manusia-yaitu diri-Nya sendiri-menunjukkan hidup seorang pelayan itu melalui kehidupan-Nya sendiri (ay. 45). Paulus, dengan kekaguman yang sangat besar atas keteladanan Yesus Kristus ini, mengutip sebuah madah tentang kehidupan Yesus yang berani dan rela mengosongkan diri (Flp. 2:5-11).

Bagian pertama madah (ay. 5-8) menggambarkan Sang Allah yang mengosongkan diri-Nya (kenosis) dan menjadi seperti manusia. Tak berhenti di situ. Dia menjadi hamba yang menderita dan mati. Bahkan mati di atas kayu salib. Sebuah insan menuruni anak tangga kehinaan, hingga nadir. Itulah sebabnya bagian kedua madah ini (ay. 9-11) menuturkan tentang Sang Bapa yang meninggikan Dia di atas segala-galanya.

Acap kali, orang-orang Kristen, mungkin juga kita, lebih menyukai bagian kedua madah tadi. Yesus yang dimuliakan lebih ketimbang Yesus yang merendahkan diri. Ini terlihat jelas dalam khotbah-khotbah serta nyanyian-nyanyian rohani kita. Dan sungguh mengkhawatirkan jika kita beranggapan bahwa salib adalah bagian Yesus: kita hanya menikmati kemuliaan sebagai hasil dari salib itu. Jika memang demikian, sesungguhnya kita sedang mengejar sebuah kemuliaan murahan. Padahal, menurut Martin Luther. "cruz sola est nostra theologia"-salib merupakan satu-satunya teologi kita.

Salib Kristus merupakan identitas sesungguhnya dari komunitas Kristen. Itu sebabnya, Paulus memunculkan madah Kristus itu setelah menasihati warga jemaat di Filipi untuk membangun komunitas iman di atas dasar "pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (ay. 50)-pikiran dan perasaan yang sudi mengosongkan diri serta melayani sesama. Pikiran dan perasaan yang tersalib!

Yang seharusnya paling kita khawatirkan dalam kehidupan gereja ialah kesediaannya dan semangat besarnya dalam mengadopsi kepemimpinan-hamba, namun memanipulasinya sedemikian rupa hingga yang muncul dalam praktik masih saja sebuah hierarki meruncing ke atas.

Para pemimpin Kristen terlalu mudah untuk menuturkan kata-kata seperti "melayani" atau "pelayanan", namun dalam kenyataannya justru mempraktikkan dan melestarikan pola hierarkis yang berporos pada semangat "kekuasaan atas" [power over) sesama. Persis seperti para murid yang tak henti-hentinya berebut tempat pertama dan utama (Mrk. 10:35-41). Sungguh mengenaskan!

PELAYANAN SEORANG TEMAN

PELAYANAN SEORANG TEMAN

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Mrk. 15:21)

Bacalah Markus 15:20 langsung diteruskan ke ayat 22. Apa kesan Anda? Saya sendiri menangkap kesan kuat bahwa alur kisah atau drama sengsara Yesus mengalir lancar. Artinya, tanpa ayat 21 pun, tak akan ada yang berubah. Namun, penulis Injil Markus secara sengaja menyisipkan sebuah interupsi terhadap alur tersebut, dengan memasukkan tiga nama yang tidak dominan dalam seluruh Injil: Simon orang Kirene dan kedua anaknya, Alexander dan Rufus. Sebuah interupsi yang pada akhirnya justru membawa perubahan radikal dalam kehidupan keluarga ini.

"Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela- sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita."

Sungguh sial nasib Simon dari Kirene. Dalam perjalanan ke luar kota (mungkin untuk berbisnis atau berwisata dengan kedua anaknya), ia tersedot ke dalam gelombang massa yang menyaksikan arak-arakan di via dolorosa-jalan sengsara. Yesus memikul salib-Nya dalam getir dan derita. Para penyiksa Yesus pun di Remang Pagi kemudian memaksa Simon untuk mengangkat salib Yesus menuju ke Golgota.

Pernahkah Anda berada di dalam sebuah situasi keterpaksaan. Terpaksa mengantar teman yang rumahnya berjarak belasan kilometer: terpaksa menunggui teman yang dirawat di rumah sakit, terpaksa melakukan sebuah karya yang jika tidak dilakukan nasib banyak orang akan terlantar. Padahal, kita sendiri memiliki seribu satu agenda penting yang akhirnya tak terpenuhi.

Simon dari Kirene sungguh dipaksa memikul salib Yesus. Jelas, la terpaksa memikul salib Yesus itu. Memang, kita tak mendapat informasi cukup, apakah keterpaksaan Simon akhirnya berubah menjadi kerelaan yang dilakoninya dengan penuh sukacita. Sangat mungkin tidak. Namun, sesuatu yang baik ternyata sungguh terjadi dari balik keterpaksaan itu. Bukan saja Yesus yang sudah tak kuat lagi memikul salib akhirnya tertolong, namun Dia juga memperoleh seseorang yang berada di samping-Nya; seseorang yang menemani-Nya.

Tak heran, di sepanjang via dolorosa itu, Yesus tak pernah sekali pun mengeluh. Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela-sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita. Barulah setelah Simon dari Kirene itu selesai memikul salib dan tiba di Bukit Golgota, dan ia raib dari kisah sengsara itu, Yesus merasakan kesendirian yang amat sangat; kesendirian yang membuat ia berteriak, "Eli, Eli, lama sabakhtani?...Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mrk. 15:34).

Di dalam teriakan itulah, kita menyaksikan Yesus yang bukan hanya tidak merasakan kehadiran Allah di dalam penderitaannya, namun juga merasakan ketidakhadiran seorang teman-seperti Simon dari Kirene.


 

YOHANES PEMBAPTIS, SAHABAT KRISTUS

YOHANES PEMBAPTIS, SAHABAT KRISTUS

Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis…. (Mat. 11:11)

Tahukah Anda, siapakah manusia terbesar dalam pandangan Yesus? Bukan Abrahaka, bukan Baudi, bukan pula Petrus, tetapi Yohanes Pembaptis. Yesus sendiri mengatakannya. Mengejutkan, bukan? Nah, tahukah Anda, salah satu rahasia keagungan Yohanes Pembaptis bukan terletak pada kemampuannya melakukan mukjizat atau keteguhan imannya. Bukan. Rahasianya sederhana: dalam kesediaannya untuk menjadi sahabat sejati bagi Yesus.

"Seorang sahabat tidak pernah menempatkan diri lebih dari orang yang dikasihinya."

Suatu kali terjadi gelombang protes di kalangan murid Yohanes Pembaptis. Mereka mengeluh atas banyaknya pengikut Yohanes Pembaptis mengikuti Yesus. Terhadap keprihatinan yang sungguh masuk akal itu, Yohanes Pembaptis memberikan jawaban yang menakjubkan. Ia berkata bahwa dirinya hanyalah sahabat dari mempelai laki-laki, bukan mempelai laki-laki itu sendiri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ia bersukacita jika mempelai laki-laki itu menjadi pusat perhatian bukan dirinya.

Sebagai seorang sahabat yang baik, akhirnya Yohanes Pembaptis menegaskan sikapnya, "la harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yoh, 3:30). Saya pernah memperoleh pengalaman menjadi sahabat mempelai laki-laki (bestman). Saya harus datang sangat pagi, sebelum semuanya siap, dan pulang larut malam, setelah yang lain pulang. Di antaranya? Tidak terjadi apa pun pada saya. Tak seorang pun mempedulikan saya. Kalau pun ada yang berbicara pada saya, tentu isinya adalah permintaan atau tepatnya, perintah untuk melakukan ini dan itu. Tetapi, hari itu, keletihan saya tak sebanding dengan rasa senang saya karena dapat memberi sebuah sumbangan unik bagi sahabat saya. Yaitu: persahabatan itu sendiri.

Kerendahhatian Yohanes Pembaptis, dibalut dengan persahabatannya dengan Yesus, menjadi kunci keagungannya. Seorang sahabat tidak pernah menempatkan diri lebih dari orang yang dikasihinya. Apalagi memanfaatkan dan memanipulasi sahabatnya itu. la selalu menghendaki yang terbaik bagi sang sahabat, sekalipun itu berarti ia harus merugi.

Jika Anda berani mengaku diri sebagai sahabat Kristus, berlakulah benar-benar sebagai seorang sahabat-Nya. Yohanes Pembaptis sudah membuktikannya. Kini, giliran kitalah yang mengupayakannya.

SEORANG KRISTEN YANG EKSTREMIS

SEORANG KRISTEN YANG EKSTREMIS



Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku kaum sebangsaku secara jasmani (Rm 9:3)

Surat yang ditulis dari dalam penjara Birmingham pada tanggal 16 itu sungguh menyedihkan hati Martin Luther King. Jr. Bayangkan Perjuangan King untuk menghapuskan diskriminasi rasial di Amerika Serikat sudah membuatnya meringkuk di penjara. Sekarang, ia malah mendengar bahwa para pemimpin gereja menyalahkannya. Mereka yang seharusnya menopang, menghibur dan mendukungnya malah kini menuduhnya ekstremis. "Jadi pertanyaannya bukanlah apakah kita akan menjadi ekstremis, tetapi esktremis macam apakah kita?"

Dengan cerdas King menulis:

"Jadi. pertanyaannya bukanlah apakah kita menjadi ekstremis, tetapi ekstremis macam apakah kita? Akankah kita menjadi ekstremis-ekstremis demi kebencian ataukah kita menjadi ekstremis-ekstremis demi cinta? Akankah kita menjadi ekstremis-ekstremis yang melestarikan ketidakadilanatau akankah kita menjadi ekstremis-ekstremis demi keadilan?"

Kata "ekstremis" telanjur memiliki kesan negatif dalam percakapan kita sesehari. la sering dipakai untuk menamai mereka yang menganggap diri paling benar dan memakai agama untuk membenarkan kekerasan. Padahal kata ekstrem (Latin:extremus) sesungguhnya berarti "berada di luar". Seorang ekstremis akan berada jauh di luar titik tengah. la berada di tepian, pinggiran atau perbatasan. Bahkan melewatinya. Masalahnya, yang di tengah itu apa? Jika yang di tengah itu adalah kehidupan penuh damai dan keadilan, maka menjadi ekstremis menjadi sungguh keliru. Tetapi, jika yang di tengah itu kebobrokan dan kezaliman, maka menjadi ekstremis merupakan tindakan terpuji. Dan itulah yang dipahami dan dihayati Martin Luther King, Jr. Baginya, dengan berada di tepian ekstrem itulah cinta dan keadilan diperjuangkan.

Paulus pernah menulis sesuatu yang membuatnya menjadi ekstremis demi cinta. la sudi "terkutuk dan terpisah dari Kristus" demi saudara-saudaranya yang selama ini menolak Kristus. Ekspresi cinta ini sungguh mengejutkan dan mendebarkan. Berkorban boleh-boleh saja, bahkan jika perlu mati. Bukankah para martir mengorbankan hidup mereka demi Kristus, dengan keyakinan bahwa kematian akan mempersatukan mereka dengan Kristus?

Namun, "terkutuk dan terpisah dari Kristus"? Aduh, sungguh berat! Menakutkan sekali. Kehilangan keselamatan demi keselamatan orang lain. Dan rupanya Paulus tak sendirian. Berabad-abad sebelumnya, Musa pun pernah mengatakan hal yang kurang-lebih sama, "Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu-dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis." (Kel. 32:32).

Paulus dan Musa sesungguhnya mempertontonkan sebentuk cinta yang berani berjalan jauh hingga ke tepian terjauh. Sebuah ekstremisme demi cinta. Mereka sudah mengungkapkannya, namun memang sekadar mengandaikannya. Dan hanya satu sahabat yang bukan saja mengungkapkannya, namun juga mengalaminya-Yesus orang Nazaret. Paulus berujar: "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita ... " (Gal. 3:13).

BERLARI KE ARAH YANG SALAH

BERLARI KE ARAH YANG SALAH

 

    Mungkin bagi kita berlari dalam menghadapi persoalan berarti buruk. Faktanya, lari digunakan di Alkitab lebih dari satu kali sebagai metafora untuk masa hidup kita di bumi ini. Allah menuntun kita di jalan yang benar dan "bila berlari engkau tidak akan tersandung" (Ams. 4:12).

    Jadi, berdasarkan pertimbangan ini, mungkin persoalannya bukan pada karena kita terus berlari dengan cepat, tetapi kita justru berlari bukan ke arah yang tepat. Kita belajar berlari menuju garis finish yang sebenarnya adalah jurang terjal ratusan meter dalamnya. Kita berlomba menaiki tangga di dalam suatu gedung, tetapi ternyata kita salah gedung. Jangan salah mengartikan intensitas dan kebulatan tekad untuk meraih sukses. Pada tahun 1929, saat pertandingan football tahunan di Rose Bowl, Roy Riegel menjadi terkenal ketika ia mendapatkan bola, berjuang melawan pemain lawan, lalu berlari sejauh 60 meter. Untunglah, seorang teman satu tim menghentikannya sebelum ia melintasi garis gawang yang salah.

    Jadi, pertanyaan untuk hari ini ialah, "Jalan mana yang kita pilih?" Pertanyaan yang lebih penting lagi, "Jika kita menuju jalan yang salah, apakah ada seseorang atau sesuatu yang akan menghentikan kita sebelum kita benar-benar tersesat?" Saya harap ada. Sebagai pria, Anda didorong agar melakukan eksplorasi dan mengambil risiko. Namun, jika kita tidak memiliki kompas (atau seorang teman yang memiliki kompas), kita akan tersesat.

    Sekilas, tantangannya adalah "perlombaan yang tekun". Namun, untuk banyak pria, persoalannya bukanlah itu. Kita memang sangat berhasrat mendedikasikan hidup pada sesuatu yang berharga dan melaksanakannya dengan penuh tekad dan kekuatan yang besar. Inilah yang menjadi batu sandungan kita yang kedua. Oleh sebab kita terlalu banyak menyibukkan diri dengan berlari sehingga acap kali tidak melihat rambu-rambu jalan yang ditempatkan Allah di setiap persimpangan. Jadi, kawan, hapus air dari mata Anda dan fokuskan pandangan Anda pada "pertandingan yang telah diwajibkan bagi Anda".

    BAPA SURGAWI, kami sangat ingin mengetahui rencana-Mu untuk hidup kami. Kami ingin melayani-Mu dan menikmati semua berkat-Mu. Namun, kami mengakui bahwa ketika kami tersesat hal pertama yang kami lakukan adalah menemukan jalan kami sendiri. Karena itu, ya Allah, bantulah kami menemukan jalan-Mu. Bantulah kami agar kami dapat dengan tekun melalui jalan yang Engkau inginkan agar kami lalui. Amin. Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; Orang yang tergesa-gesa akan salah langkah. (Ams. 19:2)

AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

 


Susan Hayward adalah bintang film top pada tahun 60-an. Pernah ia berperan sebagai wanita yang kena kanker otak dan bergumul dengan maut sambil merintih, "Aku ingin hidup!? Pernah pula ia berperan sebagai seorang napi yang kena vonis hukuman mati, lalu meronta dan berteriak-teriak, "Aku ingin hidup!"

Mengharukan bahwa ternyata akhirnya ia sendiri kena penyakit kanker otak dan di akhir hidupnya ia pun berteriak, "Aku ingin hidup!"

Buku biografinya mengabadikan teriakan itu sebagai judul, yaitu: I want to live!

Bukan hanya Susan Hayward, melainkan kita semua pun ingin hidup. Buktinya kita segera meloncat ke pinggir kalau melihat sebuah bis akan menyeruduk.

Sebenarnya bukan hanya ingin hidup, tetapi kita pun ingin mempertahankan hidup. Korban-korban kapal yang tenggelam selama empat hari empat malam berpegang kepada papan melawan gelombang laut. Untuk apa? Untuk mempertahankan hidup. Orang masuk rumah sakit, dibedah, disinar, diinfus, dan sebagainya. Untuk apa? Untuk memperpanjang hidup.

Kita ingin hidup. Tiap hari Minggu kita pun mengucapkan pengakuan iman: "... dan hidup yang kekal". Apa artinya? Banyak orang mengira bahwa hidup yang kekal adalah hidup sesudah meninggal dunia yang sifatnya baka.

Tetapi menurut Tuhan Yesus, "Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus" (Yoh. 17:3).

Apa artinya "mengenal Engkau" dan "mengenal Yesus Kristus"?

Dalam Alkitab kata "mengenal" bukan digunakan dalam arti mengetahui, seperti kita mengenal Pak RT. Di Alkitab "mengenal" berarti mempunyai hubungan yang khusus dan akrab. Jadi, hidup kekal adalah hidup dalam persekutuan yang benar dengan Tuhan. Sebagai konsekwensi logisnya, itu pun harus berarti hidup dalam persekutuan yang benar dengan orang lain. Karena itu, hidup kekal bukan pertama-tama menekankan pan jangnya waktu, melainkan mutu dan isinya hidup. Hidup yang kekal berarti hidup yang sejati atau hidup yang bermutu. Dari keempat ki tab Injil, yang paling menekankan hal itu adalah Injil Yohanes. Lamar Williamson dalam buku Preaching the Gospel of John menulis, "The life John is interested in is not primarily biological, nor is eternal life only chronological. For John life (zoe) is relational and qualitative. It signifies an intimate knowledge of God, available only through knowing Jesus Christ, God's only son, and it issues in abundant living."

Bilamana hidup yang sejati itu bisa terlaksana? Bukan nanti kalau sudah mati. Melainkan mulai dari sekarang ini, selagi kita berada di dunia ini. Di dalam Yohanes 14:7, Yesus berkata, "Sekarang ini ka mu mengenal Dia."

Mengapa sejak sekarang ini hidup yang bermutu itu sudah dapat dimulai? Karena hidup yang seperti itu terdapat dalam Yesus Kristus. Kristuslah yang memberi hidup itu. la berkata, "Akulah ... hidup." Oleh peristiwa Paskah, pemberian-Nya itu menjadi berlaku.


Dengan demikian, hidup kita mempunyai tujuan yang shidup berharga: Hidup untuk Tuhan dan hidup untuk orang lain, sebagai mana juga Tuhan hidup untuk kita dan orang lain hidup untuk kita. itulah tujuan hidup: Untuk saling hidup!

 Kalau itu tujuan hidup, bukankah kita jadi bersemangat, dan hidup ini menjadi patut dihidupi atau worth living? Bukankah kita pun jadi ingin berteriak, "Aku ingin hidup!"

Bahkan, kalau hidup begitu berharga - walaupun banyak luka dan bisanya bukankah kita juga ingin hidup penuh semangat juang seperti Chairil Anwar: Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari hingga hilang pedih perih. Dan aku akan lebih tidak peduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi!!