YESUS, SI TUKANG KAYU!

YESUS, SI TUKANG KAYU!

 


Tukang apa? Tukang kayu, demikian jawab kita. Memang itulah yang ditulis di Markus 6:1-6. Tetapi, sayang jawaban itu kurang tepat. Pengarang Injil Markus sebenarnya menggunakan istilah tekton (dari kata ini kemudian muncul kata arsitek). Seorang tekton pada zaman Yesus di Israel adalah perajin atau tukang yang terampil membuat rupa-rupa barang dari bahan kayu, logam, atau batu.

Memang boleh saja kita menyebut Yesus tukang kayu, namun hendaknya diingat bahwa pekerjaan Yesus bukanlah seperti tukang kayu yang kita ketahui sekarang. Pekerjaan dan peralatan tukang kayu pada zaman itu sangat berbeda dari apa yang ada sekarang. Lagi pula sebagai seorang tekton, Yesus bukan hanya membuat barang dari kayu, melainkan juga dari besi dan mungkin juga dari batu. Beberapa sejarawan umum yang hidup tidak lama sesudah zaman Yesus mencatat hal itu. Yustinus menulis, "Pekerjaan yang la lakukan... adalah membuat bajak dan kuk." Hilarius mencatat,"__ yang dibuat-Nya adalah rupa-rupa perkakas dari besi." Jadi, agaknya dari masa remaja sampai usia sekitar 30 tahun Yesus membuat dan memperbaiki barang-barang seperti pintu, jendela, kursi, meja, dipan, gerobak, bajak, cangkul, dan sebagainya.

Apa hubungan hal itu dengan iman kita sekarang? Baiklah kita periksa dulu catatan Alkitab. Yang memuat cerita ini hanya Markus dan Matius. Lagi pula yang dimuat kedua penginjil itu sebenarnya bukan pernyataan mereka sendiri, melainkan pernyataan yang diucapkan oleh penduduk kota Nazaret. Kedua catatan itu juga berbeda. Markus, penduduk Nazaret berkata, "Bukankah la ini tukang kayu....?" (Mrk. 6:3). Sedangkan menurut Matius, mereka berkata, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" (Mat. 13:55).

Persamaan antara kedua ucapan itu adalah bahwa kedua-duanya bernada merendahkan. Penduduk Nazaret merasa kurang pantas bahwa seorang tukang kayu (atau anak seorang tukang kayu) mengajar di sinagoge.

Perhatikan bahwa orang-orang itu sebetulnya terkesan akan ajaran Yesus. Dalam Markus 6:2 tertulis, "... jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia." Mereka juga mengakui bahwa ajaran Yesus benar dan bijak sehingga mereka bertanya, "Hikmat apa pulakah ...?" (ay.2). Akan tetapi, mereka kurang bisa menerima bahwa ajaran itu disampaikan oleh seorang tukang kayu dari kota mereka sendiri. Akibatnya menurut ayat 3 mereka "kecewa dan menolak Dia".

Mungkin bukan hanya para penduduk Nazaret itu saja yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun mungkin akan sulit menerima Yesus sebagai Mesias jika mereka mengetahui bahwa Yesus dulunya hanyalah seorang tukang kayu biasa.

Barangkali itu sebabnya Matius menambah kata "anak" untuk memperhalus ucapan penduduk Nazaret menjadi, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" Barangkali itu pula sebabnya Lukas dan Yohanes sama sekali tidak mencantumkan cerita ini. Di seluruh Kitab Injil hanya dari Markus inilah kita mendapat informasi bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Pengarang kitab-kitab Injil lain mungkin agak khawatir bahwa para pembaca akan menjadi ragu-ragu untuk menerima Yesus sebagai Mesias kalau dibeberkan kenyataan bahwa Yesus dulunya seorang tukang kayu. Mungkin itu pula sebabnya semua pengarang Injil tidak bercerita apa-apa tentang masa usia Yesus antara 12 sampai 30 tahun.

Memang pekerjaan seorang tukang kayu terlalu jauh dari jabatan Mesias. Karena itu, ada orang yang sulit menerima kenyataan bahwa Mesias dulunya adalah seorang tukang kayu. Untunglah, Markus mempunyai kejujuran untuk mengungkapkan fakta ini. Pada waktu Markus menyusun Injil ini, yaitu sekitar 35 tahun setelah kenaikan Tuhan Yesus, agaknya tradisi pemberitaan gereja sangat berwarna mesianis. Artinya, yang dikenang hanyalah keilahian Yesus, sedangkan keinsanian-Nya ditutupi. Lalu, di sini Markus tampil secara unik dengan pemberitaan yang tidak berwarna mesianis. Markus tidak malu mengenang Yesus sebagai manusia biasa yang bekerja sebagai seorang tekton.

Catatan Markus yang tampak sepele ini telah menjadi warisan iman kepada gereja sepanjang abad. Warisan yang kita imani itu memang agak misterius. Yesus adalah Mesias, tetapi mengapa la hidup dan bekerja sebagai seorang tukang kayu? Namun, misteri mesianis ini justru memperjelas iman kita kepada Allah yang kita kenal melalui Yesus. Allah adalah Allah yang dengan sadar dan sengaja memilih pekerjaan tukang kayu, ketika la datang ke dunia. Allah tidak merasa hina untuk hidup dan bekerja sebagai seorang tukang. Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita, yang kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dulunya adalah seorang tukang.

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 

Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

MEREKNYA BAGUS

MEREKNYA BAGUS

 


Memang, semua merek bagus. Lihat saja merek produk atau nama perusahaan dan badan apa pun. Ada Hotel Nirwana, tetapi tidak ada Hotel Neraka. Toko lampu bernama Terang Benderang, bukan Gelap-gulita. Koran bernama Sinar Harapan, bukan Putus Harapan. Kita makan di restoran Sudi Mampir, bukan Enyah Bedebah. Di gereja ada paduan suara Nafiri Malaikat, bukan Nafiri Iblis. Ada Taman Kanak-kanak Si Mungil, mana ada Si Jahil. Banyak nama perumahan membubuhkan kata Elok, Indah, Permai, bukan Jelek, Banjir, Kotor. Merek berfungsi untuk meyakinkan konsumen. Untuk merek mobil dipilih nama binatang yang kuat dan berlari cepat seperti Kijang atau Panther, bukan Bekicot atau Penyu. Kapal terbang memakai nama burung yang anggun seperti Garuda atau Merpati, bukan Kalong atau Kampret yang terbangnya cuma berputar-putar dekat pohon jambu. Pokoknya semua merek barang bagus. Buku yang sedang Anda baca adalah Seri Selamat terbitan BPK Gunung Mulia, bukan Seri Celaka terbitan BPK Gunung Nista.

Merek atau nama yang bagus sama sekali tidak salah. Silakan pikir dan ciptakan merek yang bagus. Bukankah konsumen menyukai merek yang bagus? Mana ada ibu-ibu yang sengaja mencari bedak Cap Kulit Badak atau shampo Cap Kutu Busuk? Merek bagus bukan soal. Yang menjadi soal adalah kalau dari luar bungkus dan mereknya bagus, tetapi apa yang ada di dalamnya jelek. Pemangkas rambut itu bermerek Pangkas Rapih, tetapi pangkasannya sembrono. Penjahit itu bermerek Halus, tetapi jahitannya kasar. Maskapai penerbangan itu bermoto nyaman dan aman, tetapi ternyata keberangkatannya selalu tertunda dan bagasinya sering hilang. Bis itu bermerek Suka Maju, tetapi selalu mogok atau mandeg, Botol saus tomat itu bergambar tomat, padahal bahannya bukan tomat, melainkan ubi dan labu yang diberi zat pewarna dan zat rasa. Itu bohong. Yang lebih bohong adalah iklan yang mengatakan bahwa es krim bisa mencerdaskan otak. Atau bahwa obat kebugaran bisa membuat nyonya tampak dua puluh tahun lebih muda. Ah, yang bener aja.

Akan tetapi, yang lebih jadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merek yang kita pasang. Kita memasang sebutan hamba Tuhan, tetapi dalam praktiknya kita hamba uang sebab yang kita utamakan adalah rezeki, berkat, sukses, persembahan dan perpuluhan. Kita pasang merek pelayan gereja, tetapi kita bersikap sebagai tuan besar. Kita disebut gembala sidang, tetapi jarang menggembalakan domba-domba kita yang jompo dan jelata sebab kita sibuk tampil di kebangunan rohani di hotel-hotel berbintang atau seminar di luar negri. Kita disebut pengusaha yang berjiwa sosial, tetapi sebetulnya kekayaan kita itu diperoleh secara tidak jujur. Kita bermerek pemimpin yang arif dan bijaksana, tetapi di belakang layar kita menyalahgunakan kekuasaan kita. Kita menyebut diri Kristen, tetapi gaya hidup kita jauh berbeda dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai, dan mau berkorban.


Mereknya bagus, tetapi isinya buruk. Itulah kecaman Tuhan Yesus terhadap para pemimpin agama di dalam Matius 23. Yesus mengecam, "... kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ay. 27, 28).

Jangan salah paham. Yesus tidak menentang ajaran para pemimpin agama. Yesus malah menganjurkan umat untuk menaati ajaran para pemimpin itu. Namun, Yesus menyuruh umat untuk tidak meniru perbuatan para pemimpin itu. Kepada umat Yesus menegaskan, "... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada mu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3).

Merek para pemimpin agama itu bagus, tetapi isinya berbeda. Perhatikan kecaman Yesus, "... persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan..." (ay. 23). "... cawan dan pinggang kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan... bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih" (ay. 25, 26).

Luarnya bersih, dalamnya kotor. Luarnya bagus, dalamnya jelek. Barangkali begitu juga hidup kita. Atau pekerjaan kita. Barangkali begitu juga rumah kita. Atau perusahaan, yayasan dan lembaga kita. Barangkali begitu juga gereja kita. Dari luar berkilau-kilau, dalamnya kacau-balau. Dari luar tampak berkembang, dalamnya banyak yang curang. Mereknya bagus. Memang semua merek juga bagus.

 

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

 


Orang itu mencangkul. Sebutir biji jagung dimasukkannya ke dalam tanah. Apa yang sedang diperbuatnya? la sedang menanam "sebutir pengharapan". Dalam benaknya ada pengharapan bahwa biji itu kelak bertumbuh dan menghasilkan jagung. la mencangkul dengan suatu motivasi besar: pengharapan. Akan tetapi, pengharapan bukan perkara sembarangan. Pertama, pengharapan harus mempunyai dasar. Dan sebuah dasar selalu berasal dari masa lampau: biji semacam itu ternyata bisa tumbuh dan menghasilkan jagung. Tanpa suatu dasar, pengharapan mudah berubah menjadi untung-untungan. Kedua, pengharapan harus disertai usaha nyata. Tanahnya digemburkan. Dipupuki. Diamankan dari gangguan binatang. Disiram. Dipelihara. Ketekunan. Kerja keras. Tanpa usaha nyata, pengharapan merosot menjadi lamunan.

Ketiga, pengharapan harus berpijak atas kewajaran. Kewajaran waktu: tak mungkin jagung itu sudah panen dalam satu bulan. Kewajaran hasil: tak mungkin satu tanaman jagung bisa memberi hasil sebanyak satu gerobak. Tanpa kewajaran, pengharapan cuma melahirkan kekecewaan. Kalau itu yang dituntut dari pengharapan akan sebutir jagung, apalagi pengharapan tentang manusia dan masa depan. Apakah pengharapan Kristen tentang manusia dan masa depan? Apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah datangnya Kerajaan Allah ke bumi ini. Apa yang dimaksud? Kerajaan Allah adalah keadaan di mana kedaulatan dan pemerintahan Allah ditaati oleh manusia. Jadi, yang kita harapkan adalah suatu keadaan baru di bumi di mana hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya menjadi hubungan damai yang sempurna (lih. Why. 21:1-4).

Apa yang menjadi dasar dari pengharapan itu? Dasarnya adalah kenyataan bahwa Kerajaan Allah sudah dimulai di dalam pekerjaan Yesus. la berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat. 12:28). Selama tiga tahun Yesus "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan datangnya tahun rahmat Allah" (Luk. 4:16-22).

Dengan pekerjaan Yesus itu, dimulailah suatu zaman baru di mana manusia melihat kehadiran Allah sebagai raja. Jadi pengharapan kita tentang Kerajaan Allah bukan timbul karena kita mencita-citakan sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, pengharapan kita berdasarkan apa yang sudah ada, yakni zaman baru hasil pekerjaan Yesus. Pengharapan Kristen adalah merindukan perwujudan dari zaman baru yang telah dimulai oleh Yesus. Zaman itu berlangsung hingga ke masa kini dan akan berlangsung ke masa depan, di mana pengharapan itu akan menjadi kenyataan yang sempurna.

Akan tetapi, adakah dasar bagi kita untuk mengharapkan bahwa di masa depan Kerajaan Allah akan diwujudkan secara sempurna? Ya, karena di masa lampau sudah diperlihatkan bahwa Allah memimpin sejarah seperti menarik suatu garis ke depan. Hal itu disaksikan dalam Kisah Keluaran Umat Israel. Di situ Allah bukan digambarkan sebagai Allah yang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, melainkan sebagai Allah yang berjalan bersama-sama dengan umat itu. Ia menuntun perjalanan umat itu dengan sebuah tiang awan. Bahkan la hadir dalam bentuk tiang awan (lihat Kel. 13:21-22).

Dengan begitu, la menjadi Allah yang berada di depan manusia la menjadi Allah yang menarik manusia untuk berjalan terus ke masa depan. la menjadi Allah yang turun tangan dalam urusan-urusan persediaan pangan (urusan ekonomi), perundangan-undangan dan perbudakan (urusan sosial), kebaktian dan hari-hari raya (urusan agama), perang dan pengangkatan pemimpin (urusan politik). Dengan turun tangannya Allah dalam urusan-urusan itu, la menunjukkan diri-Nya sebagai Allah atas segala bidang hidup manusia pada masa itu dan sebagai Allah yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi masa depan. Dalam Kisah Keluaran itu, Allah mengajar umat-Nya untuk mempunyai pengharapan atas masa depan. Akan tetapi, pengharapan harus disertai usaha. Dalam kisah Keluaran hal itu pun tampak jelas. Umat itu harus berjalan melintasi gurun selama empat puluh tahun dengan bersusah payah.

Tiap pengharapan menuntut usaha. Demikian pula pengharapan kita akan datangnya Kerajaan Allah. Akan tetapi, justru itulah yang tidak mudah. Setiap hari Minggu kita berseru, "Datanglah Kerajaan-Mu." Namun, apakah usaha kita untuk menampakkan tanda-tanda situasi Kerajaan Allah di pelbagai bidang hidup sehari-hari? Atau tidak usah jauh-jauh, adakah di dalam gereja sendiri tampak tanda-tanda dan keadaan Kerajaan Allah? Jika kita mengharapkan datangnya keadaan Kerajaan Allah, itu berarti kita harus resah terhadap keadaan di mana terdapat praktik praktik yang adalah kebalikan dari keadaan Kerajaan Allah tersebut. Perasaan resah itu harus mendorong kita untuk lebih banyak berusaha.

Pengharapan harus berpijak atas kewajaran, baik kewajaran dalam hal waktu maupun hasil. Dalam pengharapan kita akan Kerajaan Allah, ukuran kewajaran itu bukan terletak di tangan kita, melainkan tergantung dari "kerelaan kehendak" Allah sendiri (Ef. 1:5). Sebab, bukankah Allah sendiri yang akan menyempurnakan perwujudan Kerajaan-Nya (lih. Why. 21). Kita disuruh oleh Yesus untuk meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh-Nya sambil berpengharapan bahwa la akan menggenapkan pekerjaan-Nya itu secara sempurna.

Antara angan-angan dan pengharapan memang bisa terjadi kekaburan. Akan tetapi adanya dasar, usaha dan kewajaran, menjadikan pengharapan kita akan Kerajaan Allah bukan angan-angan, melainkan pengharapan. Berbahagialah orang yang mempunyai pengharapan dan yang bersedia membayar harga untuk membuat pengharapannya menjadi kenyataan
MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia akan berbuah banyak sebab diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15.5)

Dalam kehidupan Kristiani terdapat perbedaan mencolok antara hidup produktif dan hidup berbuah. Keduanya sama-sama berbicara tentang menghasilkan sesuatu. Bedanya produktivitas berfokus pada hasil sedang berbuah lebih menekankan kesuburan hidup. Bagi yang terakhir banyak-sedikitnya buah bukan hal utama Yesus memakai gambaran pokok anggur dan ranting yang subur serta berbuah untuk menunjukkan pentingnya sebuah perayaan di dalam Tuhan.

Merayakan hidup berarti menyadari bahwa hidup ini bermakna hanya jika melekat dan diam di dalam Sumber Hidup: Yesus Kristus. "Semangat dunia modern lebih sebagai suka mengukur produktivitas kita." Itu berarti sebagaimana kata-kata Yesus tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia." Hanya dengan cara itulah kita bisa berbuah banyak.

Henri J.M. Nouwen pernah menangkap kebenaran ini: Kita hanyalah satu bagian yang sangat kecil dari sejarah dan hanya memiliki satu kehidupan yang sangat singkat untuk dihidupi. Namun jika kita mengangkat buah-buah karya kota di tangan kita dan merentangkannya kepada Allah di dalam keyakinan yang mendalam bahwa Allah mendengarkan kita dan menerima pemberian kita maka kita tahu bahwa semua kehidupan kita diberikan bagi perayaan.

Spiritualitas macam begini sungguh berlawanan dengan semangat dunia modern yang lebih suka mengukur produktivitas seseorang. Dan hasil yang dicapai semata mata menunjukkan usaha keras dan kemampuan diri sendiri. Manusialah yang menentukan makna hidupnya sendiri.

Tak heran, banyak orang yang kalah dan sedikit saja yang menang serta unggul dalam hidup manusia modern. Dengan demikian, diwamai kecemasan jika tak mampu lagi berproduksi, karena semua orang saling bersaing serta kehampaan karena di titik akhir hidup, seluruh produksi hidup kita tidak membuat hidup makin bermakna.

Sebaliknya gaya hidup yang diajarkan Yesus ialah gaya hidup berbuah yang berlawanan dengan produktivitas. Dia tidak menawarkan kecemasan, namun kegembiraan. Karena hidup kita yang tak berarti ini ternyata dihargai Allah dan diperkenankan untuk berbuah bagi-Nya. la juga tidak menciptakan isolasi, namun persekutuan sama seperti ranting-ranting yang dipersatukan di dalam pokok anggur yang satu semua secara bersama-sama menghasilkan buah. Akhirnya dengan melekat pada Sang Pokok Anggur itu, hidup tidak lagi diwarnai kehampaan, namun kepenuhan yang bukan berasal dari diri sendiri, namun dari Sang Kehidupan itu sendiri.


 

DIFABEL ADALAH ANUGERAH

DIFABEL ADALAH ANUGERAH



“Barangsiapa datang kepada-Ku: ia tidak akan Kubuang” (Yoh. 6:37b)

Saya menyarankan Anda menyanyikan Kidung Jemaat 27 yang berjudul "Meski Tak Layak Diriku.” Kidung tersebut berbicara soal artinya menerima din apa adanya. Kidung indah ini digubah oleh Charlotte Elliott pada usia empat puluh tujuh tahun. Dalam usia yang seharusnya produktif itu, ia justru terbaring sakit karena kelumpuhan yang harus diterimanya seumur hidup.

Hari itu semua orang di rumahnya pergi untuk mengadakan bazar penggalangan dana bagi pembangunan sebuah sekolah. Charlotte ditinggal sendirian di rumah. Dalam kesepian dan kesedihan, ia menggumuli dan merenungi hidupnya yang tak mampu menyumbangkan apa-apa bagi pembangunan sekolah tersebut. "Allah menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu."

la kemudian mengambil alat tulis dan mulai menggubah puisi yang bertutur tentang kesediaan datang kepada Allah sebagaimana adanya kita. Cacat dan kelemahan fisik tak perlu menjadi penghalang untuk hidup bermakna dan berguna. Tanpa sepengetahuannya, puisi tersebut akhimya menyebar dan malah menghasilkan lebih banyak uang daripada kegiatan bazar yang diadakan sebelumnya.

Kisah hidup Charlotte Elliott menjadi saksi hidup dan spiritualitas yang sama yang ditulis Paulus dalam 1 Korintus 15. Kasih karunia Allah memampukan kita untuk menerima diri apa adanya untuk berkarya dalam keterbatasan kita. Yesus pun berkata bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang Nya: menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu.

Sabda Yesus ini sungguh bertolak belakang dengan masyarakat kita yang sudah terlanjur menganut sebuah mitos kenormalan (a myth of normalcy). Hanya orang-orang yang disebut "normal yang diterima dan dihargai.” Mereka yang lumpuh, cacat dan memiliki ketidakmampuan tertentu dilecehkan dicemooh dan dibuang. Mereka disebut sebagai orang-orang tak mampu (disabled). Untunglah sekarang kita memiliki istilah lain yang lebih mampu mengapresiasi dan mendorong mereka untuk juga mengapresiasi diri mereka sendiri. Istilah itu adalah diffable (differentability). Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) memuat lema "difabel" ini.

Semua orang ternyata memiliki kemampuan yang berbeda beda Orang cacat pun memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang yang tak cacat. Charlotte Elliott membuktikan hal ini, Anda pun dapat juga membuktikannya. Jika Anda memiliki cacat tertentu, terimalah diri Anda apa adanya dan berkaryalah semampu Anda Jika Anda tidak cacat, terimalah mereka yang cacat dan berilah mereka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka yang berbeda dan yang tak jarang lebih-dari yang Anda miliki.


 

MENERIMA PENERIMAAN

MENERIMA PENERIMAAN

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, la melihat ke atas dan berkata Zakheus segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu "Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita” (Luk 19.5-6).

Pada masa kini, salah satu tema paling populer dalam buku-buku psikologi modern adalah "penerimaan atau self-acceptance). Orang diajak untuk berdamai dengan dirinya sendiri menerima kelebihan dan kekurangannya, lantas melangkah maju dengan seluruh plus dan minus hidupnya itu. Syukur-syukur ia bisa mengembangkan kelebihannya dan menutupi kekurangannya.

Terlepas dari kebaikan yang telah disumbangkan banyak buku psikologi modern itu, salah satu kritik pendekatan ini adalah antroposentrisme, yaitu pemusatan pada manusia yang berlebihan. Manusia dianggap mampu memulai dan memutuskan perjalanan panjangnya dalam menerima diri sendiri. Di dalami iman Kristen, penenamaan-diri ternyata tidak bisa dilepaskan dari penerimaan Allah atas orang tersebut. Dan inilah wilayah yang tidak terjamah dalam perbincangan psikolog modern tersebut. "Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu."

Dalam bukunya The Courage to Be (1952) Paul Tillich menegaskan bahwa titik terpenting dalam proses penerimaan diri adalah menerima kenyataan bahwa ia memang diterima oleh Allah. Tanpa menerima penerimaan (accepting-acceptance) ini seseorang tak mungkin bisa menerima diri sendiri, apalagi menerima orang lain. Dalam bahasa Kristiani kita mengenal penerimaan ilahi ini sebagai pengampunan dosa. Dalam hal ini anugerah merupakan kata paling pas untuk menjelaskan penerimaan ilahi atas hidup manusia itu, terlepas dari menggelembungnya dosa.

Memperjuangkan proses penerimaan-diri tanpa menerima kenyataan bahwa ia sudah diterima oleh Allah hanya akan membawa seseorang ke dalam sebuah perjalanan palsu. Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu. Tidak ada doktrin, ritus atau hukum rohani mana pun yang menyediakan penerimaan ilahi ini. Mengapa? Sebab, penerimaan ilahi atas hidup manusia berdosa ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan pribadi-dengan-pribadi itulah sebabnya pengampunan dosa di dalam kekristenan, senantiasa menukik pada sebuah pribadi yang ilahi sekaligus insani Yesus Kristus.



Dialah Allah yang menerima manusia, sekaligus manusia yang menerima penerimaan Allah. Di dalam Kristuslah, Anda dan saya memperoleh jalan masuk untuk menerima penerimaan ilahi menerima diri sendiri dan akhirnya menerima orang lain.

Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam perjumpaan Yesus dan Zakheus. Si pemungut cukai kecil ini menerima Yesus dengan sukacita (ay. 6) setelah ia diterima oleh Yesus (ay 5), terlepas dari menggunungnya dosa dari kesalahan Zakheus. Peristiwa menerima penerimaan ini-uniknya-berlangsung ketika Yesus menawarkan diri untuk menjadi tamu di rumah Zakheus. Pada saat itulah, Yesus Sang Tamu yang diterima oleh Zakheus, berubah menjadi Yesus Tuan Rumah yang menerima Zakheus. Kini, dengarkanlah suara Yesus yang juga berkata kepada Anda, "... hari ini Aku harus menumpang dirumahmu." Dan terimalah penerimaan ilahi itu.

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH




Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. (Mat. 3:17)

Tiga pencobaan yang Yesus hadapi mengilustrasikan tiga godaan terbesar dalam hidup manusia modern. Godaan untuk mengagungkan kemampuan (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku lakukan), godaan untuk terikat pada harta milik (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku millki), serta godaan untuk menjadi populer (Siapa aku ditentukan oleh apa yang orang lain katakan tentang aku).

Ketiga godaan itu, semenarik apa pun, ternyata bersifat sangat fluktuatif. Naik-turun. Ada kalanya kita sangat kuat, memiliki banyak harta dan dikagumi banyak orang, namun tak jarang kita sungguh lemah, tak punya apa-apa, dan dicemooh orang lain. Sungguh celaka bukan jika identitas kita dipertaruhkan di atas ketiga dasar ini?"Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak anak yang dikasihi Allah."

Kita menghabiskan terlalu banyak energi untuk memastikan bahwa diri kita oke untuk tiga hal tersebut. Dan kita selalu saja lupa bahwa siapa kita ternyata sebenarnya tidak ditentukan dari ketiga-tiganya. Kita berjuang terus sepanjang hidup kita untuk memastikan ketiga-tiganya berlangsung dengan baik. Sampai akhirnya selesailah hidup kita. Mati. Dan setelah itu? Setelah itu... kita tak bisa melakukan apa-apa, kita tidak membawa apa yang kita miliki dan orang lain segera melupakan kita.

Yesus mampu menghadapi dan keluar dari ketiga jebakan ini karena tahu persis bahwa siapa diri-Nya sesungguhnya ditentukan oleh satu kenyataan lain, yaitu bahwa la adalah Anak yang dikasihi oleh Sang Bapa. Sesaat sebelum la memasuki pencobaan di padang gurun, yaitu saat la menerima baptisan oleh Yohanes Pembaptis, Sang Bapa dalam naungan Roh Kudus, mengutarakan isi hati-Nya; Dikau Kukasihi, Aku berkenan kepada-Mu.

Jika saja setiap pegiat sosial Kristiani mau dan mampu mengklaim kembali kebenaran yang sama, maka pastilah mereka akan terhindar dari seribu satu masalah remeh yang tak perlu, yang justru membuat karya mereka menjadi superfisial, dangkal, dan malah artifisial.

Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak-anak yang dikasihi Allah. Dan dengan demikian, kita menjadi saudara dan sahabat Kristus, yang sudah terlebih dahulu membuktikan kepada dunia bahwa kedalaman hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa mampu kita berkarya, seberapa banyak milik kita atau seberapa populer kita diterima oleh orang lain. Namun, semata-mata oleh sebening apa kita mendengar dan mengamini suara Ilahi itu: "Engkau Kukasihi. Engkau sungguh Kukasihi!"


 

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

Aku tidak menyebut kamu lagi hamba.... tetapi Aku menyebut kamu sahabat... (Yoh. 15:15).

Apa lagi ini? Sebelumnya muncul istilah asing doularki, yang untungnya mudah dicernah. Yaitu: kepemimpinan-hamba. Sekarang: filiarki. Maafkan saya, jika kita harus memakai istilah ini. Alasannya sederhana saja: istilah itu dengan sangat baik dan tepat mewakili apa yang ditawarkan Yesus sebagai model kepemimpinan ideal. Loh, apakah kepemimpinan-hamba tidak ideal?

Terus terang tidak. Istilah itu muncul sebagai sebuah alternatif, tandingan, atas kepemimpinan hierarkis yang telanjur menguasai arena kepemimpinan Kristiani. Sebagai tandingan, tugasnya ialah melakukan dekonstruksi-perombakan-dan bukan konstruksi. "Kita harus memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita demikian. "Yang diimpikan Yesus. atau yang ingin dikonstruksi, bukanlah pelayanan atau penghambaan, melainkan persahabatan. Terhadap pribadi yang maunya mempertuankan diri.

Yesus menegaskan: jadilah hamba! Akan tetapi, bagi setiap orang yang telah menyatakan kesediaan melayani, Yesus bersabda, "Aku tidak lagi menyebutmu hamba, melainkan sahabat." Tentu, kita tetap boleh memandang diri sebagai hamba Kristus dan sepantasnya demikian. Namun, kita harus juga memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita sebagal sahabat- sahabat-Nya.

Jika kepemimpinan-hamba adalah doularki, maka kepemimpinan-sahabat kita sebut filarki (filia: sahabat + arche: kepemimpinan). Yang dipimpin dan yang memimpin sama-sama sahabat yang setara dan sederajat. Mereka saling mengasihi, menguatkan dan menerima, sebagaimana perlakuan seseorang terhadap sahabatnya. Bayangkan! Kita yang sepatutnya menghambakan diri kepada Sang Hamba yang telah memberikan segala-galanya kepada kita, kini disapa "Sahabat-Ku"

Oleh karena itu, tak ada jalan lain tersedia bagi kita selain mengelola hidup bersama, komunitas kita, bahkan masyarakat kita, mengelola dengan prinsip persahabatan yang telah diwartakan Kristus. Tak boleh lagi ada orang yang memandang diri lebih dari orang lain atau sebaliknya, memandang diri di bawah orang lain, hanya karena perbedaan ekonomi, pendidikan, pekerjaan atau lainnya. Di dalam gereja, baik pengamen maupun pengacara, penjual asongan atau penjual mobil mewah, sama-sama diundang untuk menjadi sahabat di dalam dan bersama Kristus.

Jadi, jika Anda mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin. apa pun itu, sadarlah: "Anda bukanlah bos penuh kuasa dengan sekelompok orang yang berada di bawah kendali Anda. Anda bukan sekadar pelayan dari orang banyak yang cukup bersikap santai menunggu karya Anda. Namun, Anda adalah sahabat dari semua orang."

Tugas utama kita adalah menanam, memupuk, serta merawat komunitas agar dapat menjadi sebuah komunitas para sahabat. Jika hal itu terjadi, di situ Kristus Sang Sahabat hadir. Dan itulah makna terdalam dari kepemimpinan-sahabat, filiarki.

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya, (Mrk. 10:42-44)

Salah satu alasan mengapa dunia begitu mengerikan dan tak sama bagi kehidupan manusiawi ialah dunia memang tertata oleh pola hubungan hierarkis. Selalu saja ada sejumlah kecil pemimpin di atas, dengan bawahan yang tak banyak jumlahnya, namun makin ke bawah makin bertambah banyak, dan akhirnya sejumlah besar pengikut berada di dasar piramida kekuasaan.

Yang lebih menyedihkan, hierarki yang menjulang ke atas itu sering diklaim mendapatkan kuasa dari Allah sendiri. Itu sebabnya mengapa kata "hierarki" dipakai; yang terdiri atas dua kata: hieros (suci) dan arche (tatanan atau kepemimpinan).  "Tak jarang sebuah hierarki memakai nama Allah untuk melestarikan kekuasaan yang sudah tertata."

Terhadap budaya umum dunia. Yesus menawarkan sebuah budaya alternatif radikal-budaya tandingan (counter-culture). Yesus sangat memahaminya kala berkata, "... mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (ay. 42). Inilah hierarki yang berlangsung di banyak tempat dan zaman. Namun, segera Yesus mengusulkan alternatif radikal-Nya: siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah menjadi pelayan (ay. 43-44).

Model kepemimpinan baru Yesus itu sungguh menjungkirbalikkan piramida hierarkis hingga sungsang-terbalik 180 derajat. Sang pemimpin haruslah menjadi pelayan. Yang pertama menjadi yang terakhir. Inilah kepemimpinan-hamba atau doularki (doulos + arche). Sering juga disebut servant-leadership.

Ketika memasuki sebuah komunitas dengan semangat berkarya, pikirkanlah satu hal! Siapa komunitas yang akan kita kembangkan itu? Siapa manusia-manusia yang akan kita sapa itu? Jika kita memasukinya dengan mentalitas juruselamat dan menampilkan diri sebagai pemimpin besar, bos yang harus dihormati, percayalah kegagalan tinggal menunggu waktu.

Masukilah komunitas tersebut, sapalah orang-orang di dalamnya dengan sikap takzim dan hormat. Sebab, kita diutus ke dalamnya, bukan untuk menjadi pemimpin yang berada di atas mereka, namun menjadi pelayan mereka. Jika kita harus melaksanakan tugas kepemimpinan, jadilah pemimpin yang melayani. Hanya dengan cara itulah, kita dapat menyuarakan pesan Injil yang menentang semua pola penguasaan hierarkis, semua pola kepemimpinan yang menekan rakyat atau umat.