BUKTI KESETIAAN

BUKTI KESETIAAN

Beragam cara orang menunjukkan kesetiaannya. Ada pasangan yang terus mengenakan cincin kawin. Kata mereka, "Ini bukti kesetiaan kami di hadapan Tuhan dan manusia." Ada pula yang membawa foto istri dan anak anaknya di dalam dompet. Kalau tiba-tiba rindu, foto itu dapat sedikit mengobati rasa kangen.

Sumarsih, ibunda Wawan korban tragedi Mei 1998, setiap pagi sebelum berangkat kerja singgah menabur bunga dan berdoa di makam putranya. Teman saya tak pernah sehari pun melewatkan tanggal di kalender mejanya. Ia memberi tanda silang begitu selesai jam kerja kantor. Teman yang lain telah menghasilkan puluhan ribu catatan harian. Buku-buku tebal berisi catatan itu ia simpan dengan baik.


Tetapi lebih dari semua yang telah kita lakukan, pernahkah kita berpikir tentang kesetiaan Tuhan kepada kita? Tuhan ibarat sang fajar yang setia terbit setiap hari. Ia tak pernah alpa. Seperti angin yang senatiasa berembus, seperti matahari bersinar bagi siapa saja, seperti itulah kesetiaan Tuhan. Bagaimana dengan Anda?

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

“Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” (1Kor. 15:10)

Menjadi pribadi yang autentik adalah panggilan semua pegiat sosial. Autentik berarti asli, sejati, tak berpura-pura, dan apa adanya. Tanpa kesejatian semacam itu, seribu satu masalah pelayanan-persahabatan akan bermunculan. Kita semua tahu, setiap karya Kristiani berpusat pada relasi antarpribadi. Oleh karena itu, Anda bisa bayangkan, betapa runyamnya ketika seorang pegiat sosial yang memiliki persoalan dengan kesejatian pribadinya harus berelasi dengan orang lain.

Apalagi jika orang itu pun memiliki masalah dengan penerimaan dirinya. Wah, yang bakal terjadi tentulah relasi-relasi yang palsu. Bisa jadi, yang muncul adalah relasi antartopeng, bukan relasi antarpribadi yang autentik dan membebaskan. "Hanya dengan menerima diri apa yang bisa dibayangkan, betapa kita dapat menerima orang lain apa adanya."

Dalam dunia psikologi, lawan dari "diri yang autentik" (authentic-self) adalah "diri yang fiktif" (fictional-self). Kita bisa berkata, "Jika yang pertama adalah siapa aku sebagai ciptaan Allah yang hidup dan berkembang sampai detik ini, maka yang kedua adalah siapa aku sebagaimana diimpikan oleh orang tersebut." Diri yang fiktif mungkin saja baik, indah, dan ideal.

Namun, tetap saja ia tidak nyata. Tidak autentik. Kita memang tidak pernah diundang untuk menjadi seorang pribadi yang serba-sempurna. Itu memang impian kita. Namun sementara kita bergumul di tengah dunia ini, itu jelas tak mungkin. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi diri kita apa adanya. Hanya dengan menerima diri apa adanyalah kita dapat menerima orang lain apa adanya. Oleh karena itu, berdamai dengan diri kita sendiri merupakan pintu gerbang menuju pelayanan-persahabatan yang sejati pula.

Rasul Paulus yang pernah menjadi seorang penyiksa jemaat Kristus itu (bdk. ay. 9) menyadari benar pentingnya penerimaan diri seutuhnya, apa adanya. Setelah bertobat, ia sadar bahwa masa lalunya yang kelam tidak pernah bisa diubahnya. Itu semua menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang. Namun, Paulus juga percaya kasih karunia Allah ternyata lebih berkuasa dari pada kekuatan masa lalunya. la terbebas ketika kasih karunia Allah itulah yang mengubahnya dan ia pun bisa hidup sebagaimana ia ada sekarang. Kasih karunia Allah, yang menerima Paulus sebagaimana adanya ia mendorong Paulus untuk juga dapat menjadikan karyanya sebagai sebuah pelayanan-persahabatan yang membebaskan, berbuah dan bermakna. Jika Paulus dapat mengalami itu, kita pun tentu dapat.

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia akan berbuah banyak sebab diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15.5)

Dalam kehidupan Kristiani terdapat perbedaan mencolok antara hidup produktif dan hidup berbuah. Keduanya sama-sama berbicara tentang menghasilkan sesuatu. Bedanya produktivitas berfokus pada hasil sedang berbuah lebih menekankan kesuburan hidup. Bagi yang terakhir banyak-sedikitnya buah bukan hal utama Yesus memakai gambaran pokok anggur dan ranting yang subur serta berbuah untuk menunjukkan pentingnya sebuah perayaan di dalam Tuhan.

Merayakan hidup berarti menyadari bahwa hidup ini bermakna hanya jika melekat dan diam di dalam Sumber Hidup: Yesus Kristus. "Semangat dunia modern lebih sebagai suka mengukur produktivitas kita." Itu berarti sebagaimana kata-kata Yesus tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia." Hanya dengan cara itulah kita bisa berbuah banyak.

Henri J.M. Nouwen pernah menangkap kebenaran ini: Kita hanyalah satu bagian yang sangat kecil dari sejarah dan hanya memiliki satu kehidupan yang sangat singkat untuk dihidupi. Namun jika kita mengangkat buah-buah karya kota di tangan kita dan merentangkannya kepada Allah di dalam keyakinan yang mendalam bahwa Allah mendengarkan kita dan menerima pemberian kita maka kita tahu bahwa semua kehidupan kita diberikan bagi perayaan.

Spiritualitas macam begini sungguh berlawanan dengan semangat dunia modern yang lebih suka mengukur produktivitas seseorang. Dan hasil yang dicapai semata mata menunjukkan usaha keras dan kemampuan diri sendiri. Manusialah yang menentukan makna hidupnya sendiri.

Tak heran, banyak orang yang kalah dan sedikit saja yang menang serta unggul dalam hidup manusia modern. Dengan demikian, diwamai kecemasan jika tak mampu lagi berproduksi, karena semua orang saling bersaing serta kehampaan karena di titik akhir hidup, seluruh produksi hidup kita tidak membuat hidup makin bermakna.

Sebaliknya gaya hidup yang diajarkan Yesus ialah gaya hidup berbuah yang berlawanan dengan produktivitas. Dia tidak menawarkan kecemasan, namun kegembiraan. Karena hidup kita yang tak berarti ini ternyata dihargai Allah dan diperkenankan untuk berbuah bagi-Nya. la juga tidak menciptakan isolasi, namun persekutuan sama seperti ranting-ranting yang dipersatukan di dalam pokok anggur yang satu semua secara bersama-sama menghasilkan buah. Akhirnya dengan melekat pada Sang Pokok Anggur itu, hidup tidak lagi diwarnai kehampaan, namun kepenuhan yang bukan berasal dari diri sendiri, namun dari Sang Kehidupan itu sendiri.


 

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dan pada dirinya sendiri dan janganlah tiap tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4).

Akhir pekan lalu saya berkesempatan menyaksikan konserpaduan suara di Goethe Institut, Jakarta, Saya cukup antusias menikmati alunan vokal Paduan Suara BMS-yang menurut pengamat musik termasuk dalam daftar paduan suara berkualitas di Indonesia.

Bunyi gong menjadi tanda dimulainya konser malam itu. Didahului sambutan seorang master of ceremony, para anggota paduan suara pun memasuki panggung. "Pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim!"

Satu per satu, lagu-lagu klasik dari Renaisance dan Zaman keseluruhan tim!" Barok dinyanyikan dengan merdu oleh paduan suara tersebut. Malam hari itu, penampilan mereka luar biasa! Uniknya, sampai lagu terakhir yang mereka bawakan, saya tetap tidak dapat membedakan antara wars penyanyi A, penyanyi B, penyanyi C. Tentu saja, saya masih dapat membedakan suara kelompok sopran atau alto dan suara kelompok tenor atau bas namun sulit untuk membedakan antara suara penyanyi sopran yang berdiri disisi paling kanan dengan penyanyi sopran berdiri di sisi paling kini. Suara mereka sungguh blend voices.

Apa yang menjadi kunci keberhasilan mereka? Mereka saling mendengarkan. Mereka tidak sekedar bernyanyi, tetapi juga mendengarkan untuk menjaga keseimbangan suara mereka dengan rekan yang ada di sisi sebelah kanan, sisi sebelah kiri, bahkan keseimbangan antara kelompok suara yang satu dengan kelompok suara yang lain. Ada pengendalian diri serta pemahaman bahwa pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim! Saya harus melakukan semua upaya yang saya bisa, namun tetap menjaga keseimbangan dan keutuhan tim.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus mengajarkan bahwa orang beriman hendaknya mengutamakan orang lain, sehati, sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Paulus ingin agar orang percaya di Filipi berbeda dari orang yang tidak percaya, hanya mementingkan diri sendiri. Di dalam Kristus, egoisme, individualisme tidak mendapat tempat. Sebaliknya di dalam Kristus orang akan rela untuk saling mendengarkan, menasihati, menghiburkan, bersekutu dalam Roh, mengobarkan kasih mesra dan belas kasihan.

Mari, nyatakan kembali hidup Kristus melalui hidup kita yang mendengarkan orang lain, sehingga dengan suara yang padu kita dapat menyanyikan tembang keadilan dan kebenaran dengan merdu!

DIFABEL ADALAH ANUGERAH

DIFABEL ADALAH ANUGERAH



“Barangsiapa datang kepada-Ku: ia tidak akan Kubuang” (Yoh. 6:37b)

Saya menyarankan Anda menyanyikan Kidung Jemaat 27 yang berjudul "Meski Tak Layak Diriku.” Kidung tersebut berbicara soal artinya menerima din apa adanya. Kidung indah ini digubah oleh Charlotte Elliott pada usia empat puluh tujuh tahun. Dalam usia yang seharusnya produktif itu, ia justru terbaring sakit karena kelumpuhan yang harus diterimanya seumur hidup.

Hari itu semua orang di rumahnya pergi untuk mengadakan bazar penggalangan dana bagi pembangunan sebuah sekolah. Charlotte ditinggal sendirian di rumah. Dalam kesepian dan kesedihan, ia menggumuli dan merenungi hidupnya yang tak mampu menyumbangkan apa-apa bagi pembangunan sekolah tersebut. "Allah menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu."

la kemudian mengambil alat tulis dan mulai menggubah puisi yang bertutur tentang kesediaan datang kepada Allah sebagaimana adanya kita. Cacat dan kelemahan fisik tak perlu menjadi penghalang untuk hidup bermakna dan berguna. Tanpa sepengetahuannya, puisi tersebut akhimya menyebar dan malah menghasilkan lebih banyak uang daripada kegiatan bazar yang diadakan sebelumnya.

Kisah hidup Charlotte Elliott menjadi saksi hidup dan spiritualitas yang sama yang ditulis Paulus dalam 1 Korintus 15. Kasih karunia Allah memampukan kita untuk menerima diri apa adanya untuk berkarya dalam keterbatasan kita. Yesus pun berkata bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang Nya: menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu.

Sabda Yesus ini sungguh bertolak belakang dengan masyarakat kita yang sudah terlanjur menganut sebuah mitos kenormalan (a myth of normalcy). Hanya orang-orang yang disebut "normal yang diterima dan dihargai.” Mereka yang lumpuh, cacat dan memiliki ketidakmampuan tertentu dilecehkan dicemooh dan dibuang. Mereka disebut sebagai orang-orang tak mampu (disabled). Untunglah sekarang kita memiliki istilah lain yang lebih mampu mengapresiasi dan mendorong mereka untuk juga mengapresiasi diri mereka sendiri. Istilah itu adalah diffable (differentability). Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) memuat lema "difabel" ini.

Semua orang ternyata memiliki kemampuan yang berbeda beda Orang cacat pun memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang yang tak cacat. Charlotte Elliott membuktikan hal ini, Anda pun dapat juga membuktikannya. Jika Anda memiliki cacat tertentu, terimalah diri Anda apa adanya dan berkaryalah semampu Anda Jika Anda tidak cacat, terimalah mereka yang cacat dan berilah mereka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka yang berbeda dan yang tak jarang lebih-dari yang Anda miliki.


 

MENERIMA PENERIMAAN

MENERIMA PENERIMAAN

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, la melihat ke atas dan berkata Zakheus segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu "Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita” (Luk 19.5-6).

Pada masa kini, salah satu tema paling populer dalam buku-buku psikologi modern adalah "penerimaan atau self-acceptance). Orang diajak untuk berdamai dengan dirinya sendiri menerima kelebihan dan kekurangannya, lantas melangkah maju dengan seluruh plus dan minus hidupnya itu. Syukur-syukur ia bisa mengembangkan kelebihannya dan menutupi kekurangannya.

Terlepas dari kebaikan yang telah disumbangkan banyak buku psikologi modern itu, salah satu kritik pendekatan ini adalah antroposentrisme, yaitu pemusatan pada manusia yang berlebihan. Manusia dianggap mampu memulai dan memutuskan perjalanan panjangnya dalam menerima diri sendiri. Di dalami iman Kristen, penenamaan-diri ternyata tidak bisa dilepaskan dari penerimaan Allah atas orang tersebut. Dan inilah wilayah yang tidak terjamah dalam perbincangan psikolog modern tersebut. "Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu."

Dalam bukunya The Courage to Be (1952) Paul Tillich menegaskan bahwa titik terpenting dalam proses penerimaan diri adalah menerima kenyataan bahwa ia memang diterima oleh Allah. Tanpa menerima penerimaan (accepting-acceptance) ini seseorang tak mungkin bisa menerima diri sendiri, apalagi menerima orang lain. Dalam bahasa Kristiani kita mengenal penerimaan ilahi ini sebagai pengampunan dosa. Dalam hal ini anugerah merupakan kata paling pas untuk menjelaskan penerimaan ilahi atas hidup manusia itu, terlepas dari menggelembungnya dosa.

Memperjuangkan proses penerimaan-diri tanpa menerima kenyataan bahwa ia sudah diterima oleh Allah hanya akan membawa seseorang ke dalam sebuah perjalanan palsu. Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu. Tidak ada doktrin, ritus atau hukum rohani mana pun yang menyediakan penerimaan ilahi ini. Mengapa? Sebab, penerimaan ilahi atas hidup manusia berdosa ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan pribadi-dengan-pribadi itulah sebabnya pengampunan dosa di dalam kekristenan, senantiasa menukik pada sebuah pribadi yang ilahi sekaligus insani Yesus Kristus.



Dialah Allah yang menerima manusia, sekaligus manusia yang menerima penerimaan Allah. Di dalam Kristuslah, Anda dan saya memperoleh jalan masuk untuk menerima penerimaan ilahi menerima diri sendiri dan akhirnya menerima orang lain.

Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam perjumpaan Yesus dan Zakheus. Si pemungut cukai kecil ini menerima Yesus dengan sukacita (ay. 6) setelah ia diterima oleh Yesus (ay 5), terlepas dari menggunungnya dosa dari kesalahan Zakheus. Peristiwa menerima penerimaan ini-uniknya-berlangsung ketika Yesus menawarkan diri untuk menjadi tamu di rumah Zakheus. Pada saat itulah, Yesus Sang Tamu yang diterima oleh Zakheus, berubah menjadi Yesus Tuan Rumah yang menerima Zakheus. Kini, dengarkanlah suara Yesus yang juga berkata kepada Anda, "... hari ini Aku harus menumpang dirumahmu." Dan terimalah penerimaan ilahi itu.