BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!
Seandainya dibagi atas babak, maka hidup Musa terdiri atas tiga babak yang masing-masing berlangsung 40 tahun. Seandainya tiap babak diberi judul, maka babak pertama berjudul "Aku bisa!" Pada babak pertama, usia Musa baru menjelang 40 tahun. Ia masih ambisius, idealis, dan optimis. Cerita di dalam Keluaran 2:11-15 menggambarkan karakter itu. Musa mulai menemukan jati dirinya sebagai orang Israel (Sebutan lazim zaman itu: Ibrani). Ia panas hati melihat orang-orang sebangsanya diperbudak bangsa Mesir. Mungkin selama beberapa tahun ia memikirkan rencana untuk memimpin pemberontakan. la yakin bahwa ia mampu mendorong dan mengerahkan bangsanya untuk memberontak. Pada suatu, hari ia melihat kesempatan yang baik untuk memercik api pemberontakan. Ada seorang budak Israel dianiaya mandor Mesir. Musa langsung membela orang Israel itu. Musa memperhitungkan bahwa ia akan mulai dipercaya sebagai pemimpin bangsanya. Namun, dugaannya meleset. Orang-orang sebangsanya malah mencemooh dia. Musa terkejut dan takut. la pasti akan didakwa sebagai pembunuh dan pemberontak. Maka, cepat-cepat Musa melarikan diri ke negeri Midian.
Mulailah Musa memasuki babak hidupnya yang kedua. Kegagalannya yang lalu meninggalkan trauma yang membekas. la jadi takut berprakarsa dan memimpin. la jadi sangat hati-hati. Mungkin terlalu berhati-hati sehingga selalu diliputi keraguan. Begitulah selama 40 tahun ia bersembunyi di Midian sebagai seorang gembala. Babak kedua hidup Musa berjudul "Aku Tidak Bisa".
Hal itu tampak ketika pada suatu hari Tuhan menugaskan Musa menghadap Firaun dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Israel. Dulu tanpa disuruh pun Musa yakin dan bersemangat. Tetapi sekarang Musa merasa kurang yakin, la takut kegagalannya terulang lagi. Karena itu, ia menjawab, "Siapakah aku ini, maka aku yang menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Kel. 3:11). Melihat keragu-raguan Musa itu, Tuhan membesarkan hati Musa dan menjanjikan penyertaan-Nya. Sampai lima kali Tuhan menugaskan dan meyakinkan Musa, namun lima kali pula Musa menolak (ay. 11, 13 dan 4:1, 10, 13).
Akhirnya, Musa menerima juga penugasan itu. Ia memasuki babak ketiga dalam hidupnya. Selama 40 tahun ia memimpin perjalanan umatnya ke negeri yang dijanjikan. Bayangkan bagaimana repotnya memimpin rombongan yang begitu besar, termasuk anak kecil dan orang lanjut usia, menempuh perjalanan melalui padang pasir selama sekian puluh tahun. Itu sebuah pekerjaan yang begitu sulit, namun akhirnya terlaksana juga dengan baik. Janji Tuhan untuk menyertai ternyata betul. Tuhan bisa melakukan semua itu.
Babak ketiga hidup Musa berjudul "Tuhan Bisa!" Dengan penuh rasa pesona dan lega Musa bernyanyi, "Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia ..." (Ul. 32:11, 12).
Kalau Musa duduk termenung menengok ke masa lampau, ia terkenang haru dan tersenyum kagum mengingat kembali babak-babak hidupnya. Pada babak pertama ia terlalu yakin akan dirinya dan selalu berkata, "Aku bisa!"; tetapi akhirnya ia jatuh. Pada babak kedua ia dihantui ketakutan bahwa ia akan jatuh kembali, maka ia hanya mengeluh, "Aku tidak bisa." Lalu pada babak ketiga ia mengalami bahwa pada waktu ia sudah menyerah dan berserah kepada Tuhan, justru Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu, sehingga Musa berseru dengan takjub, "Tuhan bisa!"
Barangkali itulah juga babak-babak dalam hidup kita. Ketika kita baru lulus atau baru mendapat kedudukan, kita merasa diri pandai dan hebat. Kita penuh rasa yakin diri. Kita melaju dengan cepat. Kita ambisius. Menilai diri berlebihan. Sok bisa. Sok kuat. Sok tahu. Tetapi sepandai-pandai tupai melompat, sekali ia terjatuh juga. Itulah babak pertama karier kita.
Trauma kejatuhan itu biasanya membekas. Kita takut jatuh untuk kedua kalinya. Kita menjadi ekstra hati-hati, atau mungkin terlalu berhati-hati. Akibatnya kita jadi gampang kecil hati. Itu babak kedua karier kita.
Pada babak ketiga, kita bertumbuh menjadi mantap dan tenang. Kita mulai mempunyai waktu untuk merenung. Kita mulai merasakan bahwa sebenarnya bukanlah kita yang berkarya, melainkan Tuhanlah yang berkarya melalui diri kita.
Itulah perjalanan babak-babak hidup kita. Pada babak pertama kita berjalan sendiri, cepat, lari, dan melompat, tetapi tiba-tiba jatuh dan tersentak. Lalu pada babak kedua kita kesakitan dan mungkin hampir tidak berani jalan lagi. Kemudian pada babak ketiga kita belajar berjalan sambil berpegang pada Tuhan, atau lebih tepat lagi belajar membiarkan diri dipegang oleh Tuhan. Pada babak pertama kita hidup dalam angan-angan, pada babak kedua dalam mimpi buruk, tetapi pada babak ketiga dalam pengharapan.
Pada babak pertama kita bersorak, "Saya bisa!" Pada babak kedua kita mengeluh, "Saya tidak bisa." Pada babak ketiga kita mengaku, "Tuhan bisa!"
Pdt. Andar Ismail
(Disadur dari buku Selamat Berkarya)