NEPOTISME

NEPOTISME

 

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos yang berarti "keponakan' atau 'kemenakan'. Nepotisme adalah pemberian kedudukan, fasilitas, atau hak istimewa kepada orang yang mempunyai ikatan keluarga atau kerabat. Nepotisme bisa terjadi di pemerintah, perusahaan, gereja, sekolah, yayasan, atau lembaga lainnya. Kemungkinan nepotisme bisa juga terjadi pada orang-orang sekitar Tuhan Yesus. Dalam cerita Markus 10:35-45 kedua bersaudara Yakobus dan Yohanes mendekati Yesus dan meminta agar kelak mereka boleh duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus. Menurut versi penginjil Matius, permintaan itu bukan diajukan oleh kedua orang itu, melainkan oleh ibu mereka, yaitu Salome (Mat. 20:20-28; mungkin karena pengarang Injil mau melindungi nama baik kedua rekan rasul itu). Ada dugaan bahwa Salome masih berkerabat dengan Bunda Maria, namun paling tidak hubungan mereka akrab. Yang diminta oleh kedua bersaudara itu, atau oleh ibu mereka, adalah kedudukan istimewa melebihi para rasul yang lain. Namun, dengan tegas Yesus menolak permintaan itu.

Kecenderungan nepotisme juga tampak dalam cerita kunjungan ibu dan saudara-saudara Yesus. Menurut Matius 12:46-50, Bunda Maria dan beberapa adik Yesus berusaha menemui Yesus ketika la sedang mengajar di suatu rumah. Agaknya, rumah itu sudah dipadati pengunjung sehingga Bunda Maria dan adik-adik Yesus tidak dapat masuk. Lukas mencatat,"... tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak" (Luk. 8:19). Mereka "berdiri di luar dan berusaha menemui Dia" (Mat. 12:46). Apakah Bunda Maria dan adik-adik Yesus meminta agar orang-orang meminggir dan memberi tempat kepada mereka? Agaknya tidak. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa Akan tetapi, rupanya hadirin merasa risi dan kikuk. Pikir mereka, masakan kita duduk dekat Yesus padahal ibu dan saudara-saudara-Nya sendiri berdiri di luar? Bukankah sepatutnya ibu dan saudara saudara-Nya mendapat tempat yang istimewa?

Maka, seseorang menginterupsi Yesus, "Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau" (ay. 47). Mungkin hadirin berharap bahwa Yesus akan berhenti sebentar, lalu meminta beberapa orang yang duduk di baris depan untuk memberi tempat kepada ibu dan saudara-saudara Yesus. Akan tetapi, ternyata Tuhan Yesus tidak berbuat begitu. Yesus malah bertanya secara retoris, "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" (ay. 48). Lalu sambil menunjuk kepada hadirin, Yesus menegaskan, "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku" (ay. 49-50).

Bayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang hadir dalam ruangan itu. Mereka tidak menyangka bahwa Yesus akan berkata begitu. Mereka terkejut mendengar kata-kata yang begitu tegas. Mereka khawatir kalau-kalau ibu dan saudara-saudara Yesus menjadi tersinggung. Namun, mereka juga bangga bahwa mereka dianggap atau disamakan seperti ibu dan saudara-saudara kandung Yesus. Sikap Yesus di sini terasa sangat egaliter (= bersifat menyamaderajatkan). Sikap Yesus ini belum lazim di masyarakat feodal yang diskriminatif. Baru kemudian hari masyarakat modern mengenal sikap egalitarian, yaitu sikap tidak membedakan orang sehingga tiap orang mendapat hak yang sama. Egalitarianisme bertolak belakang dengan nepotisme.

Dari sikap Yesus yang egaliter ini tampak bahwa Yesus tidak terjebak dalam budaya nepotisme. Memang nepotisme sama sekali tidak egaliter. Nepotisme memberi hak istimewa pada orang tertentu bukan berdasarkan kualifikasi, melainkan berdasarkan ikatan famili. Secara sepintas nepotisme tampak menguntungkan pihak pemberi dan penerima perlakukan istimewa itu. Namun, sebetulnya tidak. Ambillah kasus seorang direktur yang memilih keponakannya sebagai karyawan. Karyawan itu belum tentu cakap karena ia terpilih bukan berdasarkan kriteria itu. Direktur itu rugi sebab ia mempunyai karyawan yang kurang cakap. Keponakan itu juga rugi sebab ia tidak bertambah pandai. la naik pangkat bukan karena prestasi, melainkan hanya karena keponakan bos. Rekan-rekannya pun tahu dan mencemoohkan dia.

Nepotisme memang selalu jadi bahan cemoohan. Coba bayang kan jika seandainya saya menjadi ketua sebuah yayasan. Sekretaris: ipar saya. Bendahara: paman saya. Direktur Pelaksana: menantu saya. Kepala Bagian Keuangan: sepupu saya (dia jujur lho). Kepala Bagian Pembelian: besan saya. Kepala Bagian Hukum: tetangga paman saya sejak dulu. Kepala Bagian Personalia: saudara kandung mertua saya (orangnya sabar). Kepala Bagian Logistik: adik lelaki terkecil nenek saya (memang sudah uzur dan pernah stroke, tetapi beliau harus terus diberi jabatan sebab dulunya pejuang). Kepala Bagian Pelatihan: bibi saya. Kepala Hubungan Masyarakat: saudara angkat ibu saya (orangnya murah senyum). Kepala Bagian Tender: saya sendiri (saya terpaksa merangkap jabatan, bukan karena ambisi, melainkan demi penghematan dan efisiensi). Kepala Proyek Khusus: kemenakan saya. Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan: cucu saya (dia sudah dewasa dan orangnya lihai). Dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin ada yang bertanya kenapa istri dan anak-anak saya tidakikut?

Oh, tentu saja mereka ikut. Istri saya jadi pimpinan dewan penghimpun dan penyantun Dana Jaminan Sosial bagi yayasan ini Anak-anak saya juga semuanya ikut. Seperti diketahui semua putra dan putri saya jadi pengusaha (mereka semua berjiwa sosial lho). Karena yayasan ini banyak membangun rupa-rupa proyek, perlu ada pengusaha yang jadi pemborong. Tentu melalui tender. Nah, itulah putra-putri saya. Mereka ikut tender. Itu sebabnya saya merangkap Kepala Bagian Tender. Maksudnya supaya semua berjalan lancar, tertib, dan sesuai dengan prosedur. Harap Anda jangan mencemoohkan saya. Tender ini dijamin objektif. Anda 'kan tahu, saya ini anti nepotisme. Ya, sungguh, saya anti nepotisme.