GEREJA BUTUH KONTEKS

GEREJA BUTUH KONTEKS

 

Di rumah ada tiga pot tanaman: kaktus, anggrek, dan teratai Ketiga tanaman itu berakar dan bertumbuh dalam potnya masing-masing. Pot itu pasti ada isinya. Mustahil tanaman bisa hidup dalam pot yang isinya hanya udara alias kosong. Apa isi pot itu? Ada yang menyebutnya hara, media, atau lahan tanaman. Untuk mudahnya kita sebut saja tanah.

Apa tanah ketiga pot tadi sama? Tidak. Ketiga jenis tanaman itu butuh tanah yang berbeda-beda. Kaktus tumbuh dalam pot berisi pasir kering. Anggrek tumbuh dalam pot berisi potongan-potongan batang pakis lembab. Teratai tumbuh dalam pot berisi lumpur becek.

 Jangan coba-coba menukar tanahnya. Kaktus akan busuk jika ditanam di lumpur. Sebaliknya, teratai akan layu jika ditanam di pasit. Tiap tanaman perlu konteksnya masing-masing.

Sebagaimana tanaman hidup dan berakar di sebuah konteks, gereja pun hidup dan berakar di sebuah konteks. Gereja hidup di antara orang-orang di sekitarnya dan di zamannya. Sebutlah itu masyarakat. Nah, itulah konteks gereja, yaitu orang di sekitarnya dan di zamannya.

Pernah ada suatu komunitas umat Allah berjumlah sekitar delapan nbu orang dari Israel tinggal di Babel (sekarang Iran, Irak, Suriah) pada abad ke-6 SM. Mereka enggan bergaul dengan penduduk setempat karena perbedaan bahasa, budaya, dan agama. Mereka eksklusif.

Lalu Nabi Yeremia menyurati mereka, "Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak ..." (Yer. 29:5-6).

Itu pesan agar umat keluar dari pagar buatannya sendiri dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Umat disuruh berakar dan bertumbuh di konteksnya, yaitu masyarakat kota Babel. Lanjut surat itu, "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu

Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu" (ay. 7).

Umat dipesan agar berbuah dan menjadi berkat bagi penduduk sekitar. Simak verba imperatif usahakanlah (lbr. darasy: 'lakukanlah dengan sengaja', 'lakukanlah sampai berhasil').

Perhatikan motif atau dasarnya, yaitu "sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu". Artinya, nasib kita dan nasib masyarakat sekitar saling bergantung. Panen masyarakat berhasil, kita bisa makan. Panen masyarakat gagal, kita lapar.

Pada zaman itu agama masih bersifat etnosentris, artinya bangsa Xhanya boleh beragama X dan hanya peduli pada bangsa serta agama sendiri. Akan tetapi, surat Nabi Yeremia itu membarui pola pikir dengan menyuruh komunitas umat Allah agar "mengusahakan kesejahteraan" untuk konteks di sekitar mereka. Ini sebuah kontekstualisasi.

Lalu, apa artinya kontekstualisasi gereja atau kontekstualisasi teologi? Kontekstualisasi gereja adalah upaya kita memahami diri kita dan diri masyarakat sekitar dalam keadaannya yang riil dan konkret. Apa artinya keadaan riil dan konkret? Artinya, bukan keadaan yang diidamkan, melainkan keadaan yang adalah kenyataan, dengan segala baik dan buruknya. Lalu apa faedah upaya kontekstualisasi ini? Supaya pewartaan gereja juga riil dan konkret, bukan tentang cara hidup nanti sesudah kematian, melainkan tentang cara hidup sekarang ini sebelum kematian.

Dari penjelasan itu tampak bahwa gereja perlu berkonteks supaya bisa bertumbuh dan berbuah bagi masyarakat sekitar. Gerrit Singgih dalam keempat bukunya, yakni Dari Israel ke Asia, Berteologi dalam Konteks, Dua Konteks, dan Mengantisipasi Masa Depan menguraikan banyak isu tentang kontekstualisasi gereja.

Singgih menekankan bahwa gereja yang kontekstual adalah gereja yang sadar akan konteksnya, yaitu mengidentifikasi dan menyadari banyaknya masalah di dalam masyarakat dan banyaknya sudut pandang tentang masalah-masalah itu. Singgih mencatat bahwa kontekstualisasi teologi di Indonesia dipelopori di Sekolah Teologi Balewijoto Malang pada tahun 1920-an oleh Barend Schuurman.

Kini kontekstualisasi teologi diajarkan di sekolah-sekolah teologi bukan hanya sebagai sebuah mata pelajaran terpisah, melainkan juga sebagai penerapan di tiap mata pelajaran lain. Dalam mata pelajaran Didaktik Pendidikan Agama Kristen, misalnya, dipelajari konteks yang perlu diperhitungkan jika mengajar katekese tentang Alkitab sebagai firman Allah. Apakah itu berarti para penulis Alkitab didiktekan oleh Allah? Apakah para penulis itu diilhami hanya oleh ilham dari Allah ataukah juga oleh ilham pengalaman, latar belakang, dan jalan pikiran pribadinya? Banyak katekesan terbiasa meyakini bahwa kitab suci tiap agama berasal dari Allah. Tiap tanggal 17 Ramadhan dirayakan Nuzululquran, yaitu turunnya wahyu Alquran pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira. Apakah Alkitab juga turun dari surga?

Dalam pelajaran Didaktik juga dipelajari konteks jika mengajar anak-anak tentang Yesus yang turun ke dunia. Banyak anak terbiasa dengan cerita-cerita dewa yang menjelma sebagai bayi dalam buah semangka atau dalam batang bambu.

Masih dalam pelajaran Didaktik dipelajari konteks jika mengajar orang dewasa tentang "Anak yang Hilang". Beberapa budaya menabu kan seorang ayah merangkul dan mencium putra yang durhaka karena meminta warisan selagi ayahnya masih hidup.

 Contoh-contoh tadi dipelajari dalam Didaktik PAK dalam sesi tentang bingkai acuan. Tujuannya supaya pendeta peka terhadap bingkai-bingkai acuan naradidiknya, baik bingkai acuan kepribadian, bingkai acuan budaya, bingkai acuan religius, dan sebagainya. Di satu pihak kontekstualisasi berita Injil memperhitungkan rupa-rupa konteks umat masa kini, dan di lain pihak memperhitungkan rupa-rupa konteks zaman terjadinya perikop itu dua ribu tahun yang lalu. Memadukan kontekstualisasi dengan mata pelajaran lain tentu menambah muatan kerumitan. Sebagai pengampu pelajaran Didaktik saya harus mengaku bahwa di kelas saya sering pusing tujuh keliling.

Mungkin Anda berpikir bahwa kontekstualisasi ini cuma urusan sekolah teologi, bukan urusan gereja. Anda keliru. Memang yang mempelajarinya adalah sekolah teologi, namun yang mempraktikkan dan membutuhkannya adalah gereja.

Kontekstualisasi adalah upaya mengaitkan berita Injil dengan keadaan dan permasalahan umat. Gereja perlu dimampukan untuk mengerti makna dan relevansi berita Injil di dalam situasi di mana gereja itu ada.

Jika kita ingin berita Injil berbuah di masyarakat, langkah per tamanya adalah mengupayakan gereja berakar di masyarakat. Dengan istilah surat Yeremia tadi, "dirikanlah rumah .... ambillah istri akarlah! usahakanlah kesejahteraan ..." Maksudnya, berbuatlah kebun....

Bisakah kaktus, anggrek, dan teratai hidup kalau tidak berakar di tanah?