BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

BERAWAL DARI KEJADIAN KECIL

 


Pada malam itu Pdt. Clement Suleeman berusaha memperbaiki kipas angin yang lebih banyak mengeluarkan bunyi krek-krek krek-krek daripada mengeluarkan angin segar. la berkata, "Boeh lke nggak tahan nyamuk." Jadi, kipas angin itu juga harus berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kami berdua sedang menyiapkan ruangan di Balai Pertemuan GKI Samanhudi. Suleeman adalah pendeta jemaat itu dan saya baru saja memulai masa vikariat di jemaat tersebut. Malam itu ada pertemuan kecil dengan Dr. Robert Boehlke, misionaris Gereja Presbiterian Amerika yang baru saja tiba di Indonesia untuk mengajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) di STT Jakarta. Yang menghadiri pertemuan itu sekitar tujuh atau delapan orang dari DGI (kemudian: PGI) dan dari gereja-gereja di Jakarta. Bahan pembicaraannya adalah bekal apa yang dibutuhkan oleh calon pendeta di Indonesia untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai pendidik di dalam gereja. Konkretnya, apa yang harus diajarkan di STT Jakarta dalam rangka PAK. Tidak ada keistimewaan apa-apa pada pertemuan malam itu. Itu sebuah pertemuan biasa dan kecil. Baru kemudian hari ternyata bahwa pertemuan kecil pada tahun 1963 itu mempunyai dampak yang cukup besar bagi gereja-gereja dan sekolah-sekolah teologi Indonesia.

Untuk memahami duduk perkaranya, kita perlu menengok lebih jauh ke belakang yaitu ke tahun 1955, Pada tahun itu DGI menyelenggarakan sebuah konferensi "kecil" tingkat nasional di Sukabumi tentang PAK. Disebut "kecil" karena pokok bahasannya bukan tergolong yang menarik, apalagi untuk jadi bahan berita surat kabar. Lokasinya pun "kecil", yaitu asrama panti asuhan yang kamar mandinya massal. Tetapi, nanti akan kita lihat bahwa konferensi "kecil ini berdampak cukup besar.

Menarik untuk diperhatikan bahwa pada saat itu DGI baru berusia lima tahun dan masih ibarat anak balita yang mengalami rupa-rupa penyakit anak. Namun, ternyata DGI merasa perlu untuk menggerakkan konferensi tentang PAK. Nara sumber utama konferensi itu adalah Dr. Elmer Homrighausen, rektor Sekolah Teologi Princeton. Beberapa pembicara lain menanggapi konteks lapangan kerja PAK misalnya Dr. Johanes Leimena dan Notohamidjojo, S.H. dari sudut masyarakat, Dr. D.C. Mulder dari sudut kemajemukan agama dan Pdt Devanesen dari sudut gerakan oikumene. Masukan dari sudut biblika disampaikan oleh Dr. Christoph Barth. Penerjemah konferensi ini adalah Clement Suleeman, ketika itu pendeta Gereja Kristus Chung Hua Ci Tu Ciao Hui di Jatinegara.

Keputusan yang diambil oleh konferensi ini adalah antara lain meminta agar gereja-gereja mengutamakan tugasnya dalam membina warga jemaat mulai dari anak hingga dewasa dalam bertumbuh dan mengaitkan iman dengan kehidupan dalam masyarakat. Untuk maksud itu diserukan agar sekolah-sekolah teologi mengajarkan PAK dalam kurikulumnya. Sebagai langkah pertama diputuskan agar DGI mengirim seorang calon dosen STT Jakarta untuk belajar PAK di Amerika dan mengundang seorang pakar PAK dari luar negeri untuk mengajar di STT Jakarta. Juga diputuskan agar Badan Penerbit Kristen menopang usaha ini dengan menerbitkan buku-buku yang diperlukan.

Sebagai pelaksanaan keputusan itu setahun kemudian berangkatlah Pdt. Suleeman dalam usia 37 tahun untuk belajar di Amerika dan Belanda. Sekembalinya di Jakarta ia mulai memperkenalkan mata pelajaran PAK di STT Jakarta sambil tetap menjadi pendeta di GKI Samanhudi. Lalu pada tahun 1963 DGI memanggil Dr. Robert Boehlke untuk mulai mengajar di STT Jakarta. Maka, pada suatu malam yang banyak nyamuk yang diceritakan pada awal tulisan ini, 1963 terjadilah pertemuan kecil yang diceritakan pada awal tulisan ini.

Apa dampak dari kejadian-kejadian di atas? Yang pasti, dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi sekarang diberikan PAK. Mula-mula hanya satu mata pelajaran, kemudian menjadi rumpun yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran. STT Jakarta masih terus menambah dan mengubah jumlah serta muatan PAK dalam kurikulumnya. Direncanakan STT Jakarta akan menawarkan hampir sekitar tiga puluh mata pelajaran wajib dan pilihan dalam rumpun konsentrasi PAK: Teori/ Teologi PAK 1 & 2, Psikologi PAK 1 & 2, Kurikulum PAK 1 & 2, Metodik 1 & 2, Sejarah PAK 1 & 2, Perencanaan PAK 1 & 2, Bacaan Filsafat PAK 1 & 2, Didaktik, PAK Anak, PAK Remaja/Pemuda, PAK Dewasa, PAK Lansia, PAK Penyandang Cacat, PAK Musik & Ibadah, PAK Perkembangan Moral, PAK Perkembangan Kepribadian, PAK Perkembangan Religius, Praktik Mengajar 1 & 2, Manajemen PAK dan beberapa lainnya.

Bandingkan perkembangan itu, dari nol menjadi sekitar tiga puluh. Sebelum tahun 1955 para calon pendeta sama sekali tidak menerima pembekalan di bidang PAK, tetapi generasi-generasi kemudian menerima sampai sekitar tiga puluh mata pelajaran PAK. Apakah ini berarti bahwa kualitas pembinaan di gereja meningkat? Belum tentu. Pelajaran bukan jaminan sebab bisa saja orang belajar, tetapi tidak mau dan tidak mampu mempraktikkannya. Namun, kita mempunyai optimisme bahwa semua ini menjadi awal kecil yang makin lama makin berdampak pada pertumbuhan dan pemberdayaan Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat kehidupan iman umat di Indonesia.

Apa yang ditulis di atas hanyalah tinjauan ringkas atas satu tempat dan satu periode yang sangat terbatas. Padahal gereja di sepanjang zaman sudah bergumul dalam hal tugas pendidikannya. Tinjauan yang menyeluruh tentang pelayanan pendidikan gereja terdapat dalam buku Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola. Jilid kedua dari buku ini bersubjudul Dari Comenius Sampai PAK di Indonesia. Dengan membaca kedua buku ini kita melihat pemikiran dan perbuatan banyak orang sepanjang masa yang kemudian menjadi suatu garis yang menggambarkan turun naiknya kesungguhan gereja dalam mendidik umat. Pemikiran dan perbuatan itu tampak kecil, tetapi semua itu turut menentukan maju mundurnya gereja di suatu tempat dan zaman.

Sejarah memang terbentuk dari kejadian-kejadian kecil. Orang yang berperan serta dalam kejadian itu mungkin berkata, "Ah, apa yang saya perbuat itu kecil saja." Tetapi apa yang semula kecil kelak bisa berdampak besar. Kita sendiri mungkin tidak akan melihat dan mengalami bahwa karya kecil yang sekarang sedang kita kerjakan kelak akan berdampak besar.

Untuk menjadi pelaku sejarah, kita berperan serta dalam kejadian-kejadian kecil. Dalam penglihatannya, Zakharia mendengar suara Tuhan, "Sebab siapa yang memandang hina dari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel" (Za. 4:10). Zerubabel ketika itu sedang memimpin umat dalam memugar dan membangun ulang bait Allah. Bagian awal dari pekerjaan ini tidak menyenangkan sebab berbulan-bulan lamanya orang hanya mengorek-ngorek dan membersihkan puing reruntuhan Bait Allah yang sudah hancur. Itu adalah "peristiwa-peristiwa kecil". Tetapi, walaupun mereka sekarang memandang rendah peristiwa kecil itu, kelak mereka akan bergembira kalau batu-batu pilihan sudah ditemukan. Agaknya, itu adalah batu-batu yang masih utuh yang dulunya adalah batu fondasi gedung Bait Allah yang orisinal. Dengan batu-batu itu mereka akan mendirikan gedung Bait Allah yang baru.

Kejadian kecil memang kurang menarik. Tetapi, sejarah justru terjadi karena kejadian-kejadian kecil. Kita mungkin pelaku kejadian kecil, namun kejadian kecil itu kelak bisa berdampak besar. Segala karya besar berawal dari karya kecil. Kita adalah alat kecil dalam sejarah perkembangan Kerajaan Allah. Bukankah Yesus sendiri mengumpa makan Kerajaan Allah seperti biji yang kecil. Dia berkata, "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya" (Mat. 13:31-32).