TIDAK ADA KERJA YANG HINA
Anda mungkin tidak percaya, saya pernah
jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah
Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua
dolar sejam. Ceritanya begini.
Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang
mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan
anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa
tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah
tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak.
Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran
itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak
kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.
Tidak lama kemudian, rupanya
"perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan
order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah
A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah
kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung.
Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun
tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari
planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga
senang.
Nah, langganan saya
itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya
bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang,
halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya
dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah.
Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.
Tugas saya cukup
mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung
Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi
cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba
nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai
mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just
rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat
dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis
paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11
orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia
tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak
dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.
Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada.
Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan.
Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss."
Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi
mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang
saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis.
Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal
dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah
saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia.
Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa
kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka
jadi baby-sitter.
Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah
menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di
Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead,
sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu
tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari
pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur,
saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ.
Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian
tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi
sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya
mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya
juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami
jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki
bukit.
Ada lagi pengalaman
kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran.
Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima
Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai
penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak
resmi masih ada lagi.
Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya
sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai
S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya.
Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut
pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah
manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke
pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita
tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat
"enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan
kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat
pemberitahuan).
Alkitab memandang kerja sebagai bagian
dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian,
Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara
taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis
pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia.
Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul
semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja
Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar
dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis,
"Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di
perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di
Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar
Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan,
"The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine
ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of
the world and of human nature."
Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian
dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena
pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan
karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah
mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.
Begitulah dalam hidup ini saya sudah
menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu
sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari
pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.
Mungkin Anda bertanya, dari semua
pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter
Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter
telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai
kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut
membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya
harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa
tahu...