TITANIC TERNYATA TENGGELAM

TITANIC TERNYATA TENGGELAM

 


Mendengar kata teknologi orang biasanya membayangkan peralatan canggih yang serba modern. Perkataan itu sendiri baru populer pada abad ke-18. Namun, kata tekne dan logos sudah digunakan tiga ratus tahun sebelum Masehi dalam tulisan Sokrates. Lagi pula sebenarnya teknologi sudah dipraktikkan orang dari zaman dulu. Apa itu teknologi? Batang kayu adalah benda alam. Ketika batang kayu itu dikerjakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah perahu untuk menyeberangi danau, batang kayu itu telah berubah dari benda alam menjadi benda hasil karya teknologi.

Sebuah mobil harganya mahal. Bahan baku utama mobil itu adalah sekian ratus kilo besi. Sebenarnya, harga sekian ratus kilo besi jauh lebih murah daripada harga mobil itu. Katakanlah harga bahan bakunya itu hanya 1/10 dari harga mobil. Sisa harganya, yaitu 9/10 kita bayar untuk teknologi mobil tersebut.

Dari dua contoh itu tampak arti teknologi. Teknologi adalah kemampuan mengolah dan membuat benda atau bahan menjadi alat yang berdaya guna untuk maksud tertentu. Jelas, teknologi sangat berguna untuk kehidupan. Apa jadinya hidup kita tanpa teknologi pengobatan. Akan tetapi, pada pihak lain, teknologi bisa juga mengancam hidup, misalnya limbah akibat teknologi nuklir atau kemusnahan akibat teknologi perang. Teknologi bisa menghidupkan dan juga bisa mematikan. Lepas dari dampak menghidupkan atau mematikan, sebuah karya teknologi dapat membuat orang lupa diri atau arogan alias takabur. Gejala takabur itu tampak dalam kecenderungan menjadikan teknologi sebagai ukuran atau matra tunggal. Mutu rumah sakit hanya diukur dari faktor teknologi, akibatnya faktor lain seperti kebersihan, keramahan, dan kejujuran diabaikan. Kemajuan negara diukur hanya dengan kemajuan teknologi sehingga demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi dikesampingkan.

Akibatnya, manusia juga diukur dengan matra tunggal. Makna manusia melulu dianggap sebagai sumber daya, yaitu sumber daya untuk teknologi. Pendidikan di sekolah pun dipersempit dengan tujuan ke arah tunggal, yaitu menyiapkan tenaga untuk teknologi. Pendidikan seperti ini memerosotkan naradidik yang sebenarnya adalah subjek bermatra ganda dalam hidup yang berarah ganda menjadi objek yang bermatra tunggal dalam hidup yang berarah tunggal.

Gejala takabur lain, misalnya, adalah penganak-emasan teknologi dan menjadikannya sebagai proyek mercusuar. Ada negara yang berhasil mengirim astronot ke ruang angkasa, padahal rakyatnya harus antri berebut roti. Ada negara yang bisa membuat senjata nuklir, padahal rakyatnya jadi gelandangan di tepi jalan. Ada negara yang punya program mengekspor pesawat terbang, padahal untuk kebutuhan yang paling sederhana seperti jagung dan keledai, cangkul dan jala ikan masih harus impor, itu pun dengan meminjam uang dari negara lain.

Teknologi dapat membuat kita mempunyai rasa yakin diri berlebihan (over-selfconfidence). Karena peralatan bedah di rumah sakit begitu canggih, baik pihak rumah sakit maupun pihak pasien merasa begitu yakin bahwa operasi jantung ini tidak mungkin gagal. Ternyata kuman kecil di jari perawat menimbulkan infeksi. Akibatnya, pasien meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Rasa takabur dan sombong ini tampak pada Raja Hosea dan para jenderalnya. Mereka baru berhasil mengembangkan teknologi perang yang paling mutakhir untuk zaman itu, yaitu kereta berkuda. Dengan peralatan canggih ini, yang tidak dimiliki pihak lawan, raja yakin bahwa pertempuran tidak mungkin gagal. Beberapa tahun sebelum Raja Hosea menjadi raja, arogansi ini sudah dinubuatkan Nabi Hosea (nama sama!), ketika ia berkata, "Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu, maka keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan..." (Hos. 10:13-14). Nabi menegur raja ketika raja lebih mengandalkan teknologi daripada Tuhan. Ternyata teguran itu benar. Beberapa belas tahun kemudian negara hancur, sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-Raja 17.

Takabur akan teknologi juga terjadi pada kasus kapal Titanic yang tenggelam pada tahun 1912. Kapal itu dirancang dan dibangun selama beberapa tahun dengan teknologi yang paling modern untuk zaman itu. Kapal ini adalah kapal yang paling canggih peralatannya, paling kuat, paling cepat, paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Dengan penuh rasa yakin diri orang berkata, "Kapal ini unsinkable. Kapal ini tidak bisa tenggelam." Akan tetapi, ternyata pada pelayarannya yang pertama dari Southampten ke New York kapal ini menyerempet gumpalan es lalu konstruksi dindingnya robek. Air masuk. Beberapa jam kemudian tubuh kapal ini pecah menjadi dua bagian. Lalu, ia tenggelam ke dalam dasar samudra. Kisah nyata ini difilmkan secara memukau oleh sutradara James Cameron. la menerangkan, "Saya ingin memperlihatkan bahwa kekuatan manusia justru hancur oleh kelemahannya sendiri, yaitu kesombongan dan keserakahan."

Perancang dan kapten kapal ini tidak bisa percaya pada mata sendiri ketika melihat air masuk. Kapal mulai miring. Makin lama makin miring. Semburan air masuk dari kanan dan kiri. Penumpang menjerit dan berlarian kian kemari dengan ketakutan dan kepanikan. Di tengah keributan itu perancang dan kapten kapal cuma terbisu dan terpaku. Tidak mungkin! Tidak mungkin Titanic tenggelam! Akan tetapi, ternyata Titanic tenggelam. Titanic hasil teknologi tertinggi. Titanic yang tercanggih, terkuat, terbesar, terbagus, tercepat, dan termahal ternyata tenggelam. Titanic ternyata toh tenggelam. Trenyuh. Tragis. Teramat trenyuh. Teramat tragis.

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

 

Anda mungkin tidak percaya, saya pernah jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua dolar sejam. Ceritanya begini.

Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak. Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.

Tidak lama kemudian, rupanya "perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung. Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga senang.

Nah, langganan saya itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang, halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah. Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.

Tugas saya cukup mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11 orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.

Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada. Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan. Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss." Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis. Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia. Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka jadi baby-sitter.

Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead, sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur, saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ. Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki bukit.

Ada lagi pengalaman kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran. Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak resmi masih ada lagi.

Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya. Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat "enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat pemberitahuan).

Alkitab memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia. Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis, "Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan, "The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of the world and of human nature."

Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.

Begitulah dalam hidup ini saya sudah menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.

Mungkin Anda bertanya, dari semua pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa tahu...

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

 

Seorang ibu dalam usia 30-an tahun sedang repot mengurus anak-anaknya. la berpikir alangkah bebasnya kalau kelak ia sudah tidak usah melakukan tugas-tugas seperti ini. Suaminya yang juga dalam usia 30-an tahun sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas. la juga sedang membayangkan betapa enaknya kelak kalau ia pensiun dan tiap hari menikmati suasana santai di rumah.

Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian pikiran kedua orang itu berubah total. Mereka bukan lagi mendambakan masa pensiun. Sebaliknya, sekarang mereka sedang cemas memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi kalau mereka pensiun. Pensiun memang mencemaskan. Kalau ada orang yang tidak merasa cemas, barangkali ia belum berpikir tentang masa pensiun, atau ia belum tahu apa itu sebetulnya pensiun. Soalnya, masa pensiun itu banyak "batu"nya.

Baiklah kita mulai dengan soal yang "mudah" (padahal sebetulnya ini sama sekali tidak mudah), yaitu soal uang. Pada hari kita mulai pensiun, pada hari itu juga gaji kita akan dipotong secara drastis. Segala macam tunjangan dihentikan. Yang namanya uang pensiun itu cuma sepersekian dari gaji. Yang paling terasa adalah dihapusnya tunjangan pengobatan. Mulai hari itu segala biaya untuk dokter, apotek, laboratorium, atau rumah sakit harus kita tanggung sendiri. Padahal justru semakin tua semakin sering kita berobat. Sungguh mencemaskan.

Bagi mereka yang selama ini menikmati pinjaman kendaraan dinas atau rumah dinas, persoalannya menjadi bertambah. Kendaraan perlu dikembalikan dan rumah harus dikosongkan. Kita harus pindah. Pindah ke mana? Akan tetapi, baiklah kita andaikan bahwa semua persoalan itu tidak ada atau sudah teratasi. Itu belum berarti bahwa masa pensiun otomatis akan menyenangkan. Ada banyak persoalan lain yang lebih rumit lagi.

Persoalan pertama adalah rasa hampa. Mari kita bayangkan diri sebagai seorang manajer. Selama sekian belas atau sekian puluh tahun kita telah menyatu dengan fungsi atau peran tertentu. Peran itu telah menjadi suatu bagian dari jati diri kita. Sekarang tiba-tiba kita harus melepaskan peran itu. Hati kita padat dengan pelbagai macam perasaan ketika kita mengosongkan meja dan ruangan kantor kita. Apalagi tatkala kita mencabut papan nama dari meja atau pintu ruangan itu. Berpisah dengan teman-teman sekerja juga merupakan beban emosi. Seorang demi seorang kita salami: para sekretaris, pesuruh, operator telepon, direksi, kepala bagian, satpam, dan lainnya.

Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Akan tetapi, setelah itu kita mulai merasa bingung, "Apa yang harus kukerjakan?" Kita merasa kehilangan peran. Lalu kita mulai merasa kehilangan jati diri. Kita merasa ada sesuatu yang kosong dalam diri kita. Kita merasa hidup ini menjadi hampa. Bisa jadi kita mulai bertanya dalam hati, "Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup?"

Perasaan-perasaan seperti itu dapat juga timbul pada seorang ibu rumah tangga. Selama sekitar dua puluh tahun ia mengurus anak-anaknya. Kini semua anak itu sudah mandiri atau berumah tangga sendiri. Mereka sudah mempunyai dunianya masing-masing. Akibatnya, ibu ini tidak tahu siapa yang sekarang perlu dia urus. Ibu ini kehilangan sasaran kesibukan. Mungkin beberapa tahun kemudian ibu ini sibuk merawat suaminya yang lanjut usia. Kemudian, ketika suaminya meninggal, ibu ini lagi-lagi merasa kehilangan peran. Ia merasa bingung, "Siapa yang harus kurawat sekarang?" la merasa hidup ini kini menjadi hampa.

Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang ibu rumah tangga, atau saya seorang manajer bank dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya, ketika peran itu harus dilepaskan, kita pun kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup.

Akibatnya, yang juga dapat timbul adalah post power syndrome. Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Kita mencari serta memperoleh kepuasan dengan cara memainkan atau memberlakukan kekuasaan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sangat suka mengatur dan melindungi anaknya secara berlebihan. la memberlakukan kekuasaan. Atau seorang manajer yang suka tampil sebagai penguasa dan pembesar. Orang yang banyak memberlakukan biasanya akan merasa kehilangan kekuasaan pada masa pensiunnya. Akibatnya, mungkin ia mencari jalan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Mantan manajer itu bisa jadi berusaha mengendalikan penggantinya atau menjelek-jelekkan kebijakan penggantinya.

Pensiun memang dapat menjadi suatu krisis yang menimbulkan sindrom, kompleks atau persoalan kejiwaan lain. Dalam skala Penyesuaian Sosial yang disusun oleh Holmes dan Rahe tercantum sekitar empat puluh penyebab stres, dan pensiun tercantum sebagai penyebab nomor 10 di bawah urutan kematian suami/istri, perceraian, musibah, penyakit dan pemenjaraan.

Masa pensiun memang rentan terhadap krisis karena masa pensiun ditandai oleh banyak pengurangan atau pemerosotan, yaitu merosot dalam peran, penghasilan, kekuasaan dan kekuatan fisik. Rasul Paulus dalam usianya yang lanjut juga mengalami banyak kemerosotan. Namun serempak ia juga mengalami pembaruan atau penambahan di bidang yang lain. Ia menulis, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" (2Kor 4:16).

Inilah "sisi lain dari koin" yang bernama masa pensiun. Secara fisik dan finansial kita berkurang, namun secara emosional dan spiritual kita bisa bertambah. Pola pikir kita bisa menjadi integratif, yaitu mampu mengintegrasikan masa pensiun ini dengan masa kerja yang telah kita tuntaskan dengan baik selama sekian puluh tahun. Lalu kita mensyukuri perjalanan karier yang telah kita lewati itu sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Tuhan telah memberi peran kepada kita selama sekian puluh tahun. Tuhan telah menuntun kita menjalankan peran itu sehingga akhirnya sekarang kita boleh menyelesaikannya dengan selamat.

Selanjutnya pola pikir kita pun bisa menjadi generatif, yaitu mampu mengakui bahwa kesempatan berkarya telah kita peroleh, karena itu sekarang kita menyiapkan generasi berikutnya untuk mengisi kesempatan itu. Kita telah mendapat giliran berbakti, sekarang bakti kita telah purna (penuh, selesai), lalu kita menyerahterimakan giliran itu kepada generasi penerus. Itulah "manusia batiniah" yang bisa berkembang justru pada masa pensiun. Sebab itu, masa persiapan pensiun (sering disingkat: MPP) bukanlah sekadar persiapan lahiriah (tabungan, rumah, asuransi kesehatan dsb.) melainkan terutama persiapan batiniah atau persiapan mental. Kalau yang disiapkan hanya urusan material, MPP bisa di pelesetkan menjadi "mati pelan-pelan" sebab walaupun secara material kita beres, mental kita akan tetap krisis. Sebaliknya, kalau kita siap mental, MPP bisa berarti "masa pematangan pribadi".

Akan tetapi, persiapan mental ini tidak mudah. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis "cathectic flexibility versus cathectic impoverishment". Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karier, dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain. Itu sebabnya salah satu bentuk pengisian masa pensiun yang konstruktif adalah mencari pengganti peran atau pengganti kesibukan dengan cara membantu panti asuhan, panti wredha, sekolah, gereja, poliklinik, dan sebagainya.

Kalau perhatian kita sempit dan hanya mengarah pada diri sendiri, memang masa pensiun adalah menakutkan. Kita menjadi tawar hati, sebab "manusia lahiriah" kita makin lama makin merosot. Namun, bila perhatian kita terbebas dari kesempitan itu lalu terarah pada dimensi hidup yang lebih luas dan lebih luhur, masa pensiun justru melegakan. Memang "manusia lahiriah" kita merosot, namun "manusia batiniah" kita mengembang dan mematang.

DICARI YANG BERPENGALAMAN

DICARI YANG BERPENGALAMAN

 


Ada seorang nabi yang mempunyai mantra untuk menghidupkan tulang orang mati. Murid-muridnya berkali-kali meminta agar nabi itu memberikan mantra tersebut kepada mereka. Tetapi nabi selalu menjawab, "Sabarlah. Kamu perlu pengalaman lebih dulu. Kamu perlu belajar bijak dari pengalaman. Tunggulah sampai kamu menjadi lebih matang. Nanti saya pasti akan memberikan mantra itu.”

Akan tetapi, murid-muridnya tetap mendesak. Mereka terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati nabi itu memberikan mantra yang mereka minta itu. Para murid itu gembira. Mereka langsung meninggalkan sang guru. Mereka ingin mencoba mantra itu. Di perjalanan mereka melihat ada beberapa batang tulang berserakan. "Mari kita coba sekarang!" Lalu mereka menggunakan mantra itu. Apa yang terjadi? Tulang-tulang itu mulai bergerak. Mantera itu ampuh! Dengan mata terbelalak mereka melihat tulang-tulang itu mulai ditumbuhi daging. Lalu menjadi kerangka. Ternyata kerangka itu menjadi serigala yang hidup dengan mata yang liar. Murid-murid itu lari ketakutan. Namun, mereka dikejar serigala itu. Mereka diterkam. Mereka tewas terkoyak-koyak.

Kepandaian dan kekuasaan bukan segala-galanya. Orang yang pandai dan berkuasa belum tentu bijak dalam menggunakan kepandaian dan kekuasaannya. Mereka belum berpengalaman. Namun, apa artinya pengalaman? Pdt. A sudah sepuluh tahun bekerja, sedangkan Pdt. B lima tahun. Siapa yang lebih berpengalaman? Apa Pdt. A? Belum tentu. Kedua pendeta itu tiap tahun mengajar katekese. Pdt. A sudah sepuluh kali mengajar, tetapi bahan yang digunakan selalu sama, begitu juga cakupan, urutan dan caranya. Pdt. B sudah menggunakan lima macam pendekatan yang berbeda. la lalu membandingkan dan menilai kelima macam kelas yang berbeda itu. Nah, siapa yang lebih berpengalaman? Jelas, Pdt. B lebih berpengalaman walaupun masa kerjanya lebih singkat. Pengalaman belum tentu identik dengan panjangnya masa kerja.

Pengalaman lebih dari sekadar mengalami sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar, atau kerjakan belum tentu menjadi pengalaman. Apa yang kita kerjakan baru menjadi pengalaman kalau kelak kita bisa memanfaatkan kesalahan dan keberhasilannya untuk pekerjaan kita yang selanjutnya. Kualitas sebuah pengalaman diukur dari kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari pengalaman itu. Pakar pendidikan John Dewey (1859-1952) dalam buku Experience and Education menulis, "Everything depends upon the quality of the experience which is had. The quality of any experience... is its influence upon later experiences... wholly independent of desire or intent, every experience lives on in further experiences."

Dalam pengertian itu kita berkata bahwa cara belajar yang terbaik adalah belajar dari pengalaman. Bukan pengalaman dalam arti sekadar mengalami, melainkan bertanya apa yang aku pelajari dari apa yang kualami, apa kelemahanku, apa kekuatanku, apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu diubah, apa manfaat yang diperoleh orang banyak dari semua ini?

Pengalaman baru bisa disebut pengalaman kalau apa yang dialami itu diuji secara kritis. Untuk itu, dibutuhkan sikap jujur terhadap diri sendiri dan mau mengakui kebodohan sendiri. Orang yang cepat berpuas diri biasanya miskin pengalaman, walaupun apa yang dialaminya banyak. Kualitas pengalaman diukur dari intensitas. Hidup Yesus di bumi hanya 33 tahun, tetapi hidup-Nya begitu intens (= dalam, hebat, padat, berarah), karena la mempunyai intensi (= tujuan, maksud) yang jelas, yaitu "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45).

Hidup yang bermutu menghasilkan pengalaman. Pengalaman menghasilkan sikap bijak. Pengalaman menjadikan orang berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatu secara tenang dan matang. la melihat persoalan bukan hanya dari satu perspektif atau darii kepentingan sendiri, melainkan juga dari pelbagai perspektif atau dari kepentingan orang banyak. Ia tidak begitu saja maju dan menerjang. Jika perlu, ia bersedia berhenti dan menepi. Seperti ditulis oleh pengarang Amsal, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (22:3).

Perhatikan bahwa ayat itu mempertentangkan antara "bijak" dan "tak berpengalaman". Pola itu terdapat di sepanjang Kitab Amsal (contoh eksplisit lain ada di dalam 14:15). Menurut Amsal, orang yang mau bijak perlu belajar dari pengalaman. Pandai dan berkuasa belum berarti bijak dan berpengalaman. Murid-murid nabi tadi sudah pandai dan berkuasa karena mereka mempunyai mantera yang mampu menghidupkan tulang. Namun, mereka terburu nafsu untuk menggunakan kepandaian dan kekuasaan. Tulang yang mereka hidupkan ternyata tulang serigala. Mereka menghidupkan sesuatu yang kemudian mematikan mereka. Mereka sudah mempunyai kepandaian dan kekuasaan. Namun, mereka belum mempunyai sifat bijak dan pengalaman.

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

 

Perang dingin yang sering terjadi dalam keluarga adalah antara menantu perempuan dan ibu mertua. Golongan usia yang rawan adalah 30-40 tahun pada menantu dan 60-70 tahun pada mertua. Begitulah pengamatan saya sebagai pendeta GKI Samanhudi.

 Dari mana saya mendapat informasi adanya konflik itu? Pihak mana yang melaporkan? Biasanya pihak ibu mertua. Kadang-kadang ada juga dari pihak menantu.

Apakah saya langsung mempertemukan kedua pihak yang berselisih itu? O, tidak! Tentu tidak! Bukan begitu caranya. Cara begitu malah akan mempertajam konflik sebab pihak terlapor pasti akan merasa dipermalukan oleh pihak pelapor.

Lagi pula kalau begitu caranya bisa jadi perang dingin akan meletus menjadi perang terbuka. Nah, mana sanggup saya melerai seorang menantu yang sewot dan seorang mertua yang senewen? Bisa-bisa malah saya dicakar dari kiri dan kanan.

Lalu bagaimana caranya? Apa pendekatan saya saat pertama kali menjumpai pihak terlapor?

Sebetulnya, dari sepuluh kasus konflik keluarga, tidak lebih dari satu yang dilaporkan. Sisanya muncul tersirat atau terdeteksi dalam percakapan biasa. Keluarga cenderung enggan melaporkannya sebab menepuk air di dulang akan memercik muka sendiri.

Tentu saja bentuk, isi persoalan, dan intensitas tiap konflik berbeda. Akan tetapi, polanya hampir serupa.

Ini lebih kurang keluhan seorang mertua, "Pak Andar sendiri pernah bilang, anak saya sifatnya fleksibel dan gampang cocok dengan siapa saja selama jadi majelis gereja. Tapi dia terlalu takut pada istrinya. Mau datang ke rumah saya, mesti lapor kepada istri. Mau membelikan sesuatu untuk saya mesti minta izin istri. Menantu saya itu enggak ketulungan judesnya. Ia enggak pernah manis kepada saya. Selalu ketus. Saya enggak dapat perhatian. Saya enggak dihargai."

Sekarang kita dengar keluhan pihak menantu, "Tiap kali bertemu Pak Andar di gereja, Mami langsung ramah dan manis banget. Mami ketawa-ketawa. Padahal di rumah ia diktator galak seperti Queen Victoria atau Margareth Thatcher. Bicaranya selalu ketus. Ketika kami baru menikah, ia menghargai saya. Akan tetapi, sesudah itu ia super judes. Tak pernah ia ramah pada saya. Saya capek-capek masak lalu membawanya ke rumah Mami, tetapi jangankan memuji prakarsa saya, bilang terima kasih pun tak pernah. Ia tak pernah memperhatikan perasaan saya."

Demikian lebih kurang keluhan mertua dan menantu. Sekarang mari kita bandingkan kedua keluhan itu. Silakan baca ulang. Isinya tentu berbeda. Namun, apakah Anda juga menemukan sejumlah persamaan? Sebetulnya, inti atau substansi kedua keluhan itu sama.

Apa persamaannya? Baik mertua maupun menantu merasa: aku kurang dihargai, aku kurang diperhatikan, aku diperlakukan ketus dan kasar, aku diperlakukan kurang ramah, aku diperlakukan kurang baik, aku kurang disayang.

Kedua orang itu sama perasaannya: merasa kurang. Kurang! Mertua mengeluh, "Menantu saya kurang menghargai saya." Menantu mengeluh, "Mami kurang menghargai saya." Sami mawon!

Itulah penyebab rusaknya hubungan antar-orang. Suami merasa kurang diperhatikan istri, istri merasa kurang diperhatikan suami Begitu juga karyawan dan majikan. Tetangga dan tetangga. Kita merasa kurang dihargai oleh tetangga. Itu penilaian diri kita.

Kita adalah orang yang kurang dihargai. Akibat konsep diri seperti itu, kita merasa jengkel kepada dia. Makin lama kita makin jengkel.

Kita rugi sendiri. Cobalah untuk mengganti dan membarui konsep diri kita. Ganti konsep diri dari "Aku orang yang kurang dihargai", menjadi "Aku orang yang bisa menghargai". Lalu mulailah menghargai tetangga itu. Senyumlah kepadanya. Sapalah dia. Berilah perhatian ke padanya.

Apa yang akan terjadi? Sangat mungkin tetangga itu sedikit demi sedikit akan mulai memberi perhatian kepada kita. Oleh karena kita memberi perhatian, kita akan diberi perhatian. Yesus berkata, "Berilah dan kamu akan diberi..." (Luk. 6:38a).

Ucapan Yesus itu adalah pedoman untuk hubungan antar-orang, antargolongan, antarbangsa, antaragama, dan lainnya. Jika kita menghargai orang lain, orang itu akan menghargai kita. Simak logika Yesus untuk pedoman itu, "... sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (ay. 38c).

Mengapa ibu mertua tadi tidak diberi perlakuan manis? Oleh sebab ia sendiri pun tidak memberi perhatian manis. Mertua dan menantu itu setali tiga uang (lih. "Sebotol Racun Cinta" di Selamat Berkerabat).

Itulah pendekatan pedagogis saya dalam konflik menantu-mertua. Saya tidak menasihati, sebab dalam pedagogi tidak dipakai cara menasihati. Yang saya lakukan adalah memberdayakan orang itu untuk mengenali citra dirinya, yaitu bahwa ia sebetulnya adalah pribadi yang punya perhatian, namun belum memanfaatkan potensinya. Akibatnya, ia kurang memberi perhatian sehingga ia pun kurang diberi perhatiin.

Sebetulnya, cerita ini masih panjang. Ada satu pihak yang belum disebut padahal ia adalah korban yang hatinya paling terluka. Ia adalah sang putra. Dalam konflik ini ia jadi bumper yang babak belur ditabrak dari kiri dan kanan. la tulus mencintai ibunya dan tulus mencintai istrinya, namun justru karena ketulusannya ia disalahpahami oleh kedua belah pihak. Dengan simpati nanti saya akan menulis bab tersendiri.

Setelah menantu dan mertua itu mulai teduh, apakah saya mempertemukan mereka? Tidak! Tidak pernah! Pertama, karena proses pemulihan hubungan sebaiknya berlangsung alamiah antara yang bersangkutan. Kedua, karena pertemuan seperti itu mudah merosot menjadi seremoni, padahal yang perlu adalah diplomasi.

Bahkan, dalam banyak kasus pihak menantu tidak tahu bahwa selama beberapa bulan itu berkali-kali saya berkunjung ke mertua. Sebaliknya, mertua pun tidak tahu bahwa saya berkali-kali mengun jungi menantu.

Pada awal bab ini ada pertanyaan: Bagaimana caranya saya mendekati pihak terlapor? Pihak terlapor tidak boleh tahu bahwa ia dilaporkan sebab ia akan merasa dipermalukan. Lalu bagaimana caranya saya berkunjung berkali-kali tanpa dia tahu bahwa ia adalah terlapor?

Begini caranya. Saya berkunjung bukan sebagai pendeta, melainkan sebagai seekor kura-kura.

Kura-kura? Ya, sebagai kura-kura di pinggir perahu, alias ... pura-pura tidak tahu.

SEHELAI RUMPUT SEGAR

SEHELAI RUMPUT SEGAR

 

Binar mata Nasrudin menatapi keledai yang tertambat di halaman istana. Keledai itu kuat dan tegap. Kata orang ini keledai paling bagus di seluruh kerajaan. Inilah keledai yang akan dijadikan hadiah bagi pemenang lomba. Lombanya akan segera diumumkan raja. Betapa Nasrudin ingin menjadi pemenang lomba itu.

Terompet pun berbunyi. Raja bermaklumat, "Aku kecewa bahwa minat baca buku masih rendah. Oleh sebab itu, aku ingin agar keledaiku ini diajar membaca buku, sehingga orang yang malas baca buku jadi malu melihat keledai pun mau baca buku. Ini lombanya. Peserta lomba yang dalam satu bulan berhasil mengajar keledai ini membaca buku akan kuhadiahkan keledai ini. Akan tetapi, jika orang itu gagal ia akan dihukum kerja paksa selama satu tahun. Nah, siapa yang mau ikut lomba ini?"

Nasrudin dan ratusan orang lainnya di halaman istana tertunduk lesu. Siapa gerangan bisa mengajar keledai membaca? Mustahil! Tiba-tiba Nasrudin memecah kesunyian. Katanya, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya ikut lomba!"

Semua orang mencibirkan bibir. "Dasar Nasrudin bego! Mustahil lah mengajar keledai membacal Rasakan kerja paksa sepanjang tahun nanti!"

Sambil menarik tali keledai itu Nasrudin berjalan pulang. Mendekati rumah barulah ia sadar, "Apa yang harus kulakukan untuk membuat keledai ini mau membaca buku? Istriku saja tidak mau baca buku, apalagi keledai."

Siapa Nasrudin? la adalah tokoh separuh fiktif separuh faktual dalam ribuan cerita dari abad ke-14. Para pengarangnya tidak diketahui. Belasan negara mulai dari Turki terus ke Kazakstan sampai Provinsi Sin Kiang di Tiongkok mengklaim Nasrudin sebagai warisan budaya susastra mereka. Tiap cerita itu merupakan parodi dan satire yang mengandung sebuah kritik sosial. Pelaku utamanya Nasrudin yang dungu dan lugu, namun memegang kartu kebenaran (lih. "Lugu Bak Nasrudin" di Selamat Berkiprah).

Tidak ada cerita Nasrudin yang autentik. Semua cerita itu telah dimanipulasi oleh pengadopsi cerita sesuai dengan tujuan instruk sionalnya masing-masing, karena dalam sebuah cerita bisa terdapat belasan tema yang berbeda.

Sebentar akan kita lihat bahwa karangan ini bukan hanya berte ma minat baca buku, melainkan juga bertema bagaimana membuat orang jadi berminat membaca buku.

Masih tentang minat baca, pernah Eka Darmaputera dan saya mengadakan tiga survei kecil untuk sekitar 40 pendeta, 40 pengurus komisi/badan pembantu, dan 60 penatua pada tempat dan kesempatan yang berbeda. Tugas survei berbunyi, "Dari 10 isu ini, pilih 5 isu yar menurut Anda menjadi agenda Luther dan Calvin dalam Reformasi Gereja." Hasil survei menunjukkan bahwa isu "Pembenaran oleh Iman" dipilih oleh semua responden. Isu "Otoritas Alkitab" oleh banyak responden. Demikian juga isu "Sakramen". Akan tetapi, isu "Peran Baca untuk Iman" tidak dipilih oleh satu orang pun.

Angka berbicara. Dari sekitar 40 pendeta itu tidak ada seorang pun yang tahu bahwa pengadaan buku dan peningkatan minat baca buku umat merupakan salah satu agenda Reformasi Gereja yang diperjuangkan.

Padahal Luther memberikan begitu banyak waktu dan energi untuk mendorong umat membaca. Langkah pertama Luther adalah membuka akses umat untuk membaca Alkitab. Pada zaman itu Alkitab hanya bisa dibaca oleh rohaniwan sebab bahasanya adalah Latin Siang malam selama beberapa bulan Luther menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa nasional. Lalu ia dan kawan-kawan menulis buku-buku rohani untuk umat.

 Kepada para penulis itu Luther mewanti-wanti, "Jangan pakai bahasa Jerman-mu, tetapi pakailah bahasa Jerman umat. Pakai bahasa yang hidup dan jelas sehingga ibu-ibu di pasar pun bisa mengerti dan suka membaca tulisanmu!"

Ketika gereja Protestan semakin mewujud, Luther pun giat mena tar para pendeta dan mendorong mereka untuk tiap hari membaca buku. Akan tetapi, Luther frustrasi melihat betapa lambannya para pendeta itu. Luther mengomel, "Ada pendeta yang pada dasarnya malas ... mereka tidak berminat untuk membeli buku... walaupun memilikinya, mereka malas membacanya!"

Sementara itu, Gereja Katolik pun mulai lebih memperhatikan peran buku. Di tengah gencar-gencarnya gerakan reformasi Luther, pada tahun 1540, berdirilah Ordo Jesuit atas prakarsa Ignatius Loyola. Ordo ini banyak melakukan kaderisasi para calon cendekiawan melalui literatur.

Bukan hanya Luther yang mengomeli kemalasan baca buku. Yesus pun mengomel! Injil Matius mencatat bahwa Yesus pernah lima kali jengkel kepada para pemuka agama karena para pemuka agama itu belum membaca apa yang seyogyanya mereka baca. Omel Yesus, "Tidakkah kamu baca..." (12:5). Juga, "Tidakkah kamu baca bahwa ..." (19:4). Juga, "Belum pernahkah kamu baca..." (21:16). Pada ke sempatan lain juga, "Belum pernahkah kamu baca dalam ..." (21:42). Juga, "Tidakkah kamu baca apa yang ..." (22:31).

Luther mengomel. Yesus mengomel. Raja kita pun mengomel. Oleh sebab itu, raja ingin agar ada orang yang bisa mengajar kele dainya membaca buku. Raja ingin menyindir orang yang malas baca buku. Raja ingin berkata, "Lihat, keledai saja mau baca buku, masakan Anda cuma main internetan!"

Maka, pada hari terakhir lomba itu halaman istana sudah dike rumuni orang. Semua orang ingin melihat apa yang terjadi dengan Nasrudin.

Dengan langkah gugup Nasrudin menuntun keledai itu ke tengah lapangan. Lalu seorang pesuruh istana meletakkan sebuah buku di atas meja. Tebalnya sekitar seratus halaman. Bisakah buku itu dibaca oleh keledai?

Terompet berbunyi. Raja memberi aba-aba, "Mulai!" Keledai itu mengendus-ngendus buku dan menggoyang goyangkan lidahnya. Lalu dengan lidahnya yang terjulur panjang ia mulai membalik halaman pertama. Lalu halaman kedua. Lalu halaman ketiga. Halaman demi halaman dijilatnya dan dibalikkannya. Pada tiap halaman ia berhenti sejenak untuk menatap apa yang terdapat di situ. Lalu halaman berikutnya lagi. Sampailah ia pada halaman terakhir. Lalu ia meringkik nyaring! Hadirin bersorak girang sambil bertepuk tangan.

Raja terpana dan berdecak kagum. Lalu ia bertakrif, menya takan Nasrudin adalah pemenang. Ia berhak menerima keledai ini!" Nasrudin membungkuk, "Sahaya hatur syukur, Tuanku Baginda." la pun cepat-cepat menuntun keledainya pergi.

Akan tetapi, tiba-tiba raja bersabda, "Nasrudin! Tunggu dulu! Coba ceritakan apa rahasiamu sehingga keledai ini mau membaca buku?"

Nasrudin terkejut. Dengan tergagap ia menjawab, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya belajar dari tetangga saya. Tetangga sahaya itu tiap pagi pukul 4.00 sudah mulai menulis buku. la bekerja keras. Orangnya serius. Mukanya cemberut. Sifatnya eksen...!"

 Raja langsung membentak, "Aku tidak peduli tampang tetanggamu itu macam apa. Aku ingin tahu apa rahasianya sehingga keledar mau membaca buku!"

Nasrudin bertakzim, "Sahaya hunjuk ampun, Tuanku Baginda Maksud sahaya begini. Tetangga sahaya itu di STT Jakarta mengajar Ilmu Memadukan Rumput Segar dalam Bahan Ajar. Ia mempraktikkan ilmu itu dengan cara menulis buku Seri Selamat. Di tiap halaman bukunya ia memadukan sehelai rumput segar. Oleh sebab itu, Seri Selamat banyak pembacanya. Itulah juga yang sahaya lakukan dengan keledai ini. Sahaya meletakkan sehelai rumput segar di tiap halaman buku sebagai makanannya tiap hari sehingga keledai ini rajin membaca buku sebab ia ingin makan. Tuanku Baginda, tidak ada rahasia apa-apa. Hanya itu, hanya sehelai rumput segar!"

REFORMASI DIRI

REFORMASI DIRI

 

Pemuda ini tiap hari hanya bermain anggar. Sesudah itu, membaca novel tentang kesatria yang merayu-rayu putri cantik. Khayalan pemuda Spanyol ini tak kepalang tanggung, yaitu menikahi Putri Katalina yang wah dari Austria.

Akan tetapi, jiwa pemuda bangsawan ini pada suatu waktu berubah total gara-gara dua jilid buku yang dibacanya. Jalan hidupnya berubah sama sekali. la menjadi pendiri Ordo Yesuit. la menjadi Reformator Gereja, Luther dan Calvin di barisan Protestan, ia di barisan Katolik. Pola pikirnya masih berpengaruh sampai hari ini di bidang pekabaran Injil, persekolahan, dan pendidikan agama. la adalah Ignatius Loyola (1491-1556). Akan tetapi, bukankah Ignatius Loyola itu seorang tokoh kontra reformasi?

Loyola terlahir dengan nama Inigo Lopez. la 8 tahun lebihmuda dari Luther dan 8 tahun lebih tua dari Calvin la anak bungsu dari 14 bersaudara.

Persekolahan formal yang diterima Loyola pada masa kecil sungguh minim. Ada guru pribadi yang datang kepuri, namun pengetahuan yang diperolehnya sedikit. Yang banyak dipelajarinya hanya peraturan protokol keningratan. Demikian juga pendidikan imannya amat minim. Sehari-hari ia hanya bersantai dan berfoya-foya dengan teman sebayanya yang membawa dia ke dalam pergaulan buruk.

Kelak menjelang akhir hidupnya, Loyola mendiktekan autobiografinya kepada Luis da Camara (edisi Indonesia: Wasiat dan Petuah Santo Ignatius, terbitan Kanisius). Tertulis, "Sampai umur 26 tahun dia (aku) hanyalah memikirkan permainan duniawi, dan kegembiraan terbesar adalah memenangi pertandingan senjata demi mendapat kehormatan."

Perubahan besar terjadi ketika Loyola berusia 26 tahun. la tergabung dalam pasukan yang mempertahankan benteng Pampelona dari serangan Prancis. Saat komandannya berniat menyerah, Loyola tetap gigih bertempur. la terkena peluru meriam. Kedua kakinya patah sehingga dibedah ulang. Beberapa minggu kemudian ia diusung dengan brankar berhari-hari ke daerah asalnya.

Mungkin akibat tergoyang-goyang ketika diusung brankar, tulang yang dibedah itu berubah posisi. Lalu para dokter mematahkan kembali tulang itu dan melakukan operasi kedua kali.

Beberapa bulan kemudian hasil bedah itu ternyata mengecewakan. Kaki kiri lebih pendek dari kaki kanan. Loyola yang selalu ingin tampak gagah minta dioperasi kembali.

Berbulan-bulan Loyola tidak turun dari ranjang. Sungguh membosankan. la pun meminta buku, namun tidak ada buku roman kesatria kasmaran kepada putri genit. la mendapat dua buku yang sama sekali tidak menarik. Apa boleh buat. Loyola pun mulai membaca. Ternyata kedua buku ini mengubah jalan hidupnya secara total.

Buku pertama adalah renungan tentang hidup dan sosok Yesus. Buku kedua renungan tentang kiprah para tokoh iman. Loyola tercengang-cengang membaca Fransiskus Assisi, anak pengusaha besar, bertukar pakaian dengan seorang pengemis (lih. "Doa Fransiskus dari Assisi" di Selamat Pagi Tuhan,dan"Makhluk itu Majemuk"di Selamat Berkarunia).

Kedua buku itu dibacanya berulang-ulang. Loyola merasa malu kepada dirinya sendiri. Tertulis, "Dia (aku) merasa jijik teringatakan perilaku kedagingan dulu." Akan tetapi, tidak lama kemudian ia ingin lagi melakukan perbuatan-perbuatan jijik itu.

Tiap hari selama beberapa bulan Loyola bergumul dalam kebimbangan memilih menjalani hidup yang lama ataukah membarui hidupnya. Tertulis, "la (aku) mulai berpikir lebih serius mengenai hidup dan merasa perlu membuat pilihan." Dalam perkembangan waktu ia menulis, "Akhirnya pikiran pertama, yaitu mengenai hal-hal duniawi, mulai ditinggalkan. Hal-hal duniawi dikalahkan oleh keinginan yang luhur ... ia (aku) merasa muak terhadap hidup yang dulu, khususnya mengenai kehidupan seksual ... "

Dengan tekad itu Loyola pergi ke Barcelona. Di hadapan seorang imam ia membuat pernyataan melepas semua hak atas harta benda. la mengganti pakaiannya yang mahal dengan pakaian sederhana. Selama setahun ia bersemedi di sebuah goa untuk meminta penglihatan dari Allah.

Pada tahap usia ini pikiran Loyola diwarnai oleh buku Meniru Kristus (The Imitation of Christ) karya Thomas Kempis (1380-1471). Di situ tertulis, "Banyak orang mau mendapat kegembiraan dari Kristus, namun hanya sedikit yang rela menderita demi Dia. Banyak orang mengikut Kristus karena cari untung, hanya sedikit yang bersedia menanggung rugi." Padahal kita adalah anak dan ahli waris "jika kita menderita bersama-sama dengan Dia" (Rm. 8:17). BukuThomas Kempis itu yang terbit tahun 1427 hingga kini masih terusdicetak ulang dalam rupa-rupa bahasa (lih. "Swami Vivekananda" di Selamat Berjuang).

Tak lama kemudian Loyola berlayar ke Israel. Namun, penguasa militer Turki yang menduduki Israel melarang Loyola mengabarkan Injil. Paraimam Ordo Fransiskan di Israel menyarankan Loyola untuk membekali diri dengan pengetahuan dasar pekabaran Injil.

Loyola pun kembali ke Spanyol untuk masuk universitas. la ditolak karena tidak tahu bahasa Latin. Namun, ia pantang menyerah. Mes kipun berusia 33 tahun, ia duduk di kelas bersama murid-murid SMA. Dua tahun kemudian ia diterima di Universitas Alcala.

Kecerdasan dan kesungguhannya melejitkan Loyola di perguruan itu. Di luar kelas ia mencari kesibukan. la mengumpulkan orang-orang gelandangan dan ia mengajar katekese kepada mereka.

Kegiatan Loyola itu tidak disukai para pastor. la pun dipanggil menghadap tim pemeriksa ajaran agama (inkuisisi), namun ternyata tidak ditemukan penyimpangan atau kesesatan.

Meskipun demikian, beberapa bulan setelah itu ia dijebloskan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Di penjara pun ia mengajar katekese. Akhirnya, ia dibebaskan dengan syarat tidak boleh mengajar agama.

Terkekang oleh larangan itu Loyola pindah kota dan masuk Universitas Salamanka. Di sini pun ia dipenjara sekian minggu karena mengajar katekese.

Loyola kecewa, ia berjalan kaki melewati pegunungan Pirene yang diselimuti salju menuju Paris. la masuk Universitas Montaigu tempat Calvin juga bersekolah, namun mereka tidak saling jumpa karena berbeda angkatan.

IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

 

Di Paris prestasi kerja Ignatius Loyola memuncak. Selain bersekolah ia juga mengembangkan pemikiran yang telah digelutinya selama beberapa tahun, yaitu rancangan program pendidikan spiritualitas. Berbeda dengan pendidikan agama yang berisiajaran religi, pendidikan spiritualitas berisi upaya menghaluskan perasaan religiositas, tak soal apa religinya, bahkan tak soal apa menganut religi atau tidak. Kiprahnya ini membuat Loyola lagi-lagi diperiksa oleh tim inkuisisi.

Loyola menulis pemikirannya itu yang kelak terbit berjudul Latihan Rohani, yang merupakan semacam modul atau program belajar.

Tujuan yang lebih mendasar dari buku Latihan Rohani yang ditulls Loyola selama 15-20 tahun ini adalah agar kita sedikit demi sedikit belajar melepaskan diri dari mental swakasih, swakehendak, dan swakepentingan. Pernah dalam pelajaran Didaktik di STT Jakarta sebuah unit latihan Loyola saya praktikkan dan seluruh kelas termasuk saya harus mengaku betapa banyaknya energi yang terkuras.

Selama belajar di Paris Loyola pun membina kelompok studi, yang terdiri atas sepuluh orang mahasiswa yang penuh kesungguhan. Serikat Sepuluh Teman ini menganalisis kegagalan gereja di Eropa yangcenderung berpihak kepada kaum bangsawan dan raja yang mencekik rakyat dengan harga sewa tanah yang mahal.

Serikat Sepuluh ini juga mencatat bahwa para rohaniwan lebih suka upacara dan kemegahan ibadah ketimbang tekun belajar meningkatkan pengetahuan supaya cakap mengajar umat. Serikat Sepuluh ini menjadi cikal bakal berdirinya Serikat Yesus atau Ordo Yesuit pada tahun 1540. Salah seorang di antara teman Loyola ini adalah Fransiskus Xaverius yang pada tahun 1546 mengabarkan Injil di Ambon, Ternate dan Halmahera (lih. "Siapa Pembawa Injil ke Indonesia?" di Selamat Berpadu).

Loyola dan teman-temannya juga mempelajari tulisan Luther. Mereka setuju dengan Luther bahwa gereja perlu dibarui. Akan tetapi, mereka tidak mau ikut dengan Luther mempersoalkan ajaran gereja dan sistem jabatan gereja. Yang mereka persoalkan adalah keburukan perilaku para pejabat gereja. Memang benar, pada kemudian hari atas desakan Kaisar Karel V yang menghimpun Konsili Trente (1547-1563), semangat ordo ini dimanfaatkan oleh para raja dan pemuka gereja untuk melawan reformasi, namun Loyola sendiri tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk mencurigai dan melawan Luther. Loyola bukan kontra reformasi. la sendiri berkali-kali dicurigai oleh tim inkuisisi, bahkan juga setelah ia ditahbis sebagai imam. Kelompok kontra reformasi yang ditokohi oleh Kaisar Karel V dan putranya Raja Philips Il terdiri atas para raja dan pejabat gereja yang merasa kepentingannya terganggu. Loyola tidak merasa terganggu oleh Luther. Sebaliknya, ia malah merasa terilhami oleh Luther.

Seusai masa studi di Paris, Loyola semakin sibuk lagi. la merasa diri sebagai orang "yang menantikan tuannya yang pulang dari perkawinan,supaya jika ia datang dan mengetuk pintu, segera dibuka pintubaginya" (Luk. 12:36). la teringat pesan Kristus, "Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala" (ay. 35). la ingin "didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang" (ay. 37). Ia ingin "siap sedia, karena Anak manusia datang pada saat yangtidak kamu sangkakan" (ay. 40). la ingin "didapati tuannya melakukan tugasnya itu ketika tuannya datang" (ay. 43).

Gaya hidup Loyola adalah selalu siaga dan bekerja supaya saat Kristus datang semua pekerjaan sudah dikerjakan. la ingin membuat Kerajaan Allah menjadi nyata. Semua ini dilakukan sesuai dengan moto ordonya: "Demi Semakin Meningkatnya Kemuliaan Allah".

Ignatius Loyola memang merindukan Kristus. Dulu ia rindu untuk mencium tangan Putri Katalina, mendapat saputangannya, dan berkata, "Daulat, Tuanku Putri." Sekarang Loyola mengajak kita rindu ingin mencium tangan Kristus, menerima saputangan-Nya, dan berdoa:       

Kristus, Jiwa-Mu, sucikan aku Tubuh-Mu, selamatkan aku Darah-Mu, lepaskan dahagaku Air lambung-Mu, bersihkan aku Derita-Mu, kuatkan aku. Dalam luka-Mu, sembunyikan aku. Jangan biarkan aku terpisah dari-Mu. Dari segala yang jahat, belalah aku. Pada saat kematian, panggillah aku. Undanglah aku mendekati-Mu. Agar bersama-sama orang kudus. Aku memuja-Mu. Sepanjang masa. Amin.

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

“Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” (1Kor. 15:10)

Menjadi pribadi yang autentik adalah panggilan semua pegiat sosial. Autentik berarti asli, sejati, tak berpura-pura, dan apa adanya. Tanpa kesejatian semacam itu, seribu satu masalah pelayanan-persahabatan akan bermunculan. Kita semua tahu, setiap karya Kristiani berpusat pada relasi antarpribadi. Oleh karena itu, Anda bisa bayangkan, betapa runyamnya ketika seorang pegiat sosial yang memiliki persoalan dengan kesejatian pribadinya harus berelasi dengan orang lain.

Apalagi jika orang itu pun memiliki masalah dengan penerimaan dirinya. Wah, yang bakal terjadi tentulah relasi-relasi yang palsu. Bisa jadi, yang muncul adalah relasi antartopeng, bukan relasi antarpribadi yang autentik dan membebaskan. "Hanya dengan menerima diri apa yang bisa dibayangkan, betapa kita dapat menerima orang lain apa adanya."

Dalam dunia psikologi, lawan dari "diri yang autentik" (authentic-self) adalah "diri yang fiktif" (fictional-self). Kita bisa berkata, "Jika yang pertama adalah siapa aku sebagai ciptaan Allah yang hidup dan berkembang sampai detik ini, maka yang kedua adalah siapa aku sebagaimana diimpikan oleh orang tersebut." Diri yang fiktif mungkin saja baik, indah, dan ideal.

Namun, tetap saja ia tidak nyata. Tidak autentik. Kita memang tidak pernah diundang untuk menjadi seorang pribadi yang serba-sempurna. Itu memang impian kita. Namun sementara kita bergumul di tengah dunia ini, itu jelas tak mungkin. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi diri kita apa adanya. Hanya dengan menerima diri apa adanyalah kita dapat menerima orang lain apa adanya. Oleh karena itu, berdamai dengan diri kita sendiri merupakan pintu gerbang menuju pelayanan-persahabatan yang sejati pula.

Rasul Paulus yang pernah menjadi seorang penyiksa jemaat Kristus itu (bdk. ay. 9) menyadari benar pentingnya penerimaan diri seutuhnya, apa adanya. Setelah bertobat, ia sadar bahwa masa lalunya yang kelam tidak pernah bisa diubahnya. Itu semua menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang. Namun, Paulus juga percaya kasih karunia Allah ternyata lebih berkuasa dari pada kekuatan masa lalunya. la terbebas ketika kasih karunia Allah itulah yang mengubahnya dan ia pun bisa hidup sebagaimana ia ada sekarang. Kasih karunia Allah, yang menerima Paulus sebagaimana adanya ia mendorong Paulus untuk juga dapat menjadikan karyanya sebagai sebuah pelayanan-persahabatan yang membebaskan, berbuah dan bermakna. Jika Paulus dapat mengalami itu, kita pun tentu dapat.

BUNUH DIRI VS BARUI DIRI

BUNUH DIRI VS BARUI DIRI

 

Selama menjadi pendeta GKI Samanhudi, jarang saya menghadapi kasus bunuh diri. Akan tetapi, jarang bukan berarti tidak pernah Bunuh diri terbagi atas beberapa jenis Dalam bahasan ini yang dilihat hanya tiga jenis, yaitu niat bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan perbuatan bunuh diri. Ketiga jenis itu bisa terjadi pada golongan usia mulai remaja sampai lanjut usia, rajin ke gereja maupun tidak, miskin dan kaya

Pada jenis niat, biasanya kasus diungkapkan sendiri oleh pelaku atau terdeteksi dalam percakapan Sebaliknya, pada jenis percobaan, kasusnya saya ketahui karena diberi tahu oleh keluarga. Sedangkan pada jenis perbuatan, kasusnya saya ketahui ketika pelaku sudah meninggal dunia. Semua kejadian itu tentu mencekam dan membuat saya merinding.

Pemicu bunuh diri ternyata sama sekali tidak bisa disederhanakan sebagai "putus asa" atau "kurang iman". Pemicunya sangat beragam dan rumit (lih "Bunuh Diri" di Selamat Sejahtera). Aspek pemicunya dalam tulisan ini dibatasi pada dua aspek.

Aspek sosial pedagogis. Dibesarkan dan berada dalam keluarga yang longgar ikatan, dingin dan jaga jarak terhadap satu sama lain, bahkan sesama saudara kandung pun saling bersaing Berada dalam keluarga yang menolak kita, misalnya keluarga merasa malu karena kita cacat. Atau, keluarga resah karena kita lajang sehingga keluarga mendesak-desak kita untuk mempunyai pacar Atau, keluarga menolak karena kita lesbian atau gay dan memaksa kita berubah jadi "normal" Faktor longgarnya ikatan sosial pun berpengaruh, misalnya jika kita enggan bergaul, enggan terhisab dalam komunitas, tidak punya teman dekat, tidak kenal tetangga, tidak akrab dengan anak dan menantu, dan sebagainya

Aspek psikologis pedagogis Kurang terlatih menanggung frustrasi sehingga mudah tergoncang ketika jalan hidup kita tidak mulus Serangkaian kegagalan, misalnya gagal ujian, gagal asmara, gagal. rumah tangga, gagal karier, dan sebagainya. Kurang terbiasa bertanggung jawab sehingga kita merasa tidak sanggup lagi saat menanggung beban tanggung jawab yang berat. Merasa ditinggalkan oleh semua orang sehingga dilanda rasa kesepian. Merasa din betul betul dihina dan dipermalukan, misalnya karena perkosaan. Merasa din tidak disukai dan tidak dipahami. Merasa diri ditelantarkan Merasa diri ditolak

Berbagai tekanan perasaan itu bisa memicu pikiran untuk bunuh. din. Kita seolah-olah menjerit, "Saya tidak tahan lagi!" Itulah jeritan Nabi Elia saat ia berniat bunuh diri. Jeritnya, "Saya tidak tahan lagi. TUHAN Ambillah nyawa saya..." (1Raj 19.4, BIMK).

Akan tetapi, tidak banyak orang yang bisa terus terang menjerit seperti Nabi Elia itu. Kebanyakan orang hanya memendam segala perasaannya. Gejala-gejala pemendaman itu banyak Murung berke panjangan Hilang minat. Sulit konsentrasi Patah semangat Lamban. Lesu. Susah tidur, atau sebaliknya tidur berkepanjangan Mudah tersinggung, Gampang marah. Hilang kreativitas Hilang produktivitas Mengasingkan diri. Tidak nafsu makan, atau sebaliknya makan ber lebihan. Enggan berbuat ini dan itu.

Tanda-tanda itu merupakan bagian dari gejala stres dan depresi (lih. "Stres" di Selamat Bergumul, dan "Depresi" di Selamat Berjuang). Ada kemungkinan gejala-gejala itu merupakan awal tanda niat bunuh diri.

Gejala-gejala seperti itu pada anggota keluarga atau teman merupakan alarm kepada kita untuk segera menawarkan pertolongan. Caranya bukan menasihati dan bukan menegur, melainkan mendekati Kita menciptakan suasana yang memungkinkan dia merasa aman berada dengan kita dan bisa memercayai kita. Ia sedang menanggung beban perasaan yang berat. la butuh seseorang yang mau mendengarkan persoalannya dan mau memahami penderitaannya. Mes kipun kita tidak memberi solusi, ia sudah mulai agak lega jika kita mau berempati dengan jalan mendengarkannya tanpa membenarkan atau mempersalahkan dia.

Jika pelaku niat bunuh diri itu bisa memercayai kita dan mau mencurahkan isi hatinya, maka besar kemungkinan terjadi keter hubungan emosi antara dia dan kita. Pelaku bunuh diri adalah orang yang merasa ditolak, dicibirkan, dan kurang disukai oleh lingkungannya. Oleh sebab itu, sikap kita yang mau merangkul akan sangat besar artinya bagi dia. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% dari kasus bunuh diri bisa dicegah berkat keterhubungan emosi dengan orang yang bisa dipercaya. Kita bisa turut membantu pencegahannya. Tang gal 10 September adalah Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia.

Akan tetapi, faktor pemicu bunuh diri bersifat tersembunyi. Oleh sebab itu, meskipun krisis sudah mereda, sebaiknya pelaku berkon sultasi pada seorang profesional yang terlatih seperti psikolog, psikiater, rohaniwan, atau lainnya.

Agak disayangkan bahwa banyak rohaniwan kurang dibekali pengetahuan menghadapi kasus seperti ini. Biasanya rohaniwan hanya melihat dari sudut iman. Akibatnya, ia hanya menasihati, "Bunuh diri itu dosa. Melanggar firman Allah." Bahkan ada rohaniwan yang memakai pendekatan intimidasi, "Orang bunuh diri masuk neraka."

Kurangnya pemahaman terhadap bunuh diri menyebabkan naknya angka bunuh diri. Di Indonesia tiap jam ada satu orang bunuh diri.

Banyak orang belum melihat bahwa bunuh diri merupakan per soalan sebab akibat. Mengapa pelaku merasa dirinya tidak berharga sehingga ia berniat bunuh diri? Mengapa ia membenci dirinya sehingga ia ingin membunuh dirinya itu? Mengapa ia merasa hidupnya memalukan sehingga ia nekat mengakhiri hidupnya?

Penyebabnya ada di tangan kita, yaitu keluarga, gereja, dan lingkungan pelaku. Kita malu punya anak seperti dia, sebab itu dia juga malu atas keberadaannya. Kita tidak menyukai saudara kita itu, sebab itu ia pun tidak menyukai dirinya.

Pemicu dasariah bunuh diri adalah karena pelaku menolak dirinya; dan ia menolak dirinya karena kita menolak dia.

Kata kuncinya adalah penerimaan versus penolakan. Kalau kita belajar menerima dia sebagaimana dia adanya, maka dia juga belajar menerima dirinya sebagaimana dia adanya. Sebaliknya, kalau kita menolak dia dengan mendesak dia untuk berubah menjadi seperti kita, maka dia pun akan menolak dirinya.

Banyak orang belum memahami prinsip sebab akibat itu. Misalnya, dalam ajaran banyak gereja orientasi seksual yang berbeda dianggap bertolak belakang dengan penciptaan Allah sehingga orang yang berbeda orientasi seksual itu tidak bisa diterima lalu diminta untuk bertobat menjadi sama seperti kita.

 Melihat banyaknya gereja yang belum memahami hal itu, PG| membuat "Pernyataan Pastoral tentang LGBT" sebagai bahan edukasi yang kental dengan prinsip-prinsip pedagogi. Tertulis, "Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah... Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga mereka yang LGBT berpotensi diri sendiri (self rejection) yang berakibat pada makin meningkatnya ... menciptakan penolakan terhadap potensi bunuh diri di kalangan LGBT" (lih. "Lesbian dan Gay" di Selamat Berpadu).

Sebenarnya, kita yang tidak pernah punya niat bunuh diri pun pada suatu waktu mungkin cenderung menolak diri. Kita merasa diri kurang berharga. Kita kurang menyukai diri sendiri. Kita membenci diri kita sendiri.

Kecenderungan itu merupakan bagian dari proses pertumbuhan kepribadian, asalkan serempak kita juga belajar membarui diri sendiri dengan jalan belajar mencintai diri sendiri.

Mencintai diri adalah menerima diri kita sebagaimana adanya. Bangga pada keunggulan kita tanpa merasa sombong. Mengakui kelemahan kita tanpa merasa minder.

Dengan demikian, kita membarui diri kita sehari-hari. Belajar mencintai diri sendiri supaya bisa mencintai orang lain. Belajar mencintai orang lain supaya bisa mencintai Allah. Joseph Fletcher dalam Situation Ethics menulis, "For to love God and a neighbor is to love one's self in the right way; to love one's neighbor is to respond to God's love in the right way; to love one's self in the right way is to love God and one's neighbor."

Itulah maksud Yesus ketika ia mengajar, "Cintailah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan seluruh akalmu... Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri" (Mat. 22:37-39, BIMK).

Mencintai adalah menerima. Maksudnya, menerima sebagaimana adanya.