MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

 

Perang dingin yang sering terjadi dalam keluarga adalah antara menantu perempuan dan ibu mertua. Golongan usia yang rawan adalah 30-40 tahun pada menantu dan 60-70 tahun pada mertua. Begitulah pengamatan saya sebagai pendeta GKI Samanhudi.

 Dari mana saya mendapat informasi adanya konflik itu? Pihak mana yang melaporkan? Biasanya pihak ibu mertua. Kadang-kadang ada juga dari pihak menantu.

Apakah saya langsung mempertemukan kedua pihak yang berselisih itu? O, tidak! Tentu tidak! Bukan begitu caranya. Cara begitu malah akan mempertajam konflik sebab pihak terlapor pasti akan merasa dipermalukan oleh pihak pelapor.

Lagi pula kalau begitu caranya bisa jadi perang dingin akan meletus menjadi perang terbuka. Nah, mana sanggup saya melerai seorang menantu yang sewot dan seorang mertua yang senewen? Bisa-bisa malah saya dicakar dari kiri dan kanan.

Lalu bagaimana caranya? Apa pendekatan saya saat pertama kali menjumpai pihak terlapor?

Sebetulnya, dari sepuluh kasus konflik keluarga, tidak lebih dari satu yang dilaporkan. Sisanya muncul tersirat atau terdeteksi dalam percakapan biasa. Keluarga cenderung enggan melaporkannya sebab menepuk air di dulang akan memercik muka sendiri.

Tentu saja bentuk, isi persoalan, dan intensitas tiap konflik berbeda. Akan tetapi, polanya hampir serupa.

Ini lebih kurang keluhan seorang mertua, "Pak Andar sendiri pernah bilang, anak saya sifatnya fleksibel dan gampang cocok dengan siapa saja selama jadi majelis gereja. Tapi dia terlalu takut pada istrinya. Mau datang ke rumah saya, mesti lapor kepada istri. Mau membelikan sesuatu untuk saya mesti minta izin istri. Menantu saya itu enggak ketulungan judesnya. Ia enggak pernah manis kepada saya. Selalu ketus. Saya enggak dapat perhatian. Saya enggak dihargai."

Sekarang kita dengar keluhan pihak menantu, "Tiap kali bertemu Pak Andar di gereja, Mami langsung ramah dan manis banget. Mami ketawa-ketawa. Padahal di rumah ia diktator galak seperti Queen Victoria atau Margareth Thatcher. Bicaranya selalu ketus. Ketika kami baru menikah, ia menghargai saya. Akan tetapi, sesudah itu ia super judes. Tak pernah ia ramah pada saya. Saya capek-capek masak lalu membawanya ke rumah Mami, tetapi jangankan memuji prakarsa saya, bilang terima kasih pun tak pernah. Ia tak pernah memperhatikan perasaan saya."

Demikian lebih kurang keluhan mertua dan menantu. Sekarang mari kita bandingkan kedua keluhan itu. Silakan baca ulang. Isinya tentu berbeda. Namun, apakah Anda juga menemukan sejumlah persamaan? Sebetulnya, inti atau substansi kedua keluhan itu sama.

Apa persamaannya? Baik mertua maupun menantu merasa: aku kurang dihargai, aku kurang diperhatikan, aku diperlakukan ketus dan kasar, aku diperlakukan kurang ramah, aku diperlakukan kurang baik, aku kurang disayang.

Kedua orang itu sama perasaannya: merasa kurang. Kurang! Mertua mengeluh, "Menantu saya kurang menghargai saya." Menantu mengeluh, "Mami kurang menghargai saya." Sami mawon!

Itulah penyebab rusaknya hubungan antar-orang. Suami merasa kurang diperhatikan istri, istri merasa kurang diperhatikan suami Begitu juga karyawan dan majikan. Tetangga dan tetangga. Kita merasa kurang dihargai oleh tetangga. Itu penilaian diri kita.

Kita adalah orang yang kurang dihargai. Akibat konsep diri seperti itu, kita merasa jengkel kepada dia. Makin lama kita makin jengkel.

Kita rugi sendiri. Cobalah untuk mengganti dan membarui konsep diri kita. Ganti konsep diri dari "Aku orang yang kurang dihargai", menjadi "Aku orang yang bisa menghargai". Lalu mulailah menghargai tetangga itu. Senyumlah kepadanya. Sapalah dia. Berilah perhatian ke padanya.

Apa yang akan terjadi? Sangat mungkin tetangga itu sedikit demi sedikit akan mulai memberi perhatian kepada kita. Oleh karena kita memberi perhatian, kita akan diberi perhatian. Yesus berkata, "Berilah dan kamu akan diberi..." (Luk. 6:38a).

Ucapan Yesus itu adalah pedoman untuk hubungan antar-orang, antargolongan, antarbangsa, antaragama, dan lainnya. Jika kita menghargai orang lain, orang itu akan menghargai kita. Simak logika Yesus untuk pedoman itu, "... sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (ay. 38c).

Mengapa ibu mertua tadi tidak diberi perlakuan manis? Oleh sebab ia sendiri pun tidak memberi perhatian manis. Mertua dan menantu itu setali tiga uang (lih. "Sebotol Racun Cinta" di Selamat Berkerabat).

Itulah pendekatan pedagogis saya dalam konflik menantu-mertua. Saya tidak menasihati, sebab dalam pedagogi tidak dipakai cara menasihati. Yang saya lakukan adalah memberdayakan orang itu untuk mengenali citra dirinya, yaitu bahwa ia sebetulnya adalah pribadi yang punya perhatian, namun belum memanfaatkan potensinya. Akibatnya, ia kurang memberi perhatian sehingga ia pun kurang diberi perhatiin.

Sebetulnya, cerita ini masih panjang. Ada satu pihak yang belum disebut padahal ia adalah korban yang hatinya paling terluka. Ia adalah sang putra. Dalam konflik ini ia jadi bumper yang babak belur ditabrak dari kiri dan kanan. la tulus mencintai ibunya dan tulus mencintai istrinya, namun justru karena ketulusannya ia disalahpahami oleh kedua belah pihak. Dengan simpati nanti saya akan menulis bab tersendiri.

Setelah menantu dan mertua itu mulai teduh, apakah saya mempertemukan mereka? Tidak! Tidak pernah! Pertama, karena proses pemulihan hubungan sebaiknya berlangsung alamiah antara yang bersangkutan. Kedua, karena pertemuan seperti itu mudah merosot menjadi seremoni, padahal yang perlu adalah diplomasi.

Bahkan, dalam banyak kasus pihak menantu tidak tahu bahwa selama beberapa bulan itu berkali-kali saya berkunjung ke mertua. Sebaliknya, mertua pun tidak tahu bahwa saya berkali-kali mengun jungi menantu.

Pada awal bab ini ada pertanyaan: Bagaimana caranya saya mendekati pihak terlapor? Pihak terlapor tidak boleh tahu bahwa ia dilaporkan sebab ia akan merasa dipermalukan. Lalu bagaimana caranya saya berkunjung berkali-kali tanpa dia tahu bahwa ia adalah terlapor?

Begini caranya. Saya berkunjung bukan sebagai pendeta, melainkan sebagai seekor kura-kura.

Kura-kura? Ya, sebagai kura-kura di pinggir perahu, alias ... pura-pura tidak tahu.