WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

Ketika akan masuk sekolah teologi, umur saya baru 17 tahun, badan ceking (tetapi ceking-ceking juga cakep), masih berceta pendek; pokoknya masih krucuk (anak bawang). Perasaan saya waktu itu campur baur: girang tetapi juga dag-dig-dug.

Banyak hal baru akan saya alami: meninggalkan rumah, lepas dari orangtua, mengatur hidup sendiri, merdeka dari "kolonialisme" kakak perempuan (saya punya tiga cici yang sama seperti cici di dunia, yaitu suka menyuruh-nyuruh), bebas dari "kerja rodi" (mengepel lantai, menimba air, dan menyapu kebun siap untuk diserahterimakan kepada adik). Banyak pula hal yang menarik: naik kereta api dari Bandung ke Malang (sebelum itu paling jauh cuma ke Sukabumi dan Cibatu), melihat Jawa Tengah dan Jawa Timur, tinggal di asrama dan masuk sekolah teologi. Saya merasa asyik, girang dan bersemangat, namun pada lain pihak bingung, bimbang, dan takut.

Bagaimana perasaan orang-orang terdekat dengan saya? Mereka tidak mengutarakannya. Tetapi mereka semua menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampak ingin berbuat sesuatu untuk saya. Saya merasa didukung. Saya merasa ditopang. Ini membesarkan hati. Seorang paman membuka lemari dan memberi beberapa celana panjang. Ajaib, celana itu sangat pas. Ia juga mengeluarkan sepatunya. Ajaib lagi, sepatu itu juga pas. Lalu cici-cici menghujani rupa-rupa hadiah: selimut, handuk, saputangan, sabun, piama, kaos dan lain-lain (eh, ternyata punya cici juga banyak gunanya!). Yang masih perlu adalah koper (zaman itu belum ada travel bag). Maka, seorang bibi memberi koper besi (sekarang di museum juga tidak ada, itu koper terbuat dari pelat seng dengan grendel besi). Koper itu sudah karatan (barangkali bikinan zaman VOC), tetapi oleh saya langsung dicat mengilap.

Lalu ada lagi topangan lain. Sehari menjelang keberangkatan tiba-tiba datang Empek Dji Leng. Baiklah saya ceritakan dulu siapa dia. Empek (= Opa) Dji Leng berusia hampir 70 tahun, anggota GKI Kebonjati. Saya sering bertemu dengan dia di rumahnya atau di gereja untuk urusan surat-surat pelawatan sebab ibu saya pelawat diakonia. Kemudian hari seorang cucu Empek Dji Leng, yaitu Sem Purwadisastra, juga masuk sekolah teologi. Nah, pada siang itu Empek Dji Leng disapah oleh istrinya yang juga sudah lanjut usia, sengaja datang ke rumah untuk memberi beberapa telur rebus sebagai bekal saya di kereta api. Empek Dji Leng tidak banyak berbicara. Becak yang membawa dia menunggu di depan rumah. Dengan suara yang bergetar lemah ia berkata, "Hong An, jadi boksu (= pendeta) jalannya panjang. Musti ada panggilan Tuhan. Empek doain biar Hong An jadi." Saya terdiam menunduk.

Keesokan harinya, ayah dan ibu sudah bangun pukul 3 pagi. Saya diantar ke stasiun. Maka, berangkatlah saya. Kereta api melewati Cikampek, belok ke Cirebon, menyusuri pantai utara Jawa Tengah (mata saya membelalak, itulah kali pertama saya melihat laut!), lewat Semarang dan tiba di Surabaya larut malam. Di sini saya merasakan lagi adanya topangan. Seorang mantan tetangga (orang Sunda beragama Islam) menjemput di stasiun. Saya menginap di kamarnya di asrama Akademi Pos. la membagi piring nasinya dengan saya. Keesokan harinya ia mengantar saya ke stasiun. la begitu ikhlas menolong.

Kereta api berangkat menuju Malang. Saya merenung. Begitu banyak orang menopang saya. Saya sedang bingung dan bimbang. lalu orang-orang yang terdekat semuanya bersikap menopang. Itu menguatkan. Tiap babak baru dalam perjalanan hidup dan karier beris banyak tanda tanya. Masa depan tidak menjamin kepastian. Kita jadi ragu-ragu, cemas, dan takut. Pada saat seperti itu kita merasakan betapa besar artinya topangan orang lain. Pada saat seperti itu pemazmur berbisik meminta topangan dari Tuhan, "Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu..." (Mzm. 119:116).

Kereta api berjalan terus. Bagi penumpang lain kereta ini menuju ke Malang, bagi saya kereta ini menuju ke masa depan. Masa depan yang penuh tanda tanya. Apakah saya akan diterima di sekolah teologi? Apakah saya bisa naik kelas? Apakah akhirnya saya akan lulus? Akan jadi apa saya nanti?

Perjalanan kereta api hanya tinggal setengah jam lagi. Tetapi perjalanan hidup dan kerja saya masih puluhan tahun. Akan jadi apa saya nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidup saya? Saya bingung dan bimbang. Tetapi saya merasa ada topangan. Pada bagian awal perjalanan ini pun saya sudah ditopang oleh banyak orang. Saya jadi mantap.

Kereta api melaju terus. Di jendela kanan tampak Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Di jendela kiri Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Tetapi di depan saya tampak wajah. Wajah yang menopang. Wajah ibu. Wajah ayah. Wajah kakak. Wajah adik. Wajah paman. Wajah bibi Wajah tetangga yang Muslim itu. Wajah Empek Dji Leng. Suaranya halus bergetar, "Empek doain biar Hong An jadi."


Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

 

Selama satu jam saya terpaku di depan televisi mengikuti ibadah pelepasan jenazah Putri Diana yang disiarkan langsung dari Gereja Westminster. Selangkah demi selangkah peti jenazah Putri Diana diusung masuk dan diletakkan di depan salib. Namun, yang saya bayangkan pada saat itu bukanlah hanya Putri Diana, melainkan juga Ibu Teresa. Hari itu koran terbit dengan berita utama: Ibu Teresa Tutup Usia. Di situ dimuat potret Ibu Teresa sedang berjalan berpegangan tangan dengan Putri Diana. Di bawahnya tertulis: "Ibu Teresa meninggal di Calcutta... Pendiri Ordo Misionari Cinta Kasih itu jatuh dan meninggal dunia setelah mengikuti ibadah khusus guna Putri Diana." Dalam satu pekan dunia kehilangan dua orang wanita yang telah merebut hati begitu banyak orang. Dunia telah menjadikan Ibu Teresa dan Putri Diana sebagai lambang cinta kasih.

Sebetulnya Putri Diana sungguh berbeda dari Ibu Teresa. Kedua orang itu sama sekali bukan bandingan. Yang satu tinggal di istana, yang lain di biara. Yang satu tiap kali tampil berganti busana, yang lain bajunya itu-itu saja. Yang satu bersantap malam di hotel-hotel berbintang, yang lain mungkin cuma makan sebutir kentang. Yang satu punya banyak harta, yang lain tidak punya apa-apa. Yang satu serba mewah, yang lain serba sederhana. Kedua wanita itu memang berbeda. Potret itu pun memperlihatkan perbedaan. Yang satu tinggi sampai, yang lain bungkuk mengerut. Yang satu berusia 36 tahun, yang lain 87 tahun.

Namun, persamaannya juga banyak. Kedua orang yang berpegangan tangan itu menatap dan tersenyum ke arah yang sama. Wajah mereka memancarkan kecerahan. Mereka seolah-olah sedang menatap kepada orang-orang yang menderita: para jompo, anak buangan, penderita kusta, korban perang, penderita AIDS. Keduanya peka terhadap penderitaan orang lain. Keduanya suka memberi bantuan; yang satu memberi dari kelebihannya, yang lain memberi dari kekurangannya.

Di sini tampak lagi perbedaan antara Putri Diana dan Ibu Teresa, bahkan perbedaan yang lebih asasi. Putri Diana memberi kasih dengan motivasi perikemanusiaan, sebuah motivasi yang sangat agung. Akan tetapi, Ibu Teresa didorong oleh motivasi yang lain. Ibu Teresa memberi kasih karena ia merasa sudah dikasihi oleh Kristus. Dalam buku The Way of the Cross yang dikarang bersama dengan Bruder Roger dari Taize, Ibu Teresa menulis, "... mencintai karena kita telah dicintai, karena Kristus dari salib telah mencintai kita."

Yang dibagi oleh Ibu Teresa bukan sekadar benda, melainkan diri yang rela turut menderita sebagaimana Kristus juga telah turut menderita dengan kita. Ibu Teresa menulis, "Tanpa ikut menderita, pekerjaan kita hanyalah pekerjaan sosial, yang memang baik dan berguna, tetapi itu bukan merupakan pekerjaan Kristus, bukan bagian dari karya penyelamatan."


Ibu Teresa menggali motivasi yang lebih dalam lagi. Bagi dia, cara mencintai Yesus adalah mencintai orang yang paling membutuhkan cinta. Sebab itu, tiap pagi ia memandangi salib dengan tubuh Yesus yang terluka sambil berbisik, "Kristus, tolong kami menemukan Engkau hari ini supaya kami dapat membalut luka-luka-Mu." Begitulah tiap hari ia menemukan orang jompo di lorong-lorong kumuh yang terbaring menunggu ajal. Ibu Teresa dan para suster membawa mereka ke rumah penampungan. Mereka dirawat dan disapa. Mereka diajak bernyanyi dan berdoa. Mereka diperlakukan dengan penuh martabat sampai pada peristirahatan yang terakhir: yang Muslim dimakamkan secara Islam dan yang Hindu dikremasi secara Hindu.

Oleh karena motivasi yang dalam itu, maka arah kepedulian Ibu Teresa juga luas. Ia tidak mempersempit kebutuhan cinta kasih hanya dalam arti material, tetapi juga dalam arti spiritual. Ia menulis, "Allah mengidentikkan diri dengan orang yang tidak punya rumah, bukan hanya rumah dalam arti perlindungan atap, melainkan juga rumah dalam arti penerimaan, penghargaan, dan perlindungan." Di buku yang sama Ibu Teresa mengubah ucapan Yesus dalam Matius 25 menjadi sebagai berikut, "... ketika Aku ketakutan, kamu menenteramkan Aku. Ketika Aku di tempat yang asing, kamu membuat Aku betah. Ketika Aku menganggur, kamu mencarikan Aku pekerjaan. Ketika Aku butuh keramahan, kamu merangkul Aku. Ketika Aku jadi orang Negro atau orang Cina yang diejek dan dicela, kamu menanggung salib-Ku. Ketika Aku gelisah, kamu mendengarkan Aku. Ketika Aku ditertawakan, kamu berdiri di pihak-Ku..."

Semua tulisan Ibu Teresa di buku itu merupakan ungkapan pikiran dan praktik hidupnya. Selama lebih dari 50 tahun Ibu Teresa berkarya dalam rangka mewujudnyatakan hal itu. Sementara itu ribuan orang dari puluhan negara juga menyerahkan diri untuk turut berkarya dengan Ibu Teresa.

Kita merenungkan hidup dan kerja Ibu Teresa dengan rasa syukur, kagum, dan haru. Ibu Teresa adalah manusia langka. Tidak tiap zaman melahirkan orang seperti Ibu Teresa. Gadis Albania yang lahir di Yugo slavia, bersekolah di Irlandia, dan kemudian menjadi biarawati di India ini telah menjadi lambang di seluruh dunia. Ia adalah lambang belas kasih, lambang kesederhanaan dan lambang pengabdian. Di tengah hidup yang serba konsumtif, serakah, haus kekuasaan, mabuk harta, gila sukses, cari pemuasan raga, cuek, fanatisme agama, fanatisme kebangsaan, dan sebagainya, maka gaya hidup Ibu Teresa merupakan bisikan-bisikan hati nurani.

Kembali pada Putri Diana. Ia juga merupakan lambang. Lambang kecantikan, lambang glamor, atau lainnya. Tetapi yang pasti, sama seperti Ibu Teresa, Putri Diana pun merupakan lambang belas kasih. Putri Diana dan Ibu Teresa telah merebut hati begitu banyak orang karena kepedulian mereka untuk memberi apa yang paling diperlukan oleh tiap orang, yaitu cinta kasih. Pembacaan 1 Korintus 13 pada ibadah pelepasan jenazah Putri Diana terasa menyentuh hati, "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Kedua lambang cinta kasih itu telah tiada. Mereka pergi berjalan berpegangan tangan. Meninggalkan bisikan-bisikan hati nurani.

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

TIDAK ADA KERJA YANG HINA


Anda mungkin tidak percaya, saya pernah jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua dolar sejam. Ceritanya begini.

Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak. Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.

Tidak lama kemudian, rupanya "perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung. Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga senang.

Nah, langganan saya itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang, halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah. Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.

Tugas saya cukup mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11 orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.

Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada. Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan. Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss." Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis. Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia. Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka jadi baby-sitter.

Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead, sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur, saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ. Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki bukit.

Ada lagi pengalaman kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran. Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak resmi masih ada lagi.

Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya. Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat "enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat pemberitahuan).

Alkitab memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia. Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis, "Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan, "The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of the world and of human nature."

Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.

Begitulah dalam hidup ini saya sudah menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.

Mungkin Anda bertanya, dari semua pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa tahu...

YESUS, SI TUKANG KAYU!

YESUS, SI TUKANG KAYU!

 


Tukang apa? Tukang kayu, demikian jawab kita. Memang itulah yang ditulis di Markus 6:1-6. Tetapi, sayang jawaban itu kurang tepat. Pengarang Injil Markus sebenarnya menggunakan istilah tekton (dari kata ini kemudian muncul kata arsitek). Seorang tekton pada zaman Yesus di Israel adalah perajin atau tukang yang terampil membuat rupa-rupa barang dari bahan kayu, logam, atau batu.

Memang boleh saja kita menyebut Yesus tukang kayu, namun hendaknya diingat bahwa pekerjaan Yesus bukanlah seperti tukang kayu yang kita ketahui sekarang. Pekerjaan dan peralatan tukang kayu pada zaman itu sangat berbeda dari apa yang ada sekarang. Lagi pula sebagai seorang tekton, Yesus bukan hanya membuat barang dari kayu, melainkan juga dari besi dan mungkin juga dari batu. Beberapa sejarawan umum yang hidup tidak lama sesudah zaman Yesus mencatat hal itu. Yustinus menulis, "Pekerjaan yang la lakukan... adalah membuat bajak dan kuk." Hilarius mencatat,"__ yang dibuat-Nya adalah rupa-rupa perkakas dari besi." Jadi, agaknya dari masa remaja sampai usia sekitar 30 tahun Yesus membuat dan memperbaiki barang-barang seperti pintu, jendela, kursi, meja, dipan, gerobak, bajak, cangkul, dan sebagainya.

Apa hubungan hal itu dengan iman kita sekarang? Baiklah kita periksa dulu catatan Alkitab. Yang memuat cerita ini hanya Markus dan Matius. Lagi pula yang dimuat kedua penginjil itu sebenarnya bukan pernyataan mereka sendiri, melainkan pernyataan yang diucapkan oleh penduduk kota Nazaret. Kedua catatan itu juga berbeda. Markus, penduduk Nazaret berkata, "Bukankah la ini tukang kayu....?" (Mrk. 6:3). Sedangkan menurut Matius, mereka berkata, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" (Mat. 13:55).

Persamaan antara kedua ucapan itu adalah bahwa kedua-duanya bernada merendahkan. Penduduk Nazaret merasa kurang pantas bahwa seorang tukang kayu (atau anak seorang tukang kayu) mengajar di sinagoge.

Perhatikan bahwa orang-orang itu sebetulnya terkesan akan ajaran Yesus. Dalam Markus 6:2 tertulis, "... jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia." Mereka juga mengakui bahwa ajaran Yesus benar dan bijak sehingga mereka bertanya, "Hikmat apa pulakah ...?" (ay.2). Akan tetapi, mereka kurang bisa menerima bahwa ajaran itu disampaikan oleh seorang tukang kayu dari kota mereka sendiri. Akibatnya menurut ayat 3 mereka "kecewa dan menolak Dia".

Mungkin bukan hanya para penduduk Nazaret itu saja yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun mungkin akan sulit menerima Yesus sebagai Mesias jika mereka mengetahui bahwa Yesus dulunya hanyalah seorang tukang kayu biasa.

Barangkali itu sebabnya Matius menambah kata "anak" untuk memperhalus ucapan penduduk Nazaret menjadi, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" Barangkali itu pula sebabnya Lukas dan Yohanes sama sekali tidak mencantumkan cerita ini. Di seluruh Kitab Injil hanya dari Markus inilah kita mendapat informasi bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Pengarang kitab-kitab Injil lain mungkin agak khawatir bahwa para pembaca akan menjadi ragu-ragu untuk menerima Yesus sebagai Mesias kalau dibeberkan kenyataan bahwa Yesus dulunya seorang tukang kayu. Mungkin itu pula sebabnya semua pengarang Injil tidak bercerita apa-apa tentang masa usia Yesus antara 12 sampai 30 tahun.

Memang pekerjaan seorang tukang kayu terlalu jauh dari jabatan Mesias. Karena itu, ada orang yang sulit menerima kenyataan bahwa Mesias dulunya adalah seorang tukang kayu. Untunglah, Markus mempunyai kejujuran untuk mengungkapkan fakta ini. Pada waktu Markus menyusun Injil ini, yaitu sekitar 35 tahun setelah kenaikan Tuhan Yesus, agaknya tradisi pemberitaan gereja sangat berwarna mesianis. Artinya, yang dikenang hanyalah keilahian Yesus, sedangkan keinsanian-Nya ditutupi. Lalu, di sini Markus tampil secara unik dengan pemberitaan yang tidak berwarna mesianis. Markus tidak malu mengenang Yesus sebagai manusia biasa yang bekerja sebagai seorang tekton.

Catatan Markus yang tampak sepele ini telah menjadi warisan iman kepada gereja sepanjang abad. Warisan yang kita imani itu memang agak misterius. Yesus adalah Mesias, tetapi mengapa la hidup dan bekerja sebagai seorang tukang kayu? Namun, misteri mesianis ini justru memperjelas iman kita kepada Allah yang kita kenal melalui Yesus. Allah adalah Allah yang dengan sadar dan sengaja memilih pekerjaan tukang kayu, ketika la datang ke dunia. Allah tidak merasa hina untuk hidup dan bekerja sebagai seorang tukang. Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita, yang kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dulunya adalah seorang tukang.

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 

Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

PEREMPUAN DAN LELAKI SEBAGAI MITRA

PEREMPUAN DAN LELAKI SEBAGAI MITRA

 

Dulu tidak ada perempuan atau lelaki. Yang ada hanya satu jenis manusia, yaitu androgynus. Manusia tersebut segalanya serba ganda. Kepalanya dua, satu menghadap ke depan, yang lain ke belakang. Tangannya empat. Kakinya juga empat. Pokoknya segalanya ganda. Karena itu, kecakapannya juga ganda. Akibatnya para dewa khawatir kalau-kalau manusia akan mengalahkan dewa. Sebab itu, Dewa Zeus membelah manusia menjadi dua, satu menjadi perempuan dan satu menjadi lelaki. Hubungan antara makhluk perempuan dan makhluk lelaki ini ternyata penuh kontroversi. Kalau berjauhan mereka saling merindukan. Namun, kalau sudah bertemu mereka bertengkar. Nanti rindu lagi, lalu bertengkar lagi. Dan seterusnya. Demikian cerita Plato (428-348 SM).

Dongeng itu menggambarkan kompleksitas kemitraan antara pria dan wanita. Keduanya saling membutuhkan. Namun, kemitraan atau kerja sama mereka banyak persoalannya. Menurut Alkitab, penciptaan lelaki dan perempuan juga berkaitan dengan kemitraan. Dalam Kejadian 2:18 tertulis, "TUHAN Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Banyak orang mengira bahwa ayat ini berbicara mengenai pernikahan. Memang, itu tidak keliru. Akan tetapi, menurut ayat ini tujuan Tuhan menciptakan penolong bagi Adam bukan hanya supaya mereka menikah, melainkan supaya mereka bekerja sama.

Tuhan prihatin bahwa Adam tidak bermitra. Maka Tuhan bertekad "Aku akan menjadikan penolong baginya." Dalam ayat berikutnya Tuhan langsung menciptakan makhluk lain untuk menjadi penolong Adam. Siapakah makhluk lain itu? Apakah perempuan? Bukan! Silahkan baca ayat itu. "Lalu TUHAN Allah membentuk... segala binatang ..." (ay. 19).

Tuhan menciptakan mitra bagi Adam. Mitra itu adalah hewan. Memang benar hewan bisa menjadi mitra yang banyak berguna. Namun, betapa pun besar gunanya, hewan tidak sepadan dengan manusia. Dalam ayat 20 tertulis, "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak... tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia." Sebab itu, dalam ayat-ayat berikutnya Tuhan menciptakan makhluk yang sepadan. Maka terciptalah perempuan.

Cerita penciptaan perempuan ini banyak seginya yang menarik. Perempuan disebut penolong. Yang menyebutnya penolong bukan Adam, melainkan Tuhan sendiri. "Aku akan menjadikan baginya" (ay. 18). Istilah penolong tidak enak kedengarannya. Dalam Alkitab bahasa aslinya lebih tidak enak lagi, yaitu ezer, artinya 'pembantu' atau 'bantuan'. Mengapa wanita penolong atau pembantu? Istilah ini berkesan merendahkan derajat wanita. Namun, sebetulnya tidak. Istilah ini justru meninggikan derajat wanita. Sebab dalam Mazmur 121:1, 2 Tuhan disebut ezer. Tuhan adalah ezer Israel, artinya pertolongan atau bantuan untuk Israel. Jadi, istilah penolong dalam cerita ini justru mengagungkan kedudukan perempuan. Siapakah yang lebih kuat kedudukannya, pihak yang ditolong ataukah pihak yang menolong?

Penolong ini bersifat sepadan. Ada yang mengartikan ini sebagai jodoh. Bukan itu maksud ayat ini. Dalam bahasa aslinya, neged berarti imbangan, tandingan, pantaran, yang bisa dihadapi dan bisa berhadapan. Maksudnya perempuan adalah mitra yang sepantar, tidak lebih rendah, tetapi juga tidak lebih tinggi. Kapan terciptanya perempuan? Menurut Kejadian 2, binatang jantan dan betina diciptakan sama-sama. Ada sapi jantan, ada sapi betina. Ada ayam jago, ada ayam petelur. Tetapi lelaki dan perempuan diciptakan secara terpisah, seakan-akan pengarang mau berkata: lelaki bukan jantan atau jago, perempuan bukan betina atau petelur. Adanya perbedaan kelamin bukan berarti harus adanya hubungan kelamin.

Bagaimana terciptanya perempuan? Ketika menciptakan Hawa, Tuhan sengaja membuat Adam tidur, bahkan tidur nyenyak. "Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak" (ay. 21a). Mengapa begitu? Mungkin supaya Adam jangan ikut melihat dan membantu. Sebab, kalau Adam ikut membantu, bisa jadi ia merasa diri punya saham dan merasa memiliki perempuan. Tidak! Adam tidak ikut membuat. Harap Anda simak. Ceritanya sangat sederhana, tetapi pesannya sangat hakiki: perempuan bukan bikinan lelaki sebab itu perempuan bukan milik lelaki dan bukan pula mainan lelaki.

Bagaimana cara Tuhan membuat perempuan? Menurut ayat 21b, Tuhan membuatnya dari tulang rusuk lelaki. Perempuan diambil dari tulang sisi. Bukan dari tulang kepala supaya jangan menjadi penguasa. Bukan dari tulang kaki supaya jangan diinjak-injak. Simaklah kedalaman cerita ini. Ceritanya kuno, tetapi pesannya progresif: perempuan bukan atasan, tetapi bukan pula bawahan, melainkan mitra yang sejajar.

Kapan Adam melihat Hawa untuk pertama kali? Ketika Adam bangun tidur. Bayangkan bagaimana kagetnya Adam. Begitu melek tiba-tiba ada perempuan yang tidak dikenal lagi duduk di pinggir ranjang, rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. Akan tetapi, perempuan itu tersenyum manis. Sungguh menawan. Sebab itu Adam langsung kegirangan, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki laki" (2:23). Dalam bahasa aslinya, ucapan Adam itu merupakan permainan kata: la akan dinamai isysya, sebab ia diambil dari isy. Isy berarti 'lelaki', isysya berarti 'lelaki-wati'.

Maka jadilah Adam dan Hawa mitra yang bekerja sama mengurus Taman Eden. Keduanya diberi otonomi penuh. Semua pohon boleh dipetik buahnya. Hanya ada satu pohon yang dilarang. Apa maksud Tuhan menetapkan satu pohon terlarang? Untuk menjadi batas. Segala sesuatu perlu ada batasnya. Sebab, manusia sering tidak tahu batas. Sudah cukup mau banyak. Sudah banyak, mau lebih banyak lagi. Maka Tuhan menetapkan batas.

Akan tetapi, dasar serakah, batas itu dilanggar. Maka, Tuhan meminta pertanggungjawaban. Perhatikan bagaimana Adam dan Hawa mengatur tanggung jawab. Seharusnya mitra memikul tanggung jawab secara bersama. Akan tetapi, apa yang terjadi? Ternyata kedua mitra itu saling lempar tanggung jawab. Adam membela diri, "Bukan saya, tetapi perempuan itu." Lalu Hawa juga cepat-cepat bela diri. "Bukan saya, tetapi ular itu."

Menjadi mitra memang tidak gampang. Untuk itu diperlukan kematangan dalam beberapa aspek kepribadian. Salah satu di antaranya adalah bisa saling menghargai, artinya mengakui dan mengagumi keunggulan pihak lain. Rupanya ini salah satu kendala pada kemitraan lelaki dan perempuan. Lelaki cenderung menganggap perempuan lebih bodoh. Banyak suami menyebut istrinya bodoh. Konon pada suatu hari Adam bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, kenapa sih perempuan yang kauciptakan itu begitu cantik?" Tuhan menjawab, "Supaya kamu mau kawin dengan dia." Lalu Adam bertanya lagi, "Tapi Tuhan, kenapa dia begitu bodoh?" Tuhan menjawab, "Supaya dia mau kawin dengan kamu!"

Cerita penciptaan dilanjutkan pada pasal 3. Adam dan Hawa meninggalkan Taman Eden. Banyak orang membaca pasal ini dengan kacamata negatif. Yang dilihat hanya hukuman. Coba kita simak. Tuhan bersabda kepada Adam, "... dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah" (Kej. 3:17). Sebetulnya, ini bukan hanya hukuman, melainkan juga berkat sebab di sini Tuhan menjanjikan rezeki. Kepada Hawa Tuhan bersabda, ... dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu..." (3:16). Ini juga bukan hukuman, melainkan berkat berupa kemungkinan untuk mempunyai anak.

Kedua ucapan Tuhan itu telah menjadi tradisi pola pembagian kerja antara lelaki dan perempuan. Lelaki berburu dan berladang. Perempuan bertugas di rumah. Pada zaman itu hampir semua pekerjaan di luar rumah mengandalkan kekuatan fisik. Akibatnya, hanya lelaki yang bekerja di luar rumah. Akan tetapi, kini keadaan sudah berubah. Banyak jenis pekerjaan tidak lagi mengandalkan kekuatan fisik, melainkan kekuatan pikiran. Dalam abad elektronik, yang perlu bukan otot, melainkan otak. Tolok ukurnya bukan lagi kemampuan fisik, melainkan kemampuan intelek. Dalam hal fisik mungkin perempuan kalah, tetapi dalam hal intelek belum tentu.

Cerita bergulir terus. Adam dan Hawa berjalan meninggalkan Taman Eden. Mereka memerlukan pakaian. Mereka tidak bisa bertelanjang terus. Siapakah yang membuat pakaian? Lelaki atau perempuan? Jawabnya ada di ayat 21. "Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu." Tuhan menjadi penjahit pertama. Lalu apa yang diperbuat Tuhan dengan pakaian itu? Menurut ayat itu, Tuhan "mengenakannya kepada mereka". Seperti seorang ibu menolong anaknya berpakaian.

Begitulah lelaki dan perempuan melanjutkan kehidupan sebagai mitra. Ada kemitraan sebagai suami-istri dalam keluarga. Ada pula kemitraan sebagai rekan di sekolah, di kantor, di pabrik, di gereja dan lainnya. Lapangan kerja sama pria dan wanita memang tidak sesempit keluarga. Lelaki dan perempuan bisa bekerja sama tanpa perlu punya perasaan erotis. Seorang astronot lelaki dan astronot perempuan bisa berada selama beberapa minggu dalam kapsul di ruang angkasa tanpa perasaan erotis. Dalam psikologi ini disebut companionate love. Cirinya adalah kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan bersifat passionate atau berahi, melainkan companionate atau bersahabat karena kagum pada kepribadian atau kepandaian rekannya itu.

Apa pun konteks kemitraannya, lelaki dan perempuan biasanya saling melengkapi. Yang satu lebih berani, yang lain lebih hati-hati. Yang satu lebih cepat, yang lain lebih cermat. Akan tetapi, menjadi mitra tidaklah mudah. Di sini ada dua watak yang berbeda, dua naluri yang berbeda dan dua tabiat yang berbeda. Konon, Adam kembali lagi kepada Tuhan. Ia berkata, "Tuhan istri saya sekarang sudah tidak bodoh lagi. Tetapi, bawelnya nggak ketulungan. Kuping ini sampai pengang. Maka saya mau kembalikan saja perempuan yang Tuhan ciptakan ini." Tuhan menjawab, "Ya, kembalikanlah." Tetapi baru seminggu, Adam datang lagi. la berkata, "Tuhan, saya kesepian. Minta lagi, deh, istri saya itu." Tuhan langsung menegur, "Apa-apaan ini? Seperti anak kecil! Sebentar dikembalikan, sebentar diminta lagi! Ini, saya berikan lagi istrimu. Tetapi syaratnya, kamu harus bisa kerja sama dengan perempuan. Kalau pengang, tutup kuping saja!"

Syahdan, sejak hari itu sampai hari ini. Adam masih terus bekerja sama dengan Hawa. Kerja sama itu tidak selalu mulus. Ada rindunya, ada bertengkarnya. Ada hangat-hangatnya, ada adem-ademnya. Ada rayu-rayunya, ada bentak-bentaknya. Begitulah kalau dua makhluk berbeda menjadi mitra kerja sama.

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

 

Seorang ibu dalam usia 30-an tahun sedang repot mengurus anak-anaknya. la berpikir alangkah bebasnya kalau kelak ia sudah tidak usah melakukan tugas-tugas seperti ini. Suaminya yang juga dalam usia 30-an tahun sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas. la juga sedang membayangkan betapa enaknya kelak kalau ia pensiun dan tiap hari menikmati suasana santai di rumah.

Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian pikiran kedua orang itu berubah total. Mereka bukan lagi mendambakan masa pensiun. Sebaliknya, sekarang mereka sedang cemas memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi kalau mereka pensiun. Pensiun memang mencemaskan. Kalau ada orang yang tidak merasa cemas, barangkali ia belum berpikir tentang masa pensiun, atau ia belum tahu apa itu sebetulnya pensiun. Soalnya, masa pensiun itu banyak "batu"nya.

Baiklah kita mulai dengan soal yang "mudah" (padahal sebetulnya ini sama sekali tidak mudah), yaitu soal uang. Pada hari kita mulai pensiun, pada hari itu juga gaji kita akan dipotong secara drastis. Segala macam tunjangan dihentikan. Yang namanya uang pensiun itu cuma sepersekian dari gaji. Yang paling terasa adalah dihapusnya tunjangan pengobatan. Mulai hari itu segala biaya untuk dokter, apotek, laboratorium, atau rumah sakit harus kita tanggung sendiri. Padahal justru semakin tua semakin sering kita berobat. Sungguh mencemaskan.

Bagi mereka yang selama ini menikmati pinjaman kendaraan dinas atau rumah dinas, persoalannya menjadi bertambah. Kendaraan perlu dikembalikan dan rumah harus dikosongkan. Kita harus pindah. Pindah ke mana? Akan tetapi, baiklah kita andaikan bahwa semua persoalan itu tidak ada atau sudah teratasi. Itu belum berarti bahwa masa pensiun otomatis akan menyenangkan. Ada banyak persoalan lain yang lebih rumit lagi.

Persoalan pertama adalah rasa hampa. Mari kita bayangkan diri sebagai seorang manajer. Selama sekian belas atau sekian puluh tahun kita telah menyatu dengan fungsi atau peran tertentu. Peran itu telah menjadi suatu bagian dari jati diri kita. Sekarang tiba-tiba kita harus melepaskan peran itu. Hati kita padat dengan pelbagai macam perasaan ketika kita mengosongkan meja dan ruangan kantor kita. Apalagi tatkala kita mencabut papan nama dari meja atau pintu ruangan itu. Berpisah dengan teman-teman sekerja juga merupakan beban emosi. Seorang demi seorang kita salami: para sekretaris, pesuruh, operator telepon, direksi, kepala bagian, satpam, dan lainnya.

Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Akan tetapi, setelah itu kita mulai merasa bingung, "Apa yang harus kukerjakan?" Kita merasa kehilangan peran. Lalu kita mulai merasa kehilangan jati diri. Kita merasa ada sesuatu yang kosong dalam diri kita. Kita merasa hidup ini menjadi hampa. Bisa jadi kita mulai bertanya dalam hati, "Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup?"

Perasaan-perasaan seperti itu dapat juga timbul pada seorang ibu rumah tangga. Selama sekitar dua puluh tahun ia mengurus anak-anaknya. Kini semua anak itu sudah mandiri atau berumah tangga sendiri. Mereka sudah mempunyai dunianya masing-masing. Akibatnya, ibu ini tidak tahu siapa yang sekarang perlu dia urus. Ibu ini kehilangan sasaran kesibukan. Mungkin beberapa tahun kemudian ibu ini sibuk merawat suaminya yang lanjut usia. Kemudian, ketika suaminya meninggal, ibu ini lagi-lagi merasa kehilangan peran. Ia merasa bingung, "Siapa yang harus kurawat sekarang?" la merasa hidup ini kini menjadi hampa.

Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang ibu rumah tangga, atau saya seorang manajer bank dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya, ketika peran itu harus dilepaskan, kita pun kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup.

Akibatnya, yang juga dapat timbul adalah post power syndrome. Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Kita mencari serta memperoleh kepuasan dengan cara memainkan atau memberlakukan kekuasaan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sangat suka mengatur dan melindungi anaknya secara berlebihan. la memberlakukan kekuasaan. Atau seorang manajer yang suka tampil sebagai penguasa dan pembesar. Orang yang banyak memberlakukan biasanya akan merasa kehilangan kekuasaan pada masa pensiunnya. Akibatnya, mungkin ia mencari jalan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Mantan manajer itu bisa jadi berusaha mengendalikan penggantinya atau menjelek-jelekkan kebijakan penggantinya.

Pensiun memang dapat menjadi suatu krisis yang menimbulkan sindrom, kompleks atau persoalan kejiwaan lain. Dalam skala Penyesuaian Sosial yang disusun oleh Holmes dan Rahe tercantum sekitar empat puluh penyebab stres, dan pensiun tercantum sebagai penyebab nomor 10 di bawah urutan kematian suami/istri, perceraian, musibah, penyakit dan pemenjaraan.

Masa pensiun memang rentan terhadap krisis karena masa pensiun ditandai oleh banyak pengurangan atau pemerosotan, yaitu merosot dalam peran, penghasilan, kekuasaan dan kekuatan fisik. Rasul Paulus dalam usianya yang lanjut juga mengalami banyak kemerosotan. Namun serempak ia juga mengalami pembaruan atau penambahan di bidang yang lain. Ia menulis, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" (2Kor 4:16).

Inilah "sisi lain dari koin" yang bernama masa pensiun. Secara fisik dan finansial kita berkurang, namun secara emosional dan spiritual kita bisa bertambah. Pola pikir kita bisa menjadi integratif, yaitu mampu mengintegrasikan masa pensiun ini dengan masa kerja yang telah kita tuntaskan dengan baik selama sekian puluh tahun. Lalu kita mensyukuri perjalanan karier yang telah kita lewati itu sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Tuhan telah memberi peran kepada kita selama sekian puluh tahun. Tuhan telah menuntun kita menjalankan peran itu sehingga akhirnya sekarang kita boleh menyelesaikannya dengan selamat.

Selanjutnya pola pikir kita pun bisa menjadi generatif, yaitu mampu mengakui bahwa kesempatan berkarya telah kita peroleh, karena itu sekarang kita menyiapkan generasi berikutnya untuk mengisi kesempatan itu. Kita telah mendapat giliran berbakti, sekarang bakti kita telah purna (penuh, selesai), lalu kita menyerahterimakan giliran itu kepada generasi penerus. Itulah "manusia batiniah" yang bisa berkembang justru pada masa pensiun. Sebab itu, masa persiapan pensiun (sering disingkat: MPP) bukanlah sekadar persiapan lahiriah (tabungan, rumah, asuransi kesehatan dsb.) melainkan terutama persiapan batiniah atau persiapan mental. Kalau yang disiapkan hanya urusan material, MPP bisa di pelesetkan menjadi "mati pelan-pelan" sebab walaupun secara material kita beres, mental kita akan tetap krisis. Sebaliknya, kalau kita siap mental, MPP bisa berarti "masa pematangan pribadi".

Akan tetapi, persiapan mental ini tidak mudah. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis "cathectic flexibility versus cathectic impoverishment". Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karier, dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain. Itu sebabnya salah satu bentuk pengisian masa pensiun yang konstruktif adalah mencari pengganti peran atau pengganti kesibukan dengan cara membantu panti asuhan, panti wredha, sekolah, gereja, poliklinik, dan sebagainya.

Kalau perhatian kita sempit dan hanya mengarah pada diri sendiri, memang masa pensiun adalah menakutkan. Kita menjadi tawar hati, sebab "manusia lahiriah" kita makin lama makin merosot. Namun, bila perhatian kita terbebas dari kesempitan itu lalu terarah pada dimensi hidup yang lebih luas dan lebih luhur, masa pensiun justru melegakan. Memang "manusia lahiriah" kita merosot, namun "manusia batiniah" kita mengembang dan mematang.

DICARI YANG BERPENGALAMAN

DICARI YANG BERPENGALAMAN

 


Ada seorang nabi yang mempunyai mantra untuk menghidupkan tulang orang mati. Murid-muridnya berkali-kali meminta agar nabi itu memberikan mantra tersebut kepada mereka. Tetapi nabi selalu menjawab, "Sabarlah. Kamu perlu pengalaman lebih dulu. Kamu perlu belajar bijak dari pengalaman. Tunggulah sampai kamu menjadi lebih matang. Nanti saya pasti akan memberikan mantra itu.”

Akan tetapi, murid-muridnya tetap mendesak. Mereka terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati nabi itu memberikan mantra yang mereka minta itu. Para murid itu gembira. Mereka langsung meninggalkan sang guru. Mereka ingin mencoba mantra itu. Di perjalanan mereka melihat ada beberapa batang tulang berserakan. "Mari kita coba sekarang!" Lalu mereka menggunakan mantra itu. Apa yang terjadi? Tulang-tulang itu mulai bergerak. Mantera itu ampuh! Dengan mata terbelalak mereka melihat tulang-tulang itu mulai ditumbuhi daging. Lalu menjadi kerangka. Ternyata kerangka itu menjadi serigala yang hidup dengan mata yang liar. Murid-murid itu lari ketakutan. Namun, mereka dikejar serigala itu. Mereka diterkam. Mereka tewas terkoyak-koyak.

Kepandaian dan kekuasaan bukan segala-galanya. Orang yang pandai dan berkuasa belum tentu bijak dalam menggunakan kepandaian dan kekuasaannya. Mereka belum berpengalaman. Namun, apa artinya pengalaman? Pdt. A sudah sepuluh tahun bekerja, sedangkan Pdt. B lima tahun. Siapa yang lebih berpengalaman? Apa Pdt. A? Belum tentu. Kedua pendeta itu tiap tahun mengajar katekese. Pdt. A sudah sepuluh kali mengajar, tetapi bahan yang digunakan selalu sama, begitu juga cakupan, urutan dan caranya. Pdt. B sudah menggunakan lima macam pendekatan yang berbeda. la lalu membandingkan dan menilai kelima macam kelas yang berbeda itu. Nah, siapa yang lebih berpengalaman? Jelas, Pdt. B lebih berpengalaman walaupun masa kerjanya lebih singkat. Pengalaman belum tentu identik dengan panjangnya masa kerja.

Pengalaman lebih dari sekadar mengalami sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar, atau kerjakan belum tentu menjadi pengalaman. Apa yang kita kerjakan baru menjadi pengalaman kalau kelak kita bisa memanfaatkan kesalahan dan keberhasilannya untuk pekerjaan kita yang selanjutnya. Kualitas sebuah pengalaman diukur dari kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari pengalaman itu. Pakar pendidikan John Dewey (1859-1952) dalam buku Experience and Education menulis, "Everything depends upon the quality of the experience which is had. The quality of any experience... is its influence upon later experiences... wholly independent of desire or intent, every experience lives on in further experiences."

Dalam pengertian itu kita berkata bahwa cara belajar yang terbaik adalah belajar dari pengalaman. Bukan pengalaman dalam arti sekadar mengalami, melainkan bertanya apa yang aku pelajari dari apa yang kualami, apa kelemahanku, apa kekuatanku, apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu diubah, apa manfaat yang diperoleh orang banyak dari semua ini?

Pengalaman baru bisa disebut pengalaman kalau apa yang dialami itu diuji secara kritis. Untuk itu, dibutuhkan sikap jujur terhadap diri sendiri dan mau mengakui kebodohan sendiri. Orang yang cepat berpuas diri biasanya miskin pengalaman, walaupun apa yang dialaminya banyak. Kualitas pengalaman diukur dari intensitas. Hidup Yesus di bumi hanya 33 tahun, tetapi hidup-Nya begitu intens (= dalam, hebat, padat, berarah), karena la mempunyai intensi (= tujuan, maksud) yang jelas, yaitu "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45).

Hidup yang bermutu menghasilkan pengalaman. Pengalaman menghasilkan sikap bijak. Pengalaman menjadikan orang berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatu secara tenang dan matang. la melihat persoalan bukan hanya dari satu perspektif atau darii kepentingan sendiri, melainkan juga dari pelbagai perspektif atau dari kepentingan orang banyak. Ia tidak begitu saja maju dan menerjang. Jika perlu, ia bersedia berhenti dan menepi. Seperti ditulis oleh pengarang Amsal, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (22:3).

Perhatikan bahwa ayat itu mempertentangkan antara "bijak" dan "tak berpengalaman". Pola itu terdapat di sepanjang Kitab Amsal (contoh eksplisit lain ada di dalam 14:15). Menurut Amsal, orang yang mau bijak perlu belajar dari pengalaman. Pandai dan berkuasa belum berarti bijak dan berpengalaman. Murid-murid nabi tadi sudah pandai dan berkuasa karena mereka mempunyai mantera yang mampu menghidupkan tulang. Namun, mereka terburu nafsu untuk menggunakan kepandaian dan kekuasaan. Tulang yang mereka hidupkan ternyata tulang serigala. Mereka menghidupkan sesuatu yang kemudian mematikan mereka. Mereka sudah mempunyai kepandaian dan kekuasaan. Namun, mereka belum mempunyai sifat bijak dan pengalaman.

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

 


Enggano adalah sebuah pulau kecil dekat Bengkulu. Pada Perang Dunia Il pulau itu dijadikan tempat penyimpanan persediaan makanan untuk pasukan Jepang. Ketika Jepang menyerah, semua gudang itu ditinggalkan untuk penduduk setempat. Ternyata isi gudang itu luar biasa banyaknya. Padahal pada waktu itu jumlah penduduk Pulau Enggano hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka, dibagilah isi gudang itu. Tiap jiwa termasuk bayi mendapat 4 karung beras, 1 peti corned beef, 1 peti ikan sarden, 10 kaleng besar biskuit, dan banyak jenis makanan lain dalam peti besar. Dengan persediaan makanan yang begitu banyak di tiap rumah, orang tidak merasa perlu lagi bersawah dan berkebun. Tiap hari mereka hanya bersantai-santai.

Dua tahun kemudian persediaan makanan itu mulai habis. Lalu mereka mulai menggarap sawahnya lagi. Tetapi, apa yang terjadi? Sawah dan kebun mereka sudah penuh dengan alang-alang. Diperlu kan waktu beberapa bulan untuk mengolah tanah itu kembali. Ketika kemudian mereka bisa menanam, keadaan sudah terlambat. Persediaan makanan sudah betul-betul habis. Untuk menunggu panen diperlukan waktu setengah tahun. Akibatnya mereka kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi? Penduduk pulau itu mendapat kemudahan. Mereka tidak usah bekerja karena ada persediaan makanan untuk sekian tahun. Kerja keras berubah menjadi malas-malas. Ketika mereka mau bekerja lagi, sawah sudah menjadi belukar. Kemudahan membuat orang jadi terlena.

Pada hakikatnya orang cenderung memilih yang mudah. Mudah berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakannya. Mudah berarti tidak berat, tidak sukar dan tidak melelahkan. Di sekolah murid lebih senang mendapat soal yang mudah. Di tempat kerja kita memilih tugas yang mudah. Begitu juga dalam hidup, kita lebih senang berada dalam keadaan yang mudah. Kebalikan dari ke mudahan adalah kesulitan, tantangan, dan krisis. Memang kemudahan terasa menyenangkan. Kemudahan terasa sebagai berkat. Namun, dalam jangka panjang, apakah kemudahan itu berkat, ataukah bencana?

Menurut psikologi perkembangan, orang bertumbuh kepribadiannya melalui delapan tahap. Pada tiap tahap terjadi krisis. Misalnya pada tahap pertama, ketika anak berusia sekitar 1,5 tahun, ia mengalami krisis kecurigaan dasar versus kepercayaan dasar. Ia merasa curiga bahwa dirinya kurang diterima oleh pengasuhnya dan bahwa ia akan ditinggalkan sebatang kara. Jika bayi tidak berhasil mengatasi krisis ini, kelak ia menjadi orang dewasa yang cenderung berprasangka dan kurang bisa memercayai orang lain. Ia menjadi orang yang usianya dewasa, namun tahap kepribadiannya belum beranjak dari masa usia 1,5 tahun. Sebaliknya, jika bayi ini berhasil mengatasi krisis lalu merasa diterima dan bisa memercayai bahwa pengasuhnya ada meskipun tidak kelihatan, bayi ini bisa bertumbuh kepribadiannya ke tahap berikutnya. Kepribadian tumbuh melalui krisis. Keberhasilan mengatasi krisis adalah syarat untuk bisa maju ke tahap berikut.

Prinsip ini juga tampak dalam teori perkembangan masyarakat Kelompok masyarakat mana yang lebih maju? Arnold Toynbee, pakar sejarah kebudayaan, mengamati bahwa dari zaman purba hingga kini kelompok masyarakat yang lebih cepat maju adalah kelompok pendatang atau migran. Berbeda dari penduduk lama, kaum migran lebih terbuka dan lebih siap menghadapi ketidakpastian, perubahan, dan krisis. Mereka datang dengan tangan kosong, namun dengan hati yang penuh idealisme. Penduduk lama sudah mapan dengan pelbagai kemudahan sehingga tidak mempunyai dorongan untuk banting tulang, padahal para pendatang masih harus bergerak untuk survive. Karena itu, pada umumnya para pendatang lebih ulet, lebih hemat, dan lebih rajin. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan dapat membuat orang jadi statis, sedangkan krisis dapat membuat orang menjadi dinamis.

Para pengarang Perjanjian Lama bersaksi bahwa walaupun Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Allah tidak memberi kemudahan kepada umat-Nya. Sebaliknya, Allah malah membawa umat-Nya berjalan melalui krisis. Kasus itu tampat mencolok pada peristiwa Eksodus. Umat menempuh perjalanan dari delta Nil ke Kanaan yang berjarak sekitar 250 km atau kira-kira seperti dari Jakarta ke Cirebon. Secara wajar perjalanan itu dapat ditempuh dalam beberapa minggu. Namun, Allah membawa umat-Nya ke jalur yang lebih jauh dan lebih sulit sehingga akibatnya perjalanan mereka memakan waktu 40 tahun. Selama 40 tahun itu umat bukan menghadapi kemudahan, melainkan justru kesulitan dan krisis. Umat mengira bahwa mereka tidak dikasihi Allah. Akan tetapi, sebenarnya justru karena Allah mengasihi umat-Nya, la membawa mereka berjalan melalui pelbagai kesulitan sebab Allah bermaksud agar dengan kesulitan dan krisis itu umat-Nya ber tumbuh menjadi bangsa yang tangguh.

Cara Allah mendidik ini juga kemudian dicatat oleh pengarang Surat Ibrani sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan la menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang... Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibr. 12:5b 11).

Dari perikop tersebut dapat ditarik paling sedikit enam dalil teologi yang pedagogis (atau: dalil pedagogi yang teologis). Pertama, Allah digambarkan sebagai orangtua dan kita sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi. Kedua, karena itu Allah mendidik kita. Ketiga, cara mendidik yang baik bukanlah dengan memberi kemudahan, melainkan dengan memberi ganjaran (Yunani: paideia.k.k. paideuo = menegur, memarahi, menghukum, mendisiplin, menghajar). Keempat, sebab itu Allah memberi paideia kepada kita. Kelima, paideia tidak terasa menyenangkan, malah menyakitkan. Keenam, tetapi dalam jangka panjang, paideia memberi manfaat kepada kita. Jadi, pokok utama perikop ini adalah: Allah mendidik kita sebab itu la tidak memberi kemudahan, tetapi kesulitan dan tantangan. Di sini Allah digambarkan sebagai Allah yang edukatif atau sebagai pendidik ulung yang mempunyai visi tujuan mendidik untuk jangka panjang.

Konteks perikop ini adalah Surat Ibrani yang menekankan pokok bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam mewujudkan perbuatan-Nya dalam sosok Yesus. Itu berarti bahwa hidup Yesus merupakan petunjuk cara Allah mendidik. Sebab itu, hidup Yesus tidak berisi kemudahan tetapi krisis. Selama 33 tahun Yesus memilih jalan yang tidak mudah tetapi jalan yang penuh penderitaan. Akan tetapi, justru karena Yesus menempuh jalan itu dan setia sampai akhir, la menjadi simbol kemenangan atas penderitaan. Teologi Yesus bukan teologi kemudahan, melainkan teologi ketangguhan, yaitu tangguh dalam kesulitan dan krisis.

Lima ratus tahun sebelum Yesus mengajar, ternyata Kung Fu Tse memandang krisis dan kesulitan sebagai unsur yang positif dalam proses didik-mendidik. Dalam bahasa Cina krisis adalah wei-ji dan aksaranya merupakan gabungan dari aksara wei-jien (= bahaya) dan aksara ji-hwee (= peluang). Maksudnya adalah bahwa peluang mengandung bahaya atau risiko. Mereka yang mau mendapat peluang atau kesempatan harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam tiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Dalam aksara wei-ji terkandung hikmah yang dalam: peluang untuk maju timbul bukan dari kemudahan, melainkan dari kesulitan.

Sebetulnya kita tahu bahwa kemudahan bisa membuat orang jadi malas, sedangkan tantangan dan kesulitan bisa membuat orang jadi tangkas. Namun, kalau kita boleh memilih antara kemudahan dan kesulitan, kita akan memilih kemudahan sebab kemudahan itu enak padahal kesulitan terasa kejam dan menyakitkan.

Itu sebabnya banyak orangtua demi cinta melimpahkan pelbagai kemudahan kepada anaknya. Coba perhatikan, banyak anak TK dibawakan tas dan botolnya oleh penjemputnya. Ada anak yang sudah mampu mengikat tali sepatu sendiri, namun ibunya masih turun tangan. Ada calon mahasiswa yang formulir pendaftarannya diisi oleh orangtua. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi sering kali cinta itu diwujudkan dalam bentuk yang keliru, yaitu dalam bentuk kemudahan dan proteksi berlebihan. Hidup anak itu menjadi sangat mudah. Segala macam kemudahan sudah tersedia.

Anak yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemudahan, nantinya bisa menjadi orang yang kepribadiannya rapuh dan cepat ambruk. Artinya, ia tidak kuat menanggung beban frustrasi. Ia juga enggan berprakarsa. Motivasinya lemah dan daya juangnya rendah. la takut pada kesulitan; padahal hidup ini terdiri atas deretan persoalan yang sulit: pelajaran, pekerjaan, pergaulan, pernikahan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sebab itu, tokoh Pendidikan Agama Kristen Friedrich Froebel (1782-1852) berkata bahwa anak sejak kecil perlu dibimbing untuk menerima dan mengatasi pelbagai kesulitan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam hidup. Froebel menentang pandangan bahwa kesulitan merupakan hukuman dari Tuhan atau bahwa kemudahan merupakan upah dari Tuhan atas kebaikan kita. Menurut Froebel, hidup baik dan saleh itu sendiri sudah merupakan keuntungan sebab itu hidup baik dan saleh tidak perlu diupahi dengan kemudahan, sukses, dan keuntungan duniawi.

Contoh tentang kemudahan biasanya tampak dalam bisnis keluarga. Banyak bisnis keluarga berawal dari seorang miskin yang banting tulang dan peras keringat. Usahanya mulai dari nol. Berkat sifatnya yang rajin dan hemat, usahanya berkembang menjadi besar. Kemudian perusahaan ini diwariskan kepada generasi kedua yang berupaya untuk bertahan. Namun, begitu tiba pada generasi ketiga, banyak bisnis keluarga bangkrut sebab sifat rajin dan hemat dari generasi pertama sudah luntur.

Laporan konferensi tentang Bisnis Keluarga di Asia Pasifik berbunyi, "Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dan berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa oleh generasi kedua, akhirnya hancur oleh generasi ketiga karena generasi ini hidup dalam kemewahan dan tidak pernah melihat pengorbanan dan kegigihan orangtua mereka... generasi ketiga, sebagai anak-anak orang kaya tidak melihat perlunya bekerja keras. Mereka tidak mau susah dan tidak memiliki semangat ..." Kemudahan memang tampak enak. Akan tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil m ngantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus.

Kemudahan membuat kita lengah. Maka, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu, kesulitan dan krisis jangan dilihat sebagai hukuman Allah, melainkan sebagai didikan Allah. Adanya krisis bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Kata pengarang Ibrani, "Allah menghajar kita untuk kebaikan kita" (12:10).

Memang tiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Namun, tiap krisis juga mengandung peluang; peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan, dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih dewasa. Umat Allah di zaman Eksodus mengalami krisis selama 40 tahun lalu muncul sebagai bangsa yang tangguh. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang menjadi tangguh.

Dalam hidup Yesus tidak ada kemudahan, yang ada malah penderitaan. Namun, la bangkit dari penderitaan itu sebagai pemenang. Rasul Paulus turut merasakan kemenangan itu sehingga ia bersaksi, "Syukur bagi Allah yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya" (2 Kor. 2:14).