WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

Ketika akan masuk sekolah teologi, umur saya baru 17 tahun, badan ceking (tetapi ceking-ceking juga cakep), masih berceta pendek; pokoknya masih krucuk (anak bawang). Perasaan saya waktu itu campur baur: girang tetapi juga dag-dig-dug.

Banyak hal baru akan saya alami: meninggalkan rumah, lepas dari orangtua, mengatur hidup sendiri, merdeka dari "kolonialisme" kakak perempuan (saya punya tiga cici yang sama seperti cici di dunia, yaitu suka menyuruh-nyuruh), bebas dari "kerja rodi" (mengepel lantai, menimba air, dan menyapu kebun siap untuk diserahterimakan kepada adik). Banyak pula hal yang menarik: naik kereta api dari Bandung ke Malang (sebelum itu paling jauh cuma ke Sukabumi dan Cibatu), melihat Jawa Tengah dan Jawa Timur, tinggal di asrama dan masuk sekolah teologi. Saya merasa asyik, girang dan bersemangat, namun pada lain pihak bingung, bimbang, dan takut.

Bagaimana perasaan orang-orang terdekat dengan saya? Mereka tidak mengutarakannya. Tetapi mereka semua menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampak ingin berbuat sesuatu untuk saya. Saya merasa didukung. Saya merasa ditopang. Ini membesarkan hati. Seorang paman membuka lemari dan memberi beberapa celana panjang. Ajaib, celana itu sangat pas. Ia juga mengeluarkan sepatunya. Ajaib lagi, sepatu itu juga pas. Lalu cici-cici menghujani rupa-rupa hadiah: selimut, handuk, saputangan, sabun, piama, kaos dan lain-lain (eh, ternyata punya cici juga banyak gunanya!). Yang masih perlu adalah koper (zaman itu belum ada travel bag). Maka, seorang bibi memberi koper besi (sekarang di museum juga tidak ada, itu koper terbuat dari pelat seng dengan grendel besi). Koper itu sudah karatan (barangkali bikinan zaman VOC), tetapi oleh saya langsung dicat mengilap.

Lalu ada lagi topangan lain. Sehari menjelang keberangkatan tiba-tiba datang Empek Dji Leng. Baiklah saya ceritakan dulu siapa dia. Empek (= Opa) Dji Leng berusia hampir 70 tahun, anggota GKI Kebonjati. Saya sering bertemu dengan dia di rumahnya atau di gereja untuk urusan surat-surat pelawatan sebab ibu saya pelawat diakonia. Kemudian hari seorang cucu Empek Dji Leng, yaitu Sem Purwadisastra, juga masuk sekolah teologi. Nah, pada siang itu Empek Dji Leng disapah oleh istrinya yang juga sudah lanjut usia, sengaja datang ke rumah untuk memberi beberapa telur rebus sebagai bekal saya di kereta api. Empek Dji Leng tidak banyak berbicara. Becak yang membawa dia menunggu di depan rumah. Dengan suara yang bergetar lemah ia berkata, "Hong An, jadi boksu (= pendeta) jalannya panjang. Musti ada panggilan Tuhan. Empek doain biar Hong An jadi." Saya terdiam menunduk.

Keesokan harinya, ayah dan ibu sudah bangun pukul 3 pagi. Saya diantar ke stasiun. Maka, berangkatlah saya. Kereta api melewati Cikampek, belok ke Cirebon, menyusuri pantai utara Jawa Tengah (mata saya membelalak, itulah kali pertama saya melihat laut!), lewat Semarang dan tiba di Surabaya larut malam. Di sini saya merasakan lagi adanya topangan. Seorang mantan tetangga (orang Sunda beragama Islam) menjemput di stasiun. Saya menginap di kamarnya di asrama Akademi Pos. la membagi piring nasinya dengan saya. Keesokan harinya ia mengantar saya ke stasiun. la begitu ikhlas menolong.

Kereta api berangkat menuju Malang. Saya merenung. Begitu banyak orang menopang saya. Saya sedang bingung dan bimbang. lalu orang-orang yang terdekat semuanya bersikap menopang. Itu menguatkan. Tiap babak baru dalam perjalanan hidup dan karier beris banyak tanda tanya. Masa depan tidak menjamin kepastian. Kita jadi ragu-ragu, cemas, dan takut. Pada saat seperti itu kita merasakan betapa besar artinya topangan orang lain. Pada saat seperti itu pemazmur berbisik meminta topangan dari Tuhan, "Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu..." (Mzm. 119:116).

Kereta api berjalan terus. Bagi penumpang lain kereta ini menuju ke Malang, bagi saya kereta ini menuju ke masa depan. Masa depan yang penuh tanda tanya. Apakah saya akan diterima di sekolah teologi? Apakah saya bisa naik kelas? Apakah akhirnya saya akan lulus? Akan jadi apa saya nanti?

Perjalanan kereta api hanya tinggal setengah jam lagi. Tetapi perjalanan hidup dan kerja saya masih puluhan tahun. Akan jadi apa saya nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidup saya? Saya bingung dan bimbang. Tetapi saya merasa ada topangan. Pada bagian awal perjalanan ini pun saya sudah ditopang oleh banyak orang. Saya jadi mantap.

Kereta api melaju terus. Di jendela kanan tampak Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Di jendela kiri Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Tetapi di depan saya tampak wajah. Wajah yang menopang. Wajah ibu. Wajah ayah. Wajah kakak. Wajah adik. Wajah paman. Wajah bibi Wajah tetangga yang Muslim itu. Wajah Empek Dji Leng. Suaranya halus bergetar, "Empek doain biar Hong An jadi."


Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)