TIAP PAGI SELALU BARU

TIAP PAGI SELALU BARU

 

Kalau Anda tanya apakah saya senang tinggal di apartemen, jawabnya adalah ya. Mengapa? Oleh karena tiap pagi saya menghirup keharuman baru. Apa yang harum? Parfum tetangga! Soalnya, pintu tetangga depan dan tetangga sebelah hanya terpisah beberapa meter dari pintu kami. Nah, ini yang seru. Kedua tetangga kami adalah wanita kantoran. Pakaiannya keren. Hak sepatunya tinggi. Lalu, parfumnya bukan main wangi.

Tiap pagi pukul 6.00 tetangga sebelah berangkat ke kantornya di Menteng. Begitu ia membuka pintu, lorong apartemen kami langsung semerbak wangi. Sedap! Selama hampir 10 sampai 20 menit lorong kami tetap harum. Kemudian pukul 6.30 pagi tetangga depan membuka pintunya

Kantornya ada di Jalan Sudirman. Wah, yang ini lebih wangi lagi. Parfumnya mewangi ke kanan dan kiri.

Itu terjadi tiap pagi. Tiap pagi kedua tetangga itu mengharumi apartemen kami. Yang hebat, jenis parfumnya berganti tiap pagi Keharumannya berbeda-beda. Namun, semuanya berkelas. Tiap pagi selalu baru. Tiap pagi kami merasakan pengharuman yang baru.

Jika pada suatu hari mobil saya masuk ke bengkel, itulah kesempatan ikut mobil mereka ke STT atau ke Gunung Mulia. Lalu lintas macet malah menyenangkan sebab sepanjang jalan saya asyik menikmati harumnya parfum.

Sebetulnya, tiap orang pun tiap pagi menikmati sesuatu yang baru. Mungkin orang kurang memperhatikannya atau kurang menghargainya. Sebetulnya, tiap pagi ada yang baru. Udara segar yang baru. Warna langit di timur yang baru. Pucuk daun yang baru. Rasa segelas kopi atau secangkir teh yang baru. Semangkuk mi rebus yang baru. Sepotong roti yang baru. Senyuman yang baru. Entahlah. Pokoknya, kalau perasaan kita jeli tiap pagi kita akan mengagumi dan mensyukuri sesuatu yang baru.

Lagu "Great Is Thy Faithfulness" menunjukkan sesuatu yang tiap pagi selalu baru. Refreinnya menekankan, "Morning by morning new mercies I see." Terjemahan harfiahnya, "Pagi berganti pagi rahmat baru kulihat." Bisa juga berarti, "Pagi berganti pagi kebaikan baru kuterima." Atau, "Pagi berganti pagi pertolongan baru kudapat." Lirik itu ditulis oleh Thomas Chisholm (1866-1960), guru dan wartawan asal Kentucky, AS. Ini bait pertamanya:

Great is Thy faithfulness, O God my father, There is no shadow of turning with Thee Thou changest not, Thy compassions, they fail not, As Thou hast been, Thou forever wilt be.

Ref.: Great is Thy faithfulness! Great is Thy faithfulness! Morning by morning new mercies I see; All I have needed Thy hand hath provided; Great is Thy faithfulness, Lord, unto me!

Di PKJ 138 dan NKB 34 tertulis: Setia-Mu, Tuhanku, tiada bertara, di kala suka, di saat gelap. Kasih-Mu, Allahku, tidak berubah, Kaulah Pelindung abadi, tetap.

Ref.: Setia-Mu, mengharu hatiku, setiap pagi bertambah jelas. Yang kuperlukan tetap Kauberikan sehingga aku pun puas lelas Lagu itu lahir berdasarkan Ratapan 3:22-23 yang berbunyi: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, besar kesetiaan-Mu! tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi;

Supaya jelas, buku Ratapan bukan meratapi orang-orang yang dibuang ke Babel, melainkan meratapi orang-orang yang tidak ikut dibuang ke Babel. Orang yang dibawa ke Babel adalah para teknisi yang terampil, cendekiawan, dan tenaga ahli yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah Babel. Mereka tidak tersiksa. Segala kebutuhan mereka dicukupi.

Yang justru menderita adalah orang-orang yang ditinggalkan di Yerusalem. Mereka adalah para janda perang, anak-anak, lansia, dan orang-orang yang kepandaiannya tidak dibutuhkan oleh Babel. Mereka ditinggal di Yerusalem yang sudah porak-poranda akibat serbuan tentara Nebukadnezar dari Babel (meliputi Turki, Irak, Iran, Suriah kini) pada tahun 587 SM. Mereka tidak punya tempat tinggal. Mereka tidak punya pekerjaan. Mereka tidak punya makanan. Ladang hancur. Tempat pertukangan dibakar. Sumur dijejali jenazah. Rumah dijarah. Perempuan diperkosa (lih. "Meratap, tetapi Tetap Berharap" di Selamat Berteman).

Lalu tiga atau empat orang penyair anonim yang menjadi saksi mata penghancuran itu menulis Kitab Ratapan. Kitab ini mengacu ke Kitab Yeremia, namun Nabi Yeremia tidak ikut menulis kitab ini.

Para penulis Kitab Ratapan berterus terang menuangkan emosi kecewa, sakit hati, geram, rasa bersalah, putus asa, sesal, frustrasi, sedih, marah, dan sebagainya. Dalam keadaan yang betul-betul terpuruk itu mereka memanfaatkan apa yang tersisa untuk bertahan hidup, menyambung nyawa, mendirikan tempat tinggal, dan mengais ladang. Lalu para pengarang Kitab Ratapan ini bersaksi, "Kasih setia TUHAN rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi!" Tiap pagi ada harapan baru. Tiap pagi ada celah baru. Tiap pagi ada semangat baru. Tiap pagi selalu baru!

Tiap pagi kita bangun. Artinya, tiap pagi ada hari yang baru. Tiap pagi ada kesempatan baru. Tiap pagi ada kemungkinan baru. Tiap pagi ada kesegaran baru.

Entah apa kesegaran baru yang Anda temukan tiap pagi. Kalau saya, ya tadi itulah, Kesegaran baru tiap pagi adalah wanginya parfum tetangga yang cantik-cantik itu. Mungkin Anda heran. Mengapa Pak Andar begitu gandrung ngomongin parfum? Apakah Pak Andar suka pakai parfum?

Memang. Kami berdua di rumah sering pakai parfum. Hanya saja, cara pakainya berbeda. Tetangga pakainya dioles, kami digosok. Mereknya juga beda. Tetangga pakai merek Bucheron, Chanel, atau Gucci. Padahal kami pakai merek Cap Tawon, Cap Macan, atau Cap Lang.

SIFAT ORANG INDONESIA

SIFAT ORANG INDONESIA

 


Orang Indonesia itu suka pura-pura, lain di muka lain di belakang. Orang Indonesia boros, punya uang langsung dihambur-hamburkan. Kalau tidak betul-betul terpaksa, orang Indonesia enggan kerja keras. Sifat orang Indonesia juga suka pamer harta dan pamer kuasa. Mereka juga gampang melempar tanggung jawab. Kalau bersalah bukan minta maaf, melainkan berkata, "Bukan saya!"

Mungkin Anda langsung bereaksi, "Siapa bilang? Siapa kata? Siapa orang yang berkata begitu?"

Orang yang berkata begitu adalah Mochtar Lubis. la budayawan dan wartawan terkemuka. Berkali-kali ia dianugerahi penghargaan internasional di bidang jurnalistik. Pada dasawarsa 60-an sampai 80an ia memimpin koran Indonesia Raya yang terkenal dengan berita investigatifnya menguak korupsi dan kebohongan pejabat pemerintah.

Dalam hubungan apa Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas itu? Dalam suatu pidato kebudayaan. Dari waktu ke waktu Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mengundang pemikir kebudayaan untuk memaparkan visinya dalam bentuk ceramah yang disebut pidato kebudayaan.

Lalu Mochtar Lubis pun diundang. Judul pidatonya "Manusia indonesia". Auditorium TIM di Jalan Cikini penuh sesak. Itu terjadi pada tahun 1977. Suasananya masih saya ingat sebab saya hadir bersama beberapa guru STT Jakarta, yaitu Peter Latuihamallo dan Liem Khiem Yang.

Selama dua jam penuh Mochtar Lubis menyampaikan kata-kata edas. Orangnya memang sangar dan sengit. Hadirin tersentak. Kata kitanya memerahkan telinga dan menyakiti hati. Akan tetapi, hadirin dibuat bermawas diri. Ini masyarakat kita. Ini diri kita sendiri. Ini kenyataan.

Apa yang selama ini tidak pernah diangkat ke permukaan, tiba tiba dibeberkan dengan gamblang. Sinyalemen Mochtar Lubis adalah terobosan untuk mawas diri, introspeksi, dan swakritik.

Sebenarnya, dalam pidatonya yang lugas dan padat Mochtar Lubis menyebut puluhan watak atau mental kita yang buruk. Raut mukanya tampak geram dan geregetan sepanjang pidatonya. la mendesak kita untuk mawas bahwa bangsa kita mustahil bisa maju kalau kita tidak membarui watak kita. Selama ini kita terlena. Kita sudah terbiasa dengan sifat-sifat kita, padahal banyak sifat-sifat itu merugikan diri kita sendiri.

Jika sebuah sifat atau watak sudah membudaya dalam masyarakat dan mendarah daging dalam kepribadian kita, masih bisakah kita mengubahnya? Tentu saja bisa. Tiap orang bisa berubah. Tiap orang bisa membarui dirinya.

Dalam Alkitab terdapat Orang yang Berguna'), seorang pemuda di Kolose yang menggelapkan uang majikannya lalu melarikan diri. Kemudian ia ditangkap oleh pihak yang berwajib di Efesus. la dijebloskan dalam penjara yang sama dengan Rasul Paulus. Selama hampir dua tahun Onesimus bergaul erat dengan Rasul kisah Onesimus (artinya 'Gunawan' atau

Paulus. Tiap hari ia melihat teladan nyata Paulus. Sedikit demi sedikit teladan-teladan itu diserapnya. Setahap demi setahap ia bertumbuh dan berubah. la yang sebelumnya selalu bersikap sembarangan kin mulai belajar hidup secara bertanggung jawab, jujur, dan berdisiplin

Lalu Rasul Paulus mengirim surat rekomendasi kepada majikan disiplin, tempat dulu Onesimus bekerja agar Onesimus bisa diterima kembali Tulis Paulus, "... dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna bagimu maupun bagiku" (Flm. 1:11).

 Perhatikan kutipan itu. Di situ terdapat pertentangan. Yang dipertentangkan adalah "dahulu" dan "sekarang". Maksudnya, sifat Onesimus dahulu dan sifatnya yang sekarang.

Apa isi pertentangan itu? Dahulu Onesimus "tidak berguna", sekarang "sangat berguna".

 Dalam bahasa aslinya pertentangan itu lebih mencolok. Dahulu akhreston, sekarang eukhreston. Akar kata khrestos artinya 'berguna", Di sini Paulus melakukan permainan kata antara khrestos (khreston) yang diberi awalan a (artinya 'tanpa', 'tiada', 'tidak') dengan khrestos (khreston) yang diberi awalan eu (artinya 'bagus', 'baik'). Maksudnya, dahulu tidak bisa berguna, tidak bisa dipercaya, tidak bisa berkomitmen, sekarang bisa berguna, bisa dipercaya, dan bisa berkomitmen.

 Tiap orang memang bisa mengubah dan membarui sifatnya. Dari tidak berguna menjadi berguna. Dari tidak bertanggung jawab men menjadi berdisiplin, jadi bertanggung jawab. Dari tidak berdisiplin.

Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas. Orang Indonesia munafik; ucapannya santun, tetapi hatinya dengki. Orang Indonesia suka bohong. Orang Indonesia rakus harta. Kata-kata itu kasar. Akan tetapi, Mochtar Lubis punya maksud yang mendidik. la ingin Indonesia maju. Oleh sebab itu, orang Indonesia perlu berubah dan mengubah sifatnya yang buruk. la mendesak, "Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara berpikir dan berbuat..., maka saya khawatir kita akan..."

Pidato Mochtar Lubis memancing reaksi yang tajam. Bukan hanya pada pertemuan itu, melainkan juga dalam tahun-tahun berikutnya. Apalagi ketika bukunya terbit dengan judul Manusia Indonesia - Sebuah Pertanggungjawaban terbitan Idayu tahun 1978.

Menjawab tanggapan Sarlito Wirawan, psikolog dari Universitas Indonesia, Lubis berkata, "Korupsi, munafik, lemah watak, cenderung berlambat-lambat, tinjaulah cara orang bekerja di kantor-kantor.... merupakan gejala yang begitu umum di seluruh tanah air kita..."

Kontroversi sinyalemen Mochtar Lubis meluas dan menggema ke ranah psikologi, pedagogi, sosiologi, dan politik. Beberapa tahun setelah terbitnya buku itu, Mochtar Lubis ditanya apakah ia masih bersikukuh dengan sinyalemennya tentang sifat-sifat orang Indonesia. la menjawab, "Saya malah tambah yakin."

Orang Indonesia jago pura-pura. Katanya mendukung pembe rantasan korupsi, tetapi ternyata ia juga korupsi. Orang Indonesia tukang ikut-ikutan, satu orang ngomong begitu semua orang ikut ngomong begitu. Orang Indonesia gila hormat. Orang Indonesia mau kaya, tetapi tidak mau kerja keras; mau pintar, tetapi tidak mau banting tulang.

Mochtar Lubis menuding dengan keras. Anda tidak setuju? Bagus, saya juga tidak setuju. Anda anggap Mochtar Lubis keliru? Bagus, saya juga.

Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa Mochtar Lubis keliru. Caranya? Mari kita mulai dengan diri kita sendiri. Mari kita buktikan bahwa kita bukan tukang pura-pura. Mari kita buktikan bahwa kita bisa kerja keras. Mari kita buktikan bahwa kita bisa disiplin waktu. Mari kita buktikan bahwa kita bisa bertanggung jawab. Mari kita buktikan bahwa kita bisa berprestasi. Mari kita buktikan bahwa kita jujur.

Mari kita buktikan. Mulai dari diri kita sendiri.

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

 

Perang dingin yang sering terjadi dalam keluarga adalah antara menantu perempuan dan ibu mertua. Golongan usia yang rawan adalah 30-40 tahun pada menantu dan 60-70 tahun pada mertua. Begitulah pengamatan saya sebagai pendeta GKI Samanhudi.

 Dari mana saya mendapat informasi adanya konflik itu? Pihak mana yang melaporkan? Biasanya pihak ibu mertua. Kadang-kadang ada juga dari pihak menantu.

Apakah saya langsung mempertemukan kedua pihak yang berselisih itu? O, tidak! Tentu tidak! Bukan begitu caranya. Cara begitu malah akan mempertajam konflik sebab pihak terlapor pasti akan merasa dipermalukan oleh pihak pelapor.

Lagi pula kalau begitu caranya bisa jadi perang dingin akan meletus menjadi perang terbuka. Nah, mana sanggup saya melerai seorang menantu yang sewot dan seorang mertua yang senewen? Bisa-bisa malah saya dicakar dari kiri dan kanan.

Lalu bagaimana caranya? Apa pendekatan saya saat pertama kali menjumpai pihak terlapor?

Sebetulnya, dari sepuluh kasus konflik keluarga, tidak lebih dari satu yang dilaporkan. Sisanya muncul tersirat atau terdeteksi dalam percakapan biasa. Keluarga cenderung enggan melaporkannya sebab menepuk air di dulang akan memercik muka sendiri.

Tentu saja bentuk, isi persoalan, dan intensitas tiap konflik berbeda. Akan tetapi, polanya hampir serupa.

Ini lebih kurang keluhan seorang mertua, "Pak Andar sendiri pernah bilang, anak saya sifatnya fleksibel dan gampang cocok dengan siapa saja selama jadi majelis gereja. Tapi dia terlalu takut pada istrinya. Mau datang ke rumah saya, mesti lapor kepada istri. Mau membelikan sesuatu untuk saya mesti minta izin istri. Menantu saya itu enggak ketulungan judesnya. Ia enggak pernah manis kepada saya. Selalu ketus. Saya enggak dapat perhatian. Saya enggak dihargai."

Sekarang kita dengar keluhan pihak menantu, "Tiap kali bertemu Pak Andar di gereja, Mami langsung ramah dan manis banget. Mami ketawa-ketawa. Padahal di rumah ia diktator galak seperti Queen Victoria atau Margareth Thatcher. Bicaranya selalu ketus. Ketika kami baru menikah, ia menghargai saya. Akan tetapi, sesudah itu ia super judes. Tak pernah ia ramah pada saya. Saya capek-capek masak lalu membawanya ke rumah Mami, tetapi jangankan memuji prakarsa saya, bilang terima kasih pun tak pernah. Ia tak pernah memperhatikan perasaan saya."

Demikian lebih kurang keluhan mertua dan menantu. Sekarang mari kita bandingkan kedua keluhan itu. Silakan baca ulang. Isinya tentu berbeda. Namun, apakah Anda juga menemukan sejumlah persamaan? Sebetulnya, inti atau substansi kedua keluhan itu sama.

Apa persamaannya? Baik mertua maupun menantu merasa: aku kurang dihargai, aku kurang diperhatikan, aku diperlakukan ketus dan kasar, aku diperlakukan kurang ramah, aku diperlakukan kurang baik, aku kurang disayang.

Kedua orang itu sama perasaannya: merasa kurang. Kurang! Mertua mengeluh, "Menantu saya kurang menghargai saya." Menantu mengeluh, "Mami kurang menghargai saya." Sami mawon!

Itulah penyebab rusaknya hubungan antar-orang. Suami merasa kurang diperhatikan istri, istri merasa kurang diperhatikan suami Begitu juga karyawan dan majikan. Tetangga dan tetangga. Kita merasa kurang dihargai oleh tetangga. Itu penilaian diri kita.

Kita adalah orang yang kurang dihargai. Akibat konsep diri seperti itu, kita merasa jengkel kepada dia. Makin lama kita makin jengkel.

Kita rugi sendiri. Cobalah untuk mengganti dan membarui konsep diri kita. Ganti konsep diri dari "Aku orang yang kurang dihargai", menjadi "Aku orang yang bisa menghargai". Lalu mulailah menghargai tetangga itu. Senyumlah kepadanya. Sapalah dia. Berilah perhatian ke padanya.

Apa yang akan terjadi? Sangat mungkin tetangga itu sedikit demi sedikit akan mulai memberi perhatian kepada kita. Oleh karena kita memberi perhatian, kita akan diberi perhatian. Yesus berkata, "Berilah dan kamu akan diberi..." (Luk. 6:38a).

Ucapan Yesus itu adalah pedoman untuk hubungan antar-orang, antargolongan, antarbangsa, antaragama, dan lainnya. Jika kita menghargai orang lain, orang itu akan menghargai kita. Simak logika Yesus untuk pedoman itu, "... sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (ay. 38c).

Mengapa ibu mertua tadi tidak diberi perlakuan manis? Oleh sebab ia sendiri pun tidak memberi perhatian manis. Mertua dan menantu itu setali tiga uang (lih. "Sebotol Racun Cinta" di Selamat Berkerabat).

Itulah pendekatan pedagogis saya dalam konflik menantu-mertua. Saya tidak menasihati, sebab dalam pedagogi tidak dipakai cara menasihati. Yang saya lakukan adalah memberdayakan orang itu untuk mengenali citra dirinya, yaitu bahwa ia sebetulnya adalah pribadi yang punya perhatian, namun belum memanfaatkan potensinya. Akibatnya, ia kurang memberi perhatian sehingga ia pun kurang diberi perhatiin.

Sebetulnya, cerita ini masih panjang. Ada satu pihak yang belum disebut padahal ia adalah korban yang hatinya paling terluka. Ia adalah sang putra. Dalam konflik ini ia jadi bumper yang babak belur ditabrak dari kiri dan kanan. la tulus mencintai ibunya dan tulus mencintai istrinya, namun justru karena ketulusannya ia disalahpahami oleh kedua belah pihak. Dengan simpati nanti saya akan menulis bab tersendiri.

Setelah menantu dan mertua itu mulai teduh, apakah saya mempertemukan mereka? Tidak! Tidak pernah! Pertama, karena proses pemulihan hubungan sebaiknya berlangsung alamiah antara yang bersangkutan. Kedua, karena pertemuan seperti itu mudah merosot menjadi seremoni, padahal yang perlu adalah diplomasi.

Bahkan, dalam banyak kasus pihak menantu tidak tahu bahwa selama beberapa bulan itu berkali-kali saya berkunjung ke mertua. Sebaliknya, mertua pun tidak tahu bahwa saya berkali-kali mengun jungi menantu.

Pada awal bab ini ada pertanyaan: Bagaimana caranya saya mendekati pihak terlapor? Pihak terlapor tidak boleh tahu bahwa ia dilaporkan sebab ia akan merasa dipermalukan. Lalu bagaimana caranya saya berkunjung berkali-kali tanpa dia tahu bahwa ia adalah terlapor?

Begini caranya. Saya berkunjung bukan sebagai pendeta, melainkan sebagai seekor kura-kura.

Kura-kura? Ya, sebagai kura-kura di pinggir perahu, alias ... pura-pura tidak tahu.

SEHELAI RUMPUT SEGAR

SEHELAI RUMPUT SEGAR

 

Binar mata Nasrudin menatapi keledai yang tertambat di halaman istana. Keledai itu kuat dan tegap. Kata orang ini keledai paling bagus di seluruh kerajaan. Inilah keledai yang akan dijadikan hadiah bagi pemenang lomba. Lombanya akan segera diumumkan raja. Betapa Nasrudin ingin menjadi pemenang lomba itu.

Terompet pun berbunyi. Raja bermaklumat, "Aku kecewa bahwa minat baca buku masih rendah. Oleh sebab itu, aku ingin agar keledaiku ini diajar membaca buku, sehingga orang yang malas baca buku jadi malu melihat keledai pun mau baca buku. Ini lombanya. Peserta lomba yang dalam satu bulan berhasil mengajar keledai ini membaca buku akan kuhadiahkan keledai ini. Akan tetapi, jika orang itu gagal ia akan dihukum kerja paksa selama satu tahun. Nah, siapa yang mau ikut lomba ini?"

Nasrudin dan ratusan orang lainnya di halaman istana tertunduk lesu. Siapa gerangan bisa mengajar keledai membaca? Mustahil! Tiba-tiba Nasrudin memecah kesunyian. Katanya, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya ikut lomba!"

Semua orang mencibirkan bibir. "Dasar Nasrudin bego! Mustahil lah mengajar keledai membacal Rasakan kerja paksa sepanjang tahun nanti!"

Sambil menarik tali keledai itu Nasrudin berjalan pulang. Mendekati rumah barulah ia sadar, "Apa yang harus kulakukan untuk membuat keledai ini mau membaca buku? Istriku saja tidak mau baca buku, apalagi keledai."

Siapa Nasrudin? la adalah tokoh separuh fiktif separuh faktual dalam ribuan cerita dari abad ke-14. Para pengarangnya tidak diketahui. Belasan negara mulai dari Turki terus ke Kazakstan sampai Provinsi Sin Kiang di Tiongkok mengklaim Nasrudin sebagai warisan budaya susastra mereka. Tiap cerita itu merupakan parodi dan satire yang mengandung sebuah kritik sosial. Pelaku utamanya Nasrudin yang dungu dan lugu, namun memegang kartu kebenaran (lih. "Lugu Bak Nasrudin" di Selamat Berkiprah).

Tidak ada cerita Nasrudin yang autentik. Semua cerita itu telah dimanipulasi oleh pengadopsi cerita sesuai dengan tujuan instruk sionalnya masing-masing, karena dalam sebuah cerita bisa terdapat belasan tema yang berbeda.

Sebentar akan kita lihat bahwa karangan ini bukan hanya berte ma minat baca buku, melainkan juga bertema bagaimana membuat orang jadi berminat membaca buku.

Masih tentang minat baca, pernah Eka Darmaputera dan saya mengadakan tiga survei kecil untuk sekitar 40 pendeta, 40 pengurus komisi/badan pembantu, dan 60 penatua pada tempat dan kesempatan yang berbeda. Tugas survei berbunyi, "Dari 10 isu ini, pilih 5 isu yar menurut Anda menjadi agenda Luther dan Calvin dalam Reformasi Gereja." Hasil survei menunjukkan bahwa isu "Pembenaran oleh Iman" dipilih oleh semua responden. Isu "Otoritas Alkitab" oleh banyak responden. Demikian juga isu "Sakramen". Akan tetapi, isu "Peran Baca untuk Iman" tidak dipilih oleh satu orang pun.

Angka berbicara. Dari sekitar 40 pendeta itu tidak ada seorang pun yang tahu bahwa pengadaan buku dan peningkatan minat baca buku umat merupakan salah satu agenda Reformasi Gereja yang diperjuangkan.

Padahal Luther memberikan begitu banyak waktu dan energi untuk mendorong umat membaca. Langkah pertama Luther adalah membuka akses umat untuk membaca Alkitab. Pada zaman itu Alkitab hanya bisa dibaca oleh rohaniwan sebab bahasanya adalah Latin Siang malam selama beberapa bulan Luther menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa nasional. Lalu ia dan kawan-kawan menulis buku-buku rohani untuk umat.

 Kepada para penulis itu Luther mewanti-wanti, "Jangan pakai bahasa Jerman-mu, tetapi pakailah bahasa Jerman umat. Pakai bahasa yang hidup dan jelas sehingga ibu-ibu di pasar pun bisa mengerti dan suka membaca tulisanmu!"

Ketika gereja Protestan semakin mewujud, Luther pun giat mena tar para pendeta dan mendorong mereka untuk tiap hari membaca buku. Akan tetapi, Luther frustrasi melihat betapa lambannya para pendeta itu. Luther mengomel, "Ada pendeta yang pada dasarnya malas ... mereka tidak berminat untuk membeli buku... walaupun memilikinya, mereka malas membacanya!"

Sementara itu, Gereja Katolik pun mulai lebih memperhatikan peran buku. Di tengah gencar-gencarnya gerakan reformasi Luther, pada tahun 1540, berdirilah Ordo Jesuit atas prakarsa Ignatius Loyola. Ordo ini banyak melakukan kaderisasi para calon cendekiawan melalui literatur.

Bukan hanya Luther yang mengomeli kemalasan baca buku. Yesus pun mengomel! Injil Matius mencatat bahwa Yesus pernah lima kali jengkel kepada para pemuka agama karena para pemuka agama itu belum membaca apa yang seyogyanya mereka baca. Omel Yesus, "Tidakkah kamu baca..." (12:5). Juga, "Tidakkah kamu baca bahwa ..." (19:4). Juga, "Belum pernahkah kamu baca..." (21:16). Pada ke sempatan lain juga, "Belum pernahkah kamu baca dalam ..." (21:42). Juga, "Tidakkah kamu baca apa yang ..." (22:31).

Luther mengomel. Yesus mengomel. Raja kita pun mengomel. Oleh sebab itu, raja ingin agar ada orang yang bisa mengajar kele dainya membaca buku. Raja ingin menyindir orang yang malas baca buku. Raja ingin berkata, "Lihat, keledai saja mau baca buku, masakan Anda cuma main internetan!"

Maka, pada hari terakhir lomba itu halaman istana sudah dike rumuni orang. Semua orang ingin melihat apa yang terjadi dengan Nasrudin.

Dengan langkah gugup Nasrudin menuntun keledai itu ke tengah lapangan. Lalu seorang pesuruh istana meletakkan sebuah buku di atas meja. Tebalnya sekitar seratus halaman. Bisakah buku itu dibaca oleh keledai?

Terompet berbunyi. Raja memberi aba-aba, "Mulai!" Keledai itu mengendus-ngendus buku dan menggoyang goyangkan lidahnya. Lalu dengan lidahnya yang terjulur panjang ia mulai membalik halaman pertama. Lalu halaman kedua. Lalu halaman ketiga. Halaman demi halaman dijilatnya dan dibalikkannya. Pada tiap halaman ia berhenti sejenak untuk menatap apa yang terdapat di situ. Lalu halaman berikutnya lagi. Sampailah ia pada halaman terakhir. Lalu ia meringkik nyaring! Hadirin bersorak girang sambil bertepuk tangan.

Raja terpana dan berdecak kagum. Lalu ia bertakrif, menya takan Nasrudin adalah pemenang. Ia berhak menerima keledai ini!" Nasrudin membungkuk, "Sahaya hatur syukur, Tuanku Baginda." la pun cepat-cepat menuntun keledainya pergi.

Akan tetapi, tiba-tiba raja bersabda, "Nasrudin! Tunggu dulu! Coba ceritakan apa rahasiamu sehingga keledai ini mau membaca buku?"

Nasrudin terkejut. Dengan tergagap ia menjawab, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya belajar dari tetangga saya. Tetangga sahaya itu tiap pagi pukul 4.00 sudah mulai menulis buku. la bekerja keras. Orangnya serius. Mukanya cemberut. Sifatnya eksen...!"

 Raja langsung membentak, "Aku tidak peduli tampang tetanggamu itu macam apa. Aku ingin tahu apa rahasianya sehingga keledar mau membaca buku!"

Nasrudin bertakzim, "Sahaya hunjuk ampun, Tuanku Baginda Maksud sahaya begini. Tetangga sahaya itu di STT Jakarta mengajar Ilmu Memadukan Rumput Segar dalam Bahan Ajar. Ia mempraktikkan ilmu itu dengan cara menulis buku Seri Selamat. Di tiap halaman bukunya ia memadukan sehelai rumput segar. Oleh sebab itu, Seri Selamat banyak pembacanya. Itulah juga yang sahaya lakukan dengan keledai ini. Sahaya meletakkan sehelai rumput segar di tiap halaman buku sebagai makanannya tiap hari sehingga keledai ini rajin membaca buku sebab ia ingin makan. Tuanku Baginda, tidak ada rahasia apa-apa. Hanya itu, hanya sehelai rumput segar!"

CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

 


Baru saja ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal dunia. la pilu, dan kepiluan itu membekas pada dirinya seumur hidup. Pentingnya peran ibu tersirat dalam buku-buku teologinya. Anak piatu itu adalah Jean Chauvin atau Johanes Calvin (1509-1564). Hampir semua gereja Protestan di Indonesia, seperti GPIB, GKJ, GKP, GKI, GRII, GMIM, GMIT, dan lainnya adalah gereja Calvinis.

Sepeninggal ibunya, Calvin dititip pada sebuah keluarga ningrat. Ayahnya mengenal beberapa keluarga ningrat karena ia adalah penata usaha uskup. Asuhan yang diterima dalam keluarga ningrat ini mewarnai kepribadian Calvin seterusnya. la sangat mengutamakan perilaku sopan, prestasi unggul, dan perbuatan mulia, namun di lain pihak, ia kaku dalam pergaulan, menjaga jarak, dan menjauh dari khalayak ramai. Lagi pula ia memang berwatak pemurung dan cen derung bermuka masam.

Calvin disekolahkan oleh keluarga ningrat itu di sekolah yang paling bermutu di kota Noyon. Calvin selalu menjadi murid yang paling berprestasi. Tugas yang dikerjakan oleh murid lain dalam waktu satu jam diselesaikan Calvin dalam sepuluh menit. Ia tidak suka berbicara. Akan tetapi, jika ditanya ia selalu terbuka, "Aku anak piatu. Kakekku seorang tukang gentong kayu, ayahku pekerja tambang yang kini jadi juru tulis."

Pada usia 12 tahun Calvin pindah ke Paris dan bersekolah serta berasrama di College de la Marche dan College de la Montaigu yang didirikan oleh Geert Groote (1340-1384) filsuf Pendidikan Agama Kristen di Belanda (lih. "Masa Muda Martin Luther" di Selamat Membarui). Di sini Calvin berkenalan dengan humanisme, yaitu aliran yang mengutamakan bahasa-bahasa kuno Ibrani, Yunani, dan Latin untuk mempelajari susastra kuno (termasuk Alkitab!) dengan tujuan meningkatkan kemanusiaan yang beradab.

Menyelesaikan studi sampai tingkat magister di Montaigu itu, Calvin pada usia 18 tahun masuk sekolah hukum di Orleans dan Bourges. Dengan cepat ia menyusul kakak-kakak kelasnya, lalu pada usia 20 tahun ia mencapai gelar doktor hukum.

Minatnya pada susastra kuno membuat Calvin kembali ke Paris dan mempelajari buku-buku teologi dari abad permulaan. Calvin tidak pernah duduk di sekolah teologi, namun dari tangannya lahirlah buku-buku teologi yang berbobot.

Sementara itu, buku-buku tulisan para reformator gereja dari Jerman secara sembunyi-sembunyi beredar di kalangan cendekiawan Paris. Gerakan reformasi belum terbuka di Prancis, sebab Raja Francois I membenci gerakan reformasi. Calvin menyaksikan seorang biarawan dibakar hidup-hidup akibat bersimpati pada "bidat Luther".

Calvin bergumul dalam menentukan arah keyakinannya. Ia dididik oleh ibunya untuk mencintai gereja, namun ia melihat banyak praktik buruk para rohaniwan. Ia tahu betul bahwa gerakan reformasi sesuai dengan Perjanjian Baru yang dipelajarinya, namun ia tidak ingin meninggalkan Gereja Katolik yang dicintainya sebagai ibunya sendiri. Tulisnya, "... hatiku tidak bisa tenteram... ajaran baru itu membawa kami kembali ke sumbernya yang asli dan mengembalikan ajaran Alkitab yang murni... namun, di lain pihak, aku benci pada hal-hal yang baru itu... akan tetapi, akhirnya Allah menunjukkan hatiku pada kepatuhan,"

 Bagi Calvin pertobatan bukanlah prestasi atau jasa manusia, melainkan pemberian atau karunia dari Allah. Ia mengacu ke ucapan Kristus, "Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya" (Yoh. 6:65).

 Begitulah ketika Luther sudah lebih dari 15 tahun menjalankan reformasinya, Calvin secara bertahap mulai menampakkan jiwa reformasi gereja dalam buku-bukunya.

 Ketika Calvin membantu menyusun pidato rektor Universitas Paris yang mengecam keburukan gereja, Raja Francois I berang. Nyawa Calvin terancam. la melarikan diri ke Basel dan sepanjang umurnya ia tidak bisa kembali ke tanah airnya.

 Di Basel Calvin menulis buku-buku reformasi. Secara bertahap, ia menulis buku-buku tipis. Kelak buku-buku ini terkumpul menjadi empat jilid setebal lebih dari 2.000 halaman yang berjudul Institutio, yang merupakan buku dogmatik Protestan yang banyak diacu. Beberapa bagian terpilih dari buku itu diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.

Menarik bahwa kalimat pertama buku itu berbunyi, "Dipersem bahkan kepada Raja Francois I... Pelindung Gereja Kristen". Akan tetapi, sang pelindung ini memerintahkan agar semua buku ini disita dan dibakar.

CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

 


Untuk memperkenalkan tulisan-tulisannya tentang reformasi gereja, Yohanes Calvin pergi ke Ferrara, di Italia Utara, la menginap di istana Putri Renee yang suka membagi-bagi buku gerakan reformasi, padahal putri ini adalah adik Raja Francois I yang mau membunuh Calvin.

Dalam perjalanan pulang ke Basel, Calvin menginap satu malam di sebuah losmen murah di Jenewa. Pemilik losmen tidak bisa percaya bahwa tamu berpakaian sederhana itu adalah Jean Chauvin, penulis buku-buku terkenal. Bangga losmennya diinapi orang termasyhur, ia langsung menceritakan kabar ini kepada semua tetangganya.

Kabar ini pun tiba di telinga Guillame Farel, pendeta setempat yang berusia 20 tahun lebih tua daripada Calvin. Malam itu juga Farel datang ke losmen dan meminta Calvin untuk menjadi pendeta di Jenewa. Tentu saja Calvin menolak sebab ia punya tugas di Basel untuk menyebarluaskan konsep reformasi di kalangan akademik.

Mendengar penolakan ini Farel berteriak, "Tuan Chauvin, Allah akan mengutuk Tuan jika Tuan menolak tugas ini!"

Calvin terkejut bukan kepalang. Belum pernah ia mengalami ancaman seperti itu. la lama berpikir. Reformasi gereja di tingkat akademik yang selama ini ia kerjakan memang penting, namun Reformasi gereja di tingkat gereja lokal juga penting. Akhirnya, ia menerima tugas ini.

Tumpukan tugas langsung dikerjakan oleh Calvin. Setiap hari ia menjelaskan isi Alkitab pasal demi pasal kepada kelompok anak, pemuda, dan dewasa. la menertibkan tata ibadah. Orang yang terlambat datang ke ibadah, apalagi absen, harus bayar denda sekian franc. Di gereja tidak boleh ada orgel, lilin, dan salib. Pendeta dilarang pakai jubah. Orang yang suka berjudi, mabuk, berdansa, dan nonton sandiwara ditegur atau dikucilkan. la menetapkan bahwa sehari-hari gereja diurus oleh dewan yang terdiri atas empat jabatan, yaitu pendeta, pengajar, penatua, dan syamas. la menetapkan persyaratan ketat bagi orang yang minta dibaptis, ikut perjamuan kudus, dan menikah. Ia menetapkan hukuman bagi mereka yang melecehkan orang tuanya.

Ketetapan Calvin disambut pro dan kontra. Ketika golongan kontra. menguasai pemerintah kota, Calvin diusir dari Jenewa. la menjadi pendeta di Strasbourg. Empat tahun kemudian konstelasi politik di Jenewa berubah lagi sehingga Calvin diminta kembali ke Jenewa. Begitulah untuk masa 23 tahun selanjutnya Calvin menjadi pendeta gereja Jenewa sampai akhir hidupnya.

Umat gereja mendorong Calvin untuk menikah, namun ia selalu menjawab, "Aku tidak punya waktu. Kalau toh menikah, ada syaratnya, janganlah pekerjaanku jadi terganggu." Akhirnya, ia menikah dengan Idelette de Bure. Mereka mempunyai tiga orang anak, namun dalam usia balita anak-anaknya itu meninggal.

Calvin, istri, dan ketiga anak itu memang berbadan lemah. Makanan mereka sehari-hari kurang memadai. Gaji yang diterima Calvin membuat keluarga ini serba kekurangan. Honor penulisan buku dipakai untuk penyebarluasan buku.

Baru sembilan tahun menikah Calvin kehilangan istri. Tulis Calvin, "la adalah teman hidup, teman menderita, dan teman melarat."

 Calvin meneruskan reformasinya. la mendirikan Academie de Geneve untuk mendidik calon pendeta. Jenjang awal untuk belajar bahasa-bahasa selama tiga tahun dan jenjang berikut untuk belajar teologi, kedokteran, atau hukum selama lima tahun. Pelajaran dimulai pukul 6.00 pagi. Sepuluh menit di muka, guru dan murid sudah ada di kelas bersaat teduh sambil membaca buku renungan. Tepat pukul 6.00 pagi pintu gerbang kampus ditutup. Tulis Calvin, "Tidak bisa jadi pendeta kalau tidak disiplin jadi kutu buku."

Calvin sendiri adalah kutu buku. Ia hafal semua buku Luther la memang mengagumi Luther yang 16 tahun lebih tua. Pernah ia Calin Jalan Hi menulis surat kepada Luther, "Aku menyukai semua buku Tuan. Alangkah inginnya aku bertemu dan belajar kenal dengan Tuan."

Sering Calvin mengenang ibunya dengan pilu. la merasa begitu rindu untuk berada dengan ibunya. Ketika Calvin menulis betapa perlunya kita menyatu dengan gereja, ia mengibaratkan gereja sebagai seorang ibu.

Tulis Calvin, "... the Church, into whose bosom God is pleased to gather His children, ... that they may be nourished by her help... that they may be guided by her motherly care... For what God has joined together, it is not lawful to put asunder (Mark 10:9), so that, for those to whom God is Father, the Church may also be mother" (Inst. IV.i.1).

Artinya, "... Gereja, di dadanya Allah mantap meletakkan anak anak-Nya... supaya mereka disusuinya dengan bantuannya... supaya mereka dituntun dengan asuhan keibuannya... karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk. 10:9). sehingga, untuk mereka yang Allah adalah Bapa, Gereja juga adalah ibu" (Inst. IV.i.1).

Calvin tahu betul bahwa ayat tadi berkonteks perceraian suami istri, namun ia sengaja menekankan bahwa hubungan kita dengan gereja janganlah sampai tercerai sebagaimana juga hubungan dengan ibu kita.

Tiada terbanding hubungan kita dengan ibu yang telah mengandung, menyusui, dan mengasuh kita. Tiap kali Calvin terbaring lemah karena kesehatannya yang kurang terawat, ia selalu pilu mengenang ibunya. Calvin meninggal saat usianya belum lagi mencapai 55 tahun.

REFORMASI DIRI

REFORMASI DIRI

 

Pemuda ini tiap hari hanya bermain anggar. Sesudah itu, membaca novel tentang kesatria yang merayu-rayu putri cantik. Khayalan pemuda Spanyol ini tak kepalang tanggung, yaitu menikahi Putri Katalina yang wah dari Austria.

Akan tetapi, jiwa pemuda bangsawan ini pada suatu waktu berubah total gara-gara dua jilid buku yang dibacanya. Jalan hidupnya berubah sama sekali. la menjadi pendiri Ordo Yesuit. la menjadi Reformator Gereja, Luther dan Calvin di barisan Protestan, ia di barisan Katolik. Pola pikirnya masih berpengaruh sampai hari ini di bidang pekabaran Injil, persekolahan, dan pendidikan agama. la adalah Ignatius Loyola (1491-1556). Akan tetapi, bukankah Ignatius Loyola itu seorang tokoh kontra reformasi?

Loyola terlahir dengan nama Inigo Lopez. la 8 tahun lebihmuda dari Luther dan 8 tahun lebih tua dari Calvin la anak bungsu dari 14 bersaudara.

Persekolahan formal yang diterima Loyola pada masa kecil sungguh minim. Ada guru pribadi yang datang kepuri, namun pengetahuan yang diperolehnya sedikit. Yang banyak dipelajarinya hanya peraturan protokol keningratan. Demikian juga pendidikan imannya amat minim. Sehari-hari ia hanya bersantai dan berfoya-foya dengan teman sebayanya yang membawa dia ke dalam pergaulan buruk.

Kelak menjelang akhir hidupnya, Loyola mendiktekan autobiografinya kepada Luis da Camara (edisi Indonesia: Wasiat dan Petuah Santo Ignatius, terbitan Kanisius). Tertulis, "Sampai umur 26 tahun dia (aku) hanyalah memikirkan permainan duniawi, dan kegembiraan terbesar adalah memenangi pertandingan senjata demi mendapat kehormatan."

Perubahan besar terjadi ketika Loyola berusia 26 tahun. la tergabung dalam pasukan yang mempertahankan benteng Pampelona dari serangan Prancis. Saat komandannya berniat menyerah, Loyola tetap gigih bertempur. la terkena peluru meriam. Kedua kakinya patah sehingga dibedah ulang. Beberapa minggu kemudian ia diusung dengan brankar berhari-hari ke daerah asalnya.

Mungkin akibat tergoyang-goyang ketika diusung brankar, tulang yang dibedah itu berubah posisi. Lalu para dokter mematahkan kembali tulang itu dan melakukan operasi kedua kali.

Beberapa bulan kemudian hasil bedah itu ternyata mengecewakan. Kaki kiri lebih pendek dari kaki kanan. Loyola yang selalu ingin tampak gagah minta dioperasi kembali.

Berbulan-bulan Loyola tidak turun dari ranjang. Sungguh membosankan. la pun meminta buku, namun tidak ada buku roman kesatria kasmaran kepada putri genit. la mendapat dua buku yang sama sekali tidak menarik. Apa boleh buat. Loyola pun mulai membaca. Ternyata kedua buku ini mengubah jalan hidupnya secara total.

Buku pertama adalah renungan tentang hidup dan sosok Yesus. Buku kedua renungan tentang kiprah para tokoh iman. Loyola tercengang-cengang membaca Fransiskus Assisi, anak pengusaha besar, bertukar pakaian dengan seorang pengemis (lih. "Doa Fransiskus dari Assisi" di Selamat Pagi Tuhan,dan"Makhluk itu Majemuk"di Selamat Berkarunia).

Kedua buku itu dibacanya berulang-ulang. Loyola merasa malu kepada dirinya sendiri. Tertulis, "Dia (aku) merasa jijik teringatakan perilaku kedagingan dulu." Akan tetapi, tidak lama kemudian ia ingin lagi melakukan perbuatan-perbuatan jijik itu.

Tiap hari selama beberapa bulan Loyola bergumul dalam kebimbangan memilih menjalani hidup yang lama ataukah membarui hidupnya. Tertulis, "la (aku) mulai berpikir lebih serius mengenai hidup dan merasa perlu membuat pilihan." Dalam perkembangan waktu ia menulis, "Akhirnya pikiran pertama, yaitu mengenai hal-hal duniawi, mulai ditinggalkan. Hal-hal duniawi dikalahkan oleh keinginan yang luhur ... ia (aku) merasa muak terhadap hidup yang dulu, khususnya mengenai kehidupan seksual ... "

Dengan tekad itu Loyola pergi ke Barcelona. Di hadapan seorang imam ia membuat pernyataan melepas semua hak atas harta benda. la mengganti pakaiannya yang mahal dengan pakaian sederhana. Selama setahun ia bersemedi di sebuah goa untuk meminta penglihatan dari Allah.

Pada tahap usia ini pikiran Loyola diwarnai oleh buku Meniru Kristus (The Imitation of Christ) karya Thomas Kempis (1380-1471). Di situ tertulis, "Banyak orang mau mendapat kegembiraan dari Kristus, namun hanya sedikit yang rela menderita demi Dia. Banyak orang mengikut Kristus karena cari untung, hanya sedikit yang bersedia menanggung rugi." Padahal kita adalah anak dan ahli waris "jika kita menderita bersama-sama dengan Dia" (Rm. 8:17). BukuThomas Kempis itu yang terbit tahun 1427 hingga kini masih terusdicetak ulang dalam rupa-rupa bahasa (lih. "Swami Vivekananda" di Selamat Berjuang).

Tak lama kemudian Loyola berlayar ke Israel. Namun, penguasa militer Turki yang menduduki Israel melarang Loyola mengabarkan Injil. Paraimam Ordo Fransiskan di Israel menyarankan Loyola untuk membekali diri dengan pengetahuan dasar pekabaran Injil.

Loyola pun kembali ke Spanyol untuk masuk universitas. la ditolak karena tidak tahu bahasa Latin. Namun, ia pantang menyerah. Mes kipun berusia 33 tahun, ia duduk di kelas bersama murid-murid SMA. Dua tahun kemudian ia diterima di Universitas Alcala.

Kecerdasan dan kesungguhannya melejitkan Loyola di perguruan itu. Di luar kelas ia mencari kesibukan. la mengumpulkan orang-orang gelandangan dan ia mengajar katekese kepada mereka.

Kegiatan Loyola itu tidak disukai para pastor. la pun dipanggil menghadap tim pemeriksa ajaran agama (inkuisisi), namun ternyata tidak ditemukan penyimpangan atau kesesatan.

Meskipun demikian, beberapa bulan setelah itu ia dijebloskan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Di penjara pun ia mengajar katekese. Akhirnya, ia dibebaskan dengan syarat tidak boleh mengajar agama.

Terkekang oleh larangan itu Loyola pindah kota dan masuk Universitas Salamanka. Di sini pun ia dipenjara sekian minggu karena mengajar katekese.

Loyola kecewa, ia berjalan kaki melewati pegunungan Pirene yang diselimuti salju menuju Paris. la masuk Universitas Montaigu tempat Calvin juga bersekolah, namun mereka tidak saling jumpa karena berbeda angkatan.

CIRI-CIRI CENDEKIAWAN

CIRI-CIRI CENDEKIAWAN

Cendekia atau inteligen berarti tajam pikiran dalam memahami masalah serta cakap mencari jalan keluarnya. Cendekiawan adalah orang yang mampu berpikir dengan tajam untuk memahami masalah dan menyumbangkan jalan keluar dari masalah itu bagi kebaikan orang banyak. Jadi, sebenarnya kaum cendekiawan atau inteligensia bukan hanya mereka yang bergelar sarjana atau berkedudukan manajer. Seorang petugas di kantor yang hanya lulusan sekolah dasar bisa saja memilik sifat cendekia. Sebaliknya, manajer yang bergelar MBA bisa jadi kurang cendekia. Namun, dalam praktiknya, cendekiawan memang berarti orang yang terpelajar atau pandai.

Pengertian terpelajar juga perlu diluruskan. Banyak mahasiswa dan sarjana yang baru lulus mengira bahwa ciri orang pandai adalah berbicara secara sulit dan rumit. Mereka mengira bahwa ciri makalah yang ilmiah adalah adanya istilah-istilah yang hebat dan berbau asing. Padahal, ciri sebuah pemikiran yang ilmiah adalah adanya uraian yang teratur dan jelas, adanya penilaian yang pada satu pihak didukung oleh penalaran yang mendasar, namun pada lain pihak tetap terbuka untuk diperbaiki atau diubah lagi.

Ciri utama cendekiawan adalah kejernihan pemikirannya dan manfaat pemikiran itu bagi kepentingan umum. Seorang cendekiawan tidak hanya pandai berpikir untuk kepentingan dirinya atau kepentingan golongannya sendiri, tetapi untuk kepentingan semua golongan yang ada. Jika masalahnya menyangkut pertikaian antara dua pihak, ciri pola pikir cendekiawan adalah sumbangan pemikirannya yang membawa kebaikan dan mendamaikan kedua pihak. Dalam istilah gagahnya, ciri pemikiran cendekiawan adalah inklusif (dari to include = mengikutsertakan, merangkul, atau memasukkan) sebagai lawan dari ekslusif (dari to exclude = menyisihkan, menyingkirkan, mengeluarkan). Ciri pemikiran cendekiawan yang lainnya adalah kontributif (dari to contribute = menyumbang manfaat) bagi semua pihak.

Oleh karena itu, fungsi utama organisasi cendekiawan adalah menelaah masalah masyarakat umum dan menyumbangkan jalan keluar yang berguna untuk orang banyak. Merupakan salah kaprah kalau orang masuk sebuah ikatan cendekiawan untuk mencari kedudukan atau pengaruh, sebab ciri cendekiawan bukanlah kedudukan melainkan pemikiran. Kalau orang ingin mencari kedudukan, jalurnya bukanlah organisasi cendekiawan, melainkan organisasi sosial politik. Juga keliru kalau sebuah ikatan cendekiawan hanya memperjuangkan kepentingan satu golongan lalu menyisihkan kepentingan golongan lain sebab ciri cendekiawan adalah justru mengikutsertakan semua golongan dan menyumbangkan manfaat bagi semua golongan tanpa membuat pembedaan (diskriminasi) atas dasar apa pun. Cendekiawan yang bersifat eksklusif dan diskriminatif menyangkal hakikat dirinya sendiri sebagai cendekiawan.

Sebab itu, tempat di mana para cendekiawan belajar dan bekerja merupakan ajang utama perwujudan sifat-sifat cendekia. Sebuah perguruan tinggi, misalnya, adalah tempat di mana para pelajar dan pengajarnya melakukan banyak penelitian (kepustakaan, lapangan, laboratorium, dsb.) dan menyumbangkan hasil penelitian itu dalam bentuk buku, penemuan, atau karya lainnya. Tiap orang yang cendekia berhak untuk berkarya di perguruan tinggi tanpa pembedaaan atas dasar apa pun. Dalam hubungan ini Sekolah Tinggi Teologi Jakarta membuat pernyataan inklusif itu secara tertulis, "Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tidak membuat pembedaan atas dasar jenis kelamin, suku keturunan/kebangsaan, aliran gereja, pandangan teologi, pandangan ideologi, keadaan fisik, usia, atau faktor-faktor non-akademis/non psikis lainnya."

Pola kerja cendekiawan adalah sifat inklusif dan kontributif. Beberapa cerita kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa Tuhan Yesus berpola kerja seperti itu, misalnya cerita dalam Yohanes 9. Masalah dalam cerita itu adalah tempat para penyandang cacat fisik dalam masyarakat. Agaknya, pada zaman itu ada cukup banyak penyandang cacat di kota Yerusalem. Karena tidak mendapat pekerjaan mereka menjadi peminta-minta. Akibatnya kehadiran mereka terasa mengganggu.

Lalu orang-orang mulai mempersoalkan siapakah yang berdosa sehingga terjadi cacat itu, apakah penyandang cacat itu sendiri ataukah orangtuanya? Perhatikan pola pikir orang-orang ini. Yang mereka lakukan bukanlah menolong para penyandang cacat, melainkan menuduh bahwa penyandang cacat atau orangtuanya berdosa. Inikah cara berpikir orang beragama? Mempersoalkan wanita berpakaian minim sebagai dosa, tetapi tidak berbuat apa-apa bagi gelandangan berpakaian minim di kolong jembatan.

Rupanya hubungan antara cacat dengan dosa itu menimbulkan perbedaan pendapat. Sekelompok berpendapat itu dosa penyandang cacat sendiri, yang lain berpendapat itu dosa orangtuanya. Mungkin perbedaan pendapat itu ada juga di antara kedua belas murid Yesus. Sebab itu mereka bertanya, "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (ay. 2).

Pertanyaan itu cukup menjebak sebab jawabnya sudah digiring pada salah satu dari pilihan yang hanya dua Jawaban itu dapat digunakan oleh satu kelompok untuk menjatuhkan kelompok yang lain. Tetapi, baik jawaban pertama maupun jawaban kedua tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi penyandang cacat sebab ia tetap saja tersingkir dari masyarakat. Kedua jawaban itu juga tidak memberi manfaat bagi masyarakat sebab masyarakat tetap saja menghakimi penyandang cacat dan orangtuanya sebagai pendosa, dan kedua jawaban itu tetap memecah-belah masyarakat dalam dua golongan pendapat.

Lalu apa jawaban Tuhan Yesus? Ternyata Yesus tidak memilih jawaban pertama ataupun jawaban kedua. Yesus sama sekali tidak menghubungkan penderitaan atau penyakit penyandang cacat dengan dosa. Yesus menjawab, "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia" (ay. 3), Segera setelah itu Yesus menyembuhkan penyandang cacat tadi dan dengan demikian memulihkan dia untuk kembali ke masyarakat.

Perhatikanlah kejernihan jawaban Yesus, "... karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia". Lalu siapa yang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah itu? Yesus berkata, "Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia..." (ay. 4). Daripada mempersoalkan dosa penyandang cacat, menurut Yesus lebih baik kita menolong mereka. Memulihkan kembali harkat martabat para penyandang cacat sebagai ciptaan yang dihargai Allah, itulah pekerjaan yang perlu kita lakukan. Perhatikan pula kesempatan atau waktu untuk melakukan pekerjaan itu, "... selama masih siang; akan datang malam di mana tidak seorang pun yang dapat bekerja" (ay. 4). Artinya: sekarang!

Cerita ini menunjukkan bahwa Yesus berpola kerja sebagai cendekiawan. Yesus dengan jeli memahami masalah. Yesus memberi jalan keluar. Jalan keluar-Nya tidak memihak dan tidak menyisihkan pihak maupun. Jalan keluar-Nya memberi manfaat bagi semua pihak: penyandang cacat dipulihkan martabatnya, baik penyandang cacat maupun orangtuanya dibebaskan dari tuduhan dosa, kedua kelompok yang bertikai didamaikan dan masyarakat dididik untuk bersikap terbuka pada para penyandang cacat.

Itulah ciri karya cendekiawan: inklusif dan kontributif terhadap semua orang.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


SETIA DALAM PERKARA KECIL

SETIA DALAM PERKARA KECIL

Kita cenderung menghargai orang yang berjasa dalam tugas atau perkara yang besar. Orang yang melakukan perkara kecil biasanya disepelekan. Tetapi melalui perumpamaan dalam Matius 25:14-30 Tuhan Yesus justru menghargai orang yang setia dalam perkara kecil. Di situ diceritakan tentang tiga orang hamba yang diberi modal sebesar lima, dua dan satu talenta. Talenta memang merupakan pecahan mata uang yang besar, namun kalau jumlahnya hanya lima atau dua talenta, maka artinya menjadi kecil (bandingkan dengan jumlah utang sepuluh ribu talenta yang disebut dalam Mat. 18:24) Apalagi kalau mau dipakai sebagai modal, maka lima atau dua talenta sangat kecil artinya.

Akan tetapi, dua dari tiga hamba itu berhasil mengembangkan modal yang kecil ini. Lalu sang majikan memuji mereka sebagaimana diucapkan oleh Yesus di ayat 21 dan 23. Di sini Kerajaan Surga diumpamakan oleh Tuhan sebagai keadaan di mana orang yang setia menjalankan tugas yang kecil dihargai dan dipuji.

Berbicara tentang setia dalam memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, saya jadi teringat akan Pdt. Titus Yansaputra, teman sekelas dan seasrama di Sekolah Teologi Balewijoto Malang selama enam tahun, yang kini sudah meninggal dunia. Dibandingkan dengan rekan-rekan pendeta lain, agaknya Yansaputra tergolong "pendeta kecil". la bukan pendeta yang suka keliling ke sana kemari memimpin kebaktian kebangunan rohani sehingga namanya terkenal. Wajahnya tidak pernah muncul di TV, suaranya tidak pernah terdengar di radio, dan namanya tidak pernah tertera di koran.

Di sekolah pun Yansaputra cenderung agak pemalu dan pendiam la tidak suka menonjolkan diri. Prestasi akademisnya biasa-biasa saja. la termasuk mahasiswa berpredikat antara Charlie dan Beta. Tetapi, ia bersahabat dengan mereka yang berprestasi Alfa. la bukan seorang pengiri, la bisa berdamai dengan dirinya. Di asrama, ia disukai semua orang.

Karakter Yansaputra yang mencolok adalah kesetiaannya. Sampai jauh malam ia terus menekuni tugas dari para guru. Semua itu dikerjakannya dengan tenang dan senang. Tidak pernah ia menggerutu kalau ada dosen yang memberi tugas terlalu banyak. Semua tugas dilaksanakannya dengan tuntas. Tulisannya rapi. Tidak pernah saya melihatnya terburu-buru supaya cepat terbebas dari tugas. Tenang, tekun, rapi, akurat, lengkap, tuntas, dan setia. Itulah keunggulannya. la setia pada perkara kecil.

Setamat sekolah, Yansaputra menjadi pendeta jemaat GKI Banjar dan Ciamis. Kemudian ia bermutasi ke Indramayu. Dari situ ke GKI Halimun Jakarta. Semua jemaat itu termasuk kategori jemaat kecil. Ternyata di jemaat pun kepribadian Yansaputra tetap konsisten: tidak suka menonjol tetapi tekun dan rapi melaksanakan tugasnya. Selama 33 tahun ia melayani gereja pada tingkat akar padi. Ia bukan selebriti yang pergi ke sana-sini. Selama 33 tahun ia tinggal di tempat untuk memelihara apa yang harus dipelihara, yaitu domba-domba milik Gembala Agung.

Mutu pekerjaan Yansaputra pernah pula memukau seorang mantan gurunya. Pada suatu hari Minggu pagi secara mendadak mantan dosennya dari Belanda muncul di GKI Indramayu. Sengaja ia tidak memberitahukan kedatangannya, supaya segala sesuatu berjalan wajar. Ternyata ia sangat terkesan pada kinerja Yansaputra di mimbar pada pagi itu, khotbah dan liturgi yang dipersiapkan matang, eksegese yang teliti dan kepatuhan pada tahun gerejawi yang jitu.

Kini Yansaputra telah tiada. Selama beberapa bulan terakhir kesehatannya sering terganggu. Tetapi, dalam keadaan demikian ia tetap bekerja. Beberapa waktu yang lalu ia sempat menghadiri kebaktian peluncuran buku. Mulai dari Musa dan Segala Nabi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Gayanya masih seperti empat puluh tahun silam, tersenyum tersipu-sipu dan menyimak apa yang didengar dan dilihatnya dengan kening yang berkerut. Pada siang itu, sambil melongok ke dalam kantor saya, ia berucap, "Sama seperti kamarmu dulu di Balewijoto, meja tulisnya dipasang miring di pojok." Itulah ucapannya yang terakhir di telinga saya.

Sekarang Yansaputra hanya tinggal kenangan. Gereja kehilangan seorang tenaga andal. Pagi subuh itu, ketika ada telepon yang mengabarkan bahwa Pdt. Titus Yansaputra meninggal dunia, saya terdiam dan menerawang jauh. Saya seolah-olah melihat Yansaputra berdiri di depan sebuah gedung dengan raut muka yang khas; senyum sipu tetapi pandangan mata yang hidup dengan kening berkerut. Lalu saya seolah-olah melihat Yesus keluar dari gedung itu, berjalan menuruni tangga, menyambut dan menyapa Yansaputra. Lalu mereka berdua berjalan bersama menaiki tangga gedung itu. Yesus memegang dan menepuk-nepuk pundak Yansaputra sambil berkata, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu."

PATHOS, BUKAN A-PATHOS!

PATHOS, BUKAN A-PATHOS!

Dibaca secara sepintas, perikop 2 Korintus 8:1-15 tampaknya ber bicara tentang kekayaan. Uang dan kekayaan memang menarik untuk dibicarakan dan dipelesetkan. Ada beberapa pelesetan tentang orang kaya, misalnya OKB: Orang Kaya Baru; OKD: Orang Kaya Dadak an; OKP: Orang Kaya Proyek; dan yang paling banyak seperti kita semua, adalah OKM: Orang Kaya Monyet. Ada juga pelesetan "Kaya Seven Up", artinya 'kaya tujuh turunan anak dan cucu'. Bahkan kita pun mempunya pelesetan KGB. Bukan hanya di Moskow, tetapi juga di Jakarta ada KGB: Kaya Gara-gara Babe.

Memang benar di sini Rasul Paulus berbicara tentang uang dan kekayaan. Ketika itu ia sedang berada di Makedonia, sebuah daerah pedalaman yang miskin. Tetapi, ternyata orang Makedonia yang miskin memberikan banyak bantuan uang kepada gereja di Yerusalem. Meli hat keadaan ini Paulus terdorong untuk menulis surat kepada warga gereja di Korintus. la menulis, "... kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang... jemaat-jemaat di Makedonia ... meskipun me reka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan... mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan" (ay, 1-5). Korintus sebenarnya bukan bandingan Makedonia. Korintus adalah kota besar. Korintus adalah titik temu jalan perdagangan darat utara-selatan di Provinsi Akhaya. Lagi pula Korintus adalah kota pelabuhan. Penduduknya makmur. Di Korintus hanya ada 200 ribu penduduk, tetapi di situ ada 600 ribu tenaga pelayan. Bandingkan rasionya, yaitu 1:3. Untuk satu orang tersedia tiga pelayan. Orang Korintus memang makmur.

Akan tetapi, walaupun warga gereja Korintus makmur, mereka kurang suka memberi bantuan kepada gereja di Yerusalem. Mereka kurang perhatian terhadap gereja lain. Gereja Korintus hanya sibuk dengan urusan diri sendiri. Yang mereka sibuki adalah persoalan rebutan kedudukan pemimpin, ada dari golongan Paulus, atau go longan Apolos, atau golongan Kefas. Yang juga mereka sibuki adalah persoalan makanan sembahyang, persoalan tutup kepala perempuan dalam ibadah, persoalan bahasa lidah dan sebagainya. Singkatnya, yang mereka sibuki hanyalah urusan internal.

Kalau tentang urusan menyokong gereja lain mereka kurang peduli. Oleh karena itu, Paulus menegur secara halus, "Memang sudah sejak tahun yang lalu kamu mulai melaksanakannya dan mengambil keputusan menyelesaikannya juga. Maka sekarang, selesaikan jugalah pelaksanaannya itu!" (ay. 10-11).

Sekali lagi, memang benar di sini Rasul Paulus sedang bicara ten tang uang. Tetapi sebetulnya, di balik kalimat-kalimatnya tersirat satu pokok bahasan yang jauh lebih dalam. Di sini Paulus sedang mendidik dan mengubah gaya hidup orang Korintus. Ia mengajar, "... hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini" (ay. 7).


Rasul Paulus di sini sedang mengajar, sebab ia sendiri baru saja belajar sesuatu dari orang-orang Makedonia, "... meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan" (ay. 2). Paulus mengajar orang Korintus supaya bercermin pada gaya hidup orang orang Makedonia Orang-orang Makedonia miskin dalam hal harta, namun kaya dalam kemurahan. Sebaliknya, orang Korintus kaya dalam harta, namun miskin dalam kemurahan. Di Makedonia ada kasih Di Korintus kebalikannya. Apa itu kebalikan dari kasih?

Kita cenderung beranggapan bahwa kebalikan dari kasih adalah benci. Tetapi, benarkah itu? Benarkah gereja Korintus membenci gereja lain? Sama sekali tidak! Lawan kata kasih bukanlah benci

Psikoterapis Rollo May dalam bukunya Love and Will menulis, "Hate is not the opposite of love, apathy is." Lawan kata kasih bukanlah benci, melainkan apati atau a-pathos. May menjelaskan, "Apathy is a state of feelinglessness... affectlessness, lack of passion... indifference, it is a withdrawal of feeling, it may begin as playing it cool... unconcerned, unaffected... uninvolved." A-pathos adalah ketiadaan perasaan atau miskin rasa terhadap orang lain. A-pathos tumbuh secara bertahap mulai dari sikap yang tampaknya innocent (tidak apa-apa) seperti sikap cuek, tetapi kemudian bisa bertumbuh menjadi perbuatan kejam dan destruktif.

A-pathos bisa muncul dalam pelbagai bentuk yang berbeda beda. Seseorang membunuh dengan darah dingin, itu fenomena a-pathos. Seorang ayah menggebuk anaknya hanya karena anak itu mengucapkan kritik, itu contoh a-pathos. Akibatnya, anak itu bisa menjadi a-pathos, bahkan semua anak lain akhirnya menjadi a-pathos. Seseorang menggunakan kekuasaannya secara berlebihan dan gan drung melanggengkan kekuasaannya, itu bisa jadi gejala a-pathos yang kemudian menimbulkan sikap a-pathos pada orang-orang lain.

A-pathos adalah ketiadaan perasaan atau miskin rasa terhadap perasaan orang lain. A-pathos timbul ketika orang hanya merasakan perasaan diri sendiri. A-pathos bisa bervariasi mulai dari perilaku pasif, introver, dan isolasi diri sampai ke perilaku beringas, agresif, dan sadis. A-pathos bisa muncul dalam rupa-rupa wujud: cuek, menyendiri, masa bodoh, acuh tak acuh; kemudian bisa berkembang menjadi hilang rasa peduli, keterasingan, serakah, gila kekuasaan, represi, eksploitasi, dan dominasi. A-pathos tampak dalam gaya hidup kenyang sendiri, maju sendiri, menang sendiri, enak sendiri, pintar sendiri, benar sendiri Rasul Paulus mensinyalir gejala a-pathos itu pada warga gereja Korintus. Gereja Korintus bukan membenci gereja lain, tetapi gereja Korintus a-pathos kepada gereja lain. Gereja Korintus kaya harta, tetapi miskin rasa. Sebab itu, Paulus mendidik, "Hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih" (ay. 7).

Gejala a-pathos tentunya bukan khas Korintus, melainkan bisa terdapat pada siapa saja. Sebuah pemerintah bisa menjadi a-pathos, begitu juga rakyatnya. Agama bisa menjadi a-pathos. Gereja bisa menjadi a-pathos. Mungkin sinyalemen Rasul Paulus itu juga berlaku untuk gereja-gereja kita. Kita mengaku diri anggota-anggota satu tubuh. Kita bertemu. Kita berjabat tangan. Tetapi sesudah itu? Kita bersikap a-pathos lagi.

Gejala a-pathos, itulah pokok bahasan yang tersirat dalam per kop Rasul Paulus ini. A-pathos yaitu miskin perasaan, miskin afeks miskin pelayanan kasih. Karena itu, Paulus mengajarkan gaya hidup yang sebaliknya, yaitu kaya pathos: kaya perasaan, kaya afeksi, kaya pelayanan kasih. Kata Paulus, "Hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)