SIFAT ORANG INDONESIA

SIFAT ORANG INDONESIA

 


Orang Indonesia itu suka pura-pura, lain di muka lain di belakang. Orang Indonesia boros, punya uang langsung dihambur-hamburkan. Kalau tidak betul-betul terpaksa, orang Indonesia enggan kerja keras. Sifat orang Indonesia juga suka pamer harta dan pamer kuasa. Mereka juga gampang melempar tanggung jawab. Kalau bersalah bukan minta maaf, melainkan berkata, "Bukan saya!"

Mungkin Anda langsung bereaksi, "Siapa bilang? Siapa kata? Siapa orang yang berkata begitu?"

Orang yang berkata begitu adalah Mochtar Lubis. la budayawan dan wartawan terkemuka. Berkali-kali ia dianugerahi penghargaan internasional di bidang jurnalistik. Pada dasawarsa 60-an sampai 80an ia memimpin koran Indonesia Raya yang terkenal dengan berita investigatifnya menguak korupsi dan kebohongan pejabat pemerintah.

Dalam hubungan apa Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas itu? Dalam suatu pidato kebudayaan. Dari waktu ke waktu Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mengundang pemikir kebudayaan untuk memaparkan visinya dalam bentuk ceramah yang disebut pidato kebudayaan.

Lalu Mochtar Lubis pun diundang. Judul pidatonya "Manusia indonesia". Auditorium TIM di Jalan Cikini penuh sesak. Itu terjadi pada tahun 1977. Suasananya masih saya ingat sebab saya hadir bersama beberapa guru STT Jakarta, yaitu Peter Latuihamallo dan Liem Khiem Yang.

Selama dua jam penuh Mochtar Lubis menyampaikan kata-kata edas. Orangnya memang sangar dan sengit. Hadirin tersentak. Kata kitanya memerahkan telinga dan menyakiti hati. Akan tetapi, hadirin dibuat bermawas diri. Ini masyarakat kita. Ini diri kita sendiri. Ini kenyataan.

Apa yang selama ini tidak pernah diangkat ke permukaan, tiba tiba dibeberkan dengan gamblang. Sinyalemen Mochtar Lubis adalah terobosan untuk mawas diri, introspeksi, dan swakritik.

Sebenarnya, dalam pidatonya yang lugas dan padat Mochtar Lubis menyebut puluhan watak atau mental kita yang buruk. Raut mukanya tampak geram dan geregetan sepanjang pidatonya. la mendesak kita untuk mawas bahwa bangsa kita mustahil bisa maju kalau kita tidak membarui watak kita. Selama ini kita terlena. Kita sudah terbiasa dengan sifat-sifat kita, padahal banyak sifat-sifat itu merugikan diri kita sendiri.

Jika sebuah sifat atau watak sudah membudaya dalam masyarakat dan mendarah daging dalam kepribadian kita, masih bisakah kita mengubahnya? Tentu saja bisa. Tiap orang bisa berubah. Tiap orang bisa membarui dirinya.

Dalam Alkitab terdapat Orang yang Berguna'), seorang pemuda di Kolose yang menggelapkan uang majikannya lalu melarikan diri. Kemudian ia ditangkap oleh pihak yang berwajib di Efesus. la dijebloskan dalam penjara yang sama dengan Rasul Paulus. Selama hampir dua tahun Onesimus bergaul erat dengan Rasul kisah Onesimus (artinya 'Gunawan' atau

Paulus. Tiap hari ia melihat teladan nyata Paulus. Sedikit demi sedikit teladan-teladan itu diserapnya. Setahap demi setahap ia bertumbuh dan berubah. la yang sebelumnya selalu bersikap sembarangan kin mulai belajar hidup secara bertanggung jawab, jujur, dan berdisiplin

Lalu Rasul Paulus mengirim surat rekomendasi kepada majikan disiplin, tempat dulu Onesimus bekerja agar Onesimus bisa diterima kembali Tulis Paulus, "... dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna bagimu maupun bagiku" (Flm. 1:11).

 Perhatikan kutipan itu. Di situ terdapat pertentangan. Yang dipertentangkan adalah "dahulu" dan "sekarang". Maksudnya, sifat Onesimus dahulu dan sifatnya yang sekarang.

Apa isi pertentangan itu? Dahulu Onesimus "tidak berguna", sekarang "sangat berguna".

 Dalam bahasa aslinya pertentangan itu lebih mencolok. Dahulu akhreston, sekarang eukhreston. Akar kata khrestos artinya 'berguna", Di sini Paulus melakukan permainan kata antara khrestos (khreston) yang diberi awalan a (artinya 'tanpa', 'tiada', 'tidak') dengan khrestos (khreston) yang diberi awalan eu (artinya 'bagus', 'baik'). Maksudnya, dahulu tidak bisa berguna, tidak bisa dipercaya, tidak bisa berkomitmen, sekarang bisa berguna, bisa dipercaya, dan bisa berkomitmen.

 Tiap orang memang bisa mengubah dan membarui sifatnya. Dari tidak berguna menjadi berguna. Dari tidak bertanggung jawab men menjadi berdisiplin, jadi bertanggung jawab. Dari tidak berdisiplin.

Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas. Orang Indonesia munafik; ucapannya santun, tetapi hatinya dengki. Orang Indonesia suka bohong. Orang Indonesia rakus harta. Kata-kata itu kasar. Akan tetapi, Mochtar Lubis punya maksud yang mendidik. la ingin Indonesia maju. Oleh sebab itu, orang Indonesia perlu berubah dan mengubah sifatnya yang buruk. la mendesak, "Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara berpikir dan berbuat..., maka saya khawatir kita akan..."

Pidato Mochtar Lubis memancing reaksi yang tajam. Bukan hanya pada pertemuan itu, melainkan juga dalam tahun-tahun berikutnya. Apalagi ketika bukunya terbit dengan judul Manusia Indonesia - Sebuah Pertanggungjawaban terbitan Idayu tahun 1978.

Menjawab tanggapan Sarlito Wirawan, psikolog dari Universitas Indonesia, Lubis berkata, "Korupsi, munafik, lemah watak, cenderung berlambat-lambat, tinjaulah cara orang bekerja di kantor-kantor.... merupakan gejala yang begitu umum di seluruh tanah air kita..."

Kontroversi sinyalemen Mochtar Lubis meluas dan menggema ke ranah psikologi, pedagogi, sosiologi, dan politik. Beberapa tahun setelah terbitnya buku itu, Mochtar Lubis ditanya apakah ia masih bersikukuh dengan sinyalemennya tentang sifat-sifat orang Indonesia. la menjawab, "Saya malah tambah yakin."

Orang Indonesia jago pura-pura. Katanya mendukung pembe rantasan korupsi, tetapi ternyata ia juga korupsi. Orang Indonesia tukang ikut-ikutan, satu orang ngomong begitu semua orang ikut ngomong begitu. Orang Indonesia gila hormat. Orang Indonesia mau kaya, tetapi tidak mau kerja keras; mau pintar, tetapi tidak mau banting tulang.

Mochtar Lubis menuding dengan keras. Anda tidak setuju? Bagus, saya juga tidak setuju. Anda anggap Mochtar Lubis keliru? Bagus, saya juga.

Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa Mochtar Lubis keliru. Caranya? Mari kita mulai dengan diri kita sendiri. Mari kita buktikan bahwa kita bukan tukang pura-pura. Mari kita buktikan bahwa kita bisa kerja keras. Mari kita buktikan bahwa kita bisa disiplin waktu. Mari kita buktikan bahwa kita bisa bertanggung jawab. Mari kita buktikan bahwa kita bisa berprestasi. Mari kita buktikan bahwa kita jujur.

Mari kita buktikan. Mulai dari diri kita sendiri.