TITANIC TERNYATA TENGGELAM

TITANIC TERNYATA TENGGELAM

 


Mendengar kata teknologi orang biasanya membayangkan peralatan canggih yang serba modern. Perkataan itu sendiri baru populer pada abad ke-18. Namun, kata tekne dan logos sudah digunakan tiga ratus tahun sebelum Masehi dalam tulisan Sokrates. Lagi pula sebenarnya teknologi sudah dipraktikkan orang dari zaman dulu. Apa itu teknologi? Batang kayu adalah benda alam. Ketika batang kayu itu dikerjakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah perahu untuk menyeberangi danau, batang kayu itu telah berubah dari benda alam menjadi benda hasil karya teknologi.

Sebuah mobil harganya mahal. Bahan baku utama mobil itu adalah sekian ratus kilo besi. Sebenarnya, harga sekian ratus kilo besi jauh lebih murah daripada harga mobil itu. Katakanlah harga bahan bakunya itu hanya 1/10 dari harga mobil. Sisa harganya, yaitu 9/10 kita bayar untuk teknologi mobil tersebut.

Dari dua contoh itu tampak arti teknologi. Teknologi adalah kemampuan mengolah dan membuat benda atau bahan menjadi alat yang berdaya guna untuk maksud tertentu. Jelas, teknologi sangat berguna untuk kehidupan. Apa jadinya hidup kita tanpa teknologi pengobatan. Akan tetapi, pada pihak lain, teknologi bisa juga mengancam hidup, misalnya limbah akibat teknologi nuklir atau kemusnahan akibat teknologi perang. Teknologi bisa menghidupkan dan juga bisa mematikan. Lepas dari dampak menghidupkan atau mematikan, sebuah karya teknologi dapat membuat orang lupa diri atau arogan alias takabur. Gejala takabur itu tampak dalam kecenderungan menjadikan teknologi sebagai ukuran atau matra tunggal. Mutu rumah sakit hanya diukur dari faktor teknologi, akibatnya faktor lain seperti kebersihan, keramahan, dan kejujuran diabaikan. Kemajuan negara diukur hanya dengan kemajuan teknologi sehingga demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi dikesampingkan.

Akibatnya, manusia juga diukur dengan matra tunggal. Makna manusia melulu dianggap sebagai sumber daya, yaitu sumber daya untuk teknologi. Pendidikan di sekolah pun dipersempit dengan tujuan ke arah tunggal, yaitu menyiapkan tenaga untuk teknologi. Pendidikan seperti ini memerosotkan naradidik yang sebenarnya adalah subjek bermatra ganda dalam hidup yang berarah ganda menjadi objek yang bermatra tunggal dalam hidup yang berarah tunggal.

Gejala takabur lain, misalnya, adalah penganak-emasan teknologi dan menjadikannya sebagai proyek mercusuar. Ada negara yang berhasil mengirim astronot ke ruang angkasa, padahal rakyatnya harus antri berebut roti. Ada negara yang bisa membuat senjata nuklir, padahal rakyatnya jadi gelandangan di tepi jalan. Ada negara yang punya program mengekspor pesawat terbang, padahal untuk kebutuhan yang paling sederhana seperti jagung dan keledai, cangkul dan jala ikan masih harus impor, itu pun dengan meminjam uang dari negara lain.

Teknologi dapat membuat kita mempunyai rasa yakin diri berlebihan (over-selfconfidence). Karena peralatan bedah di rumah sakit begitu canggih, baik pihak rumah sakit maupun pihak pasien merasa begitu yakin bahwa operasi jantung ini tidak mungkin gagal. Ternyata kuman kecil di jari perawat menimbulkan infeksi. Akibatnya, pasien meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Rasa takabur dan sombong ini tampak pada Raja Hosea dan para jenderalnya. Mereka baru berhasil mengembangkan teknologi perang yang paling mutakhir untuk zaman itu, yaitu kereta berkuda. Dengan peralatan canggih ini, yang tidak dimiliki pihak lawan, raja yakin bahwa pertempuran tidak mungkin gagal. Beberapa tahun sebelum Raja Hosea menjadi raja, arogansi ini sudah dinubuatkan Nabi Hosea (nama sama!), ketika ia berkata, "Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu, maka keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan..." (Hos. 10:13-14). Nabi menegur raja ketika raja lebih mengandalkan teknologi daripada Tuhan. Ternyata teguran itu benar. Beberapa belas tahun kemudian negara hancur, sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-Raja 17.

Takabur akan teknologi juga terjadi pada kasus kapal Titanic yang tenggelam pada tahun 1912. Kapal itu dirancang dan dibangun selama beberapa tahun dengan teknologi yang paling modern untuk zaman itu. Kapal ini adalah kapal yang paling canggih peralatannya, paling kuat, paling cepat, paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Dengan penuh rasa yakin diri orang berkata, "Kapal ini unsinkable. Kapal ini tidak bisa tenggelam." Akan tetapi, ternyata pada pelayarannya yang pertama dari Southampten ke New York kapal ini menyerempet gumpalan es lalu konstruksi dindingnya robek. Air masuk. Beberapa jam kemudian tubuh kapal ini pecah menjadi dua bagian. Lalu, ia tenggelam ke dalam dasar samudra. Kisah nyata ini difilmkan secara memukau oleh sutradara James Cameron. la menerangkan, "Saya ingin memperlihatkan bahwa kekuatan manusia justru hancur oleh kelemahannya sendiri, yaitu kesombongan dan keserakahan."

Perancang dan kapten kapal ini tidak bisa percaya pada mata sendiri ketika melihat air masuk. Kapal mulai miring. Makin lama makin miring. Semburan air masuk dari kanan dan kiri. Penumpang menjerit dan berlarian kian kemari dengan ketakutan dan kepanikan. Di tengah keributan itu perancang dan kapten kapal cuma terbisu dan terpaku. Tidak mungkin! Tidak mungkin Titanic tenggelam! Akan tetapi, ternyata Titanic tenggelam. Titanic hasil teknologi tertinggi. Titanic yang tercanggih, terkuat, terbesar, terbagus, tercepat, dan termahal ternyata tenggelam. Titanic ternyata toh tenggelam. Trenyuh. Tragis. Teramat trenyuh. Teramat tragis.

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 


Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

YESUS, SEORANG TUKANG

YESUS, SEORANG TUKANG

 


Tukang apa? Tukang kayu, demikian jawab kita. Memang itulah yang ditulis di Markus 6:1-6. Tetapi, sayang jawaban itu kurang tepat. Pengarang Injil Markus sebenarnya menggunakan istilah tekton (dari kata ini kemudian muncul kata arsitek). Seorang tekton pada zaman Yesus di Israel adalah perajin atau tukang yang terampil membuat rupa-rupa barang dari bahan kayu, logam, atau batu.

Memang boleh saja kita menyebut Yesus tukang kayu, namun hendaknya diingat bahwa pekerjaan Yesus bukanlah seperti tukang kayu yang kita ketahui sekarang. Pekerjaan dan peralatan tukang kayu pada zaman itu sangat berbeda dari apa yang ada sekarang. Lagi pula sebagai seorang tekton, Yesus bukan hanya membuat barang dari kayu, melainkan juga dari besi dan mungkin juga dari batu. Beberapa sejarawan umum yang hidup tidak lama sesudah zaman Yesus mencatat hal itu. Yustinus menulis, "Pekerjaan yang la lakukan... adalah membuat bajak dan kuk." Hilarius mencatat,"__ yang dibuat-Nya adalah rupa-rupa perkakas dari besi." Jadi, agaknya dari masa remaja sampai usia sekitar 30 tahun Yesus membuat dan memperbaiki barang-barang seperti pintu, jendela, kursi, meja, dipan, gerobak, bajak, cangkul, dan sebagainya.

Apa hubungan hal itu dengan iman kita sekarang? Baiklah kita periksa dulu catatan Alkitab. Yang memuat cerita ini hanya Markus dan Matius. Lagi pula yang dimuat kedua penginjil itu sebenarnya bukan pernyataan mereka sendiri, melainkan pernyataan yang diucapkan oleh penduduk kota Nazaret. Kedua catatan itu juga berbeda. Markus, penduduk Nazaret berkata, "Bukankah la ini tukang kayu....?" (Mrk. 6:3). Sedangkan menurut Matius, mereka berkata, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" (Mat. 13:55).

Persamaan antara kedua ucapan itu adalah bahwa kedua-duanya bernada merendahkan. Penduduk Nazaret merasa kurang pantas bahwa seorang tukang kayu (atau anak seorang tukang kayu) mengajar di sinagoge.

Perhatikan bahwa orang-orang itu sebetulnya terkesan akan ajaran Yesus. Dalam Markus 6:2 tertulis, "... jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia." Mereka juga mengakui bahwa ajaran Yesus benar dan bijak sehingga mereka bertanya, "Hikmat apa pulakah ...?" (ay.2). Akan tetapi, mereka kurang bisa menerima bahwa ajaran itu disampaikan oleh seorang tukang kayu dari kota mereka sendiri. Akibatnya menurut ayat 3 mereka "kecewa dan menolak Dia".

Mungkin bukan hanya para penduduk Nazaret itu saja yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun mungkin akan sulit menerima Yesus sebagai Mesias jika mereka mengetahui bahwa Yesus dulunya hanyalah seorang tukang kayu biasa.

Barangkali itu sebabnya Matius menambah kata "anak" untuk memperhalus ucapan penduduk Nazaret menjadi, "Bukankah la ini anak tukang kayu?" Barangkali itu pula sebabnya Lukas dan Yohanes sama sekali tidak mencantumkan cerita ini. Di seluruh Kitab Injil hanya dari Markus inilah kita mendapat informasi bahwa Yesus adalah seorang tukang kayu. Pengarang kitab-kitab Injil lain mungkin agak khawatir bahwa para pembaca akan menjadi ragu-ragu untuk menerima Yesus sebagai Mesias kalau dibeberkan kenyataan bahwa Yesus dulunya seorang tukang kayu. Mungkin itu pula sebabnya semua pengarang Injil tidak bercerita apa-apa tentang masa usia Yesus antara 12 sampai 30 tahun.

Memang pekerjaan seorang tukang kayu terlalu jauh dari jabatan Mesias. Karena itu, ada orang yang sulit menerima kenyataan bahwa Mesias dulunya adalah seorang tukang kayu. Untunglah, Markus mempunyai kejujuran untuk mengungkapkan fakta ini. Pada waktu Markus menyusun Injil ini, yaitu sekitar 35 tahun setelah kenaikan Tuhan Yesus, agaknya tradisi pemberitaan gereja sangat berwarna mesianis. Artinya, yang dikenang hanyalah keilahian Yesus, sedangkan keinsanian-Nya ditutupi. Lalu, di sini Markus tampil secara unik dengan pemberitaan yang tidak berwarna mesianis. Markus tidak malu mengenang Yesus sebagai manusia biasa yang bekerja sebagai seorang tekton.

Catatan Markus yang tampak sepele ini telah menjadi warisan iman kepada gereja sepanjang abad. Warisan yang kita imani itu memang agak misterius. Yesus adalah Mesias, tetapi mengapa la hidup dan bekerja sebagai seorang tukang kayu? Namun, misteri mesianis ini justru memperjelas iman kita kepada Allah yang kita kenal melalui Yesus. Allah adalah Allah yang dengan sadar dan sengaja memilih pekerjaan tukang kayu, ketika la datang ke dunia. Allah tidak merasa hina untuk hidup dan bekerja sebagai seorang tukang. Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita, yang kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dulunya adalah seorang tukang.

GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

Pada suatu hari iblis mencari seseorang yang semula murah hati untuk dijadikan kikir, semula berserah untuk dijadikan serakah dan cepat marah. Iblis memilih seorang petani yang sedang bekerja di ladang. "Nah, petani miskin ini akan kujadikan lebih miskin lagi. Pasti dia akan jadi kikir dan serakah." 

Sebagai langkah pertama, Iblis mencuri bekal makanan milik petani itu. Pada waktu makan siang petani itu mencari-cari bekal makanannya. la merasa heran, "Aneh betul, makananku hilang. Aku akan lapar sepanjang hari ini. Mungkin ada tetangga yang mencurinya. Biarlah, barangkali tetanggaku itu sedang kesulitan makanan." Iblis heran melihat reaksi petani yang begitu ikhlas dan damai. Rencananya gagal. Dengan lesu ia melapor ke para Iblis lain. Mereka langsung menertawakan dia, "Tentu saja kau gagal. Kalau mau bikin orang jadi kikir dan serakah, jangan jadikan dia miskin. Jadikan dia kaya!"

Mulailah Iblis menyusun rencana jangka panjang. Ia memberi kesuburan khusus pada ladang petani itu. Ketika petani lain mengeluh akibat panen yang gagal, petani yang satu ini justru berlimpah panennya. Lumbungnya penuh dengan gandum. Petani miskin ini langsung menjadi kaya. Petani ini tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan kelebihan gandumnya. Lalu Iblis memberi ilham. Gandum itu bisa dibuat minuman keras vodka. Ternyata vodka bikinan petani ini laku di kota. Petani ini menjadi semakin kaya.

Untuk merayakan suksesnya, petani ini mengundang para tetangganya berpesta. Vodka disajikan lalu orang mulai mabuk. Dalam keadaan mabuk, petani itu menagih tetangga-tetangganya untuk mengembalikan gandum yang mereka pinjam. Petani itu langsung marah ketika para tetangga belum sanggup membayar akibat masa paceklik. la memaki-maki, "Bayar! Awas kalau kamu tidak membayar. Itu gandumku tahu? Gandum hasil keringatku!" Lalu mereka pun mulai bertengkar. Kacaulah pesta itu.


Iblis mengintip dari jauh dengan senyum kemenangan. Sambil menunjuk ia berkata kepada Iblis-Iblis lain, "Lihat, itu dia orangnya. Dulu ketika masih miskin, bekal makanannya ia ikhlaskan. Tetapi, sekarang meski lumbungnya sudah luber, ia begitu kikir."

Apa maksud Leo Tolstoy menuturkan cerita ini? Kalau disimak alur cerita ini banyak mirip dengan cerita-cerita lain dari pengarang yang sama. Bandingkan misalnya dengan cerita Tolstoy tentang pembeli tanah yang serakah di buku Selamat Mengikut Dia. Leo Tolstoy (1828-1910) adalah seorang bangsawan dan tuan tanah yang kaya raya di Rusia. Tetapi ia tidak mau hidup sebagai orang kaya. Ia membagikan tanahnya kepada petani-petani miskin. Ia belajar teologi dan menjadi pengarang. Untuk kebutuhan hidupnya ia bercocok tanam dan membuat roti sendiri.

Tolstoy menekankan bahwa Kerajaan Surga ada dalam diri Yesus. Lalu apa yang tampak dalam diri Yesus? Seorang yang tidak terikat pada harta benda. Seorang yang terbebas dari keserakahan. Seorang yang tidak mengejar keberhasilan. Seorang yang bahagia. Yesus berkata, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Luk. 6:20. Bandingkan dengan versi Mat. 5:3: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah...").

Tolstoy seakan-akan bertanya, "Kapan petani ini berbahagia?" la menjawab, "Sebelum petani ini menjadi kaya". Semula pikiran petani ini bebas dari belenggu harta benda. Hatinya damai. la tidak dikejar oleh keserakahan. Hubungannya dengan tetangga adalah hubungan manusia dengan manusia. Akan tetapi, kemudian pikirannya dikuasai oleh harta benda. Hatinya tidak damai lagi. Hubungannya dengan tetangga merosot menjadi hubungan antara pemilik benda dengan peminjam benda.

Dari luar tampaknya keluarga petani ini lebih beruntung. Namun, dari dalam keadaannya berbeda. Suasana keluarga yang semula tenang kemudian menjadi tegang. Hanya karena istrinya menumpahkan sedikit vodka, petani itu naik pitam bukan kepalang, "Bodoh! Kamu kira ini air hujan? Ini vodka. Ini mahal, tahu?" Ada lagi isu teologis yang hendak diangkat oleh Tolstoy. Benarkah sukses itu berkat dari Tuhan? Belum tentu. Sukses belum tentu berasal dari Tuhan sebab berkat Tuhan tidak selalu berbentuk sukses. Bisa jadi sukses diberikan oleh Iblis sebagai strategi untuk menjatuhkan kita.

Entah apa riwayat petani itu selanjutnya. Entah apa pula yang terjadi dengan Iblis ini. Bisa jadi Iblis ini kemudian menjadi penceramah seminar di hotel-hotel berbintang. Di situ ia memberi kiat kepada para Iblis lain tentang metode mengubah orang yang semula berserah menjadi orang yang serakah, yang semula murah hati menjadi kikir, semula jujur menjadi korup dan jahat. Di tiap seminar selalu ada peserta yang bertanya, "Apa kiatnya?" Lalu dengan senyum kemenangan ia menjawab, "Oh, Saudaraku yang terkasih. Itu gampang. Suruh mereka merindukan sukses. Ajak mereka berdoa minta sukses. Lalu berikan sukses."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)

SIFAT ORANG INDONESIA

SIFAT ORANG INDONESIA

 


Orang Indonesia itu suka pura-pura, lain di muka lain di belakang. Orang Indonesia boros, punya uang langsung dihambur-hamburkan. Kalau tidak betul-betul terpaksa, orang Indonesia enggan kerja keras. Sifat orang Indonesia juga suka pamer harta dan pamer kuasa. Mereka juga gampang melempar tanggung jawab. Kalau bersalah bukan minta maaf, melainkan berkata, "Bukan saya!"

Mungkin Anda langsung bereaksi, "Siapa bilang? Siapa kata? Siapa orang yang berkata begitu?"

Orang yang berkata begitu adalah Mochtar Lubis. la budayawan dan wartawan terkemuka. Berkali-kali ia dianugerahi penghargaan internasional di bidang jurnalistik. Pada dasawarsa 60-an sampai 80an ia memimpin koran Indonesia Raya yang terkenal dengan berita investigatifnya menguak korupsi dan kebohongan pejabat pemerintah.

Dalam hubungan apa Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas itu? Dalam suatu pidato kebudayaan. Dari waktu ke waktu Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mengundang pemikir kebudayaan untuk memaparkan visinya dalam bentuk ceramah yang disebut pidato kebudayaan.

Lalu Mochtar Lubis pun diundang. Judul pidatonya "Manusia indonesia". Auditorium TIM di Jalan Cikini penuh sesak. Itu terjadi pada tahun 1977. Suasananya masih saya ingat sebab saya hadir bersama beberapa guru STT Jakarta, yaitu Peter Latuihamallo dan Liem Khiem Yang.

Selama dua jam penuh Mochtar Lubis menyampaikan kata-kata edas. Orangnya memang sangar dan sengit. Hadirin tersentak. Kata kitanya memerahkan telinga dan menyakiti hati. Akan tetapi, hadirin dibuat bermawas diri. Ini masyarakat kita. Ini diri kita sendiri. Ini kenyataan.

Apa yang selama ini tidak pernah diangkat ke permukaan, tiba tiba dibeberkan dengan gamblang. Sinyalemen Mochtar Lubis adalah terobosan untuk mawas diri, introspeksi, dan swakritik.

Sebenarnya, dalam pidatonya yang lugas dan padat Mochtar Lubis menyebut puluhan watak atau mental kita yang buruk. Raut mukanya tampak geram dan geregetan sepanjang pidatonya. la mendesak kita untuk mawas bahwa bangsa kita mustahil bisa maju kalau kita tidak membarui watak kita. Selama ini kita terlena. Kita sudah terbiasa dengan sifat-sifat kita, padahal banyak sifat-sifat itu merugikan diri kita sendiri.

Jika sebuah sifat atau watak sudah membudaya dalam masyarakat dan mendarah daging dalam kepribadian kita, masih bisakah kita mengubahnya? Tentu saja bisa. Tiap orang bisa berubah. Tiap orang bisa membarui dirinya.

Dalam Alkitab terdapat Orang yang Berguna'), seorang pemuda di Kolose yang menggelapkan uang majikannya lalu melarikan diri. Kemudian ia ditangkap oleh pihak yang berwajib di Efesus. la dijebloskan dalam penjara yang sama dengan Rasul Paulus. Selama hampir dua tahun Onesimus bergaul erat dengan Rasul kisah Onesimus (artinya 'Gunawan' atau

Paulus. Tiap hari ia melihat teladan nyata Paulus. Sedikit demi sedikit teladan-teladan itu diserapnya. Setahap demi setahap ia bertumbuh dan berubah. la yang sebelumnya selalu bersikap sembarangan kin mulai belajar hidup secara bertanggung jawab, jujur, dan berdisiplin

Lalu Rasul Paulus mengirim surat rekomendasi kepada majikan disiplin, tempat dulu Onesimus bekerja agar Onesimus bisa diterima kembali Tulis Paulus, "... dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna bagimu maupun bagiku" (Flm. 1:11).

 Perhatikan kutipan itu. Di situ terdapat pertentangan. Yang dipertentangkan adalah "dahulu" dan "sekarang". Maksudnya, sifat Onesimus dahulu dan sifatnya yang sekarang.

Apa isi pertentangan itu? Dahulu Onesimus "tidak berguna", sekarang "sangat berguna".

 Dalam bahasa aslinya pertentangan itu lebih mencolok. Dahulu akhreston, sekarang eukhreston. Akar kata khrestos artinya 'berguna", Di sini Paulus melakukan permainan kata antara khrestos (khreston) yang diberi awalan a (artinya 'tanpa', 'tiada', 'tidak') dengan khrestos (khreston) yang diberi awalan eu (artinya 'bagus', 'baik'). Maksudnya, dahulu tidak bisa berguna, tidak bisa dipercaya, tidak bisa berkomitmen, sekarang bisa berguna, bisa dipercaya, dan bisa berkomitmen.

 Tiap orang memang bisa mengubah dan membarui sifatnya. Dari tidak berguna menjadi berguna. Dari tidak bertanggung jawab men menjadi berdisiplin, jadi bertanggung jawab. Dari tidak berdisiplin.

Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas. Orang Indonesia munafik; ucapannya santun, tetapi hatinya dengki. Orang Indonesia suka bohong. Orang Indonesia rakus harta. Kata-kata itu kasar. Akan tetapi, Mochtar Lubis punya maksud yang mendidik. la ingin Indonesia maju. Oleh sebab itu, orang Indonesia perlu berubah dan mengubah sifatnya yang buruk. la mendesak, "Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara berpikir dan berbuat..., maka saya khawatir kita akan..."

Pidato Mochtar Lubis memancing reaksi yang tajam. Bukan hanya pada pertemuan itu, melainkan juga dalam tahun-tahun berikutnya. Apalagi ketika bukunya terbit dengan judul Manusia Indonesia - Sebuah Pertanggungjawaban terbitan Idayu tahun 1978.

Menjawab tanggapan Sarlito Wirawan, psikolog dari Universitas Indonesia, Lubis berkata, "Korupsi, munafik, lemah watak, cenderung berlambat-lambat, tinjaulah cara orang bekerja di kantor-kantor.... merupakan gejala yang begitu umum di seluruh tanah air kita..."

Kontroversi sinyalemen Mochtar Lubis meluas dan menggema ke ranah psikologi, pedagogi, sosiologi, dan politik. Beberapa tahun setelah terbitnya buku itu, Mochtar Lubis ditanya apakah ia masih bersikukuh dengan sinyalemennya tentang sifat-sifat orang Indonesia. la menjawab, "Saya malah tambah yakin."

Orang Indonesia jago pura-pura. Katanya mendukung pembe rantasan korupsi, tetapi ternyata ia juga korupsi. Orang Indonesia tukang ikut-ikutan, satu orang ngomong begitu semua orang ikut ngomong begitu. Orang Indonesia gila hormat. Orang Indonesia mau kaya, tetapi tidak mau kerja keras; mau pintar, tetapi tidak mau banting tulang.

Mochtar Lubis menuding dengan keras. Anda tidak setuju? Bagus, saya juga tidak setuju. Anda anggap Mochtar Lubis keliru? Bagus, saya juga.

Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa Mochtar Lubis keliru. Caranya? Mari kita mulai dengan diri kita sendiri. Mari kita buktikan bahwa kita bukan tukang pura-pura. Mari kita buktikan bahwa kita bisa kerja keras. Mari kita buktikan bahwa kita bisa disiplin waktu. Mari kita buktikan bahwa kita bisa bertanggung jawab. Mari kita buktikan bahwa kita bisa berprestasi. Mari kita buktikan bahwa kita jujur.

Mari kita buktikan. Mulai dari diri kita sendiri.