DARMA TIGA POHON CEMARA

DARMA TIGA POHON CEMARA

Di puncak suatu bukit tumbuh tiga anak pohon cemara. Ketiganya mempunyai cita-cita yang tinggi. Demikian awal sebuah dongeng beberapa ratus tahun yang lalu.

Pohon pertama berkata, "Kalau aku sudah besar, aku ingin ditebang lalu dijadikan sebuah peti penyimpan harta karun. Aku akan berada di istana yang megah. Tugasku nanti menyimpan intan, berlian, ukiran emas, dan perhiasan yang bagus dan mahal."

Pohon kedua berkata, "Aku ingin dibuat menjadi kapal, ya sebuah kapal pesiar yang besar dan bagus. Kapal itu nanti digunakan oleh para saudagar kaya berlayar ke mancanegara."

Pohon ketiga berkata, "Cita-citaku berbeda. Aku tidak ingin ditebang. Aku tidak ingin dijadikan apa-apa. Aku ingin terus berdiri tegak menjulang tinggi ke langit di atas bukit ini, supaya tiap orang yang memandang aku akan menengadah dengan rasa kagum."

Begitulah ketiga anak pohon cemara itu tumbuh menjadi pohon yang tinggi dan besar. Lalu pada suatu hari datanglah seorang tukang kayu menebang pohon pertama. Pohon itu melonjak kegirangan, "Aku akan dijadikan peti harta karun!" Tetapi, apa yang terjadi? Ternyata pohon itu dibuat menjadi palungan tempat makanan ternak. Pohon ini merasa sangat kecewa la tidak berada di istana, tetapi sebuah kandang hewan.

Kemudian tukang kayu itu menebang pohon kedua. Pohon ini cemas-cemas girang. "Moga-moga aku dibuat jadi kapal pesiar. Eh ternyata betul Pohon ini dibuat kapal Bukan main girangnya dia. Tetapi, tunggu dulu, kapal apa ini? Ini bukan kapal pesiar Ini kapal nelayan yang sederhana. Pohon ini merasa kecewa. Tiap hari mengeluh, "Aku jadi bau ikan!"

Setelah itu, tukang kayu tadi naik lagi ke bukit. "Oh, jangan tebang aku," jerit pohon ketiga. Tetapi, jeritannya tidak terdengar Pohon ketiga itu pun ditebang. Apa yang diperbuat oleh tukang kayu dengan pohon ini? Pohon ini tidak dijadikan apa-apa, Ternyata ia hanya dijadikan balok yang besar, lalu disimpan di gudang.Itulah nasib ketiga pohon tadi. Tidak ada satu pun yang cita-cita nya terkabul. Mereka kecewa, sangat kecewa.

Lalu pada suatu malam, pohon pertama yang menjadi palungan di suatu kandang melihat kesibukan yang tidak biasa. Ada seorang ibu muda menginap dan melahirkan di kandang itu. Lalu bayi itu diletak kan di palungan. Pohon pertama itu merasakan sendiri hangatnya bayi itu. Lalu pohon itu melihat sinar sebuah bintang besar menyoroti dirinya. Terdengar pula nyanyian malaikat. Luar biasa, Siapa gerangan bayi ini?

Sekitar tiga puluh tahun kemudian, pohon kedua yang sudah menjadi kapal nelayan juga mendapat pengalaman yang istimewa. Ketika ia sedang berlabuh di tepi pantai, ia mendengar seorang guru mengajar orang banyak dengan penuh wibawa. Kemudian guru itu dengan dua belas murid-Nya naik ke kapal. Di tengah pelayaran tiba tiba angin topan bertiup kencang. Kapal itu dihempas oleh ombak tinggi kan kemari. "Pasti aku hancur dan tenggelam," pikir pohon kedua ini. Tetapi tiba-tiba guru itu berdiri dan berperintah, "Tenang!" Lalu ombak dan angin pun tenang Luar biasa. Siapa gerangan guru itu?

Beberapa tahun kemudian, pohon ketiga yang disimpan sebagai balok di gudang itu, tiba-tiba dikeluarkan oleh tukang kayu "Mau diapakan aku ini?" pikir pohon itu. Ternyata balok itu dijadikan sebuah salib yang besar. Lalu salib itu dipikul oleh seorang lelaki yang kepalanya dipasangi duri sehingga berlumuran darah. Salib itu dipikul selangkah demi selangkah menaiki sebuah bukit. Di atas bukit itu, pohon ketiga itu ditancap. Lalu orang tadi diikat dan dipaku pada pohon itu. Pohon itu merasakan tetesan darah-Nya. Langit menjadi gelap dan mencekam. Lalu semua orang yang lewat di bukit itu bertelut di depan pohon ketiga itu. Mereka menengadah ke langit dengan penuh khidmat. Luar biasa. Siapa gerangan orang ini?

Kalau sekarang ketiga pohon itu berkumpul dan saling mencerita kan pengalaman, pasti cerita mereka menarik. Mereka bercerita bahwa mula-mula mereka merasa sangat kecewa karena cita-cita tidak terkabul. Tetapi sekarang mereka justru merasa bangga dan bersyukur bahwa cita-cita itu tidak terkabul, sebab apa yang terjadi adalah justru lebih bagus daripada cita-cita semula.

Pohon pertama semula ingin menjadi tempat yang berisi harta karun, tetapi kemudian ia malah menjadi tempat yang berisi harta yang jauh lebih bernilai, yaitu bayi Kristus, penjelmaan Allah.

Pohon kedua semula ingin menjadi kapal yang mengangkut saudagar, tetapi kemudian ia malah menjadi kapal yang mengangkut Kristus, Guru yang Agung.

Pohon ketiga semula tidak ingin ditebang supaya orang kagum melihat dia menjulang tinggi di atas bukit. Benar, sekarang ia berdiri di bukit, bukan sekadar sebagai sebatang pohon, melainkan sebagai salib lambang karya Kristus, Juruselamat.

Cita-cita ketiga pohon cemara itu telah dimodifikasi atau diubah menjadi jauh lebih bagus daripada rencana semula. Perubahan itu mula-mula mengecewakan, tetapi kemudian setelah mereka mengerti kebaikan di belakang perubahan itu mereka jadi merasa bersyukur Sebab, ketiga pohon itu telah berdarma bagi Kristus.

Kita mempunyai cita-cita. Kita berupaya dan bekerja keras untuk mencapai cita-cita yang diinginkan itu. Tetapi, cita-cita itu belum tentu terkabul. Bisa jadi di tengah perjalanan terjadi perubahan dan rancangan semula. Akibatnya, kita bisa menjadi kecewa. Tetapi, bisa jadi perubahan itu sebetulnya justru akan mendatangkan kebaikan bagi kita. Bisa jadi Tuhan sedang bekerja mengubah rancangan kita Sebab, Tuhan pun mempunyai rancangan dengan hidup kita masing-masing. Tuhan mempunyai rencana yang indah untuk hari depan kita. Hanya saja kita belum mengetahui dan belum bisa memahami rancangan Tuhan atas diri kita.

Kalau ketiga pohon cemara itu bisa membaca buku Mazmur, mereka akan mengaku seperti kata pemazmur, "Betapa besar pekerjaan-pekerjaan-Mu, Ya TUHAN, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu" (Mzm. 92:6).

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


BUKTI KESETIAAN

BUKTI KESETIAAN

Beragam cara orang menunjukkan kesetiaannya. Ada pasangan yang terus mengenakan cincin kawin. Kata mereka, "Ini bukti kesetiaan kami di hadapan Tuhan dan manusia." Ada pula yang membawa foto istri dan anak anaknya di dalam dompet. Kalau tiba-tiba rindu, foto itu dapat sedikit mengobati rasa kangen.

Sumarsih, ibunda Wawan korban tragedi Mei 1998, setiap pagi sebelum berangkat kerja singgah menabur bunga dan berdoa di makam putranya. Teman saya tak pernah sehari pun melewatkan tanggal di kalender mejanya. Ia memberi tanda silang begitu selesai jam kerja kantor. Teman yang lain telah menghasilkan puluhan ribu catatan harian. Buku-buku tebal berisi catatan itu ia simpan dengan baik.


Tetapi lebih dari semua yang telah kita lakukan, pernahkah kita berpikir tentang kesetiaan Tuhan kepada kita? Tuhan ibarat sang fajar yang setia terbit setiap hari. Ia tak pernah alpa. Seperti angin yang senatiasa berembus, seperti matahari bersinar bagi siapa saja, seperti itulah kesetiaan Tuhan. Bagaimana dengan Anda?

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH




Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. (Mat. 3:17)

Tiga pencobaan yang Yesus hadapi mengilustrasikan tiga godaan terbesar dalam hidup manusia modern. Godaan untuk mengagungkan kemampuan (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku lakukan), godaan untuk terikat pada harta milik (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku millki), serta godaan untuk menjadi populer (Siapa aku ditentukan oleh apa yang orang lain katakan tentang aku).

Ketiga godaan itu, semenarik apa pun, ternyata bersifat sangat fluktuatif. Naik-turun. Ada kalanya kita sangat kuat, memiliki banyak harta dan dikagumi banyak orang, namun tak jarang kita sungguh lemah, tak punya apa-apa, dan dicemooh orang lain. Sungguh celaka bukan jika identitas kita dipertaruhkan di atas ketiga dasar ini?"Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak anak yang dikasihi Allah."

Kita menghabiskan terlalu banyak energi untuk memastikan bahwa diri kita oke untuk tiga hal tersebut. Dan kita selalu saja lupa bahwa siapa kita ternyata sebenarnya tidak ditentukan dari ketiga-tiganya. Kita berjuang terus sepanjang hidup kita untuk memastikan ketiga-tiganya berlangsung dengan baik. Sampai akhirnya selesailah hidup kita. Mati. Dan setelah itu? Setelah itu... kita tak bisa melakukan apa-apa, kita tidak membawa apa yang kita miliki dan orang lain segera melupakan kita.

Yesus mampu menghadapi dan keluar dari ketiga jebakan ini karena tahu persis bahwa siapa diri-Nya sesungguhnya ditentukan oleh satu kenyataan lain, yaitu bahwa la adalah Anak yang dikasihi oleh Sang Bapa. Sesaat sebelum la memasuki pencobaan di padang gurun, yaitu saat la menerima baptisan oleh Yohanes Pembaptis, Sang Bapa dalam naungan Roh Kudus, mengutarakan isi hati-Nya; Dikau Kukasihi, Aku berkenan kepada-Mu.

Jika saja setiap pegiat sosial Kristiani mau dan mampu mengklaim kembali kebenaran yang sama, maka pastilah mereka akan terhindar dari seribu satu masalah remeh yang tak perlu, yang justru membuat karya mereka menjadi superfisial, dangkal, dan malah artifisial.

Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak-anak yang dikasihi Allah. Dan dengan demikian, kita menjadi saudara dan sahabat Kristus, yang sudah terlebih dahulu membuktikan kepada dunia bahwa kedalaman hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa mampu kita berkarya, seberapa banyak milik kita atau seberapa populer kita diterima oleh orang lain. Namun, semata-mata oleh sebening apa kita mendengar dan mengamini suara Ilahi itu: "Engkau Kukasihi. Engkau sungguh Kukasihi!"


 

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya, (Mrk. 10:42-44)

Salah satu alasan mengapa dunia begitu mengerikan dan tak sama bagi kehidupan manusiawi ialah dunia memang tertata oleh pola hubungan hierarkis. Selalu saja ada sejumlah kecil pemimpin di atas, dengan bawahan yang tak banyak jumlahnya, namun makin ke bawah makin bertambah banyak, dan akhirnya sejumlah besar pengikut berada di dasar piramida kekuasaan.

Yang lebih menyedihkan, hierarki yang menjulang ke atas itu sering diklaim mendapatkan kuasa dari Allah sendiri. Itu sebabnya mengapa kata "hierarki" dipakai; yang terdiri atas dua kata: hieros (suci) dan arche (tatanan atau kepemimpinan).  "Tak jarang sebuah hierarki memakai nama Allah untuk melestarikan kekuasaan yang sudah tertata."

Terhadap budaya umum dunia. Yesus menawarkan sebuah budaya alternatif radikal-budaya tandingan (counter-culture). Yesus sangat memahaminya kala berkata, "... mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (ay. 42). Inilah hierarki yang berlangsung di banyak tempat dan zaman. Namun, segera Yesus mengusulkan alternatif radikal-Nya: siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah menjadi pelayan (ay. 43-44).

Model kepemimpinan baru Yesus itu sungguh menjungkirbalikkan piramida hierarkis hingga sungsang-terbalik 180 derajat. Sang pemimpin haruslah menjadi pelayan. Yang pertama menjadi yang terakhir. Inilah kepemimpinan-hamba atau doularki (doulos + arche). Sering juga disebut servant-leadership.

Ketika memasuki sebuah komunitas dengan semangat berkarya, pikirkanlah satu hal! Siapa komunitas yang akan kita kembangkan itu? Siapa manusia-manusia yang akan kita sapa itu? Jika kita memasukinya dengan mentalitas juruselamat dan menampilkan diri sebagai pemimpin besar, bos yang harus dihormati, percayalah kegagalan tinggal menunggu waktu.

Masukilah komunitas tersebut, sapalah orang-orang di dalamnya dengan sikap takzim dan hormat. Sebab, kita diutus ke dalamnya, bukan untuk menjadi pemimpin yang berada di atas mereka, namun menjadi pelayan mereka. Jika kita harus melaksanakan tugas kepemimpinan, jadilah pemimpin yang melayani. Hanya dengan cara itulah, kita dapat menyuarakan pesan Injil yang menentang semua pola penguasaan hierarkis, semua pola kepemimpinan yang menekan rakyat atau umat.

DUNIA MAKIN MENCEKAM

DUNIA MAKIN MENCEKAM

Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan. (Yer. 20:14)

Tidak ada pertanyaan tentang makna kehidupan yang lebih sah ketimbang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di depan fakta penderitaan. Dunia makin uzur dan tak juga semakin bijak. Malah, dunia penuh dengan penyakit yang makin lama makin tak terobati.

Orang-orang yang tadinya sangat percaya pada rencana Allah dalam memperbarui dunia pun bertanya: Di manakah Allah di tengah seluruh proses "bunuh diri" semesta ini? Mengapa Allah tidak bertindak secara langsung dan nyata? Apakah Dia sungguh-sungguh Allah yang hidup dan berkuasa? "Di manakah Allah di tengah seluruh proses 'bunuh diri' semesta?" Celakanya, rangkaian pertanyaan itu tak terjawab juga. Bahkan oleh Allah sendiri. Dia diam seribu bahasa.

Yeremia pernah mengajukan pertanyaan serupa. Setelah sekian lama berkarya sebagai nabi Tuhan, dia menyaksikan bangsa yang semakin rusak. Puncak dari semua keluhannya meluap di dalam Yeremia 20:14-18. Kekesalannya terhadap bangsa Israel telah sirna dan berganti keputusasaan. Umat Tuhan itu sama sekali tak mau berubah. Tuhan pasti akan menunggangbalikkannya (ay. 16).

Dan sekarang, kemarahan pada dunia dan masyarakat yang bebal itu berbalik arah menjadi kemarahan kepada diri sendiri. "Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan," katanya (ay. 14). Yeremia menyesali kehidupannya. Menurut dia, hari kelahirannya seharusnya menjadi hari kematiannya; rahim ibunda seharusnya menjadi kubur baginya (ay. 17). Apakah tanggapan Allah terhadap protes, keluhan, dan kemarahannya? Pasal 20, yang memuat pertanyaan penuh kemarahan itu, berhenti begitu saja. Tanpa resolusi; tanpa kepastian. Allah diam!

Dalam bentuk yang mungkin berbeda, pengalaman Yeremia bisa jadi pengalaman setiap pegiat sosial-pengalaman menghadapi masyarakat yang tak kunjung berubah menjadi lebih baik. Akhirnya, pengalaman itu menusuk jantung makna hidup kita sendiri. Kita tidak punya apa-apa lagi di dunia ini untuk dibanggakan, atau setidaknya untuk membuat hidup dan karya tetap punya makna. Dan Allah tetap diam!

SENDIRIAN NAMUN TIDAK KESEPIAN

SENDIRIAN NAMUN TIDAK KESEPIAN

Berpalinglah kepadaku dan kasihanilah aku, sebab aku sebatang kara dan tertindas. (Mzm. 25:16)

Kesepian tak sama dengan sendirian. Kesepian merupakan sebuah perasaan terasing, sebatang kara, ketimbang sebuah keadaan seorang diri. Seseorang bisa saja kesepian di tengah kerumunan massa. Sebaliknya, yang lain mungkin saja tak kesepian, walau seorang diri di tengah kegelapan malam. Kebebasan dari rasa kesepian bukan tergantung dari banyaknya manusia yang hadir. melainkan dari hubungan dengan seseorang.

Tak terlalu banyak nas Alkitab yang berbicara tentang kesepian. Mungkin saja, umat di dalam Alkitab sungguh memahami pentingnya hidup bersama. Apalagi, kesepian merupakan salah satu masalah terbesar dunia modern. Akan tetapi, di dalam salah satu mazmurnya, Daud mengeluh: "Aku sebatang kara" (Mzm. 25:16). "Kesepian sering menjadi salah satu masalah sekaligus batu-uji seorang pegiat sosial."


Hidupnya selalu berada di antara orang-orang yang dilayaninya. Waktu seakan tak pernah cukup untuk membantu sesama. Namun, tetap saja ada saat-saat tertentu di dalam hidupnya yang membuatnya kesepian. Ia memperhatikan persoalan hidup orang lain, namun orang lain justru tak mengingatnya, khususnya ketika ia mengalami masalah.

Dalam situasi macam begini, Daud tahu bahwa hanya Allahlah yang dapat menolongnya. la berseru agar Tuhan berpaling kepadanya dan mengasihaninya. Bahkan di dalam sebuah mazmur yang lain, Daud bersaksi. "Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku" (Maz. 27:10). Lewat seruan itu, kita memahami bahwa orang yang terdekat sekali pun dapat meninggalkan kita. Tetapi, hanya Allah yang dapat diandalkan. la bukan saja teman dan sahabat di kala sunyi. la juga sumber kehidupan itu sendiri.

Lagi pula, mengutip puisi Uskup Camara:

Tuhan ada di sana, Dia tidak akan meninggalkan kita, baik di kala suka, apalagi di kala duka!

YOHANES PEMBAPTIS, SAHABAT KRISTUS

YOHANES PEMBAPTIS, SAHABAT KRISTUS

Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis…. (Mat. 11:11)

Tahukah Anda, siapakah manusia terbesar dalam pandangan Yesus? Bukan Abrahaka, bukan Baudi, bukan pula Petrus, tetapi Yohanes Pembaptis. Yesus sendiri mengatakannya. Mengejutkan, bukan? Nah, tahukah Anda, salah satu rahasia keagungan Yohanes Pembaptis bukan terletak pada kemampuannya melakukan mukjizat atau keteguhan imannya. Bukan. Rahasianya sederhana: dalam kesediaannya untuk menjadi sahabat sejati bagi Yesus.

"Seorang sahabat tidak pernah menempatkan diri lebih dari orang yang dikasihinya."

Suatu kali terjadi gelombang protes di kalangan murid Yohanes Pembaptis. Mereka mengeluh atas banyaknya pengikut Yohanes Pembaptis mengikuti Yesus. Terhadap keprihatinan yang sungguh masuk akal itu, Yohanes Pembaptis memberikan jawaban yang menakjubkan. Ia berkata bahwa dirinya hanyalah sahabat dari mempelai laki-laki, bukan mempelai laki-laki itu sendiri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ia bersukacita jika mempelai laki-laki itu menjadi pusat perhatian bukan dirinya.

Sebagai seorang sahabat yang baik, akhirnya Yohanes Pembaptis menegaskan sikapnya, "la harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yoh, 3:30). Saya pernah memperoleh pengalaman menjadi sahabat mempelai laki-laki (bestman). Saya harus datang sangat pagi, sebelum semuanya siap, dan pulang larut malam, setelah yang lain pulang. Di antaranya? Tidak terjadi apa pun pada saya. Tak seorang pun mempedulikan saya. Kalau pun ada yang berbicara pada saya, tentu isinya adalah permintaan atau tepatnya, perintah untuk melakukan ini dan itu. Tetapi, hari itu, keletihan saya tak sebanding dengan rasa senang saya karena dapat memberi sebuah sumbangan unik bagi sahabat saya. Yaitu: persahabatan itu sendiri.

Kerendahhatian Yohanes Pembaptis, dibalut dengan persahabatannya dengan Yesus, menjadi kunci keagungannya. Seorang sahabat tidak pernah menempatkan diri lebih dari orang yang dikasihinya. Apalagi memanfaatkan dan memanipulasi sahabatnya itu. la selalu menghendaki yang terbaik bagi sang sahabat, sekalipun itu berarti ia harus merugi.

Jika Anda berani mengaku diri sebagai sahabat Kristus, berlakulah benar-benar sebagai seorang sahabat-Nya. Yohanes Pembaptis sudah membuktikannya. Kini, giliran kitalah yang mengupayakannya.

MISKIN DI HADAPAN ALLAH

MISKIN DI HADAPAN ALLAH

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. (Mat. 5:3)

Persoalan "milik" selalu menghantui setiap pegiat sosial Kristen. Yang satu berkarya di dalam komunitas karena sudah tak lagi merasa perlu bekerja keras dan tinggal mengisi waktu lenggang sambil menanti datangnya keuntungan dari hasil kerjanya, yang lain masih bersusah-payah mencari sesuap nasi dan tak jarang yang berharap syukur bisa memperoleh tambahan dari karyanya di dalam komunitas Kristiani. Keduanya tentu tak bisa dibenarkan. Namun, itulah kenyataan yang kerap kita jumpai.

"Uang dan harta milik adalah milik Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dikelola, bukan untuk diraup secara membabi-buta, atau, ada pula yang menjadikan karya yang diberikan itu sebagai "miliknya". Lazimnya, ini dijumpai di antara mereka yang sangat mengabdikan waktu, tenaga, pikiran, bahkan uangnya untuk sebuah karya Kristiani. Sedemikian melekatnya mereka pada karya mereka itu, sampai-sampai mereka beranggapan bahwa "Pelayanan ini milikku". Mereka pun lantas marah besar, misalnya, ketika harus lengser karena periode karya yang sudah habis dan harus diganti orang lain atau, mereka kecewa dan memilih keluar.

Sebagai seorang Kristen, perlu disadari bahwa "I am what I have”. Semakin seseorang memiliki sedikit, semakin terpandanglah ia. Semakin seseorang memilki semakin tak tersohorlah ia. Gereja yang memiliki banyak juga dipandang sebagai gereja yang berhasil. Sebaliknya miskin dipandang hanya sebelah mata. Teologi sukses, yaitu yang mengajarkan bahwa kesuksesan adalah yang terutama, sebuah contoh ekstrem dari sikap semacam ini.

Yesus juga menghadapi cobaan jenis ini (Luk. 4:6-7; Mat. 4:8-9). Si Jahat yang menjumpai-Nya di padang gurun membawa-Nya ke atas sebuah gunung dan menjanjikan seluruh isi dunia untuk menjadi milik Yesus, jika la mau menyembah Iblis. Inilah godaan harta milik. Dan Yesus menolak-Nya mentah-mentah. Jawab Yesus sangat jitu, "Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" Itu berarti, harta milik tak boleh dianggap yang terpenting, karena hanya Allah yang utama. Memberhalakan uang dan milik sama saja halnya dengan menyembah Iblis. Uang dan harta milik adalah milik Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dikelola, bukan untuk diraup secara membabi-buta, apalagi diperilah.

Salah satu ucapan bahagia yang Yesus berikan sangat penting untuk disimak: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah." Mengapa kemiskinan menjadi pintu kebahagiaan? Tak lain karena mereka tak memiliki apa pun yang dapat menjauhkan mereka dari Allah. Namun Yesus tidak sekadar berbicara tentang sembarang orang miskin, namun mereka yang miskin "dihadapan Allah." Artinya, mereka yang di dalam kemiskinannya mempertaruhkan dan menaruh hidup mereka di hadapan Allah yang menjadi milik mereka satu-satunya.

Bukankah kini saatnya bagi kita untuk mengevaluasi kemball sikap, pandangan dan cara kita memperlakukan harta milk kita? Jangan pernah mau diperhamba oleh harta milik, namun perhambalah harta milik Anda dan manfaatkan sebaik mungkin di hadapan dan bagi Allah.

TIDAK PERLU MENJADI POPULER

TIDAK PERLU MENJADI POPULER

 


Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. (Mat. 25:2 1, 23)

Henri Nouwen benar ketika ia menyatakan bahwa salah satu godaan terbesar yang harus dihadapi seorang pegiat sosial Kristiani adalah menjadi populer. Kisah pencobaan Yesus di atas bubungan Bait Allah (LUk. 4:9; Mat. 4:5) sesungguhnya berkisah soal godaan untuk menjadi populer.

Bayangkan, ada ribuan pengunjung Bait Allah yang berada di bawah bubungan tinggi rumah Tuhan itu bakal melihat Yesus menerjunkan diri ke bawah... dan selamat! Pastilah la akan segera menjadi populer, dikagumi dan diikuti banyak orang. "Menjadi populer sungguh memikat. Semua orang memuji dan menyangjung kita." Sungguh sebuah sarana publikasi dan promosi instan sekaligus gratis dengan hasil maksimal. Namun, Yesus menolak godaan itu.

Menjadi populer sungguh memikat. Semua orang memuji dan menyanjung kita. "Proyek ini tidak akan sukses seperti sekarang jika tidak ada Pak Anu!" Dan kita pun merasa penting, merasa dibutuhkan, merasa diri menjadi pusat semesta. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan; banyak kolega memuji kinerja kita; malah, banyak orang tua ingin menjodohkan anaknya dengan kita. Sebaliknya, kita menjadi sangat marah dan kecewa, ketika bukan kita yang diminta untuk memimpin ibadah perayaan yang sangat penting itu, ketika kolega kita dipuji umat, ketika kita dilangkahi dalam pengambilan keputusan penting, atau ketika bukan kita yang diutus menghadiri konferensi mahapenting itu.

Terhadap naluri manusiawi untuk menjadi populer itu, Yesus menjawabnya dengan menyendiri, mengambil saat hening berdialog dengan Sang Bapa. Sebab hanya itulah yang memberi-Nya makna atas seluruh karya yang dilakukan-Nya. la bahkan bersedia menjadi tidak populer dengan meninggalkan khalayak ramai yang mulai memuja-Nya. la mengenakan salib sebagai atribut kehinaan-Nya.

Godaan menjadi populer hanya bisa dilawan dengan sebuah kesadaran batin, bahwa yang terpenting dalam seluruh karya kita adalah mendengar suara Sang Tuan. Suara tersebut berkata lembut, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia ... Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Tatkala kalimat itu terdengar, suara-suara orang banyak, yang memastikan popularitas kita, tidak lagi bermakna apa-apa.

MELIHAT SINGA DI DALAM SEBONGKAH BATU

MELIHAT SINGA DI DALAM SEBONGKAH BATU

 


Allah melihat bahwa semuanya itu baik. (Kej. 1:10)

Suatu kali, seorang anak kecil dengan penuh kekaguman bertanya pada seorang pematung, "Bagaimana caranya, Bapak bisa menciptakan patung singa dari batu yang sangat indah ini?" Lalu, dengan bijak, sang pematung menjawab, "Ketika mulai memahat sebongkah batu, saya melihat seekor singa di dalamnya. Saya hanya mengeluarkan singa itu dari bongkahan batu itu."

Melihat singa di dalam sebongkah batu!

Makna hidup sangat ditentukan oleh bagaimana kita melihat seluruh kenyataan. Melihat (contemplate) merupakan sebuah tindakan iman, yang percaya bahwa ada kebaikan yang mendalam dan indah di balik semua kenyataan telanjang yang tampak. Melihat juga merupakan satu dari tindakan-tindakan Allah yang pertama kali dicatat di dalam Alkitab. Setelah Allah menciptakan unsur-unsur semesta, la "melihat bahwa semuanya itu baik." (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). "Melihat dengan mata ketiga, mata iman, berarti melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang tampak depan mata..."

Dunia memang tampak makin menggelisahkan untuk ditinggali. Penderitaan menjadi berita sesehari yang memasuki indra: Penglihatan serta pendengaran dan bahkan pikiran serta hati. Akan tetapi, setiap pegiat sosial diundang untuk tetap beriuang mendatangkan kesejahteraan, perdamaian, dan keadilan. Dan perjuangan seperti ini tentulah bakal luruh dengan cepat jika kita punya kemampuan dan kemauan untuk melihat realitas iman, yaitu, berusaha melihat kebaikan Allah di dalam dan di semua realitas yang sangat mungkin buruk itu.

Victor Frankl, seorang Yahudi yang pernah mengalami kepahitan hidup di kamp tahanan Nazi, berkisah tentang pilihan yang diambilnya untuk bertahan hidup di dalam situasi ekstrem yang sangat mungkin menghancurkan martabat kemanusiaannya itu. la memilih untuk melihat kebaikan di dalam peristiwa-peristiwa kecil di dalam keseharian hidup yang menyedihkan itu. Frankl berkisah tentang seorang tahanan yang rela memberikan satu-satunya roti yang dimilikinya kepada sesama tahanan. Atau, seorang prajurit NAZI yang memberi bubur sedikit lebih banyak kepada seorang tahanan Yahudi yang tua. Ternyata, masih saja ada kebaikan yang muncul di dalam samudera penderitaan.

Melihat dengan mata ketiga, mata iman, berarti melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang tampak di depan mata; sama seperti Tuhan yang melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang diciptakan-Nya. Namun, melihat dengan mata iman juga berarti melihat masa depan yang melampaui kenyataan masa kini. Spiritualitas semacam inilah yang muncul di dalam Wahyu 21, ketika Kristus mengundang semua manusia, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu barul" (Why. 21:5). Selalu ada yang baik dan yang baru di dalam dan di balik sema yang tampak di depan mata. Belajarlah, untuk mampu melihat seekor singa di dalam sebongkah batu.