IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

 

Selama satu jam saya terpaku di depan televisi mengikuti ibadah pelepasan jenazah Putri Diana yang disiarkan langsung dari Gereja Westminster. Selangkah demi selangkah peti jenazah Putri Diana diusung masuk dan diletakkan di depan salib. Namun, yang saya bayangkan pada saat itu bukanlah hanya Putri Diana, melainkan juga Ibu Teresa. Hari itu koran terbit dengan berita utama: Ibu Teresa Tutup Usia. Di situ dimuat potret Ibu Teresa sedang berjalan berpegangan tangan dengan Putri Diana. Di bawahnya tertulis: "Ibu Teresa meninggal di Calcutta... Pendiri Ordo Misionari Cinta Kasih itu jatuh dan meninggal dunia setelah mengikuti ibadah khusus guna Putri Diana." Dalam satu pekan dunia kehilangan dua orang wanita yang telah merebut hati begitu banyak orang. Dunia telah menjadikan Ibu Teresa dan Putri Diana sebagai lambang cinta kasih.

Sebetulnya Putri Diana sungguh berbeda dari Ibu Teresa. Kedua orang itu sama sekali bukan bandingan. Yang satu tinggal di istana, yang lain di biara. Yang satu tiap kali tampil berganti busana, yang lain bajunya itu-itu saja. Yang satu bersantap malam di hotel-hotel berbintang, yang lain mungkin cuma makan sebutir kentang. Yang satu punya banyak harta, yang lain tidak punya apa-apa. Yang satu serba mewah, yang lain serba sederhana. Kedua wanita itu memang berbeda. Potret itu pun memperlihatkan perbedaan. Yang satu tinggi sampai, yang lain bungkuk mengerut. Yang satu berusia 36 tahun, yang lain 87 tahun.

Namun, persamaannya juga banyak. Kedua orang yang berpegangan tangan itu menatap dan tersenyum ke arah yang sama. Wajah mereka memancarkan kecerahan. Mereka seolah-olah sedang menatap kepada orang-orang yang menderita: para jompo, anak buangan, penderita kusta, korban perang, penderita AIDS. Keduanya peka terhadap penderitaan orang lain. Keduanya suka memberi bantuan; yang satu memberi dari kelebihannya, yang lain memberi dari kekurangannya.

Di sini tampak lagi perbedaan antara Putri Diana dan Ibu Teresa, bahkan perbedaan yang lebih asasi. Putri Diana memberi kasih dengan motivasi perikemanusiaan, sebuah motivasi yang sangat agung. Akan tetapi, Ibu Teresa didorong oleh motivasi yang lain. Ibu Teresa memberi kasih karena ia merasa sudah dikasihi oleh Kristus. Dalam buku The Way of the Cross yang dikarang bersama dengan Bruder Roger dari Taize, Ibu Teresa menulis, "... mencintai karena kita telah dicintai, karena Kristus dari salib telah mencintai kita."

Yang dibagi oleh Ibu Teresa bukan sekadar benda, melainkan diri yang rela turut menderita sebagaimana Kristus juga telah turut menderita dengan kita. Ibu Teresa menulis, "Tanpa ikut menderita, pekerjaan kita hanyalah pekerjaan sosial, yang memang baik dan berguna, tetapi itu bukan merupakan pekerjaan Kristus, bukan bagian dari karya penyelamatan."


Ibu Teresa menggali motivasi yang lebih dalam lagi. Bagi dia, cara mencintai Yesus adalah mencintai orang yang paling membutuhkan cinta. Sebab itu, tiap pagi ia memandangi salib dengan tubuh Yesus yang terluka sambil berbisik, "Kristus, tolong kami menemukan Engkau hari ini supaya kami dapat membalut luka-luka-Mu." Begitulah tiap hari ia menemukan orang jompo di lorong-lorong kumuh yang terbaring menunggu ajal. Ibu Teresa dan para suster membawa mereka ke rumah penampungan. Mereka dirawat dan disapa. Mereka diajak bernyanyi dan berdoa. Mereka diperlakukan dengan penuh martabat sampai pada peristirahatan yang terakhir: yang Muslim dimakamkan secara Islam dan yang Hindu dikremasi secara Hindu.

Oleh karena motivasi yang dalam itu, maka arah kepedulian Ibu Teresa juga luas. Ia tidak mempersempit kebutuhan cinta kasih hanya dalam arti material, tetapi juga dalam arti spiritual. Ia menulis, "Allah mengidentikkan diri dengan orang yang tidak punya rumah, bukan hanya rumah dalam arti perlindungan atap, melainkan juga rumah dalam arti penerimaan, penghargaan, dan perlindungan." Di buku yang sama Ibu Teresa mengubah ucapan Yesus dalam Matius 25 menjadi sebagai berikut, "... ketika Aku ketakutan, kamu menenteramkan Aku. Ketika Aku di tempat yang asing, kamu membuat Aku betah. Ketika Aku menganggur, kamu mencarikan Aku pekerjaan. Ketika Aku butuh keramahan, kamu merangkul Aku. Ketika Aku jadi orang Negro atau orang Cina yang diejek dan dicela, kamu menanggung salib-Ku. Ketika Aku gelisah, kamu mendengarkan Aku. Ketika Aku ditertawakan, kamu berdiri di pihak-Ku..."

Semua tulisan Ibu Teresa di buku itu merupakan ungkapan pikiran dan praktik hidupnya. Selama lebih dari 50 tahun Ibu Teresa berkarya dalam rangka mewujudnyatakan hal itu. Sementara itu ribuan orang dari puluhan negara juga menyerahkan diri untuk turut berkarya dengan Ibu Teresa.

Kita merenungkan hidup dan kerja Ibu Teresa dengan rasa syukur, kagum, dan haru. Ibu Teresa adalah manusia langka. Tidak tiap zaman melahirkan orang seperti Ibu Teresa. Gadis Albania yang lahir di Yugo slavia, bersekolah di Irlandia, dan kemudian menjadi biarawati di India ini telah menjadi lambang di seluruh dunia. Ia adalah lambang belas kasih, lambang kesederhanaan dan lambang pengabdian. Di tengah hidup yang serba konsumtif, serakah, haus kekuasaan, mabuk harta, gila sukses, cari pemuasan raga, cuek, fanatisme agama, fanatisme kebangsaan, dan sebagainya, maka gaya hidup Ibu Teresa merupakan bisikan-bisikan hati nurani.

Kembali pada Putri Diana. Ia juga merupakan lambang. Lambang kecantikan, lambang glamor, atau lainnya. Tetapi yang pasti, sama seperti Ibu Teresa, Putri Diana pun merupakan lambang belas kasih. Putri Diana dan Ibu Teresa telah merebut hati begitu banyak orang karena kepedulian mereka untuk memberi apa yang paling diperlukan oleh tiap orang, yaitu cinta kasih. Pembacaan 1 Korintus 13 pada ibadah pelepasan jenazah Putri Diana terasa menyentuh hati, "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Kedua lambang cinta kasih itu telah tiada. Mereka pergi berjalan berpegangan tangan. Meninggalkan bisikan-bisikan hati nurani.