KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

 


Enggano adalah sebuah pulau kecil dekat Bengkulu. Pada Perang Dunia Il pulau itu dijadikan tempat penyimpanan persediaan makanan untuk pasukan Jepang. Ketika Jepang menyerah, semua gudang itu ditinggalkan untuk penduduk setempat. Ternyata isi gudang itu luar biasa banyaknya. Padahal pada waktu itu jumlah penduduk Pulau Enggano hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka, dibagilah isi gudang itu. Tiap jiwa termasuk bayi mendapat 4 karung beras, 1 peti corned beef, 1 peti ikan sarden, 10 kaleng besar biskuit, dan banyak jenis makanan lain dalam peti besar. Dengan persediaan makanan yang begitu banyak di tiap rumah, orang tidak merasa perlu lagi bersawah dan berkebun. Tiap hari mereka hanya bersantai-santai.

Dua tahun kemudian persediaan makanan itu mulai habis. Lalu mereka mulai menggarap sawahnya lagi. Tetapi, apa yang terjadi? Sawah dan kebun mereka sudah penuh dengan alang-alang. Diperlu kan waktu beberapa bulan untuk mengolah tanah itu kembali. Ketika kemudian mereka bisa menanam, keadaan sudah terlambat. Persediaan makanan sudah betul-betul habis. Untuk menunggu panen diperlukan waktu setengah tahun. Akibatnya mereka kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi? Penduduk pulau itu mendapat kemudahan. Mereka tidak usah bekerja karena ada persediaan makanan untuk sekian tahun. Kerja keras berubah menjadi malas-malas. Ketika mereka mau bekerja lagi, sawah sudah menjadi belukar. Kemudahan membuat orang jadi terlena.

Pada hakikatnya orang cenderung memilih yang mudah. Mudah berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakannya. Mudah berarti tidak berat, tidak sukar dan tidak melelahkan. Di sekolah murid lebih senang mendapat soal yang mudah. Di tempat kerja kita memilih tugas yang mudah. Begitu juga dalam hidup, kita lebih senang berada dalam keadaan yang mudah. Kebalikan dari ke mudahan adalah kesulitan, tantangan, dan krisis. Memang kemudahan terasa menyenangkan. Kemudahan terasa sebagai berkat. Namun, dalam jangka panjang, apakah kemudahan itu berkat, ataukah bencana?

Menurut psikologi perkembangan, orang bertumbuh kepribadiannya melalui delapan tahap. Pada tiap tahap terjadi krisis. Misalnya pada tahap pertama, ketika anak berusia sekitar 1,5 tahun, ia mengalami krisis kecurigaan dasar versus kepercayaan dasar. Ia merasa curiga bahwa dirinya kurang diterima oleh pengasuhnya dan bahwa ia akan ditinggalkan sebatang kara. Jika bayi tidak berhasil mengatasi krisis ini, kelak ia menjadi orang dewasa yang cenderung berprasangka dan kurang bisa memercayai orang lain. Ia menjadi orang yang usianya dewasa, namun tahap kepribadiannya belum beranjak dari masa usia 1,5 tahun. Sebaliknya, jika bayi ini berhasil mengatasi krisis lalu merasa diterima dan bisa memercayai bahwa pengasuhnya ada meskipun tidak kelihatan, bayi ini bisa bertumbuh kepribadiannya ke tahap berikutnya. Kepribadian tumbuh melalui krisis. Keberhasilan mengatasi krisis adalah syarat untuk bisa maju ke tahap berikut.

Prinsip ini juga tampak dalam teori perkembangan masyarakat Kelompok masyarakat mana yang lebih maju? Arnold Toynbee, pakar sejarah kebudayaan, mengamati bahwa dari zaman purba hingga kini kelompok masyarakat yang lebih cepat maju adalah kelompok pendatang atau migran. Berbeda dari penduduk lama, kaum migran lebih terbuka dan lebih siap menghadapi ketidakpastian, perubahan, dan krisis. Mereka datang dengan tangan kosong, namun dengan hati yang penuh idealisme. Penduduk lama sudah mapan dengan pelbagai kemudahan sehingga tidak mempunyai dorongan untuk banting tulang, padahal para pendatang masih harus bergerak untuk survive. Karena itu, pada umumnya para pendatang lebih ulet, lebih hemat, dan lebih rajin. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan dapat membuat orang jadi statis, sedangkan krisis dapat membuat orang menjadi dinamis.

Para pengarang Perjanjian Lama bersaksi bahwa walaupun Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Allah tidak memberi kemudahan kepada umat-Nya. Sebaliknya, Allah malah membawa umat-Nya berjalan melalui krisis. Kasus itu tampat mencolok pada peristiwa Eksodus. Umat menempuh perjalanan dari delta Nil ke Kanaan yang berjarak sekitar 250 km atau kira-kira seperti dari Jakarta ke Cirebon. Secara wajar perjalanan itu dapat ditempuh dalam beberapa minggu. Namun, Allah membawa umat-Nya ke jalur yang lebih jauh dan lebih sulit sehingga akibatnya perjalanan mereka memakan waktu 40 tahun. Selama 40 tahun itu umat bukan menghadapi kemudahan, melainkan justru kesulitan dan krisis. Umat mengira bahwa mereka tidak dikasihi Allah. Akan tetapi, sebenarnya justru karena Allah mengasihi umat-Nya, la membawa mereka berjalan melalui pelbagai kesulitan sebab Allah bermaksud agar dengan kesulitan dan krisis itu umat-Nya ber tumbuh menjadi bangsa yang tangguh.

Cara Allah mendidik ini juga kemudian dicatat oleh pengarang Surat Ibrani sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan la menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang... Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibr. 12:5b 11).

Dari perikop tersebut dapat ditarik paling sedikit enam dalil teologi yang pedagogis (atau: dalil pedagogi yang teologis). Pertama, Allah digambarkan sebagai orangtua dan kita sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi. Kedua, karena itu Allah mendidik kita. Ketiga, cara mendidik yang baik bukanlah dengan memberi kemudahan, melainkan dengan memberi ganjaran (Yunani: paideia.k.k. paideuo = menegur, memarahi, menghukum, mendisiplin, menghajar). Keempat, sebab itu Allah memberi paideia kepada kita. Kelima, paideia tidak terasa menyenangkan, malah menyakitkan. Keenam, tetapi dalam jangka panjang, paideia memberi manfaat kepada kita. Jadi, pokok utama perikop ini adalah: Allah mendidik kita sebab itu la tidak memberi kemudahan, tetapi kesulitan dan tantangan. Di sini Allah digambarkan sebagai Allah yang edukatif atau sebagai pendidik ulung yang mempunyai visi tujuan mendidik untuk jangka panjang.

Konteks perikop ini adalah Surat Ibrani yang menekankan pokok bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam mewujudkan perbuatan-Nya dalam sosok Yesus. Itu berarti bahwa hidup Yesus merupakan petunjuk cara Allah mendidik. Sebab itu, hidup Yesus tidak berisi kemudahan tetapi krisis. Selama 33 tahun Yesus memilih jalan yang tidak mudah tetapi jalan yang penuh penderitaan. Akan tetapi, justru karena Yesus menempuh jalan itu dan setia sampai akhir, la menjadi simbol kemenangan atas penderitaan. Teologi Yesus bukan teologi kemudahan, melainkan teologi ketangguhan, yaitu tangguh dalam kesulitan dan krisis.

Lima ratus tahun sebelum Yesus mengajar, ternyata Kung Fu Tse memandang krisis dan kesulitan sebagai unsur yang positif dalam proses didik-mendidik. Dalam bahasa Cina krisis adalah wei-ji dan aksaranya merupakan gabungan dari aksara wei-jien (= bahaya) dan aksara ji-hwee (= peluang). Maksudnya adalah bahwa peluang mengandung bahaya atau risiko. Mereka yang mau mendapat peluang atau kesempatan harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam tiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Dalam aksara wei-ji terkandung hikmah yang dalam: peluang untuk maju timbul bukan dari kemudahan, melainkan dari kesulitan.

Sebetulnya kita tahu bahwa kemudahan bisa membuat orang jadi malas, sedangkan tantangan dan kesulitan bisa membuat orang jadi tangkas. Namun, kalau kita boleh memilih antara kemudahan dan kesulitan, kita akan memilih kemudahan sebab kemudahan itu enak padahal kesulitan terasa kejam dan menyakitkan.

Itu sebabnya banyak orangtua demi cinta melimpahkan pelbagai kemudahan kepada anaknya. Coba perhatikan, banyak anak TK dibawakan tas dan botolnya oleh penjemputnya. Ada anak yang sudah mampu mengikat tali sepatu sendiri, namun ibunya masih turun tangan. Ada calon mahasiswa yang formulir pendaftarannya diisi oleh orangtua. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi sering kali cinta itu diwujudkan dalam bentuk yang keliru, yaitu dalam bentuk kemudahan dan proteksi berlebihan. Hidup anak itu menjadi sangat mudah. Segala macam kemudahan sudah tersedia.

Anak yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemudahan, nantinya bisa menjadi orang yang kepribadiannya rapuh dan cepat ambruk. Artinya, ia tidak kuat menanggung beban frustrasi. Ia juga enggan berprakarsa. Motivasinya lemah dan daya juangnya rendah. la takut pada kesulitan; padahal hidup ini terdiri atas deretan persoalan yang sulit: pelajaran, pekerjaan, pergaulan, pernikahan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sebab itu, tokoh Pendidikan Agama Kristen Friedrich Froebel (1782-1852) berkata bahwa anak sejak kecil perlu dibimbing untuk menerima dan mengatasi pelbagai kesulitan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam hidup. Froebel menentang pandangan bahwa kesulitan merupakan hukuman dari Tuhan atau bahwa kemudahan merupakan upah dari Tuhan atas kebaikan kita. Menurut Froebel, hidup baik dan saleh itu sendiri sudah merupakan keuntungan sebab itu hidup baik dan saleh tidak perlu diupahi dengan kemudahan, sukses, dan keuntungan duniawi.

Contoh tentang kemudahan biasanya tampak dalam bisnis keluarga. Banyak bisnis keluarga berawal dari seorang miskin yang banting tulang dan peras keringat. Usahanya mulai dari nol. Berkat sifatnya yang rajin dan hemat, usahanya berkembang menjadi besar. Kemudian perusahaan ini diwariskan kepada generasi kedua yang berupaya untuk bertahan. Namun, begitu tiba pada generasi ketiga, banyak bisnis keluarga bangkrut sebab sifat rajin dan hemat dari generasi pertama sudah luntur.

Laporan konferensi tentang Bisnis Keluarga di Asia Pasifik berbunyi, "Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dan berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa oleh generasi kedua, akhirnya hancur oleh generasi ketiga karena generasi ini hidup dalam kemewahan dan tidak pernah melihat pengorbanan dan kegigihan orangtua mereka... generasi ketiga, sebagai anak-anak orang kaya tidak melihat perlunya bekerja keras. Mereka tidak mau susah dan tidak memiliki semangat ..." Kemudahan memang tampak enak. Akan tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil m ngantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus.

Kemudahan membuat kita lengah. Maka, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu, kesulitan dan krisis jangan dilihat sebagai hukuman Allah, melainkan sebagai didikan Allah. Adanya krisis bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Kata pengarang Ibrani, "Allah menghajar kita untuk kebaikan kita" (12:10).

Memang tiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Namun, tiap krisis juga mengandung peluang; peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan, dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih dewasa. Umat Allah di zaman Eksodus mengalami krisis selama 40 tahun lalu muncul sebagai bangsa yang tangguh. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang menjadi tangguh.

Dalam hidup Yesus tidak ada kemudahan, yang ada malah penderitaan. Namun, la bangkit dari penderitaan itu sebagai pemenang. Rasul Paulus turut merasakan kemenangan itu sehingga ia bersaksi, "Syukur bagi Allah yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya" (2 Kor. 2:14).