TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

 

Pernahkah Anda memperhatikan perangkap tikus yang terbuat dari kawat? Di dalamnya ada kaitan tempat menggantungkan sepotong makanan sebagai umpan. Kalau makanan itu tergoyang, lepaslah kaitan kawat itu dan terjeratlah tikus itu.

Mengapa tikus bisa terjerat di situ? Apakah karena kurang berhati-hati? Sama sekali bukan. Tikus justru terkenal sebagai binatang yang sangat tinggi tingkat kewaspadaannya. Tikus juga sangat cerdas dan gesit. la tahu bahwa makanan yang digantung itu merupakan umpan. Sebab itu, ia sangat berhati-hati. Seekor tikus bisa memakan sebagian dari umpan itu tanpa menggoyangkan kaitan kawat. Orang yang suka memasang jerat tikus tahu bahwa umpan itu sering sebagian dimakan oleh tikus, namun tikusnya sendiri tidak terjerat. Memang, kalau umpan itu dimakan dengan hati-hati, ada kemungkinan bahwa kaitannya tidak tergoyang.

Kalau toh tikus begitu hati-hati dan pandai, mengapa pada suatu hari ia terjerat juga? Sebabnya adalah karena tikus itu serakah. la berpikir bahwa sejauh ini ternyata kaitan itu tidak tergoyang, maka ia datang lagi dan menggerogoti lagi umpan. Namun, pada suatu saat kaitan itu tergoyang juga dan terjeratlah dia.

Dibandingkan dengan beberapa binatang lain, tikus memang termasuk rakus. Walaupun sudah kenyang, ia masih mencari makanan. Beda halnya dengan ular, misalnya. Ada jenis ular yang tidur selama beberapa bulan ketika ia sudah kenyang. Ada pula binatang buas yang jinak selama ia masih kenyang. Namun, tikus tidak ada puasnya. la terus makan walaupun sudah kenyang. Sebetulnya, ia tidak memerlukan makanan itu, namun ia terus makan. Itulah serakah, loba, tamak alias rakus.


Manusia punya kecenderungan seperti itu: rakus kekayaan, kedudukan, kekuasaan, jabatan, rakus ini dan rakus itu. Sudah punya, masih mau punya lagi. Sudah kaya, mau lebih kaya lagi. Sudah cukup, mau lebih dari cukup. Sekali ingin, keterusan ingin. Bagai seekor buaya, diberi jari ingin tangan, diberi tangan ingin seluruh badan.

Tuhan Yesus menilai sifat rakus sebagai kebodohan. Dalam Lukas 12 dicatat tentang seseorang yang bertikai dengan saudaranya mengenai harta warisan. Yesus berkata, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (ay.15).

Lalu Yesus melanjutkan dengan sebuah cerita. Ada seorang kaya yang panennya berlimpah padahal gudangnya masih penuh. Ia tidak punya tempat lagi untuk menyimpan segala miliknya. Sebab itu, ia memperluas gudangnya dan membangun gudang baru. Katanya, "Aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (Luk. 12:18, 19). Lalu Tuhan Yesus berkata, "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (ay. 20).

Mengapa Tuhan Yesus menyebut orang itu bodoh? Bukan karena ia membangun gudang tambahan dan bukan pula karena menyimpan kekayaannya, melainkan karena ia mengandalkan hari depannya pada kekayaan. Kekayaan dijadikan faktor jaminan. Kalau kaya, semua urusan terjamin beres. Sebab itu, ia ingin menjadi lebih kaya lagi, la menjadi serakah.

Yesus menyebut gaya hidup serakah itu bodoh sebab kekayaan bukan faktor andalan. Orang serakah justru akan terjerat oleh keserakahannya sendiri. Pengarang 1 Timotius menulis, "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat... Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang" (6:8-10). Perhatikan kata "jerat" dalam ayat 9. Terjemahan itu tepat sebab kata pagida dalam Alkitab Yunani memang berarti 'perangkap' atau 'jerat'.

Seperti tikus yang terjerat tadi. Sebetulnya ia sudah kenyang dan tidak memerlukan lagi sepotong ikan asin kecil di ujung kawat itu. Akan tetapi, ia menggigit juga ikan itu. Ternyata ia berhasil. Kawat itu tidak bergoyang. Keadaannya aman. Maka, ia menggigit lagi. Situasi masih terus memungkinkan. Mumpung masih memungkinkan, ia menggigit lagi. Tetapi, tiba-tiba perkawat itu menjepret. Terjeratlah dia. Barulah ia sadar bahwa keserakahannya telah menjerat dia.

Setinggi-tingginya tingkat kehati-hatian tikus, akhirnya ia terjerat juga. Tamatlah sudah riwayatnya cuma gara-gara sepotong gigitan kecil. Tikus itu memang orang rakus. Lho, kenapa tikus disebut orang? Karena tikus itu seperti orang dan orang itu seperti tikus, yaitu sama sama rakus.