KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

 


Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi hingga sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Temannya menegur, "Hai, tidak pernah aku melihat kau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak menajamkan kapakmu itu?" Tukang kayu itu berhenti sebentar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Karena aku terlalu sibuk." Lalu ia mengayunkan lagi kapaknya dan mengayunkan lagi dan mengayunkan lagi.

Makin tajam sebuah kapak, makin ampuh faedahnya dan makin ringan serta cepat kerja tukang kayu. Sebab itu, tiap penebang kayu dari waktu ke waktu mengasah kapaknya. Sungguh bodoh tukang kayu yang begitu sibuk mengapak sehingga ia merasa tidak punya waktu untuk mengasah kapaknya. Bodoh? Mungkin kita juga bodoh, sebab tiap hari kita juga bersibuk diri sehingga tidak punya waktu untuk menajamkan diri. Apa itu menajamkan diri? Tiap hari kita sibuk berpraktik: sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, karyawan, manajer atau lainnya sehingga kita tidak punya waktu untuk berteori dan berpraksis. Apa itu berteori dan berpraksis?

Kata praksis sering kali digunakan secara keliru. Ada yang berkata, "Dalam praksisnya...." padahal yang dimaksud adalah "Dalam praktik. nya". Praksis bukan berarti praktik. Praksis dalam bahasa Yunani berarti 'sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan'. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis terpadulah teori dan praktik. Kata Yunani theoria mula-mula berarti 'menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Kita berteori ketika kita mengambil jarak dari pe kerjaan lalu menyusun ulang sistematika pekerjaan kita.

Jadi, praksis adalah pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku The Pedagogy of the Oppressed. Namun, sebenarnya pengertian itu telah ada dari zaman Romawi. Filsuf pendidikan Aristoteles (384-322 SM) menulis dalam The Nicomachean Ethics tentang tiga gaya hidup: hidup kontemplatif (merenung), hidup praksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan) dan hidup produktif (mewujudkan buah itu dalam karya nyata).

Dalam hidup praksis, kita bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah, demikian pula bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak. Manusia yang utuh adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, yang merenungkan pekerjaannya dan menger jakan renungannya.

Itu sebabnya di tengah kesibukan perjalanan mengajar di pelbagai kota, Tuhan Yesus menyediakan waktu untuk menyendiri dan berdoa baik pagi, siang maupun malam. Di dalam Markus 1:35 tertulis, "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, la bangun dan pergi ke luar. la pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Di Markus 6:46 tertulis bahwa setelah Yesus memberi makan lima ribu orang, "la berpisah dari mereka, la pergi ke bukit untuk berdoa." Di Lukas 6:12 tertulis, "Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman la berdoa kepada Allah.

Tuhan Yesus yang kapak-Nya sudah tajam, ternyata masih menyediakan waktu untuk mengasah kapak-Nya. Ia merenung. la berefleksi. la berkontemplasi. la bermeditasi. Hati-Nya dipasang untuk menerima bisikan pengertian. Seperti kata pemazmur, "Yang direnungkan hatiku ialah pengertian" (Mzm. 49:3 RSV, "the meditation of my heart shall be understanding"). Itulah praksis, kesibukan dan keheningan saling menjalin.

Gaya hidup praksis ini terasa di desa Taize, pegunungan Burgundy, Prancis. Para bruder Komunitas Taize sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Mereka hidup dari pekerjaan tangan sendiri karena mereka tidak mau menerima pemberian, bahkan warisan orangtua pun tidak. Namun, kesibukan para bruder Taize itu terjalin dengan keheningan seperti sebuah ritme. Sebelum bekerja tiap pagi mereka bertelut dengan teduh. Tidak terdengar suara apa pun. Sekali-kali ada ayat Alkitab dibacakan dengan sayup-sayup. Pekerjaan sudah menunggu mereka di ladang, di klinik, di bengkel, di studio musik, di percetakan, di kantor, di dapur dan lainnya. Lalu dengan teduh para bruder itu meninggalkan ruang ibadah sambil bernyanyi:

Wait for the Lord, Whose day is near. Wait for the Lord, Keep watch, take heart.

Siang hari para bruder berkumpul lagi dan bertelut lagi. Lalu malam harinya setelah bekerja sepanjang hari mereka bersaat teduh lagi. Mereka bersenandung: In God alone my soul can find rest and peace, In God my peace and joy. Only in God my soul can find its rest, find its rest and peace. Di Taize bekerja menyatu dengan ibadah. Ribuan pemuda dari seluruh dunia yang ikut retret di situ merasakan kekuatan yang timbul dari keheningan. Di Taize orang bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah. Sebaliknya, mereka juga bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak.

Kita adalah orang sibuk. Begitu sibuk sehingga tidak sempat memikirkan apa sebabnya kita begitu sibuk. Apa sebenarnya tujuan kita dengan kesibukan ini? Dari mana dan mau ke mana perjalanan hidup ini? Mengapa kita sibuk? Untuk siapa sebetulnya kita sibuk? Betulkah kita perlu sesibuk ini? Apa yang mau kita raih? Masih adakah kekuatan kita? Apa sumber kekuatan kita? Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita sangat bagus. Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak ia perlu diasah. Mana ada kapak yang tidak perlu diasah.

Kita sibuk. Kita terus mengayunkan kapak. Namun, sesibuk sibuknya mengapak, masakan kita tidak punya waktu untuk mengasah kapak itu? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Mungkin sudah lama tumpul.