SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

 


Sebuah kursi tidak semahal meja, lemari atau ranjang. Di mana-mana ada kursi. Di ruang tunggu dokter pasti ada kursi. Di apotek ada kursi. Di stasiun bis juga ada kursi. Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan. Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi. Sebuah bangsa pecah dan ribuan orang saling bunuh hanya karena ada dua orang yang memperebutkan sebuah kursi. Kursi ternyata bukan cuma tempat duduk, melainkan juga kedudukan. Rebutan kursi terjadi di mana-mana: di partai, di organisasi, di perusahaan, bahkan juga di gereja. Mengapa bisa terjadi rebutan kursi? Tentu ada pelbagai macam penyebabnya.

Mungkin karena ada dorongan dari kelompok. Sebuah kelompok boleh jadi merasa muak dengan pemimpin yang ada. Mungkin pemimpin itu sudah terlalu lama masa jabatannya. Mungkin dalam organisasi itu tidak ada mekanisme suksesi. Lalu mereka menjagokan seseorang untuk merebut kursi kepemimpinan. Mereka menganggap tokoh ini simbol dari aspirasi mereka. Boleh jadi tokoh ini didorong untuk merebut kursi guna melawan kemapanan dan membuat perubahan.

Faktor lain adalah watak. Ada orang yang memang mempunyai kebutuhan untuk menguasai orang lain. la merasa dari kecil selalu diatur orang lain, sebab itu ia suka mengatur orang lain. la cenderung memaksakan kemauannya pada orang lain. Ia mendapat kepuasan kalau ia mengendalikan orang lain. Orang yang berwatak begini biasanya berambisi menduduki kursi pemimpin.

Namun, penyebab utama yang mendorong orang untuk begitu gigih mendapat dan kemudian mempertahankan kursi pemimpin biasanya adalah faktor imbalan-imbalan yang ada di balik kursi itu. Kita ambil kasus jabatan ketua sinode. Ada gereja yang tidak mengenal jabatan ketua sinode penuh waktu. Ketua sinodenya adalah pendeta gereja setempat. Ia tidak diberi honorarium apa pun untuk tugasnya sebagai ketua sinode. Di sinode itu tidak pernah ada kericuhan tentang kursi ketua sinode. Pemilihan ketua sinode berlangsung tenang-tenang saja. Jarang tampak suasana ambisi. Bahkan sidang sering kali sulit mendapat calon. Soalnya jarang ada orang yang bersedia dicalonkan menjadi ketua sinode. Jarang pula ada ketua sinode yang melebihi satu masa jabatan.

Namun, keadaan menjadi lain ketika gereja itu mengubah jabatan ketua sinode menjadi penuh waktu. Gereja itu menetapkan beberapa ketentuan yang berlaku bagi ketua sinode: tempat tinggalnya di kota lokasi kantor sinode (itu berarti di kota besar, padahal pendeta-pendeta lain tinggal di desa), kendaraannya mobil bagus (padahal pendeta lain cuma naik sepeda motor), ada pula tunjangan jabatan, dan sebagainya. Selanjutnya, ketua sinode juga diberi wewenang untuk mengatur penempatan dan mutasi pendeta.

Setelah jabatan ketua sinode diubah seperti itu, mulailah timbul pergesekan kekuasaan. Ada orang-orang yang berambisi menjadi ketua sinode. pemilihan ketua sinode terjadi kasak-kusuk mencari dukungan. Setelah terpilih ketua sinode itu bersikap pamer kekuasaan. Ia ingin dipilih lagi untuk masa jabatan yang berikutnya (walaupun ia sering berucap, "Saya tidak mempunyai ambisi untuk jabatan ini"). Ketika kemudian ada orang lain yang juga ingin menduduki kursi ketua sinode, terjadilah pertikaian. Kedua orang itu masing-masing mencari pengikut. Lalu, kedua kelompok pengikut itu mulai bertengkar. Pekerjaan gereja, seperti pekabaran Injil, penggembalaan, pendidikan, menjadi terlantar karena para pendeta sibuk dengan urusan sebuah kursi.


Orang ingin kursi. Kalau sudah diperolehnya ia berusaha menduduki kursi itu selama mungkin. Semua ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa kursi itu memberikan sejumlah keuntungan kepadanya. Inilah akar segala keributan di sekitar kursi. Kedudukan dan kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri: uang, fasilitas, wewenang, pengaruh, koneksi, dan sebagainya. Kedudukan dipakai untuk menguntungkan diri sendiri. Kedudukan dipakai untuk melayani kepentingannya sendiri (walaupun ia sering berteriak dengan nyaring bahwa ia melayani Tuhan dan ke pentingan umum).

Sungguh berbeda dengan apa yang diperbuat oleh Yesus. Selama tiga tahun Yesus mempunyai kedudukan. Kedudukan itu bukan dipakai oleh Yesus untuk menguntungkan diri-Nya sendiri. Kedudukan itu tidak dipakai sebagai kesempatan untuk mencari uang, fasilitas, wewenang, atau koneksi apa pun, tetapi "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Sebab itu, tidaklah menjadi soal apa kedudukan kita tinggi atau rendah yang soal adalah bagaimana dan untuk apa kita menggunakan kedudukan itu. Yesus telah memberi teladan. Kedudukan-Nya dipakai untuk membela kepentingan orang lain.

Ketika kemudian hari Rasul Paulus merenungkan kembali "masa jabatan" Yesus tersebut, ia mengomentari Yesus dengan kata-kata, "Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya ..." (Flp. 2:6-7). Perhatikan dua kata yang bertolak belakang: "mempertahankan" dan "mengosongkan". Orang lain mempertahankan diri, padahal Yesus mengosongkan diri. Kata "mengosongkan diri" itu diuraikan oleh Paulus dengan "mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diri-Nya dan taat" (ay. 7 dan 8).

Agaknya, itu yang sulit kita pelajari dari Yesus. Sebab apa yang kita perbuat sungguh bertolak belakang dengan Yesus. Kalau kita sudah duduk di kursi kita bukan mengambil rupa seorang hamba, melainkan mengambil rupa seorang baginda. Kita bukan merendahkan diri, melainkan kita merendahkan dan menekan orang lain. Kita bukan taat, kita malah membentak supaya orang lain taat pada kita. Itulah yang terjadi kalau kita sudah dapat kursi. Kita jadi mabuk kursi. Kursi itu terasa begitu enak diduduki. Oh, empuk sekali. Begitu empuk sehingga sekali kita duduk, kita lupa berdiri.