KONTEKSNYA KONTEKS INDONESIA

KONTEKSNYA KONTEKS INDONESIA

 

Tak ayal lagi Rasul Paulus jago bahasa. Ia menguasai bahasa Aram, Ibrani, Latin, dan Yunani. Ia juga jago filsafat dan budaya. la akrab dengan budaya Helenis Yunani-Romawi dan budaya Apokalips Yahudi. Maklumlah, ia orang Yahudi, lahir di Turki, berkewarganegaraan Romawi, dan bersekolah di Tarsus, sebuah kota pendidikan dengan banyak perpustakaan lengkap.

Ketujuh surat Perjanjian Baru yang pasti dikarang Paulus menunjukkan kemahirannya itu (lih. "HUT ke-2000 Rasul Paulus" di Selamat Bergereja). Pokoknya ia piawai bahasa, baik bahasa tutur maupun bahasa tulis, baik ragam cakapan maupun ragam hormat. Meskipun begitu, Paulus pernah tersandung justru gara-gara bahasa. la dan Barnabas mengunjungi Likaonia untuk mengabarkan Injil. Likaonia terpencil di pegunungan. Penduduknya jarang berhubungan dengan dunia luar dan hanya mengenal bahasa setempat. Di Likaonia itu Paulus berkhotbah. Tentulah ia memakai bahasa

Yunani, padahal penduduk setempat tidak mengerti bahasa itu. Ketika penduduk melihat Paulus menyembuhkan penyandang lumpuh, mereka takjub dan berteriak dalam bahasa Likaonia, "Dewa telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia" (Kis. 14:11).

Penduduk setempat mengira Paulus adalah Dewa Hermes dan Barnabas adalah Dewa Zeus. Langsung mereka bersikap khidmat dan takzim kepada kedua rasul (lih. ay. 12). Lalu mereka menyiapkan sajian atau sesajen berupa daging lembu jantan dan bunga untuk kedua rasul (lih. ay. 13).

Apa perlunya sajian itu? Buku klasik karya Ovidius bercerita bahwa dulu Dewa Zeus dan Hermes mengunjungi Likaonia secara inkognito, namun penduduknya cuek. Hanya sepasang suami-istri miskin men jamu kedua tamu itu. Akibatnya, bencana alam menin Semua penduduk tewas, kecuali pasangan suami-istri itu, bahkan gubuk mereka berubah menjadi kuil yang megah. Pesan legenda itu, "Supaya luput bencana, hargailah tamu. Mereka adalah dewa yang menyamar."

Pembacaan Alkitab kita tidak mencatat cerita itu. Entahlah apa para rasul tahu atau tidak tentang cerita itu.

Apakah yang diperbuat para rasul ketika penduduk mempersembahkan sajian? Tertulis, "Barnabas dan Paulus mengoyakkan pakaian mereka ..." (ay. 14).

Dalam budaya Yahudi merobek pakaian adalah tanda sedih. Para rasul sedih bahwa penduduk setempat masih percaya takhayul.

Akan tetapi, penduduk setempat tidak mengerti budaya Yahudi. Mereka anggap perbuatan itu aneh. Mengapa menolak santapan yang disajikan, lalu merobek pakaian? Mereka tersinggung.

Perbedaan bahasa bikin runyam. Tamu tidak mengerti bahasa setempat. Penduduk setempat tidak mengerti bahasa tamu. Mungkin di situ ada penerjemah, namun rupanya penerjemah itu salah kaprah. Muncullah bahasa dadakan: bahasa tarzan.

Lalu kedua rasul memberi penjelasan. Pertama, mereka bukan dewa, melainkan orang biasa. Kedua, mereka datang untuk mengabarkan kabar baik, yaitu bahwa Allah tidak menuntut sajian. Ketiga, Allah bermurah hati tanpa membedakan siapa pun (lih. ay. 15-17).

Apakah penduduk setempat mengerti? Boro-boro mengerti, mereka malah menjadi makin bingung. Lalu pada saat itu datang orang-orang dari luar yang menghasut penduduk. Keadaan jadi rusuh Mereka melempari para rasul dengan batu.

Rasul Paulus luka parah. Ia terkapar. Penduduk mengira ia tewas Lalu tubuhnya diseret ke luar kota sebab budaya mereka menajiskan jenazah orang asing. Akhirnya, Paulus dibawa ke suatu rumah untuk diobati. Keesokan harinya para rasul meninggalkan daerah itu (lih. Ay 19-20).

Pekabaran Injil di situ gagal. Gara-gara bahasa. Senjang bahasa. Senjang budaya. Timbul miskomunikasi.

Untuk mengabarkan Injil, yang perlu kita ketahui bukan hanya Alkitab dan konteks penulisannya zaman dulu, melainkan juga konteks masyarakat yang membaca Alkitab itu zaman sekarang. Buku Apa itu Teologi? karangan Drewes dan Mojau merumuskan, "Kontekstualisasi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita."

Proses penggabungan itu menyangkut berbagai masalah rumit. Langkah awalnya adalah bahasa. Bagaimana kita bisa memahamil situasi masyarakat kalau kita tidak menguasai bahasanya? Bagaimana pula masyarakat memahami amanat Alkitab kalau bahasa yang kita gunakan terdengar asing di benak mereka?

Bahasa turut menentukan berhasil tidaknya kontekstualisasi Injil. Dari lima bab kerangka analisis di buku Kontekstualisasi Teologi karangan Hesselgrave dan Rommen terbitan Gunung Mulia, tiga bab menyangkut isu linguistik atau ilmu kebahasaan.

Bagi kita konkretnya itu adalah bahasa Indonesia. Gereja di Indonesia hanya bisa berkembang dan berbuah jika berakar dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, sungguh janggal jika ibadah kita memakai istilah-istilah semisal Yehovah Tsidgenu, Melekh Yarev, Mizbeakh Haggadol, Hakhokem, dan sebagainya. Ada pula ibadah yang memakai istilah seperti Pantokrator, Salutatio, Benediksi, Leiturgos, dan sebagainya.

 Apa perlunya ibadah dilayankan dengan istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia? Padahal yang dilayani adalah orang Indonesia. Apakah bahasa Indonesia kurang sahih di hadapan Allah?

 Tugas gereja adalah memberitakan Injil dalam bahasa yang jelas supaya dimengerti oleh umat. Apa faedahnya sebuah pemberitaan jika tidak bisa dimengerti? Kalau begitu mengapa khotbah sering kurang jelas? Tata kalimatnya semrawut. Imbuhannya porak-poranda. Kata kerja, kata benda, kata sifat, kata ganti, dan kata sandangnya kocar-kacir. Padahal seyogyanya gereja menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa. Gereja diharapkan memberi teladan dalam segala hal, termasuk dalam berbahasa.

Kalau cinta nusa, bangsa, dan bahasa, maka hargailah bahasa, bukan merusaknya. Perkayakan khazanah bahasa, bukan memiskin kannya.

Keindonesiaan kita bukan lahir karena proklamasi tahun 1945 dan bukan pula karena Sumpah Pemuda tahun 1928, melainkan karena ratusan tahun sebelumnya para penulis dan penutur sudah mengembangkan bahasa Indonesia. Sekadar contoh, pada tahun 1891 di Surabaya ada sebuah kelompok sandiwara rakyat yang dipimpin oleh Yap Gwan Thay. Para pemainnya beretnik Jawa, Tionghoa, Minang, Ambon, Indo Belanda, dan lainnya. Cerita yang paling laku adalah Nyai Dasima. Grup sandiwara ini mempersatukan ribuan penonton yang berbahasa ibu berbeda-beda dengan sebuah bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

Pada tahun 1946 STT Jakarta secara berangsur mengubah bahasa pengantar dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Niat itu mempertaruhkan mutu sekolah sebab ketika itu belum ada buku teologi berbahasa Indonesia. Lalu pada tahun itu juga didirikanlah BPK Gunung Mulia agar buku-buku Kristen turut mengembangkan bahasa Indonesia dan menumbuhkannya sebagai bahasa ilmiah untuk ilmu teologi.

Akan tetapi, yang paling bertanggung jawab melakukan kontekstualisasi adalah gereja setempat. Sangat disayangkan jika gereja mengabaikan tanggung jawab itu. Tata ibadahnya impor. Seni bangunannya impor. Lagunya impor. Jubah pendetanya impor. Me mang benar iman Kristen bersifat global, namun pengungkapannya bersifat lokal.

Di tanah manakah gereja kita berbenih dan berakar? Kalau me mang di tanah Indonesia, janganlah kita berjati diri Kristen Israel atau Kristen Eropa. Jati diri kita adalah Kristen Indonesia. Tepatnya, Kristen Nusantara.

Pernah seorang pembaca bertanya, "Yesus itu bangsa apa, orang apa?" Jawab saya, "Terserah. Silakan orang Pakistan membayangkan Yesus sebagai orang Pakistan yang berbahasa Urdu. Orang Kamboja silakan menggambarkan Yesus berbangsa Kamboja yang berbahasa Khmer. Untuk saya, Yesus adalah orang Indonesia. Akan tetapi,.... Yesus bukan orang Indonesia yang bahasa Indonesia-Nya amburadul, acak-acakan, dan berlepotan. Amit-amit, jauhlah itu dari Dia. Yesus berbahasa Indonesia yang baik dan benar."