PENSIUN ITU MENAKUTKAN

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

 

Seorang ibu dalam usia 30-an tahun sedang repot mengurus anak-anaknya. la berpikir alangkah bebasnya kalau kelak ia sudah tidak usah melakukan tugas-tugas seperti ini. Suaminya yang juga dalam usia 30-an tahun sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas. la juga sedang membayangkan betapa enaknya kelak kalau ia pensiun dan tiap hari menikmati suasana santai di rumah.

Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian pikiran kedua orang itu berubah total. Mereka bukan lagi mendambakan masa pensiun. Sebaliknya, sekarang mereka sedang cemas memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi kalau mereka pensiun. Pensiun memang mencemaskan. Kalau ada orang yang tidak merasa cemas, barangkali ia belum berpikir tentang masa pensiun, atau ia belum tahu apa itu sebetulnya pensiun. Soalnya, masa pensiun itu banyak "batu"nya.

Baiklah kita mulai dengan soal yang "mudah" (padahal sebetulnya ini sama sekali tidak mudah), yaitu soal uang. Pada hari kita mulai pensiun, pada hari itu juga gaji kita akan dipotong secara drastis. Segala macam tunjangan dihentikan. Yang namanya uang pensiun itu cuma sepersekian dari gaji. Yang paling terasa adalah dihapusnya tunjangan pengobatan. Mulai hari itu segala biaya untuk dokter, apotek, laboratorium, atau rumah sakit harus kita tanggung sendiri. Padahal justru semakin tua semakin sering kita berobat. Sungguh mencemaskan.

Bagi mereka yang selama ini menikmati pinjaman kendaraan dinas atau rumah dinas, persoalannya menjadi bertambah. Kendaraan perlu dikembalikan dan rumah harus dikosongkan. Kita harus pindah. Pindah ke mana? Akan tetapi, baiklah kita andaikan bahwa semua persoalan itu tidak ada atau sudah teratasi. Itu belum berarti bahwa masa pensiun otomatis akan menyenangkan. Ada banyak persoalan lain yang lebih rumit lagi.

Persoalan pertama adalah rasa hampa. Mari kita bayangkan diri sebagai seorang manajer. Selama sekian belas atau sekian puluh tahun kita telah menyatu dengan fungsi atau peran tertentu. Peran itu telah menjadi suatu bagian dari jati diri kita. Sekarang tiba-tiba kita harus melepaskan peran itu. Hati kita padat dengan pelbagai macam perasaan ketika kita mengosongkan meja dan ruangan kantor kita. Apalagi tatkala kita mencabut papan nama dari meja atau pintu ruangan itu. Berpisah dengan teman-teman sekerja juga merupakan beban emosi. Seorang demi seorang kita salami: para sekretaris, pesuruh, operator telepon, direksi, kepala bagian, satpam, dan lainnya.

Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Akan tetapi, setelah itu kita mulai merasa bingung, "Apa yang harus kukerjakan?" Kita merasa kehilangan peran. Lalu kita mulai merasa kehilangan jati diri. Kita merasa ada sesuatu yang kosong dalam diri kita. Kita merasa hidup ini menjadi hampa. Bisa jadi kita mulai bertanya dalam hati, "Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup?"

Perasaan-perasaan seperti itu dapat juga timbul pada seorang ibu rumah tangga. Selama sekitar dua puluh tahun ia mengurus anak-anaknya. Kini semua anak itu sudah mandiri atau berumah tangga sendiri. Mereka sudah mempunyai dunianya masing-masing. Akibatnya, ibu ini tidak tahu siapa yang sekarang perlu dia urus. Ibu ini kehilangan sasaran kesibukan. Mungkin beberapa tahun kemudian ibu ini sibuk merawat suaminya yang lanjut usia. Kemudian, ketika suaminya meninggal, ibu ini lagi-lagi merasa kehilangan peran. Ia merasa bingung, "Siapa yang harus kurawat sekarang?" la merasa hidup ini kini menjadi hampa.

Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang ibu rumah tangga, atau saya seorang manajer bank dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya, ketika peran itu harus dilepaskan, kita pun kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup.

Akibatnya, yang juga dapat timbul adalah post power syndrome. Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Kita mencari serta memperoleh kepuasan dengan cara memainkan atau memberlakukan kekuasaan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sangat suka mengatur dan melindungi anaknya secara berlebihan. la memberlakukan kekuasaan. Atau seorang manajer yang suka tampil sebagai penguasa dan pembesar. Orang yang banyak memberlakukan biasanya akan merasa kehilangan kekuasaan pada masa pensiunnya. Akibatnya, mungkin ia mencari jalan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Mantan manajer itu bisa jadi berusaha mengendalikan penggantinya atau menjelek-jelekkan kebijakan penggantinya.

Pensiun memang dapat menjadi suatu krisis yang menimbulkan sindrom, kompleks atau persoalan kejiwaan lain. Dalam skala Penyesuaian Sosial yang disusun oleh Holmes dan Rahe tercantum sekitar empat puluh penyebab stres, dan pensiun tercantum sebagai penyebab nomor 10 di bawah urutan kematian suami/istri, perceraian, musibah, penyakit dan pemenjaraan.

Masa pensiun memang rentan terhadap krisis karena masa pensiun ditandai oleh banyak pengurangan atau pemerosotan, yaitu merosot dalam peran, penghasilan, kekuasaan dan kekuatan fisik. Rasul Paulus dalam usianya yang lanjut juga mengalami banyak kemerosotan. Namun serempak ia juga mengalami pembaruan atau penambahan di bidang yang lain. Ia menulis, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" (2Kor 4:16).

Inilah "sisi lain dari koin" yang bernama masa pensiun. Secara fisik dan finansial kita berkurang, namun secara emosional dan spiritual kita bisa bertambah. Pola pikir kita bisa menjadi integratif, yaitu mampu mengintegrasikan masa pensiun ini dengan masa kerja yang telah kita tuntaskan dengan baik selama sekian puluh tahun. Lalu kita mensyukuri perjalanan karier yang telah kita lewati itu sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Tuhan telah memberi peran kepada kita selama sekian puluh tahun. Tuhan telah menuntun kita menjalankan peran itu sehingga akhirnya sekarang kita boleh menyelesaikannya dengan selamat.

Selanjutnya pola pikir kita pun bisa menjadi generatif, yaitu mampu mengakui bahwa kesempatan berkarya telah kita peroleh, karena itu sekarang kita menyiapkan generasi berikutnya untuk mengisi kesempatan itu. Kita telah mendapat giliran berbakti, sekarang bakti kita telah purna (penuh, selesai), lalu kita menyerahterimakan giliran itu kepada generasi penerus. Itulah "manusia batiniah" yang bisa berkembang justru pada masa pensiun. Sebab itu, masa persiapan pensiun (sering disingkat: MPP) bukanlah sekadar persiapan lahiriah (tabungan, rumah, asuransi kesehatan dsb.) melainkan terutama persiapan batiniah atau persiapan mental. Kalau yang disiapkan hanya urusan material, MPP bisa di pelesetkan menjadi "mati pelan-pelan" sebab walaupun secara material kita beres, mental kita akan tetap krisis. Sebaliknya, kalau kita siap mental, MPP bisa berarti "masa pematangan pribadi".

Akan tetapi, persiapan mental ini tidak mudah. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis "cathectic flexibility versus cathectic impoverishment". Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karier, dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain. Itu sebabnya salah satu bentuk pengisian masa pensiun yang konstruktif adalah mencari pengganti peran atau pengganti kesibukan dengan cara membantu panti asuhan, panti wredha, sekolah, gereja, poliklinik, dan sebagainya.

Kalau perhatian kita sempit dan hanya mengarah pada diri sendiri, memang masa pensiun adalah menakutkan. Kita menjadi tawar hati, sebab "manusia lahiriah" kita makin lama makin merosot. Namun, bila perhatian kita terbebas dari kesempitan itu lalu terarah pada dimensi hidup yang lebih luas dan lebih luhur, masa pensiun justru melegakan. Memang "manusia lahiriah" kita merosot, namun "manusia batiniah" kita mengembang dan mematang.