MENIKAH LAGI?

MENIKAH LAGI?

 

Apa boleh nikah lagi? Kalau nikah lagi nanti di surga ia punya "Adabuenni. Apa kedua suaminya tidak akan saling pelotot?" Demikian tanya seorang peserta pemahaman Alkitab.

"Pada ibadah 40 tahun nikah Mami dan Papi, Pak Andar memuji kerapian Mami yang bersemboyan bahwa seprai tidak boleh keriput. Kemudian saat Mami meninggal dunia, Pak Andar berbisik menghibur Papi bahwa Mami pergi terlebih dulu untuk merapikan seprai bagi Papi. Sekarang kami bingung karena katanya Papi mungkin mau menikah lagi. Kasihan Mami. Nanti di surga ada dua istri Papi. Pasti Mami sedih. Kasihan dong Mami." Demikian keluh putri keluarga ini. Dari dua ucapan itu terkesan bahwa orang cenderung berpikir naif dan mempersempit persoalan tentang nikah ulang. Orang menganggap persoalannya hanyalah perkara boleh atau tidak. Atau, perkara siapa yang akan menjadi istri/suami di surga. Kasus nikah ulang jarang terjadi selama saya menjadi pendeta

GKI Samanhudi, namun dari kasus-kasus yang ada itu saya banyak belajar. Meskipun persoalannya berbeda, demi ringkasnya di sini saya menyamakan nikah ulang pada golongan usia dewasa sekitar 40 tahun dan nikah ulang golongan usia lanjut sekitar 60 tahun. Demikian pula nikah ulang akibat kematian dan nikah ulang akibat per ceraian.

Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal nikah ulang. Misalnya, akan timbul kekecewaan jika kita terus mempertahankan citra tentang istri/suami yang dulu sebab istri/suami yang sekarang adalah individu yang berbeda. Tidak patut ada perbandingan, "Istriku yang dulu masaknya lebih enak" atau "Suamiku yang dulu lebih sabar".

Pada penikahan pertama, kita belum mempunyai konsep tentang pembagian tanggung jawab dan wewenang antara suami dan istri. Konsep itu terbentuk dalam perkembangan waktu. Sebaliknya, dalam pernikahan ulang kita masing-masing sudah mempunyai konsep dari pengalaman pernikahan sebelumnya. Supaya tidak menimbulkan benturan, kedua orang itu perlu merundingkannya dengan prinsip "penyelesaian menang-menang".

Jika kita membawa anak-anak ke dalam pernikahan ini, kebutuhan emosional anak perlu dipersiapkan dengan bijak. Anak sungguh cemas kalau-kalau kita tidak mencintai mereka lagi. Anak akan cemburu kepada ibu/ayah yang baru. Mereka memprotes kehadiran ibu/ayah baru dengan cara membangkang atau memancing amarah kita.

Anak berusia remaja akan lebih sulit lagi menghadapi ibu/ayah baru sebab usia remaja adalah tahap mencari jati diri, memberontak, dan melepaskan diri dari otoritas orang tua.

Bisa dimengerti jika anak membenci ibu/ayah baru. Dalam hatinya mereka bersikap, "la bukan ayahku. Ia tidak berhak mengatur aku. La merampas ibuku. Jangan coba-coba menyuap aku dengan hadiah ini atau itu!"

Kebutuhan untuk menikah ulang pada perempuan biasanya adalah faktor ketidakpastian hari depan, kesepian, kebutuhan teman curhat yang melindungi, dan kosongnya sosok ayah dalam keluarga. Sedangkan pada pria biasanya adalah kesepian, kebutuhan adanya seseorang yang mengurus rumah tangga, dan kebutuhan seksual.

Seorang ibu berusia sekitar 60 tahun berterus terang. "Sebetulnya saya kagak punya pikiran untuk menikah lagi. Pak Andar sendiri tahu, anak dan menantu semua sayang kepada saya. Kurang apa lagi? Tetapi, tiap malam terasa juga sepinya. Lalu saya ketemu teman sekelas suami saya dari SMAK Petra Surabaya. Pikirannya nyambung. Tiap kali bertemu rasanya semangat hidup saya tumbuh lagi. Tetapi, saya sama sekali kagak mau geraba gerubu, sebab saya merasa seakan-akan mengkhianati suami. Oleh karena itu, saya akan terus berunding dengan anak dan menantu. Pokoke, kagak geraba gerubu."

Ibu itu bijak. Ia melibatkan anak, menantu, kerabat, dan sahabat. la minta pendapat kedua. Justru pendapat yang berlawanan dengan kita, itulah pendapat yang kita perlu dengar. Keputusan yang matang lahir bila kita terlebih dahulu menyimak pendapat kontra. Baik meng hadapi pernikahan pertama maupun pernikahan ulang kita bisa ter kena demam cinta buta.

Ada pernikahan ulang yang gagal. Mereka menikah untuk meng atasi persoalan, namun ternyata malah timbul banyak persoalan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Sebaliknya, banyak pula pernikahan ulang yang berhasil dengan baik. Mereka bisa saling menyesuaikan diri. Semangat hidup, daya juang, dan dorongan berkarya mereka terbangun kembali.

Pertanyaan sejak awal belum terjawab, yaitu, "Jika menikah ulang, siapa yang akan menjadi istri/suami kita di surga nanti?"

Yesus pun ditanya begitu oleh orang Saduki. Saduki dan Farisi adalah aliran dalam agama Yahudi yang sama-sama menafsirkan Alkitab secara konservatif sehingga mereka sama-sama geram kepada Yesus yang menafsirkan Alkitab secara liberal dengan berkata, "Kamu telah mendengar firman... Tetapi Aku berkata kepadamu... Meskipun kedua aliran itu banyak persamaannya, mereka juga berbeda dan berlawanan satu sama lain dalam banyak hal (lih. "Saduki, Farisi, Eseni, atau Sikari?" di Selamat Mengikut Dia).

Salah satu perbedaannya adalah bahwa Saduki hanya menaati Kitab Taurat, sedangkan Farisi menaati semua kitab. Akibatnya, Saduki tidak percaya tentang kebangkitan sebab di Kitab Taurat sama sekali tidak ada ajaran kebangkitan. Sebaliknya, Farisi percaya tentang kebangkitan.

Maka,bertanyalah orang Saduki kepada Yesus tentang dampak nikahulang.Merekamengajukan kasus tujuh bersaudara yang berturut-turut menikahi seorang wanita yang sama karena Taurat mengatur pernikahan Levirat bahwa jika kakak meninggal, adik harus menikahi istrikakak.

Bertanyalah orang Saduki, "Siapakah di antara ketujuh orang itu yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan?" (Mat. 22:28).

Orang Farisi yakin ketujuh lelaki itu akan menjadi suami perempuan itu setelah kebangkitan. Sebaliknya, menurut orang Saduki tidak ada satu orang pun yang akan bangkit. Apa jawab Yesus?

Yesus menjawab, "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga" (ay. 29-30).

Di sini Yesus sama sekali bukan memberi penjelasan tentang bagaimana atau dengan siapa kita akan hidup di surga, melainkan memberi pegangan bahwa kita akan hidup seperti malaikat, artinya hidup bersama-sama dengan Allah. Simak bahwa Yesus bukan berkata kita akan berubah menjadi malaikat, melainkan akan hidup seperti malaikat. Apa rincian dari ungkapan "hidup seperti malaikat" tidaklah diberitahukan kepada kita.

Warga gereja pada awal bab ini bertanya, jika menikah ulang siapa yang akan menjadi istri/suami disurga. Itulah tadi jawab yang kita peroleh dari Yesus. Mungkin jawaban itu kurang memuaskan. Akantetapi, hanya itulah agaknya yang perlu kita ketahui sekarang. Yang lain belum dinyatakan alias masih tersembunyi untuk nanti. Tertulis, "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita ... " (Ul. 29:29).

Jadi, apakah gereja menganjurkan ataukah melarang pernikahan ulang? Tugas gereja bukanlah menganjurkan dan bukan pula melarang orang menikah ulang, baik nikah ulang akibat kematian maupun perceraian. Tugas gereja adalah mendampingi orang.