HARI PERTAMA KE SEKOLAH

HARI PERTAMA KE SEKOLAH

 


Tahun ini tepat 70 tahun lalu saya mulai bersekolah. Kawan-kawan salingmenelepon, "Kita harus kumpul. Tahun ini genap 70 tahun kita mulai saling kenal!"

Tujuh puluh tahun yang lalu! Bayangkan ... Saat itu saya berumur enam tahun. Kami jadi murid kelas 1 di Christelijke Lagere School (harfiah: Sekolah Rendah Kristen) Jalan Kebonjati Bandung.

Banyak hal sudah lenyap dari ingatan tentang kejadian itu. Sebaliknya, ada banyak hal yang masih segar teringat.

Jauh sebelumnya, Ayah dan Ibu sudah mempersiapkan diri saya. Mereka berkata, "Nanti di sekolah ada banyak teman. Yang mengajar adalah ibu guru yang disapa 'juffrouw'. Orangnya baik. la akan mengajar membaca. la akan mengajar menulis. Semua murid harus menurut dan mendengarkan juffrouw."

Lalu tibalah hari itu. Hari pertama ke sekolah. Saya berjalan dituntun oleh Ci De (singkatan dari Cici Gede), yakni kakak perempuan tertua. Makin dekat ke sekolah tangan saya makin dingin. Genggaman tangan Ci De hangat dan itu terasa menenteramkan. Setibanya di depan sekolah Ci De berpesan, "Pilih bangku paling depan. Jangan takut. Nanti Ci De menunggu di luar jendela." Leher, tangan, dan kaki saya terasa kaku. Sungguh menakutkan.

Di dalam kelas saya semakin takut. Keringat dingin mengucur. Sebentar-sebentar saya melirik ke jendela. Untunglah, Ci De ada di situ. la tersenyum. Saya jadi lebih tenang.

Juffrouw hanya berbicara dalam bahasa Belanda. Berdoa dalam bahasa Belanda. Bernyanyi dalam bahasa Belanda. Memarahi juga dalam bahasa Belanda. Terpaku saya di bangku dengan bingung.

Ternyata pada hari-hari berikutnya saya masih tetap takut. Bahkan lebih takut lagi sebab setiap kali juffrouw mengajar cara menulis sebuah huruf, ia berkeliling memeriksa tulisan kami. Murid yang salah langsung dimaki.

Makian kepada tiap murid berbeda-beda. Ada yang diomeli, "Garnalen kop!" (Otak udang). Ada "Stomme ezel" (Keledai goblok). Makian kepada saya adalah, "Hong An, domme koe!" (Hong An, sapi bodoh!).

Tiap hari juffrouw memberi pekerjaan rumah. Murid yang pekerjaan rumahnya belum tuntas dijajarkan di depan papan tulis dan disuruh menungging. Lalu juffrouw memukul pantat kami dengan penggaris panjang. Kami diomeli.

Tiada hari tanpa takut. Itulah ingatan saya tentang juffrouw. Tentu saja kemudian hari penilaian saya berubah total. Saya menyadari bahwa dia orang yang berjasa kepada saya (lih. "Juffrouw Thio" di Selamat Berteman). Namun, pada waktu kelas 1 juffrouw itu sangat menakutkan, lebih menakutkan daripada nenek sihir dalam dongeng.

Tidak lama kemudian teman sebangku saya tiap hari absen. Entah ke mana dia. Lalu beberapa minggu kemudian tiba-tiba ia muncul kembali. Mukanya pucat. Badannya lemas. Matanya sayu. Saat memungut buku dari lantai tangannya gemetar. Lalu apa yang saya perbuat? Tidak. Apakah Apakah saya saya merasa menolong iba? Tidak dia? Tidak. Apakah saya prihatin?

Mengapa saya tidak peduli kepada teman sebangkuitu? Oleh karena saya sedang sibuk peduli kepada diri sendiri, yaitu bagaimana supaya kesalahan saya jangan ketahuan oleh juffrouw.

Tiap murid di kelas cuma sibuk peduli kepada diri sendin. Semua sibuk can selamat sendiri alias slamet dewe, yaitu luput dan hukuman juffrouw

Apatisme dan egosentrisme itu sangat wajar pada murid kelas 1 SD. Tidak ada anak berusia enam tahun mampu bertenggang rasa dan berbela rasa. Kita tidak ikut sedih ketika ada teman dimarahi. Kita juga tidak ikut bangga ketika ada teman dipuji.

Akan tetapi, jika apatisme dan egosentrisme itu terjadi pada kita yang sudah dewasa, itu pertanda ada yang kurang beres dengan kepribadian kita kepribadian yang normal selalu mengembang. Dari waktu ke waktu kepribadian yang sehat membarui dirinya, yaitu memperbaiki dan mematangkan diri. Pada usia 6 tahun begini, tetapi pada usia 10 atau 20 tahun sudah harus berubah. Apalagi pada usia dewasa

Terkadang ada orang yang usianya dewasa, namun kepribadiannya seperti anak kecil, yaitu apatis dan egosentris, masa bodoh, tidak mau peduli, tidak mampu tenggang rasa. Apa penyebabnya? Lewis Sherrill, guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Teologi Union New York, berteori bahwa penyebabnya adalah karena tiap orang pada tiap tahap usianya mempunyai dua pilihan dalam hal kepribadian dan iman. Pilihan pertama, mengembang. Pilihan kedua adalah kebalikannya, yaitu mengerut.

Yang dimaksud dengan mengerut adalah memendekkan diri atau meringkel seperti janin dalam rahim yang menundukkan kepala ke bawah dan menekuk lutut ke atas. (Teolog/pedagogi Sherrill dijelaskan di Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek PAK II dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia oleh Robert Boehlke)

Di STT Jakarta, untuk mudahnya, setiap kali menjelaskan teori Sherrill saya menyebutnya "Teori Meringkel". Sherrill dalam buku The Struggle of the Soul menulis, "Three ways are open in periods of crisis: to go forward beyond the stages which one has already reached, or to stay where one is, or to retreat to a still earlier and lower stage Both the second and the third of these, staying or retreating, are a shrinking back."

Teori Shernil itu dibuat berdasarkan konsep upostello di Surat Ibrani. Surat ini menunjukkan bahwa hidup adalah deretan krisis dan ternyata manusia selalu gagal menghadapi krisis itu. Menurut Surat Ibrani, yang bisa membela hanyalah Kristus, sebab la bukan saja imam yang mempersembahkan kurban, melainkan la sendiri menjadi kurban

itu Lalu, Surat Ibrani menguatkan pembacanya, "Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup" (10:39).

Ayat itu mempertentangkan upostoles eis apoleian (mengerut sehingga jadi binasa) lawan pisteos eis peripoiesin psukhes (beriman sehingga memperoleh hidup). Di Alkitab kita terjemahannya, 'mengundurkan diri Alternatifnya adalah 'mengerut' atau 'meringkel' (bnd RSV, shrink back).

Jadi, dalam tiap krisis kita dihadapkan pada pilihan. Apakah kita memilih agar kepribadian dan iman kita mengembang, ataukah sebaliknya, yaitu mengerut dan meringkel.

Dulu pada saat berusia enam tahun, kepribadian kita kerdil. Cuma mikinn din sendin. Mau menang sendiri. Mau untung sendiri. Apatis terhadap teman di sekitar kita. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika sekarang pun kita masih berkepribadian seperti begitu.

Kita mengenang masa kecil. Mensyukuri apa yang telah kita raih. Dulu kita belum tahu apa-apa, belum mengerti apa-apa, belum bisa apa-apa. Padahal sekarang kita sudah "jadi orang". Itu kemajuan lahiriah. Bagaimana dengan kemajuan batiniah, yaitu kepribadian dan iman? Apa kemajuannya?

Bernostalgia tentang masa kecil memang menarik. Dulu kita belajar menulis huruf demi huruf. Salah sedikit, langsung dimarahi oleh juffrouw. Hampir tiap hari saya dimaki, "Hong An, domme koe!" Bagaimana perasaan saya dulu ketika diomeli begitu? Saya jengkel! Benci! Keki! Mangkel! Dongkol! Gondok! Sebal!

Akan tetapi, sekarang bila bernostalgia tentang masa dulu itu, saya seolah-olah merasa ingin lagi diomeli seperti itu. Maka, sekarang setiap kali saya salah tulis, salah kutip, atau salah catat, saya langsung mengomeli diri sendiri, "Hong An, domme koe!"