LUTHER YANG TERUS GELISAH

LUTHER YANG TERUS GELISAH



"Biarawan yang satu ini paling berbeda, la paling patuh dan berdisiplin. Ia juga paling giat dan cerdas." Demikian kesan para teman dan pembimbing di biara ordo Augustin tentang Martin Luther.

Memperhatikan semua potensi yang ada pada Luther, para pembimbingnya memberikan tugas tambahan padanya, yaitu menempuh studi formal ilmu biblika di perguruan tinggi, selain menjalankan kewajiban sehari-harinya di biara. Bidang studi ini kurang lazim. Biasanya para biarawan mempelajari ilmu filsafat, namun Luther ditugaskan mempelajari ilmu biblika, sebuah bidang studi yang mulai berkembang berkat timbulnya gerakan Renaissance yang mendalami secara ilmiah bahasa-bahasa Ibrani dan Yunani sebagai bahasa asli Alkitab.

Sementara itu, kemarahan ayah Luther mulai agak mereda. Ayahnya mulai mau menerima kenyataan bahwa cita-citanya untuk mempunyai putra yang menjadi ahli hukum di kalangan istana raja agaknya sudah kandas. Putranya ternyata menjadi biarawan. Lalu pada suatu hari dengan perasaan masih jengkel, namun kangen, sang ayah mengajak sanak keluarga untuk mengunjungi Luther. Yang berminat ternyata banyak. Begitulah dua puluh ekor kuda berderap ke Erfurt, bagaikan sebuah pasukan dengan sang ayah di atas kuda yang mendompak-dompak di paling depan.

 Selama beberapa tahun di biara di kota Erfurt dan Wittenberg kinerja Luther terus maju. la sangat diandalkan oleh kepala ordonya la ditugaskan mengajar filsafat di fakultas artes liberales. la ditahbiskan menjadi imam. Ia dikirim ke Roma mewakili ordonya untuk merundingkan sesuatu dengan Vatikan.

Selama di Roma Luther memanfaatkan tiap kesempatan dengan sebaik-baiknya. Tiap hari ia berkeliling mengunjungi gereja-gereja yang bersejarah. Di tiap gereja ia mengikuti upacara untuk men dapatkan pengampunan dosa. la berpuasa. la merangkak dengan lututnya menaiki puluhan anak tangga. Di tiap anak tangga ia berlutut dan mengucapkan Doa Bapa Kami. Ia sangat bersungguh-sungguh berdoa untuk membebaskan almarhum kakeknya dari api penyucian. Akan tetapi, pada malam harinya ia gelisah mempertanyakan apa dasar di balik upaya-upaya seperti itu. Apakah penyesalan dosa kita diukur oleh Allah berdasarkan banyaknya anak tangga yang kita naiki, banyaknya doa yang kita ucapkan, dan banyaknya jam puasa kita? Apakah Kristus menyuruh kita menyiksa diri?

Semua teman dan pembimbingnya di biara melihat Luther sebagai pribadi yang mantap. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Luther selalu gelisah. Yang meresahkan Luther adalah isu pengampunan dosa.

Sejak kecil Luther sudah diajarkan bahwa untuk menerima pengampunan dosa kita harus hidup saleh dan berbuat baik. Semua hal itu sudah ia lakukan, apalagi dalam biara. Ia menyiksa diri. Ia melakukan doa puasa bahkan pernah sampai pingsan. Dari subuh hingga larut malam ia mengucapkan puluhan doa. Seluruh hidupnya adalah ibadah. Namun, semakin giat ia melakukannya, semakin ia gelisah.

Untunglah bahwa para pembimbing ordonya terbuka untuk menampung kegelisahan Luther. Luther sangat kagum pada sifat bijak kepala ordonya, yaitu Johan von Staupitz yang ia anggap sebagai bapa rohani. Akan tetapi, para pembimbing itu pun tidak bisa menjawab kegelisahan Luther

Untuk meredakan kegelisahannya, Luther juga membaca buku-buku renungan karangan Bernard Clairvaux dari Ordo Cisterciens di Prancis yang dibaca oleh kalangan luas mulai dari petani sampai Sri Paus (lih. "Kepala Yang Berdarah" di Selamat Bercinta). Akan tetapi, kegelisahan Luther tidak teratasi.

 Luther terus bekerja keras menjalankan tugas dari ordonya, la menjadi kepala atas sebelas biara Augustin di negara bagian itu dan menjadi penulis buku-buku tafsir Alkitab.

 Justru setelah Luther lulus sebagai doktor dalam ilmu Alkitab, ia semakin gelisah, "Sebagai Hakim yang memegang kebenaran, tentu Allah adil. Orang berdosa dihukum ke neraka, orang benar masuk surga. Supaya menjadi orang benar kita banyak beribadah dan ber amal. Akan tetapi, betulkah bahwa Allah bisa dipengaruhi dengan banyaknya ibadah serta amal kita?"

Lalu, pada suatu hari ketika mempelajari Kitab Roma, batin Luther seakan-akan tercelik. Di situ tertulis, "... Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya... Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman..." (Rm. 1:16,17, TB2).

Mula-mula Luther merasa ada kejanggalan dalam ayat itu sebab selama ini ia belajar bahwa kebenaran berarti keadilan. Hakim yang adil membenarkan orang bersih dan menghukum orang bersalah. Jika seandainya kebenaran Allah diartikan seperti itu, maka tidak ada orang bisa selamat.

Akan tetapi, ayat itu menunjukkan bahwa kebenaran Allah bukan membenarkan orang bersih, melainkan justru membenarkan orang berdosa. Artinya, kita semua dianggap benar atau dinyatakan benar oleh Allah. Itu terjadi dalam Injil (bukan dalam arti kitab, melainkan dalam arti perbuatan Kristus di salib). Itu adalah rahmat Allah. Kebenaran Allah berarti rahmat Allah. Itulah kekuatan Allah. Jadi, kita memperoleh pengampunan bukan karena perbuatan ibadah dan amal kita, melainkan karena rahmat Allah yang diberikan kepada kita Rahmat atau anugerah adalah pemberian yang tidak berhak kita terima, namun diberikan kepada kita.

Mendengar pergumulan dan penelitian Luther itu, para biarawan termenung-menung, "Sola Gratia!" artinya hanya karena rahmat', "hanya oleh rahmat', 'hanya dari rahmat'.

Pada tahun itu juga, yaitu tahun 1514 atau 1515, hasil penelitian. Luther tersebar melalui buku Tafsiran Surat Roma. Di banyak biara buku Luther itu dipelajari secara cermat. Para biarawan mulai membuka dan membarui pikiran mereka. Mereka mulai mereformasi pola pikir mereka. Proses reformasi gereja pun mulai menggelinding.

Belasan tahun setelah penelitian Surat Roma itu, Luther menulis, "Saat itu aku merasa seolah-olah lahir kembali dan memasuki Firdaus melalui gerbang yang lebar. Alkitab menjadi berbeda sekali. Dulu aku begitu membenci istilah 'Kebenaran Allah', namun setelah itu aku justru sangat menghargainya ...Aku terbebas dari rasa takut yang menggelisahkan batinku sejak masa mudaku."