KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

 


Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi hingga sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Temannya menegur, "Hai, tidak pernah aku melihat kau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak menajamkan kapakmu itu?" Tukang kayu itu berhenti sebentar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Karena aku terlalu sibuk." Lalu ia mengayunkan lagi kapaknya dan mengayunkan lagi dan mengayunkan lagi.

Makin tajam sebuah kapak, makin ampuh faedahnya dan makin ringan serta cepat kerja tukang kayu. Sebab itu, tiap penebang kayu dari waktu ke waktu mengasah kapaknya. Sungguh bodoh tukang kayu yang begitu sibuk mengapak sehingga ia merasa tidak punya waktu untuk mengasah kapaknya. Bodoh? Mungkin kita juga bodoh, sebab tiap hari kita juga bersibuk diri sehingga tidak punya waktu untuk menajamkan diri. Apa itu menajamkan diri? Tiap hari kita sibuk berpraktik: sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, karyawan, manajer atau lainnya sehingga kita tidak punya waktu untuk berteori dan berpraksis. Apa itu berteori dan berpraksis?

Kata praksis sering kali digunakan secara keliru. Ada yang berkata, "Dalam praksisnya...." padahal yang dimaksud adalah "Dalam praktik. nya". Praksis bukan berarti praktik. Praksis dalam bahasa Yunani berarti 'sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan'. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis terpadulah teori dan praktik. Kata Yunani theoria mula-mula berarti 'menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Kita berteori ketika kita mengambil jarak dari pe kerjaan lalu menyusun ulang sistematika pekerjaan kita.

Jadi, praksis adalah pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku The Pedagogy of the Oppressed. Namun, sebenarnya pengertian itu telah ada dari zaman Romawi. Filsuf pendidikan Aristoteles (384-322 SM) menulis dalam The Nicomachean Ethics tentang tiga gaya hidup: hidup kontemplatif (merenung), hidup praksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan) dan hidup produktif (mewujudkan buah itu dalam karya nyata).

Dalam hidup praksis, kita bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah, demikian pula bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak. Manusia yang utuh adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, yang merenungkan pekerjaannya dan menger jakan renungannya.

Itu sebabnya di tengah kesibukan perjalanan mengajar di pelbagai kota, Tuhan Yesus menyediakan waktu untuk menyendiri dan berdoa baik pagi, siang maupun malam. Di dalam Markus 1:35 tertulis, "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, la bangun dan pergi ke luar. la pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Di Markus 6:46 tertulis bahwa setelah Yesus memberi makan lima ribu orang, "la berpisah dari mereka, la pergi ke bukit untuk berdoa." Di Lukas 6:12 tertulis, "Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman la berdoa kepada Allah.

Tuhan Yesus yang kapak-Nya sudah tajam, ternyata masih menyediakan waktu untuk mengasah kapak-Nya. Ia merenung. la berefleksi. la berkontemplasi. la bermeditasi. Hati-Nya dipasang untuk menerima bisikan pengertian. Seperti kata pemazmur, "Yang direnungkan hatiku ialah pengertian" (Mzm. 49:3 RSV, "the meditation of my heart shall be understanding"). Itulah praksis, kesibukan dan keheningan saling menjalin.

Gaya hidup praksis ini terasa di desa Taize, pegunungan Burgundy, Prancis. Para bruder Komunitas Taize sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Mereka hidup dari pekerjaan tangan sendiri karena mereka tidak mau menerima pemberian, bahkan warisan orangtua pun tidak. Namun, kesibukan para bruder Taize itu terjalin dengan keheningan seperti sebuah ritme. Sebelum bekerja tiap pagi mereka bertelut dengan teduh. Tidak terdengar suara apa pun. Sekali-kali ada ayat Alkitab dibacakan dengan sayup-sayup. Pekerjaan sudah menunggu mereka di ladang, di klinik, di bengkel, di studio musik, di percetakan, di kantor, di dapur dan lainnya. Lalu dengan teduh para bruder itu meninggalkan ruang ibadah sambil bernyanyi:

Wait for the Lord, Whose day is near. Wait for the Lord, Keep watch, take heart.

Siang hari para bruder berkumpul lagi dan bertelut lagi. Lalu malam harinya setelah bekerja sepanjang hari mereka bersaat teduh lagi. Mereka bersenandung: In God alone my soul can find rest and peace, In God my peace and joy. Only in God my soul can find its rest, find its rest and peace. Di Taize bekerja menyatu dengan ibadah. Ribuan pemuda dari seluruh dunia yang ikut retret di situ merasakan kekuatan yang timbul dari keheningan. Di Taize orang bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah. Sebaliknya, mereka juga bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak.

Kita adalah orang sibuk. Begitu sibuk sehingga tidak sempat memikirkan apa sebabnya kita begitu sibuk. Apa sebenarnya tujuan kita dengan kesibukan ini? Dari mana dan mau ke mana perjalanan hidup ini? Mengapa kita sibuk? Untuk siapa sebetulnya kita sibuk? Betulkah kita perlu sesibuk ini? Apa yang mau kita raih? Masih adakah kekuatan kita? Apa sumber kekuatan kita? Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita sangat bagus. Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak ia perlu diasah. Mana ada kapak yang tidak perlu diasah.

Kita sibuk. Kita terus mengayunkan kapak. Namun, sesibuk sibuknya mengapak, masakan kita tidak punya waktu untuk mengasah kapak itu? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Mungkin sudah lama tumpul.

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

 


Sebuah kursi tidak semahal meja, lemari atau ranjang. Di mana-mana ada kursi. Di ruang tunggu dokter pasti ada kursi. Di apotek ada kursi. Di stasiun bis juga ada kursi. Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan. Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi. Sebuah bangsa pecah dan ribuan orang saling bunuh hanya karena ada dua orang yang memperebutkan sebuah kursi. Kursi ternyata bukan cuma tempat duduk, melainkan juga kedudukan. Rebutan kursi terjadi di mana-mana: di partai, di organisasi, di perusahaan, bahkan juga di gereja. Mengapa bisa terjadi rebutan kursi? Tentu ada pelbagai macam penyebabnya.

Mungkin karena ada dorongan dari kelompok. Sebuah kelompok boleh jadi merasa muak dengan pemimpin yang ada. Mungkin pemimpin itu sudah terlalu lama masa jabatannya. Mungkin dalam organisasi itu tidak ada mekanisme suksesi. Lalu mereka menjagokan seseorang untuk merebut kursi kepemimpinan. Mereka menganggap tokoh ini simbol dari aspirasi mereka. Boleh jadi tokoh ini didorong untuk merebut kursi guna melawan kemapanan dan membuat perubahan.

Faktor lain adalah watak. Ada orang yang memang mempunyai kebutuhan untuk menguasai orang lain. la merasa dari kecil selalu diatur orang lain, sebab itu ia suka mengatur orang lain. la cenderung memaksakan kemauannya pada orang lain. Ia mendapat kepuasan kalau ia mengendalikan orang lain. Orang yang berwatak begini biasanya berambisi menduduki kursi pemimpin.

Namun, penyebab utama yang mendorong orang untuk begitu gigih mendapat dan kemudian mempertahankan kursi pemimpin biasanya adalah faktor imbalan-imbalan yang ada di balik kursi itu. Kita ambil kasus jabatan ketua sinode. Ada gereja yang tidak mengenal jabatan ketua sinode penuh waktu. Ketua sinodenya adalah pendeta gereja setempat. Ia tidak diberi honorarium apa pun untuk tugasnya sebagai ketua sinode. Di sinode itu tidak pernah ada kericuhan tentang kursi ketua sinode. Pemilihan ketua sinode berlangsung tenang-tenang saja. Jarang tampak suasana ambisi. Bahkan sidang sering kali sulit mendapat calon. Soalnya jarang ada orang yang bersedia dicalonkan menjadi ketua sinode. Jarang pula ada ketua sinode yang melebihi satu masa jabatan.

Namun, keadaan menjadi lain ketika gereja itu mengubah jabatan ketua sinode menjadi penuh waktu. Gereja itu menetapkan beberapa ketentuan yang berlaku bagi ketua sinode: tempat tinggalnya di kota lokasi kantor sinode (itu berarti di kota besar, padahal pendeta-pendeta lain tinggal di desa), kendaraannya mobil bagus (padahal pendeta lain cuma naik sepeda motor), ada pula tunjangan jabatan, dan sebagainya. Selanjutnya, ketua sinode juga diberi wewenang untuk mengatur penempatan dan mutasi pendeta.

Setelah jabatan ketua sinode diubah seperti itu, mulailah timbul pergesekan kekuasaan. Ada orang-orang yang berambisi menjadi ketua sinode. pemilihan ketua sinode terjadi kasak-kusuk mencari dukungan. Setelah terpilih ketua sinode itu bersikap pamer kekuasaan. Ia ingin dipilih lagi untuk masa jabatan yang berikutnya (walaupun ia sering berucap, "Saya tidak mempunyai ambisi untuk jabatan ini"). Ketika kemudian ada orang lain yang juga ingin menduduki kursi ketua sinode, terjadilah pertikaian. Kedua orang itu masing-masing mencari pengikut. Lalu, kedua kelompok pengikut itu mulai bertengkar. Pekerjaan gereja, seperti pekabaran Injil, penggembalaan, pendidikan, menjadi terlantar karena para pendeta sibuk dengan urusan sebuah kursi.


Orang ingin kursi. Kalau sudah diperolehnya ia berusaha menduduki kursi itu selama mungkin. Semua ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa kursi itu memberikan sejumlah keuntungan kepadanya. Inilah akar segala keributan di sekitar kursi. Kedudukan dan kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri: uang, fasilitas, wewenang, pengaruh, koneksi, dan sebagainya. Kedudukan dipakai untuk menguntungkan diri sendiri. Kedudukan dipakai untuk melayani kepentingannya sendiri (walaupun ia sering berteriak dengan nyaring bahwa ia melayani Tuhan dan ke pentingan umum).

Sungguh berbeda dengan apa yang diperbuat oleh Yesus. Selama tiga tahun Yesus mempunyai kedudukan. Kedudukan itu bukan dipakai oleh Yesus untuk menguntungkan diri-Nya sendiri. Kedudukan itu tidak dipakai sebagai kesempatan untuk mencari uang, fasilitas, wewenang, atau koneksi apa pun, tetapi "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Sebab itu, tidaklah menjadi soal apa kedudukan kita tinggi atau rendah yang soal adalah bagaimana dan untuk apa kita menggunakan kedudukan itu. Yesus telah memberi teladan. Kedudukan-Nya dipakai untuk membela kepentingan orang lain.

Ketika kemudian hari Rasul Paulus merenungkan kembali "masa jabatan" Yesus tersebut, ia mengomentari Yesus dengan kata-kata, "Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya ..." (Flp. 2:6-7). Perhatikan dua kata yang bertolak belakang: "mempertahankan" dan "mengosongkan". Orang lain mempertahankan diri, padahal Yesus mengosongkan diri. Kata "mengosongkan diri" itu diuraikan oleh Paulus dengan "mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diri-Nya dan taat" (ay. 7 dan 8).

Agaknya, itu yang sulit kita pelajari dari Yesus. Sebab apa yang kita perbuat sungguh bertolak belakang dengan Yesus. Kalau kita sudah duduk di kursi kita bukan mengambil rupa seorang hamba, melainkan mengambil rupa seorang baginda. Kita bukan merendahkan diri, melainkan kita merendahkan dan menekan orang lain. Kita bukan taat, kita malah membentak supaya orang lain taat pada kita. Itulah yang terjadi kalau kita sudah dapat kursi. Kita jadi mabuk kursi. Kursi itu terasa begitu enak diduduki. Oh, empuk sekali. Begitu empuk sehingga sekali kita duduk, kita lupa berdiri.

MEREKNYA BAGUS

MEREKNYA BAGUS

 


Memang, semua merek bagus. Lihat saja merek produk atau nama perusahaan dan badan apa pun. Ada Hotel Nirwana, tetapi tidak ada Hotel Neraka. Toko lampu bernama Terang Benderang, bukan Gelap-gulita. Koran bernama Sinar Harapan, bukan Putus Harapan. Kita makan di restoran Sudi Mampir, bukan Enyah Bedebah. Di gereja ada paduan suara Nafiri Malaikat, bukan Nafiri Iblis. Ada Taman Kanak-kanak Si Mungil, mana ada Si Jahil. Banyak nama perumahan membubuhkan kata Elok, Indah, Permai, bukan Jelek, Banjir, Kotor. Merek berfungsi untuk meyakinkan konsumen. Untuk merek mobil dipilih nama binatang yang kuat dan berlari cepat seperti Kijang atau Panther, bukan Bekicot atau Penyu. Kapal terbang memakai nama burung yang anggun seperti Garuda atau Merpati, bukan Kalong atau Kampret yang terbangnya cuma berputar-putar dekat pohon jambu. Pokoknya semua merek barang bagus. Buku yang sedang Anda baca adalah Seri Selamat terbitan BPK Gunung Mulia, bukan Seri Celaka terbitan BPK Gunung Nista.

Merek atau nama yang bagus sama sekali tidak salah. Silakan pikir dan ciptakan merek yang bagus. Bukankah konsumen menyukai merek yang bagus? Mana ada ibu-ibu yang sengaja mencari bedak Cap Kulit Badak atau shampo Cap Kutu Busuk? Merek bagus bukan soal. Yang menjadi soal adalah kalau dari luar bungkus dan mereknya bagus, tetapi apa yang ada di dalamnya jelek. Pemangkas rambut itu bermerek Pangkas Rapih, tetapi pangkasannya sembrono. Penjahit itu bermerek Halus, tetapi jahitannya kasar. Maskapai penerbangan itu bermoto nyaman dan aman, tetapi ternyata keberangkatannya selalu tertunda dan bagasinya sering hilang. Bis itu bermerek Suka Maju, tetapi selalu mogok atau mandeg, Botol saus tomat itu bergambar tomat, padahal bahannya bukan tomat, melainkan ubi dan labu yang diberi zat pewarna dan zat rasa. Itu bohong. Yang lebih bohong adalah iklan yang mengatakan bahwa es krim bisa mencerdaskan otak. Atau bahwa obat kebugaran bisa membuat nyonya tampak dua puluh tahun lebih muda. Ah, yang bener aja.

Akan tetapi, yang lebih jadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merek yang kita pasang. Kita memasang sebutan hamba Tuhan, tetapi dalam praktiknya kita hamba uang sebab yang kita utamakan adalah rezeki, berkat, sukses, persembahan dan perpuluhan. Kita pasang merek pelayan gereja, tetapi kita bersikap sebagai tuan besar. Kita disebut gembala sidang, tetapi jarang menggembalakan domba-domba kita yang jompo dan jelata sebab kita sibuk tampil di kebangunan rohani di hotel-hotel berbintang atau seminar di luar negri. Kita disebut pengusaha yang berjiwa sosial, tetapi sebetulnya kekayaan kita itu diperoleh secara tidak jujur. Kita bermerek pemimpin yang arif dan bijaksana, tetapi di belakang layar kita menyalahgunakan kekuasaan kita. Kita menyebut diri Kristen, tetapi gaya hidup kita jauh berbeda dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai, dan mau berkorban.


Mereknya bagus, tetapi isinya buruk. Itulah kecaman Tuhan Yesus terhadap para pemimpin agama di dalam Matius 23. Yesus mengecam, "... kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ay. 27, 28).

Jangan salah paham. Yesus tidak menentang ajaran para pemimpin agama. Yesus malah menganjurkan umat untuk menaati ajaran para pemimpin itu. Namun, Yesus menyuruh umat untuk tidak meniru perbuatan para pemimpin itu. Kepada umat Yesus menegaskan, "... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada mu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3).

Merek para pemimpin agama itu bagus, tetapi isinya berbeda. Perhatikan kecaman Yesus, "... persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan..." (ay. 23). "... cawan dan pinggang kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan... bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih" (ay. 25, 26).

Luarnya bersih, dalamnya kotor. Luarnya bagus, dalamnya jelek. Barangkali begitu juga hidup kita. Atau pekerjaan kita. Barangkali begitu juga rumah kita. Atau perusahaan, yayasan dan lembaga kita. Barangkali begitu juga gereja kita. Dari luar berkilau-kilau, dalamnya kacau-balau. Dari luar tampak berkembang, dalamnya banyak yang curang. Mereknya bagus. Memang semua merek juga bagus.

 

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

 


Orang itu mencangkul. Sebutir biji jagung dimasukkannya ke dalam tanah. Apa yang sedang diperbuatnya? la sedang menanam "sebutir pengharapan". Dalam benaknya ada pengharapan bahwa biji itu kelak bertumbuh dan menghasilkan jagung. la mencangkul dengan suatu motivasi besar: pengharapan. Akan tetapi, pengharapan bukan perkara sembarangan. Pertama, pengharapan harus mempunyai dasar. Dan sebuah dasar selalu berasal dari masa lampau: biji semacam itu ternyata bisa tumbuh dan menghasilkan jagung. Tanpa suatu dasar, pengharapan mudah berubah menjadi untung-untungan. Kedua, pengharapan harus disertai usaha nyata. Tanahnya digemburkan. Dipupuki. Diamankan dari gangguan binatang. Disiram. Dipelihara. Ketekunan. Kerja keras. Tanpa usaha nyata, pengharapan merosot menjadi lamunan.

Ketiga, pengharapan harus berpijak atas kewajaran. Kewajaran waktu: tak mungkin jagung itu sudah panen dalam satu bulan. Kewajaran hasil: tak mungkin satu tanaman jagung bisa memberi hasil sebanyak satu gerobak. Tanpa kewajaran, pengharapan cuma melahirkan kekecewaan. Kalau itu yang dituntut dari pengharapan akan sebutir jagung, apalagi pengharapan tentang manusia dan masa depan. Apakah pengharapan Kristen tentang manusia dan masa depan? Apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah datangnya Kerajaan Allah ke bumi ini. Apa yang dimaksud? Kerajaan Allah adalah keadaan di mana kedaulatan dan pemerintahan Allah ditaati oleh manusia. Jadi, yang kita harapkan adalah suatu keadaan baru di bumi di mana hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya menjadi hubungan damai yang sempurna (lih. Why. 21:1-4).

Apa yang menjadi dasar dari pengharapan itu? Dasarnya adalah kenyataan bahwa Kerajaan Allah sudah dimulai di dalam pekerjaan Yesus. la berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat. 12:28). Selama tiga tahun Yesus "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan datangnya tahun rahmat Allah" (Luk. 4:16-22).

Dengan pekerjaan Yesus itu, dimulailah suatu zaman baru di mana manusia melihat kehadiran Allah sebagai raja. Jadi pengharapan kita tentang Kerajaan Allah bukan timbul karena kita mencita-citakan sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, pengharapan kita berdasarkan apa yang sudah ada, yakni zaman baru hasil pekerjaan Yesus. Pengharapan Kristen adalah merindukan perwujudan dari zaman baru yang telah dimulai oleh Yesus. Zaman itu berlangsung hingga ke masa kini dan akan berlangsung ke masa depan, di mana pengharapan itu akan menjadi kenyataan yang sempurna.

Akan tetapi, adakah dasar bagi kita untuk mengharapkan bahwa di masa depan Kerajaan Allah akan diwujudkan secara sempurna? Ya, karena di masa lampau sudah diperlihatkan bahwa Allah memimpin sejarah seperti menarik suatu garis ke depan. Hal itu disaksikan dalam Kisah Keluaran Umat Israel. Di situ Allah bukan digambarkan sebagai Allah yang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, melainkan sebagai Allah yang berjalan bersama-sama dengan umat itu. Ia menuntun perjalanan umat itu dengan sebuah tiang awan. Bahkan la hadir dalam bentuk tiang awan (lihat Kel. 13:21-22).

Dengan begitu, la menjadi Allah yang berada di depan manusia la menjadi Allah yang menarik manusia untuk berjalan terus ke masa depan. la menjadi Allah yang turun tangan dalam urusan-urusan persediaan pangan (urusan ekonomi), perundangan-undangan dan perbudakan (urusan sosial), kebaktian dan hari-hari raya (urusan agama), perang dan pengangkatan pemimpin (urusan politik). Dengan turun tangannya Allah dalam urusan-urusan itu, la menunjukkan diri-Nya sebagai Allah atas segala bidang hidup manusia pada masa itu dan sebagai Allah yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi masa depan. Dalam Kisah Keluaran itu, Allah mengajar umat-Nya untuk mempunyai pengharapan atas masa depan. Akan tetapi, pengharapan harus disertai usaha. Dalam kisah Keluaran hal itu pun tampak jelas. Umat itu harus berjalan melintasi gurun selama empat puluh tahun dengan bersusah payah.

Tiap pengharapan menuntut usaha. Demikian pula pengharapan kita akan datangnya Kerajaan Allah. Akan tetapi, justru itulah yang tidak mudah. Setiap hari Minggu kita berseru, "Datanglah Kerajaan-Mu." Namun, apakah usaha kita untuk menampakkan tanda-tanda situasi Kerajaan Allah di pelbagai bidang hidup sehari-hari? Atau tidak usah jauh-jauh, adakah di dalam gereja sendiri tampak tanda-tanda dan keadaan Kerajaan Allah? Jika kita mengharapkan datangnya keadaan Kerajaan Allah, itu berarti kita harus resah terhadap keadaan di mana terdapat praktik praktik yang adalah kebalikan dari keadaan Kerajaan Allah tersebut. Perasaan resah itu harus mendorong kita untuk lebih banyak berusaha.

Pengharapan harus berpijak atas kewajaran, baik kewajaran dalam hal waktu maupun hasil. Dalam pengharapan kita akan Kerajaan Allah, ukuran kewajaran itu bukan terletak di tangan kita, melainkan tergantung dari "kerelaan kehendak" Allah sendiri (Ef. 1:5). Sebab, bukankah Allah sendiri yang akan menyempurnakan perwujudan Kerajaan-Nya (lih. Why. 21). Kita disuruh oleh Yesus untuk meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh-Nya sambil berpengharapan bahwa la akan menggenapkan pekerjaan-Nya itu secara sempurna.

Antara angan-angan dan pengharapan memang bisa terjadi kekaburan. Akan tetapi adanya dasar, usaha dan kewajaran, menjadikan pengharapan kita akan Kerajaan Allah bukan angan-angan, melainkan pengharapan. Berbahagialah orang yang mempunyai pengharapan dan yang bersedia membayar harga untuk membuat pengharapannya menjadi kenyataan
MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

 

Pesawat terbang jatuh, semua penumpangnya diduga tewas. Lima orang buruh pertambangan terperangkap dalam tambang. Truk masuk sungai. Tabrakan beruntun di jalan tol, dua orang tewas, lima luka berat. Dua orang buruh bangunan terjepit tiang beton. Gerbong kereta api tergelincir keluar rel. Kapal motor dengan sepuluh nelayan hilang di samudra. Bis terguling, tujuh orang tewas, dua puluh cedera. Panen dirusak hama. Kebakaran hutan. Asap melanda. Bencana kekeringan. Tanah longsor. Kelaparan. Banjir. Mendengar segala musibah itu, kita menundukkan kepala. Mengapa bencana itu terjadi? Apa arti semua musibah ini? Sambil menarik napas panjang-panjang biasanya orang berkata, "Yah, dasar sudah takdir Allah. Kita cuma bisa berserah."

Apa yang sebenarnya dimaksudkan orang dengan ucapan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, takdir berarti 'ketetapan Tuhan, dan menakdirkan berarti Tuhan menentukan lebih dahulu'. Jadi, dengan ungkapan "takdir Allah" itu orang menganggap bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup ini sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah. Akan tetapi, apakah Alkitab berkata demikian? Benarkah bahwa celaka atau selamat, rezeki atau rugi, perang atau damai, miskin atau makmur, semua itu sudah lebih dulu ditetapkan oleh Allah? Benarkah bahwa Allah menyetel hidup manusia dengan cara demikian?

Kalau memang celaka atau selamat sudah ditetapkan lebih dulu, untuk apa kita berhati-hati ketika mengemudi mobil. Kalau memang ditakdirkan celaka, biarpun kita hati-hati, kita toh akan celaka. Sebaliknya, biarpun kita menyetir gila-gilaan, tetapi kalau ditakdirkan selamat, kita pasti akan selamat. Sebab itu, kita berserah saja kepada takdir Allah. Benarkah jalan pikiran seperti itu? Jika demikian halnya, maka manusia cuma ibarat wayang saja yang segala geraknya tergantung sang dalang. Bagaimanakah maksud Allah dengan manusia? Apakah supaya manusia pasrah dan pasif saja, menunggu dan menerima apa yang ditakdirkan Allah?

Bukan itu gambaran Alkitab tentang manusia. Di dalam cerita penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-3 diperlihatkan bahwa Allah memberi kepada manusia kemungkinan untuk menentukan arah hidupnya. Allah menempatkan pohon-pohon yang boleh dimanfaatkan. Namun, la pun membuat batasan: ada pohon tertentu yang tidak boleh diganggu. Lalu Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk membuat pilihan: menghargai batasan itu atau melanggarnya. Yang penting adalah isi pilihan itu. Sebab, nilai manusia bukan terletak sekadar pada kebebasan dan kemampuan membuat keputusan, melainkan pada bagaimana ia membuat keputusan itu dan apa isi keputusannya.

Yang dijadikan tolok ukur isi keputusannya adalah apakah isi keputusannya itu mengungkapkan hormat dan ketaatan kepada Allah? Apakah isi keputusannya itu selaras dengan tugasnya untuk memelihara  kelangsungan hidup manusia dan menjunjung harkat martabatnya? Apakah isi keputusannya itu sejalan dengan tugasnya untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan segala bentuk kehidupan di bumi ini? Isi keputusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Adam tidak bisa berkata, "Dasar sudah takdir Allah bahwa saya makan buah terlarang itu." la memakan buah itu bukan karena keputusan Allah melainkan karena keputusannya sendiri.

Jadi, manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Untung atau malang, selamat atau celaka, langkah kaki manusia jugalah yang menentukan. Itu bukan berarti bahwa Allah lepas tangan. Jelas bahwa Allah memerintah dan memimpin sejarah. Dengan kiasan, Tuhan Yesus berkata bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang jatuh di luar kehendak Allah dan bahwa tiap helai rambut manusia terhitung semuanya oleh Allah (lih. Mat. 5 dan 6). Akan tetapi, cara Allah memimpin sejarah bukanlah dengan menetapkan segala sesuatu terlebih dulu secara mutlak sehingga manusia tinggal terima jadi saja. Dalam cerita Sodom dan Gomora Allah membolehkan Abraham untuk turut menentukan nasib kedua kota itu. Dalam cerita itu diperlihatkan bahwa Allah sudah mengambil keputusan, tetapi Allah bersedia ditawar oleh Abraham. Allah mengajak manusia untuk turut serta menentukan arah sejarah. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk turut menentukan nasibnya sendiri.

Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusuia memungkinkan manusia berpartisipasi dalam mengarahkan sejarah. Manusia mendapat kesempatan untuk menjadi kodeterminator nasib dan sejarahnya sendiri. Penentuan nasib dan sejarah manusia adalah ibarat lalu lintas dua arah. Di satu pihak Allah memelihara dan menuntun, namun di lain pihak manusia itu sendiri yang membuat langkah-langkah dalam perjalanan itu. Bagaimana halnya dengan musibah? Langkah manusiakah yang menentukan dan menyebabkannya? Memang ada musibah yang berada di luar kuasa manusia. Misalnya, gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Namun, ada juga musibah yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Tanah longsor dan banjir sering kali disebabkan karena manusia menggunduli hutan dan lereng gunung atau di hulu sungai. Musibah kecelakaan perjalanan pun banyak disebabkan karena kesalahan sikap dan perbuatan manusia.

Lalai, ceroboh, teledor, alpa, semau gue, masa bodoh, kurang hati-hati, cari gampangnya, semua itu adalah sikap yang menjadi akar dari rupa-rupa kecelakaan. Kalau sebuah bus masuk jurang, sebabnya bukanlah karena takdir Allah, melainkan karena kepala bengkel perusahaan bus itu kerjanya kurang beres sehingga rem bis blong. Kalau tukang las menjadi buta karena percikan bunga api, sebabnya bukanlah karena suratan takdir, melainkan karena ia lalai memakai kaca pelindung mata.

Sebab itu, ucapan, "Yah dasar takdir Allah" yang kita ucapkan sesudah suatu musibah tidak banyak membawa faedah. Ucapan itu terdengarnya sebagai suatu tanda beriman dan berserah. Tetapi sebenarnya ucapan itu cuma membiusi diri. Ucapan itu menyebabkan kita bukan berserah, melainkan menyerah. Kita menjadi pasif dan bertopang dagu sambil mengeluh "apa boleh buat". Dalam praktiknya, ucapan "dasar sudah takdir Allah" disalahgunakan untuk menutupi kemalasan manusia sendiri atau sebagai alasan untuk mengelak tanggung jawab.

Apa yang bisa kita tarik sebagai suatu refleksi teologis tentang manusia dari musibah ini? Refleksi yang dapat kita tarik bukanlah (sekali lagi: bukan) bahwa manusia lemah dan mudah ditelan musibah. Refleksi semacam itu tidak memberi sumbangsih apa-apa kepada masyarakat kecuali menjadikan orang berpikir sentimentil serta kerdil dan tetap berputar-putar di situ-situ juga. Sebaliknya, refleksi yang dapat kita tarik adalah bahwa manusia sebenarnya diberi kemampuan dan tanggung jawab untuk mengamankan kehidupan. Ke dalam tangan manusia, Allah telah memercayakan tugas mengelola kehidupan di bumi ini.

Selamat tidaknya suatu perjalanan ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Tangan itu bisa jadi adalah tangan sopir atau tangan montir di bengkel, tangan pengatur sinyal atau tangan penjaga pintu kereta, tangan pilot atau tangan pemeriksa barang bawaan, tangan syah bandar yang mengeluarkan izin kapal itu berlayar atau tangan seorang penumpang dek yang memegang rokok sebab bukankah sebatang puntung rokok bisa membakar habis sebuah kapal?

Tangan manusia jugalah yang bisa menjadi penyebab rupa-rupa bencana banjir dan longsor. Entah itu tangan peladang yang mengambil kayu bakar atau tangan seorang menteri yang menandatangani kontrak hak pengusahaan hutan. Manusia diberi otak dan tangan untuk menentukan hidupnya Kita diberi kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan hidup manusia. Kemampuan itu bisa kita gunakan, tetapi bisa juga terjadi bahwa kemampuan itu tidak kita gunakan atau kita salah gunakan. Oleh karena itu, kalau terjadi musibah, jangan cepat-cepat berkata bahwa itu takdir Allah sebab bisa jadi sebetulnya kita jugalah yang bikin ulah.

 

MANAJEMEN YESUS

MANAJEMEN YESUS

Kalau manajemen kita pahami sebagai proses mengupayakan agar tugas-tugas terlaksana secara baik dengan mendayagunakan sumber daya manusia untuk berperan secara efektif, maka Yesus bisa disebut manajer yang ulung. Hampir semua prinsip manajemen personalia yang sekarang dipelajari para manajer modern sudah diterapkan oleh Tuhan Yesus.

Pertama, prinsip seleksi. Memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat merupakan langkah pertama. Untuk itu dibutuhkan persiapan. Itu sebabnya sebelum mengawali pekerjaan-Nya, Yesus menyepi terlebih dahulu (lih. Mrk. 1:12-13). Yesus seakan-akan merumuskan visi apa yang mau dicapai, bagaimana melaksanakannya, di mana dan kapan, siapa orang-orang yang akan turut melakukannya, apa kualifikasi mereka, apa rincian tugas mereka, apa yang perlu mereka pelajari, bagaimana menyiapkan mereka menjadi penerus pekerjaan Yesus. Untuk merenungkan semua itu, Yesus sampai menyediakan waktu empat puluh hari.

Seusai hari-hari menyepi itu, Yesus pun mulai memilih orang-orang yang diperlukan-Nya. Seleksi ini bukan berlangsung sekaligus. Agaknya jumlah dua belas orang yang dipilih baru rampung seluruhnya setelah beberapa minggu, yaitu setelah kejadian-kejadian seperti pesta pernikahan di Kana, penyucian Bait Allah, dan penolakan di Nazaret. Itu berarti bahwa Yesus melakukan seleksi secara bertahap sambil memulai pekerjaan-Nya.

Kedua, prinsip asosiasi. Yesus mengajak kedua belas orang itu untuk tinggal, makan, beribadah, dan bekerja bersama-sama dengan Dia. Ke mana-mana la pergi bersama mereka. Apa yang dimakan para murid, itulah juga yang dimakan oleh Yesus. la tidak membuat tangga seperti atasan dan bawahan. Ia mengasosiasikan diri dengan mereka.

Ketiga, prinsip edukasi. Setiap kegiatan, seperti kunjungan, khotbah, penyembuhan, pengusiran setan, debat dengan para ahli Taurat dan Farisi dimanfaatkan Yesus sebagai teachable moments atau kesempatan untuk mendidik dan mengajar kedua belas orang itu. Seluruh masa kerja Tuhan Yesus yang sekitar tiga tahun itu dijadikan waktu untuk membina, melatih, dan membekali dua belas orang itu.

Keempat, prinsip delegasi. Yesus tidak memegang wewenang seorang diri. Ia memberi kesempatan kepada kedua belas orang itu untuk ambil bagian. Ia mengutus mereka untuk pergi dalam tim kecil yang terdiri atas dua orang. Perhatikan bahwa la mendelegasikan wewenang, "la memberi mereka kuasa ..." (Mrk. 6:6b). Sebelum itu, Yesus mempersiapkan mereka untuk mengantisipasi kesulitan dan hambatan (lih. Mrk. 6:6b-13). Agaknya, para murid itu berpencar selama beberapa minggu.

Mendelegasikan tugas dan wewenang bukan berarti berpangku tangan. Selama para murid pergi, Yesus bekerja penuh seperti biasa. Matius mencatat: "Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah la dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil..." (11:1). Mendelegasikan juga bukan berarti cuci tangan. Setelah kedua belas orang itu kembali, Yesus menyimak apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan (Mrk. 6:30). Setelah itu, Yesus mengajak mereka menyepi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat (ay. 31).

Kelima, prinsip supervisi. Yesus mencermati hidup dan kerja kedua belas orang itu. Ia mencari tahu, "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?" (lih. Mrk. 9:33-37). la memuji seorang murid yang menjawab dengan jitu, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu..." (Mat. 16:17-19). Namun, orang yang sama itu juga ditegur karena sikapnya keliru, Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku..." (lihat Mat. 16:21-28). Selanjutnya dalam rangka supervisi Yesus juga mendampingi, menggembalakan, dan menguatkan (lih. Yoh. 19:19-29 dan 21:15-19). Yesus pun mendoakan mereka seperti dicatat di Yohanes 17.

Keenam, prinsip suksesi dan regenerasi. Berkali-kali Yesus memberitahukan bahwa la akan ditangkap, disiksa, mati, bangkit kembali, dan naik ke surga. Dengan itu Yesus menyiapkan para murid untuk jadi penerus pekerjaan Yesus. Ketika tiba saat serah-terima, maka Yesus menyerahkan tugas-tugas dan menjanjikan penyertaan atau dukungan-Nya (lih. Mat. 28:18-20).

Bagaimanakah penilaian akhir manajemen personalia Yesus ini? Pada suatu pihak bisa dikatakan sangat berhasil. Dua belas orang dari latar belakang watak, pendidikan, pekerjaan, dan pandangan politik yang berbeda (ada yang bekerja untuk pemerintah Romawi, ada yang justru menjadi anggota kelompok ekstrem anti pemerintah Romawi) bisa bertumbuh menjadi satu tim kerja. Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun mereka yang semula orang biasa (beberapa orang semula nelayan) berkembang menjadi pemimpin yang tangguh. Memang mereka tidak luput dari rasa bimbang dan takut, namun mereka ternyata mampu menjadi perintis lahirnya Gereja Abad Pertama. Mereka mampu mengatasi hambatan dari pihak pemerintah Romawi dan pihak masyarakat agama Yahudi. Proses pembinaan oleh Yesus selama tiga tahun itu ternyata menghasilkan insan-insan yang karyanya masih tampak sampai sekarang, yaitu gereja.

Namun, pada lain pihak, manajemen personalia Yesus mencatat angka drop out yang cukup berarti. Satu dari dua belas orang, atau 8,3% ternyata gagal. Akan tetapi, di manakah ada pendidikan atau pembinaan yang sama sekali luput dari drop out? Walaupun seleksi dilakukan sangat teliti dan pendidikan sangat efektif, drop out tetap bisa terjadi. Keberhasilan proses didik-mendidik bukan hanya tergan tungpada pendidik, melainkan juga pada naradidik. Itulah "faktor Yudas".

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan Yesus sudah memperhitungkan hal itu? Apakah Yesus sudah tahu sejak awal bahwa ada seseorang yang akan drop out? Mengapa orang itu dipilih? Apakah Yesus sengaja memilih Yudas sebagai bagian dari jalan penderitaan-Nya? Apa ini merupakan strategi manajemen Yesus? Semoga tidak ada "pendeta manajer" atau "manajer pendeta yang merasa punya jawab atas pertanyaan itu. Sebab, kalau dia mempunyai jawab, dia lebih ulung daripada Tuhan Yesus.