MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

 

Pesawat terbang jatuh, semua penumpangnya diduga tewas. Lima orang buruh pertambangan terperangkap dalam tambang. Truk masuk sungai. Tabrakan beruntun di jalan tol, dua orang tewas, lima luka berat. Dua orang buruh bangunan terjepit tiang beton. Gerbong kereta api tergelincir keluar rel. Kapal motor dengan sepuluh nelayan hilang di samudra. Bis terguling, tujuh orang tewas, dua puluh cedera. Panen dirusak hama. Kebakaran hutan. Asap melanda. Bencana kekeringan. Tanah longsor. Kelaparan. Banjir. Mendengar segala musibah itu, kita menundukkan kepala. Mengapa bencana itu terjadi? Apa arti semua musibah ini? Sambil menarik napas panjang-panjang biasanya orang berkata, "Yah, dasar sudah takdir Allah. Kita cuma bisa berserah."

Apa yang sebenarnya dimaksudkan orang dengan ucapan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, takdir berarti 'ketetapan Tuhan, dan menakdirkan berarti Tuhan menentukan lebih dahulu'. Jadi, dengan ungkapan "takdir Allah" itu orang menganggap bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup ini sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah. Akan tetapi, apakah Alkitab berkata demikian? Benarkah bahwa celaka atau selamat, rezeki atau rugi, perang atau damai, miskin atau makmur, semua itu sudah lebih dulu ditetapkan oleh Allah? Benarkah bahwa Allah menyetel hidup manusia dengan cara demikian?

Kalau memang celaka atau selamat sudah ditetapkan lebih dulu, untuk apa kita berhati-hati ketika mengemudi mobil. Kalau memang ditakdirkan celaka, biarpun kita hati-hati, kita toh akan celaka. Sebaliknya, biarpun kita menyetir gila-gilaan, tetapi kalau ditakdirkan selamat, kita pasti akan selamat. Sebab itu, kita berserah saja kepada takdir Allah. Benarkah jalan pikiran seperti itu? Jika demikian halnya, maka manusia cuma ibarat wayang saja yang segala geraknya tergantung sang dalang. Bagaimanakah maksud Allah dengan manusia? Apakah supaya manusia pasrah dan pasif saja, menunggu dan menerima apa yang ditakdirkan Allah?

Bukan itu gambaran Alkitab tentang manusia. Di dalam cerita penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-3 diperlihatkan bahwa Allah memberi kepada manusia kemungkinan untuk menentukan arah hidupnya. Allah menempatkan pohon-pohon yang boleh dimanfaatkan. Namun, la pun membuat batasan: ada pohon tertentu yang tidak boleh diganggu. Lalu Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk membuat pilihan: menghargai batasan itu atau melanggarnya. Yang penting adalah isi pilihan itu. Sebab, nilai manusia bukan terletak sekadar pada kebebasan dan kemampuan membuat keputusan, melainkan pada bagaimana ia membuat keputusan itu dan apa isi keputusannya.

Yang dijadikan tolok ukur isi keputusannya adalah apakah isi keputusannya itu mengungkapkan hormat dan ketaatan kepada Allah? Apakah isi keputusannya itu selaras dengan tugasnya untuk memelihara  kelangsungan hidup manusia dan menjunjung harkat martabatnya? Apakah isi keputusannya itu sejalan dengan tugasnya untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan segala bentuk kehidupan di bumi ini? Isi keputusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Adam tidak bisa berkata, "Dasar sudah takdir Allah bahwa saya makan buah terlarang itu." la memakan buah itu bukan karena keputusan Allah melainkan karena keputusannya sendiri.

Jadi, manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Untung atau malang, selamat atau celaka, langkah kaki manusia jugalah yang menentukan. Itu bukan berarti bahwa Allah lepas tangan. Jelas bahwa Allah memerintah dan memimpin sejarah. Dengan kiasan, Tuhan Yesus berkata bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang jatuh di luar kehendak Allah dan bahwa tiap helai rambut manusia terhitung semuanya oleh Allah (lih. Mat. 5 dan 6). Akan tetapi, cara Allah memimpin sejarah bukanlah dengan menetapkan segala sesuatu terlebih dulu secara mutlak sehingga manusia tinggal terima jadi saja. Dalam cerita Sodom dan Gomora Allah membolehkan Abraham untuk turut menentukan nasib kedua kota itu. Dalam cerita itu diperlihatkan bahwa Allah sudah mengambil keputusan, tetapi Allah bersedia ditawar oleh Abraham. Allah mengajak manusia untuk turut serta menentukan arah sejarah. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk turut menentukan nasibnya sendiri.

Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusuia memungkinkan manusia berpartisipasi dalam mengarahkan sejarah. Manusia mendapat kesempatan untuk menjadi kodeterminator nasib dan sejarahnya sendiri. Penentuan nasib dan sejarah manusia adalah ibarat lalu lintas dua arah. Di satu pihak Allah memelihara dan menuntun, namun di lain pihak manusia itu sendiri yang membuat langkah-langkah dalam perjalanan itu. Bagaimana halnya dengan musibah? Langkah manusiakah yang menentukan dan menyebabkannya? Memang ada musibah yang berada di luar kuasa manusia. Misalnya, gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Namun, ada juga musibah yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Tanah longsor dan banjir sering kali disebabkan karena manusia menggunduli hutan dan lereng gunung atau di hulu sungai. Musibah kecelakaan perjalanan pun banyak disebabkan karena kesalahan sikap dan perbuatan manusia.

Lalai, ceroboh, teledor, alpa, semau gue, masa bodoh, kurang hati-hati, cari gampangnya, semua itu adalah sikap yang menjadi akar dari rupa-rupa kecelakaan. Kalau sebuah bus masuk jurang, sebabnya bukanlah karena takdir Allah, melainkan karena kepala bengkel perusahaan bus itu kerjanya kurang beres sehingga rem bis blong. Kalau tukang las menjadi buta karena percikan bunga api, sebabnya bukanlah karena suratan takdir, melainkan karena ia lalai memakai kaca pelindung mata.

Sebab itu, ucapan, "Yah dasar takdir Allah" yang kita ucapkan sesudah suatu musibah tidak banyak membawa faedah. Ucapan itu terdengarnya sebagai suatu tanda beriman dan berserah. Tetapi sebenarnya ucapan itu cuma membiusi diri. Ucapan itu menyebabkan kita bukan berserah, melainkan menyerah. Kita menjadi pasif dan bertopang dagu sambil mengeluh "apa boleh buat". Dalam praktiknya, ucapan "dasar sudah takdir Allah" disalahgunakan untuk menutupi kemalasan manusia sendiri atau sebagai alasan untuk mengelak tanggung jawab.

Apa yang bisa kita tarik sebagai suatu refleksi teologis tentang manusia dari musibah ini? Refleksi yang dapat kita tarik bukanlah (sekali lagi: bukan) bahwa manusia lemah dan mudah ditelan musibah. Refleksi semacam itu tidak memberi sumbangsih apa-apa kepada masyarakat kecuali menjadikan orang berpikir sentimentil serta kerdil dan tetap berputar-putar di situ-situ juga. Sebaliknya, refleksi yang dapat kita tarik adalah bahwa manusia sebenarnya diberi kemampuan dan tanggung jawab untuk mengamankan kehidupan. Ke dalam tangan manusia, Allah telah memercayakan tugas mengelola kehidupan di bumi ini.

Selamat tidaknya suatu perjalanan ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Tangan itu bisa jadi adalah tangan sopir atau tangan montir di bengkel, tangan pengatur sinyal atau tangan penjaga pintu kereta, tangan pilot atau tangan pemeriksa barang bawaan, tangan syah bandar yang mengeluarkan izin kapal itu berlayar atau tangan seorang penumpang dek yang memegang rokok sebab bukankah sebatang puntung rokok bisa membakar habis sebuah kapal?

Tangan manusia jugalah yang bisa menjadi penyebab rupa-rupa bencana banjir dan longsor. Entah itu tangan peladang yang mengambil kayu bakar atau tangan seorang menteri yang menandatangani kontrak hak pengusahaan hutan. Manusia diberi otak dan tangan untuk menentukan hidupnya Kita diberi kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan hidup manusia. Kemampuan itu bisa kita gunakan, tetapi bisa juga terjadi bahwa kemampuan itu tidak kita gunakan atau kita salah gunakan. Oleh karena itu, kalau terjadi musibah, jangan cepat-cepat berkata bahwa itu takdir Allah sebab bisa jadi sebetulnya kita jugalah yang bikin ulah.