MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

 

Pesawat terbang jatuh, semua penumpangnya diduga tewas. Lima orang buruh pertambangan terperangkap dalam tambang. Truk masuk sungai. Tabrakan beruntun di jalan tol, dua orang tewas, lima luka berat. Dua orang buruh bangunan terjepit tiang beton. Gerbong kereta api tergelincir keluar rel. Kapal motor dengan sepuluh nelayan hilang di samudra. Bis terguling, tujuh orang tewas, dua puluh cedera. Panen dirusak hama. Kebakaran hutan. Asap melanda. Bencana kekeringan. Tanah longsor. Kelaparan. Banjir. Mendengar segala musibah itu, kita menundukkan kepala. Mengapa bencana itu terjadi? Apa arti semua musibah ini? Sambil menarik napas panjang-panjang biasanya orang berkata, "Yah, dasar sudah takdir Allah. Kita cuma bisa berserah."

Apa yang sebenarnya dimaksudkan orang dengan ucapan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, takdir berarti 'ketetapan Tuhan, dan menakdirkan berarti Tuhan menentukan lebih dahulu'. Jadi, dengan ungkapan "takdir Allah" itu orang menganggap bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup ini sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah. Akan tetapi, apakah Alkitab berkata demikian? Benarkah bahwa celaka atau selamat, rezeki atau rugi, perang atau damai, miskin atau makmur, semua itu sudah lebih dulu ditetapkan oleh Allah? Benarkah bahwa Allah menyetel hidup manusia dengan cara demikian?

Kalau memang celaka atau selamat sudah ditetapkan lebih dulu, untuk apa kita berhati-hati ketika mengemudi mobil. Kalau memang ditakdirkan celaka, biarpun kita hati-hati, kita toh akan celaka. Sebaliknya, biarpun kita menyetir gila-gilaan, tetapi kalau ditakdirkan selamat, kita pasti akan selamat. Sebab itu, kita berserah saja kepada takdir Allah. Benarkah jalan pikiran seperti itu? Jika demikian halnya, maka manusia cuma ibarat wayang saja yang segala geraknya tergantung sang dalang. Bagaimanakah maksud Allah dengan manusia? Apakah supaya manusia pasrah dan pasif saja, menunggu dan menerima apa yang ditakdirkan Allah?

Bukan itu gambaran Alkitab tentang manusia. Di dalam cerita penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-3 diperlihatkan bahwa Allah memberi kepada manusia kemungkinan untuk menentukan arah hidupnya. Allah menempatkan pohon-pohon yang boleh dimanfaatkan. Namun, la pun membuat batasan: ada pohon tertentu yang tidak boleh diganggu. Lalu Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk membuat pilihan: menghargai batasan itu atau melanggarnya. Yang penting adalah isi pilihan itu. Sebab, nilai manusia bukan terletak sekadar pada kebebasan dan kemampuan membuat keputusan, melainkan pada bagaimana ia membuat keputusan itu dan apa isi keputusannya.

Yang dijadikan tolok ukur isi keputusannya adalah apakah isi keputusannya itu mengungkapkan hormat dan ketaatan kepada Allah? Apakah isi keputusannya itu selaras dengan tugasnya untuk memelihara  kelangsungan hidup manusia dan menjunjung harkat martabatnya? Apakah isi keputusannya itu sejalan dengan tugasnya untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan segala bentuk kehidupan di bumi ini? Isi keputusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Adam tidak bisa berkata, "Dasar sudah takdir Allah bahwa saya makan buah terlarang itu." la memakan buah itu bukan karena keputusan Allah melainkan karena keputusannya sendiri.

Jadi, manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Untung atau malang, selamat atau celaka, langkah kaki manusia jugalah yang menentukan. Itu bukan berarti bahwa Allah lepas tangan. Jelas bahwa Allah memerintah dan memimpin sejarah. Dengan kiasan, Tuhan Yesus berkata bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang jatuh di luar kehendak Allah dan bahwa tiap helai rambut manusia terhitung semuanya oleh Allah (lih. Mat. 5 dan 6). Akan tetapi, cara Allah memimpin sejarah bukanlah dengan menetapkan segala sesuatu terlebih dulu secara mutlak sehingga manusia tinggal terima jadi saja. Dalam cerita Sodom dan Gomora Allah membolehkan Abraham untuk turut menentukan nasib kedua kota itu. Dalam cerita itu diperlihatkan bahwa Allah sudah mengambil keputusan, tetapi Allah bersedia ditawar oleh Abraham. Allah mengajak manusia untuk turut serta menentukan arah sejarah. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk turut menentukan nasibnya sendiri.

Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusuia memungkinkan manusia berpartisipasi dalam mengarahkan sejarah. Manusia mendapat kesempatan untuk menjadi kodeterminator nasib dan sejarahnya sendiri. Penentuan nasib dan sejarah manusia adalah ibarat lalu lintas dua arah. Di satu pihak Allah memelihara dan menuntun, namun di lain pihak manusia itu sendiri yang membuat langkah-langkah dalam perjalanan itu. Bagaimana halnya dengan musibah? Langkah manusiakah yang menentukan dan menyebabkannya? Memang ada musibah yang berada di luar kuasa manusia. Misalnya, gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Namun, ada juga musibah yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Tanah longsor dan banjir sering kali disebabkan karena manusia menggunduli hutan dan lereng gunung atau di hulu sungai. Musibah kecelakaan perjalanan pun banyak disebabkan karena kesalahan sikap dan perbuatan manusia.

Lalai, ceroboh, teledor, alpa, semau gue, masa bodoh, kurang hati-hati, cari gampangnya, semua itu adalah sikap yang menjadi akar dari rupa-rupa kecelakaan. Kalau sebuah bus masuk jurang, sebabnya bukanlah karena takdir Allah, melainkan karena kepala bengkel perusahaan bus itu kerjanya kurang beres sehingga rem bis blong. Kalau tukang las menjadi buta karena percikan bunga api, sebabnya bukanlah karena suratan takdir, melainkan karena ia lalai memakai kaca pelindung mata.

Sebab itu, ucapan, "Yah dasar takdir Allah" yang kita ucapkan sesudah suatu musibah tidak banyak membawa faedah. Ucapan itu terdengarnya sebagai suatu tanda beriman dan berserah. Tetapi sebenarnya ucapan itu cuma membiusi diri. Ucapan itu menyebabkan kita bukan berserah, melainkan menyerah. Kita menjadi pasif dan bertopang dagu sambil mengeluh "apa boleh buat". Dalam praktiknya, ucapan "dasar sudah takdir Allah" disalahgunakan untuk menutupi kemalasan manusia sendiri atau sebagai alasan untuk mengelak tanggung jawab.

Apa yang bisa kita tarik sebagai suatu refleksi teologis tentang manusia dari musibah ini? Refleksi yang dapat kita tarik bukanlah (sekali lagi: bukan) bahwa manusia lemah dan mudah ditelan musibah. Refleksi semacam itu tidak memberi sumbangsih apa-apa kepada masyarakat kecuali menjadikan orang berpikir sentimentil serta kerdil dan tetap berputar-putar di situ-situ juga. Sebaliknya, refleksi yang dapat kita tarik adalah bahwa manusia sebenarnya diberi kemampuan dan tanggung jawab untuk mengamankan kehidupan. Ke dalam tangan manusia, Allah telah memercayakan tugas mengelola kehidupan di bumi ini.

Selamat tidaknya suatu perjalanan ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Tangan itu bisa jadi adalah tangan sopir atau tangan montir di bengkel, tangan pengatur sinyal atau tangan penjaga pintu kereta, tangan pilot atau tangan pemeriksa barang bawaan, tangan syah bandar yang mengeluarkan izin kapal itu berlayar atau tangan seorang penumpang dek yang memegang rokok sebab bukankah sebatang puntung rokok bisa membakar habis sebuah kapal?

Tangan manusia jugalah yang bisa menjadi penyebab rupa-rupa bencana banjir dan longsor. Entah itu tangan peladang yang mengambil kayu bakar atau tangan seorang menteri yang menandatangani kontrak hak pengusahaan hutan. Manusia diberi otak dan tangan untuk menentukan hidupnya Kita diberi kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan hidup manusia. Kemampuan itu bisa kita gunakan, tetapi bisa juga terjadi bahwa kemampuan itu tidak kita gunakan atau kita salah gunakan. Oleh karena itu, kalau terjadi musibah, jangan cepat-cepat berkata bahwa itu takdir Allah sebab bisa jadi sebetulnya kita jugalah yang bikin ulah.

 

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

Lagu ciptaan Martin Luther ini berbicara tentang sebuah benteng. Lebih tepat lagi, tentang Allah sebagai sebuah benteng. Benteng macam apakah yang dimaksud? Mengapa Allah diibaratkan sebagai sebuah benteng? Kita lihat dulu bait pertamanya di KJ 250:

Allahmu benteng yang teguh, perisai dan senjata; betapapun sengsaramu, pertolongan-Nya nyata! Si jahat yang geram berniat, 'kan menang; ngeri kuasanya dan tipu dayanya di bumi tak bertara.

Mungkin kita jarang melihat benteng, bahkan mungkin belum pernah. Mungkin yang tergambar di benak kita adalah tumpukan karung pasir tempat tentara berlindung. Atau, barangkali tembok beton tebal dengan meriam di belakangnya. Atau, barangkali tangsi militer.

Bukan itu yang dimaksud dalam lagu ini. Yang dimaksud oleh Luther adalah sebuah burg. Kalimat pertama lagu ini menurut kata kata Luther berbunyi, "Ein feste Burg ist unser Gott". Apa itu burg?

Sebuah burg adalah rumah sangat besar milik keluarga ningrat, bangsawan, atau keraton di Eropa. Jumlah kamar tidur dan ruang annya bisa puluhan bahkan ratusan. Ruang makannya saja ada banyak. Demikian pula ada ruang buku, ruang musik, dan banyak ruang pertemuan. Juga, ada ruang ibadah yang nilai arsitekturnya tak kalah indah dari sebuah katedral. Rumah besar itu tentu pula menampung puluhan pegawai, mulai dari para juru masak, pembantu, petugas kebersihan, pemelihara kandang kuda, tukang kebun, dan banyak lainnya. Sekian hektar tanah dan hutan di sekitar burg itu juga milik keluarga ningrat itu. Tinggi burg biasanya tiga atau empat lantai.

Dalam kamus kita burg diterjemahkan menjadi 'puri', 'kastil', atau 'istana berbenteng'.

Fungsi pertama sebuah puri adalah rumah tempat tinggal. Fungsi lainnya adalah tempat berlindung dari serangan musuh atau serbuan perampok. Oleh sebab itu, sebuah puri mempunyai sistem pertahanan dan perlindungan. Di atapnya terdapat beberapa menara pengintai dan tembok para pemanah. Biasanya sebuah puri dikelilingi oleh parit buatan selebar dua puluh meter dengan air yang dalam dan pagar di bawah air untuk mencegah para penyusup. Jembatannya bisa diangkat dan diturunkan.

Di Eropa Barat terdapat ribuan puri. Ada yang dibangun pada abad ke-9, seiring dengan timbulnya kelas ningrat yang menguasai rakyat. Tiap puri diberi nama, misalnya Hohensalzburg, Drachenburg, Neuschwanteinburg, dan lainnya. Oleh karena biaya pemeliharaannya yang mahal, sekarang kebanyakan puri dijadikan hotel, museum, sanatorium, atau panti wreda.

Itulah benteng yang dimaksud oleh Luther dalam lagu ini. Allah adalah benteng yang teguh. Luther mengajak kita berlindung di da lam benteng itu. Allah adalah "perisai dan senjata ... pertolongan-Nya nyata". Berlindung dari apa? Berlindung dari serbuan siapa? Berlindung dari "Si jahat yang geram... ngeri kuasanya dan tipu dayanya".

Bagaimana kita bisa yakin bahwa benteng ini ampuh dan teguh? Siapa yang menjamin bahwa kita akan terlindung secara aman? Luther menjawabnya di bait ke-2. "Pahlawan kita Dialah yang diurapi Allah. Siapa nama-Nya? Sang Kristus Mulia ...!

Perhatikan ragam kalimat tanya retorik itu. Tanya: Siapa nama pahlawan yang melindungi kita. Jawab: Sang Kristus. Ragam interogatif seperti itu banyak digunakan dalam pedagogi Sokrates (469-399 SM). Pendekatan itu pun dipakai oleh Luther dalam menulis Katekismus Besar dan Katekismus Kecil dan kemudian juga dalam Katekismus Heidelberg tulisan murid-murid Calvin (ketiga Katekismus itu pun diterbitkan BPK Gunung Mulia).

Kita berlindung di benteng yang bernama Allah dan pelindung kita adalah Kristus. Itulah tema pengakuan Luther dalam lagu ini.

Kata-kata Luther dalam lagu ini keluar dari pengalaman hidupnya. Selama sembilan bulan Luther pernah berlindung di sebuah benteng, yaitu di Puri Wartburg oleh karena Kaisar Karel V pada bulan Mei 1521 memvonis bahwa Luther boleh dibunuh oleh siapa saja (lih. "Luther Tertantang" di Selamat Membarui).

Demikian pula kata-kata dalam bait ke-3. Bunyinya, "Penuh pun setan dunia, yang mau menumpas kita. Jangan gentar melihatnya, iman tak sia-sia!" Kata-kata itu pun keluar dari pengalaman hidup Luther ketika umatnya melarang dia memenuhi panggilan pengadilan di Worms pada bulan April 1521 karena di Worms ada banyak orang yang mau membunuh Luther. Luther menguatkan umatnya, "Meski pun Worms penuh setan sebanyak genteng di atap yang mau menumpas aku, aku tidak gentar!"

Karya tulis yang baik adalah silang sumber antara pengalaman hidup dan literatur, dalam hal ini Alkitab. Begitu juga pengalaman hidup Luther dalam lirik lagu ini bersilang dengan Mazmur 46. Tertulis, "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti ... kita tidak akan takut.. sekalipun gunung-gunung goyang... Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah... kota benteng kita ialah Allah Yakub."

Benteng yang dimaksud dalam Mazmur tentu berbeda dengan benteng dalam benak Luther. Benteng dalam Mazmur adalah tembok setinggi 60 meter setebal 5 meter di sekeliling kota. Benteng itu bukan rumah tinggal, melainkan tembok yang melindungi rumah-rumah di dalam kota. Namun, fungsinya sama, yaitu melindungi dari kejahatan.

Itulah pengakuan Luther. Ia mengajak kita menyanyi sambil mengaku bahwa Allah adalah penolong dan pelindung dari kejahatan
PANGGILAN TUHAN

PANGGILAN TUHAN

Kita menyebut mereka pekerja bangunan. Pekerjaan mereka ada Klah mengaduk semen, mengangkat batu, mendirikan tembok, memasang genting, dan sebagainya. Di Israel mereka disebut aneshe melakah. Tahukah Anda apa sebenarnya arti kata itu? Melakah sebe narnya berarti 'suruhan Allah'. Kata melakah akarnya sama dengan malak, yaitu 'pesuruh Allah'. Sebab itu, kata malaikat dalam bahasa Ibrani adalah malak. Bayangkan betapa tingginya sebutan itu. Para pekerja bangunan disebut pesuruh Allah.

Kata melakah itu banyak terdapat di dalam Kitab Tawarikh dan Nehemia. Memang yang dimaksud di situ adalah pekerja bangunan Bait Allah. Namun, di bagian-bagian lain dalam Alkitab, kata melakah itu juga digunakan untuk semua orang yang bekerja dan untuk semua jenis pekerjaan. Misalnya, kata melakah digunakan dalam Sepuluh Perintah, "Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh.. jangan melakukan sesuatu pekerjaan..." (baik versi Kel. 20 maupun Ul. 5 menggunakan kata melakah).

Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari penggunaan kata melakah untuk pelbagai jenis pekerjaan itu? Kesimpulannya adalah bahwa segala jenis pekerjaan dinilai sebagai suruhan Tuhan Dengan demikian, Alkitab mencatat bahwa suruhan Tuhan bukan hanya terbatas pada pekerjaan imam dan Lewi di Bait Allah, melainkan juga pada segala macam pekerjaan lain seperti bertanı, beternak, berdagang, dan se bagainya.

Sikap para pengarang Alkitab itu sebenarnya melawan arus bu daya yang lazim Dalam budaya Mesir dan Yunani yang dominan pada zaman itu, pekerjaan yang bersifat rohani dianggap lebih luhur daripada pekerjaan jasmani. Tugas seorang imam di kuil dianggap se bagai suruhan ilahi, sedangkan tugas petani atau pekerja bangunan dianggap tidak ada hubungannya dengan para dewa, Akan tetapi para penulis Perjanjian Lama mengembangkan budaya kerja yang sebaliknya. Petani, peternak, pedagang dan pekerja bangunan pun disebut melakah atau pesuruh Allah. Dari situ lahir tradisi Yahudi yang mengagungkan semangat kerja keras dan ulet untuk melakukan pekerjaan apa pun juga.

Tradisi Kristen tentang kerja merupakan kelanjutan dari tradisi Ya hudi. Yohanes Calvin, Pembaru Gereja, menekankan bahwa tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan dari Allah. Dalam bukunya, Institutio Pengajaran Agama Kristen, ia menulis, "Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya panggilan... Tidak ada pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya yang tidak akan bersinar-sinar dan dinilai berharga di mata Tuhan."

Pengakuan bahwa pekerjaan adalah panggilan dari Tuhan me ngandung beberapa implikasi. Calvin menulis, "Setiap orang diben oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri sebagai pos penjagaan", artinya Tuhan menempatkan kita pada suatu tanggung jawab tertentu. "Tidak ditinggalkannya tempat yang diperuntukkan baginya oleh Tuhan", artinya kita harus setia, berakar dan bertumbuh dalam pekerjaan itu. Calvin juga menulis, "Tanpa gerutu... masing-masing menanggung yang kurang enak, yang susah, yang sedih, yang membosankan, jika mereka yakın bahwa setiap orang diberi beban oleh Allah." Calvin juga menulis," tidak sembrono melampaui batas melebihi panggilan nya", artinya kita perlu tahu betul apa deskripsi dan definisi tugas kita. Selanjutnya, Calvin menghibur bahwa jika kita mengaku pekerjaan kita sebagai panggilan dan penugasan dari Tuhan, maka dari Tuhan juga kita bisa mengharapkan pimpinan dan kekuatan untuk pekerjaan itu, "Bagi setiap orang, kesusahan, kesulitan dan beban-beban berat lainnya akan lebih ringan bila diketahui bahwa Allah jadi pembimbing dalam semuanya ini."

Dengan ajaran ini, Calvin menegaskan bahwa apa pun pekerjaan seseorang, pekerjaan itu adalah panggilan dari Tuhan. Itu berarti bah wa bila kita menjadi montir, kita terpanggil untuk menjadi montir yang bertanggung jawab, bersungguh-sungguh, berdedikasi, bermutu, jujur dan setia, sebab kita mengaku bahwa dari Tuhan sendirilah ber asal penugasan ini.

Dengan demikian, Calvin menolak anggapan bahwa panggilan Tuhan hanya berlaku bagi pekerjaan rohani. Segala jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi keberlangsungan hidup, meru pakan panggilan dari Tuhan. Bukan hanya masuk sekolah teologi dan menjadi pendeta yang memerlukan panggilan Tuhan, melainkan juga masuk sekolah teknik dan menjadi insinyur.

Pengakuan bahwa tiap jenis pekerjaan yang menopang kehidupan adalah panggilan Tuhan secara tidak langsung tersirat dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Inggris, pekerjaan disebut vocation yang akarnya berasal dari kata Latin vocatio/vocationem (= memanggil). Dalam bahasa Belanda, kata beroep (= pekerjaan) berasal dari kata roep (= memanggil). Begitu juga dalam bahsa Jerman, beruf (= pekerjaan) dan berufung (= penugasan) berasal dari kata ruf (= memanggil).

Sebab itu, sebenarnya adalah keliru untuk menyebut pendeta se bagai hamba Tuhan sebab semua orang percaya, apa pun pekerjaan nya, adalah hamba Tuhan. Kalau hanya pendeta disebut hamba Tuhan, lalu hamba siapakah para warga gereja yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, manajer, buruh, pedagang, dan sebagainya? Apakah mereka hamba Iblis? Gereja Abad Pertama tidak mengenal kelaziman. memakai sebutan hamba Tuhan hanya bagi orang tertentu. Semua orang yang bertobat dan percaya disebut hamba Tuhan (lihat Rm. 6:22).

Jadi, tanpa kecuali setiap orang mendapat panggilan Tuhan Yang penting, panggilan itu kita jalankan dengan taat dan gembira. Panggilan itu berbeda-beda, tetapi tiap panggilan itu mempunyai keluhuran dan kegunaannya masing-masing kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi atau rendah, melain kan soal saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Masyarakat membutuhkan sopir taksi Namun, kalau semua orang menjadi sopir taksi, siapa penumpangnya? Lagi pula, lalu lintas langsung akan macet total. Sebaliknya, kalau semua orang hanya mau menjadi penumpang, siapa sopimnya? Nah, itu sebabnya saya menjadi pengarang dan Anda menjadi pembaca. Untung saja Anda merasa terpanggil menjadi pembaca, bukan menjadi pengarang. Apa jadinya kalau Anda semua "sama gilanya" seperti saya, yaitu "gila mengarang"? Gunung Mulia akan langsung bangkrut sebab siapa yang akan membeli buku Seri Selamat?

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


ALLAH JADI TUKANG KEBUN

ALLAH JADI TUKANG KEBUN

Halaman-halaman pertama Alkitab sebenarnya mencengangkan. Orang yang pertama kali membaca Alkitab mulai dari halaman pertama akan tercengang melihat bagaimana caranya Allah digambar kan di situ. Semula orang mungkin mengira bahwa di dalam Alkitab Allah digambarkan sebagai seorang raja yang sedang duduk di singga sana berlapis emas dengan segala keagungan. Akan tetapi, ternyata halaman pertama Alkitab tidak memberi gambaran yang begitu tentang Allah. Kitab pertama dalam Alkitab bukan menggambarkan suasana dan konteks sebuah istana yang megah, melainkan suasana dan konteks sebuah kebun yang bersahaja. Allah bukan digambarkan sebagai seorang raja yang dikelilingi oleh para dayang, melainkan sebagai seorang tukang kebun yang berjalan seorang diri di kebun. Allah digambarkan sedang menyingsingkan lengan dan bekerja dengan tangan sendiri di suatu kebun.

Baiklah secara sepintas kita melihat halaman-halaman pertama itu. Di situ terdapat dua buah cerita tentang penciptaan, yang pertama di dalam Kejadian 1:1-2:4a dan yang kedua di dalam kejadian 2:4b-25. Kedua cerita itu, yang berasal dari dua kelompok pengarang yang berbeda zaman, mengandung beberapa perbedaan. Misalnya, dalam cerita pertama manusia diciptakan sebagai makhluk yang terakhir, padahal dalam cerita kedua manusia diciptakan sebagai makhluk yang mula-mula.

Akan tetapi, persamaannya juga banyak. Yang jelas kedua cerita itu menggambarkan Allah yang sibuk bekerja. Di situ beberapa kali digunakan kata bara, sebuah kata yang khas dipakai untuk Allah, yang berarti 'menciptakan sesuatu tanpa bahan. Berkali-kali ditulis, "Berfirmanlah Allah, jadilah", maka jadilah apa yang disebut Nya itu. Allah mengungkapkan apa yang dimaksud-Nya dengan sabda, lalu terciptalah sabda-Nya itu. Namun, pada lain pihak cerita ini juga memakai kata kerja asah (di 1:7, 16, 25, 26, 31. dan 2.2), sebuah kata umum yang berarti membuat dengan memakai bahan atau melalui proses pembuatan' Jadi, walaupun di cerita pertama ada kesan bahwa Allah hanya berfirman atau memerintah, sebenarnya di situ pun Allah menciptakan melalui cara atau proses mengerjakan dan mengolah.

Dalam cerita kedua, proses kerja Allah ditampakkan lebih ril bagaikan sebuah laporan kerja. Perhatikan kesibukan Allah melalui banyaknya kata kerja ini (semuanya diambil dari Kej, 2): "menjadikan bumi dan langit (ay 4), "belum menurunkan hujan" (ay. 5), "mem bentuk manusia dari debu tanah" (ay. 7), "menghembuskan nafas" (ay. 7), "membuat taman", (ay, 8), "ditempatkan-Nya manusia™ (ay 8). "menumbuhkan berbagai-bagai pohon" (ay. 9), "mengambil manusia dan menempatkannya" (ay. 15), "memberi perintah" (ay 16), "mem bentuk dari tanah" (ay. 19), "dibawa-Nyalah" (ay 19), "melihat" (ay. 19), "membuat manusia itu tidur" (ay, 21), "dibangun-Nyalah seorang perempuan (ay, 22), "dibawa-Nya kepada manusia" (ay 22).

Kalau cerita itu kita baca dengan menggunakan imajinasi, peker jaan Allah itu menjadi sebuah drama yang hidup. Allah berjalan di suatu kebun. Diperhatikan Nya segala sesuatu. Di suatu pojok la duduk Diambil Nya tanah hat. Jari-jari Nya membentuk sesuatu. Ber kali kali la menghaluskan bentukan tanah liat itu Dengan sangat telite dirampungkan Nya hasil bentukan Nya itu Lalu, Allah perlahan-lahan meniup tanah liat yang dibentuk Nya itu. Tiba tiba bergeraklah tanah liat itu menjadi makhluk hidup. Allah tersenyum. Dengan ramah ta menyapa, "Hai kamu dibuat dari adamah Namamu Adam" (tbranc adamah tanah) Lalu, Allah mengambil lagi segumpal tanah liat Dibentuk-Nya binatang Lalu binatang itu seekor demi seekor dielus dan dibelai Nya dengan penuh rasa sayang. Lalu Allah membersihkan tangan Nya dari sisa-sisa tanah liat yang masih melekat Setelah itu, Allah mengajak Adam dan binatang binatang itu berjalan. Mereka menyusuri empat anak sungai yang ada di situ. Kemudian, Allah membungkuk menggemburkan tanah la berjongkok menanam be berapa batang pohon, la menyiram pohon-pohon itu, Allah membuat sebuah taman yang indah Allah bercocok tanam. Tangan dan kaki-Nya kotor Allah asyik berkebun. Allah menjadi tukang kebun.

Itulah berita halaman pertama Alkitab: Allah adalah Allah yang mau berlelah dan bekerja. Allah adalah Allah yang aktif. Keaktifan Allah digambarkan terus sepanjang Alkitab. Puluhan macam kata kerja dipakai untuk menggambarkan apa yang diperbuat Allah bagi umat-Nya: membimbing, mengajar, menolong, membela, mendengarkan, memperhatikan, memberi, menegur, menghukum, mengampuni, menyuruh, menopang, mengutus, mengaruniakan, me nyelamatkan, menyertai, menunjukkan, mendidik, menebus, menun tun, melindungi, memegang, menaungi, memulihkan, menyinari, menguatkan, menyembuhkan, menghidupkan, menumbuhkan, menggendong, melayani, dan seterusnya.

Allah adalah Allah yang bekerja. la bekerja untuk kita. Mulai dari halaman pertama dalam Alkitab Allah sudah bekerja. Sampai halaman terakhir pun Allah terus bekerja. la bekerja melalui Roh dan firman Nya. la bekerja melalui Putra-Nya. Menarik untuk menyimak apa yang dicatat pada halaman terakhir Alkitab tentang pekerjaan Allah. Di situ dicatat bahwa Allah mem bangun sebuah kota (Why 21 dan 22). Allah mengawali pekerjaan. Nya dengan membuat sebuah kebun, dan la mengakhirinya dengan membuat sebuah kota. Dari kebun sampai kota, dari rural sampai residensial. Allah bekerja menyediakan lingkungan yang dapat meng hidupi dan dihidupi oleh makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik di hutan maupun di kota. Dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Allah terus bekerja. Allah terus berkarya.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI

KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI


Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2Kor. 12:9)

Setelah berpuasa selama empat puluh hari lamanya, Yesus menghadapi tiga pencobaan yang tampak sederhana, namun sesungguhnya menyangkut persoalan hidup paling mendasar bagi semua manusia.

Pencobaan pertama yang dialami Yesus di padang gurun berkisar soal daya dan kemampuan insani. "Jika Engkau Anak Allah," kata si Jahat, "perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti" (Luk. 4:3, Mat 4:3). Yesus ditantang untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Allah dengan cara melakukan suatu tindakan ajaib. Artinya apa yang Yesus dapat lakukan dianggap membuktikan siapa Yesus. "Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita."

Kita memang sudah dilatih oleh dunia ini untuk memercayai bahwa manusia yang hebat adalah mereka yang memiliki kekuatan lebih besar dan kelemahan orang lain dipandang sebagai nista entah itu kelemahan fisik, ekonomi, inteligensia dan sebagainya. Itu sebabnya, orang-orang berlomba untuk menjadi yang terkuat. Jika perlu dengan menyembunyikan kelemahannya serapi mungkin, kekuatan dan tindakan lantas menjadi penentu utama identitas seseorang. “I am what I do” adalah apa yang aku lakukan.

Maka, kita dengan bangga memajang seluruh hasil prestasi mulai dari piala, piagam hingga foto kenangan yang semoga memberi informasi bagi mereka yang melihatnya. Betapa kuatnya kita, betapa sudah banyaknya tindakan dan prestasi kita. Selain itu, dekat dengan orang kuat juga dipandang sebagai nilai plus yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Mengapa pencobaan ini sangat serius? Tidak lain karena ia dengan mudah mengedepankan diri kita melampaui sesama kita, bahkan melampaui Allah sendiri. Itu sebabnya, dalam tradisi Kristen para pendahulu iman kita berulang kali, secara serius dan sengaja memperingatkan umat untuk tidak terjebak ke dalam dosa utama manusia yaitu kesombongan (pride, hubris). Kesombongan adalah sebuah proklamasi publik bahwa "akulah" yang utama dan terpenting. Bukan orang lain. Bukan juga Allah. Ia menjadi ilah bagi dirinya sendiri, bahkan bagi orang lain juga.

Setiap pegiat sosial harus mewaspadai pencobaan. Kesibukan dalam menjalankan kegiatan Kristiani bisa dengan mudah menyelewengkan arah utama karya kita: Allah itu sendiri dan menggantinya dengan arah utama yang baru: diri kita sendiri.

Paulus, hamba dan sahabat Kristus yang luar biasa itu, di masa tuanya mampu menghindari cobaan dan jebakan ini, ia mampu mengakui bahwa kelemahan tidak sama artinya dengan kekalahan. Kelemahan adalah sebentuk kemenangan utama, sebab hanya di dalam kelemahanlah kuasa Allah menjadi sempurna: di dalam kelemahan, "kuasa Kristus turun menaungi" dia.

Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita. Nikmatilah detik-detik saat kita merasa diri sangat lemah, menemukan diri sangat rapuh. Sebab di sanalah kuasa ilahi itu tampil di dalam kelemahan insani kita

MISKIN DI HADAPAN ALLAH

MISKIN DI HADAPAN ALLAH

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. (Mat. 5:3)

Persoalan "milik" selalu menghantui setiap pegiat sosial Kristen. Yang satu berkarya di dalam komunitas karena sudah tak lagi merasa perlu bekerja keras dan tinggal mengisi waktu lenggang sambil menanti datangnya keuntungan dari hasil kerjanya, yang lain masih bersusah-payah mencari sesuap nasi dan tak jarang yang berharap syukur bisa memperoleh tambahan dari karyanya di dalam komunitas Kristiani. Keduanya tentu tak bisa dibenarkan. Namun, itulah kenyataan yang kerap kita jumpai.

"Uang dan harta milik adalah milik Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dikelola, bukan untuk diraup secara membabi-buta, atau, ada pula yang menjadikan karya yang diberikan itu sebagai "miliknya". Lazimnya, ini dijumpai di antara mereka yang sangat mengabdikan waktu, tenaga, pikiran, bahkan uangnya untuk sebuah karya Kristiani. Sedemikian melekatnya mereka pada karya mereka itu, sampai-sampai mereka beranggapan bahwa "Pelayanan ini milikku". Mereka pun lantas marah besar, misalnya, ketika harus lengser karena periode karya yang sudah habis dan harus diganti orang lain atau, mereka kecewa dan memilih keluar.

Sebagai seorang Kristen, perlu disadari bahwa "I am what I have”. Semakin seseorang memiliki sedikit, semakin terpandanglah ia. Semakin seseorang memilki semakin tak tersohorlah ia. Gereja yang memiliki banyak juga dipandang sebagai gereja yang berhasil. Sebaliknya miskin dipandang hanya sebelah mata. Teologi sukses, yaitu yang mengajarkan bahwa kesuksesan adalah yang terutama, sebuah contoh ekstrem dari sikap semacam ini.

Yesus juga menghadapi cobaan jenis ini (Luk. 4:6-7; Mat. 4:8-9). Si Jahat yang menjumpai-Nya di padang gurun membawa-Nya ke atas sebuah gunung dan menjanjikan seluruh isi dunia untuk menjadi milik Yesus, jika la mau menyembah Iblis. Inilah godaan harta milik. Dan Yesus menolak-Nya mentah-mentah. Jawab Yesus sangat jitu, "Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" Itu berarti, harta milik tak boleh dianggap yang terpenting, karena hanya Allah yang utama. Memberhalakan uang dan milik sama saja halnya dengan menyembah Iblis. Uang dan harta milik adalah milik Allah yang dipercayakan kepada manusia untuk dikelola, bukan untuk diraup secara membabi-buta, apalagi diperilah.

Salah satu ucapan bahagia yang Yesus berikan sangat penting untuk disimak: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah." Mengapa kemiskinan menjadi pintu kebahagiaan? Tak lain karena mereka tak memiliki apa pun yang dapat menjauhkan mereka dari Allah. Namun Yesus tidak sekadar berbicara tentang sembarang orang miskin, namun mereka yang miskin "dihadapan Allah." Artinya, mereka yang di dalam kemiskinannya mempertaruhkan dan menaruh hidup mereka di hadapan Allah yang menjadi milik mereka satu-satunya.

Bukankah kini saatnya bagi kita untuk mengevaluasi kemball sikap, pandangan dan cara kita memperlakukan harta milk kita? Jangan pernah mau diperhamba oleh harta milik, namun perhambalah harta milik Anda dan manfaatkan sebaik mungkin di hadapan dan bagi Allah.