KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI

KEKUATAN ILAHI DI DALAM KELEMAHAN INSANI


Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. (2Kor. 12:9)

Setelah berpuasa selama empat puluh hari lamanya, Yesus menghadapi tiga pencobaan yang tampak sederhana, namun sesungguhnya menyangkut persoalan hidup paling mendasar bagi semua manusia.

Pencobaan pertama yang dialami Yesus di padang gurun berkisar soal daya dan kemampuan insani. "Jika Engkau Anak Allah," kata si Jahat, "perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti" (Luk. 4:3, Mat 4:3). Yesus ditantang untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Allah dengan cara melakukan suatu tindakan ajaib. Artinya apa yang Yesus dapat lakukan dianggap membuktikan siapa Yesus. "Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita."

Kita memang sudah dilatih oleh dunia ini untuk memercayai bahwa manusia yang hebat adalah mereka yang memiliki kekuatan lebih besar dan kelemahan orang lain dipandang sebagai nista entah itu kelemahan fisik, ekonomi, inteligensia dan sebagainya. Itu sebabnya, orang-orang berlomba untuk menjadi yang terkuat. Jika perlu dengan menyembunyikan kelemahannya serapi mungkin, kekuatan dan tindakan lantas menjadi penentu utama identitas seseorang. “I am what I do” adalah apa yang aku lakukan.

Maka, kita dengan bangga memajang seluruh hasil prestasi mulai dari piala, piagam hingga foto kenangan yang semoga memberi informasi bagi mereka yang melihatnya. Betapa kuatnya kita, betapa sudah banyaknya tindakan dan prestasi kita. Selain itu, dekat dengan orang kuat juga dipandang sebagai nilai plus yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Mengapa pencobaan ini sangat serius? Tidak lain karena ia dengan mudah mengedepankan diri kita melampaui sesama kita, bahkan melampaui Allah sendiri. Itu sebabnya, dalam tradisi Kristen para pendahulu iman kita berulang kali, secara serius dan sengaja memperingatkan umat untuk tidak terjebak ke dalam dosa utama manusia yaitu kesombongan (pride, hubris). Kesombongan adalah sebuah proklamasi publik bahwa "akulah" yang utama dan terpenting. Bukan orang lain. Bukan juga Allah. Ia menjadi ilah bagi dirinya sendiri, bahkan bagi orang lain juga.

Setiap pegiat sosial harus mewaspadai pencobaan. Kesibukan dalam menjalankan kegiatan Kristiani bisa dengan mudah menyelewengkan arah utama karya kita: Allah itu sendiri dan menggantinya dengan arah utama yang baru: diri kita sendiri.

Paulus, hamba dan sahabat Kristus yang luar biasa itu, di masa tuanya mampu menghindari cobaan dan jebakan ini, ia mampu mengakui bahwa kelemahan tidak sama artinya dengan kekalahan. Kelemahan adalah sebentuk kemenangan utama, sebab hanya di dalam kelemahanlah kuasa Allah menjadi sempurna: di dalam kelemahan, "kuasa Kristus turun menaungi" dia.

Menerima kerapuhan diri adalah salah satu kunci utama dalam menjaga integritas dan kualitas karya Kristiani kita. Nikmatilah detik-detik saat kita merasa diri sangat lemah, menemukan diri sangat rapuh. Sebab di sanalah kuasa ilahi itu tampil di dalam kelemahan insani kita

MELIHAT DUNIA DENGAN MATA KETIGA

MELIHAT DUNIA DENGAN MATA KETIGA



Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa “Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.” (Yoh. 4:37-38).

Dunia ini penuh penderitaan" kata Helen Keller. Segera melanjutkan, "Tetapi ia juga penuh dengan usaha untuk mengatasinya." Helen Keller sudah mengambil pilihan untuk berdamai dengan kenyataan dunia yang penuh dengan penderitaan. Ia tahu, situasi masyarakat tidak mudah berubah menjadi lebih baik. Bahkan, ia juga tahu persis bahwa cacat fisik yang dimilikinya membuat hidup berat. "Mata ketiga-mata iman-memampukan kita berdamai dengan rentannya hidup kita sekaligus melihat harapan baru bagi dunia dan masyarakat yang kita layani."

Tetapi yang dengan dirinya sendiri-seluruh cacat fisik yang dialaminya sejak dua tahun Gadis buta tuli itu suatu kali berujar "Aku dapat melihat-dan itulah sebabnya aku dapat berbahagia-di dalam apa yang disebut kegelapan bagiku adalah emas. Aku dapat melihat dunia buatan Allah, bukan dunia buatan manusia. Setiap pegiat sosial, Anda dan saya perlu berdamai dengan diri sendiri sebelum berdamai dengan dunia sekelling kita, berarti kita diundang oleh kehidupan ini untuk berani mencoba melihat dunia dengan mata ketiga-mata iman.

Helen Keller sudah membuktikannya, Yesus memberi kita inspirasi yang sungguh menarik. Ada yang menabur dan ada yang menuai, kepada para murid-Nya Dia berkata bahwa mereka menuai apa yang ditabur orang lain. Sabda Yesus ini menarik, jika kita mengambil posisi bukan sebagai penuai namun justru penabur. Mereka bekerja keras menabur, tanpa melanjutkan dan menikmati secara langsung jerih payah mereka.

Acap kali karya kita juga tidak pernah menuntaskan persoalan di depan mata. Kita tak bisa menikmati hasil langsung perjuangan kita. Dunia dan masyarakat yang kita layani tampak tak berubah. bahkan tambah buruk Namun sejarah dunia belum rampung, meski kita sudah tak lagi mampu berkarya Ladang belum juga menguning sementara kita tak lagi punya kekuatan untuk bekerja. Namun, mata ketiga-mata iman-memampukan kita berdamai dengan rentannya hidup kita sekaligus harapan-harapan baru bagi dunia dan masyarakat yang kita layani

"Dunia ini penuh dengan penderitaan tetapi ia juga penuh dengan usaha untuk mengatasinya, kata Helen Keller. Berdamai dengan diri sendiri berarti bersedia memilih untuk menjadi bagian dan usaha mengatasi penderitaan ketimbang memilih untuk terpuruk ke dalam penderitaan dunia ini.

EKSISTENSI DIRI DAN BERKARYA (BEING & DOING)

EKSISTENSI DIRI DAN BERKARYA (BEING & DOING)

Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. (1Kor.15:10).

Dalam perenungan sebelumnya, kita membaca bagaimana kasih karunia Allah yang diterima Paulus memampukan la untuk menerima diri apa adanya. Pribadi yang autentik memang merupakan prasyarat penting dalam seluruh karya Kristiani kita. Karena kasih karunia itulah kita memperoleh being yang baru. Namun, itu tidaklah cukup. Perlu dilanjutkan dengan karya dan tindakan nyata. "Being dan doing harus berjalan seimbang dan beriringan."

Itulah sebabnya Paulus melanjutkan, kasih karunia yang sama telah mendorongnya untuk "bekerja oleh karena kasih karunia ilahi bagi seorang pegiat sosial. Ia bukan hanya mengubah seseorang, melalui penerimaan diri apa adanya, namun ia juga mendorong orang itu untuk berkarya dengan giat. Memang, ada banyak alasan yang dapat memotivasi seseorang untuk berkarya dengan giat. Mulai dari alasan yang sangat mulia hingga yang sangat biasa. Bahkan juga alasan yang salah. Tentu saja kita perlu mencermati dan meneliti alasan kita berkarya. Namun agaknya kita akan sampai pada serangkaian alasan yang baik yang tidak hanya satu dan tunggal.

Kita memang tidak perlu memilih dan memilah semua alasan yang baik itu. Kita bisa saja berkarya karena rasa belas-kasihan pada sesama atau karena kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan alasan-alasan baik lainnya. Akan tetapi saya percaya, salah satu alasan yang paling penting untuk berkarya adalah karena kita telah diterima oleh Allah melalui kasih karunia-Nya.

Itulah yang membuat Paulus dapat berkata bahwa ia telah bekerja lebih keras dari orang lain, la sama sekali tidak sedang membandingkan karyanya dengan karya orang lain dan membanggakan dirinya. Sama sekali tidak. Apa yang hendak dikatakannya sebenarnya selaras dengan ucapan Yesus Kristus yang menegaskan bahwa orang yang telah banyak diampuni (karena dosa yang sangat besar) akan banyak mengasihi pula (bak Luk 7:47).

Itulah sebabnya, Paulus menegaskan bahwa kalau pun la bekerja sangat keras, itu bukan karena usaha dan kemampuannya namun karena "kasih karunia Allah yang menyertai" seluruh karyanya. Karena kasih karunia kita diterima sebagaimana adanya kota (being). Karena kasih karunia yang sama kita bekerja dengan keras (doing). Semua hanyalah kasih karunia! Tidak lebih dan tidak kurang.

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH

KITA ADALAH KEKASIH ALLAH




Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. (Mat. 3:17)

Tiga pencobaan yang Yesus hadapi mengilustrasikan tiga godaan terbesar dalam hidup manusia modern. Godaan untuk mengagungkan kemampuan (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku lakukan), godaan untuk terikat pada harta milik (Siapa aku ditentukan oleh apa yang aku millki), serta godaan untuk menjadi populer (Siapa aku ditentukan oleh apa yang orang lain katakan tentang aku).

Ketiga godaan itu, semenarik apa pun, ternyata bersifat sangat fluktuatif. Naik-turun. Ada kalanya kita sangat kuat, memiliki banyak harta dan dikagumi banyak orang, namun tak jarang kita sungguh lemah, tak punya apa-apa, dan dicemooh orang lain. Sungguh celaka bukan jika identitas kita dipertaruhkan di atas ketiga dasar ini?"Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak anak yang dikasihi Allah."

Kita menghabiskan terlalu banyak energi untuk memastikan bahwa diri kita oke untuk tiga hal tersebut. Dan kita selalu saja lupa bahwa siapa kita ternyata sebenarnya tidak ditentukan dari ketiga-tiganya. Kita berjuang terus sepanjang hidup kita untuk memastikan ketiga-tiganya berlangsung dengan baik. Sampai akhirnya selesailah hidup kita. Mati. Dan setelah itu? Setelah itu... kita tak bisa melakukan apa-apa, kita tidak membawa apa yang kita miliki dan orang lain segera melupakan kita.

Yesus mampu menghadapi dan keluar dari ketiga jebakan ini karena tahu persis bahwa siapa diri-Nya sesungguhnya ditentukan oleh satu kenyataan lain, yaitu bahwa la adalah Anak yang dikasihi oleh Sang Bapa. Sesaat sebelum la memasuki pencobaan di padang gurun, yaitu saat la menerima baptisan oleh Yohanes Pembaptis, Sang Bapa dalam naungan Roh Kudus, mengutarakan isi hati-Nya; Dikau Kukasihi, Aku berkenan kepada-Mu.

Jika saja setiap pegiat sosial Kristiani mau dan mampu mengklaim kembali kebenaran yang sama, maka pastilah mereka akan terhindar dari seribu satu masalah remeh yang tak perlu, yang justru membuat karya mereka menjadi superfisial, dangkal, dan malah artifisial.

Mari kita klaim kembali kebenaran asali ini. Kita adalah anak-anak yang dikasihi Allah. Dan dengan demikian, kita menjadi saudara dan sahabat Kristus, yang sudah terlebih dahulu membuktikan kepada dunia bahwa kedalaman hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa mampu kita berkarya, seberapa banyak milik kita atau seberapa populer kita diterima oleh orang lain. Namun, semata-mata oleh sebening apa kita mendengar dan mengamini suara Ilahi itu: "Engkau Kukasihi. Engkau sungguh Kukasihi!"


 

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

DARI DOULARKI MENJADI FILARKI

Aku tidak menyebut kamu lagi hamba.... tetapi Aku menyebut kamu sahabat... (Yoh. 15:15).

Apa lagi ini? Sebelumnya muncul istilah asing doularki, yang untungnya mudah dicernah. Yaitu: kepemimpinan-hamba. Sekarang: filiarki. Maafkan saya, jika kita harus memakai istilah ini. Alasannya sederhana saja: istilah itu dengan sangat baik dan tepat mewakili apa yang ditawarkan Yesus sebagai model kepemimpinan ideal. Loh, apakah kepemimpinan-hamba tidak ideal?

Terus terang tidak. Istilah itu muncul sebagai sebuah alternatif, tandingan, atas kepemimpinan hierarkis yang telanjur menguasai arena kepemimpinan Kristiani. Sebagai tandingan, tugasnya ialah melakukan dekonstruksi-perombakan-dan bukan konstruksi. "Kita harus memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita demikian. "Yang diimpikan Yesus. atau yang ingin dikonstruksi, bukanlah pelayanan atau penghambaan, melainkan persahabatan. Terhadap pribadi yang maunya mempertuankan diri.

Yesus menegaskan: jadilah hamba! Akan tetapi, bagi setiap orang yang telah menyatakan kesediaan melayani, Yesus bersabda, "Aku tidak lagi menyebutmu hamba, melainkan sahabat." Tentu, kita tetap boleh memandang diri sebagai hamba Kristus dan sepantasnya demikian. Namun, kita harus juga memandang diri sebagai sahabat Kristus karena Dia sendiri memandang dan memperlakukan kita sebagal sahabat- sahabat-Nya.

Jika kepemimpinan-hamba adalah doularki, maka kepemimpinan-sahabat kita sebut filarki (filia: sahabat + arche: kepemimpinan). Yang dipimpin dan yang memimpin sama-sama sahabat yang setara dan sederajat. Mereka saling mengasihi, menguatkan dan menerima, sebagaimana perlakuan seseorang terhadap sahabatnya. Bayangkan! Kita yang sepatutnya menghambakan diri kepada Sang Hamba yang telah memberikan segala-galanya kepada kita, kini disapa "Sahabat-Ku"

Oleh karena itu, tak ada jalan lain tersedia bagi kita selain mengelola hidup bersama, komunitas kita, bahkan masyarakat kita, mengelola dengan prinsip persahabatan yang telah diwartakan Kristus. Tak boleh lagi ada orang yang memandang diri lebih dari orang lain atau sebaliknya, memandang diri di bawah orang lain, hanya karena perbedaan ekonomi, pendidikan, pekerjaan atau lainnya. Di dalam gereja, baik pengamen maupun pengacara, penjual asongan atau penjual mobil mewah, sama-sama diundang untuk menjadi sahabat di dalam dan bersama Kristus.

Jadi, jika Anda mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin. apa pun itu, sadarlah: "Anda bukanlah bos penuh kuasa dengan sekelompok orang yang berada di bawah kendali Anda. Anda bukan sekadar pelayan dari orang banyak yang cukup bersikap santai menunggu karya Anda. Namun, Anda adalah sahabat dari semua orang."

Tugas utama kita adalah menanam, memupuk, serta merawat komunitas agar dapat menjadi sebuah komunitas para sahabat. Jika hal itu terjadi, di situ Kristus Sang Sahabat hadir. Dan itulah makna terdalam dari kepemimpinan-sahabat, filiarki.

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

KEPEMIMPINAN YANG HIERARKI ATAU DOULARKI

Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya, (Mrk. 10:42-44)

Salah satu alasan mengapa dunia begitu mengerikan dan tak sama bagi kehidupan manusiawi ialah dunia memang tertata oleh pola hubungan hierarkis. Selalu saja ada sejumlah kecil pemimpin di atas, dengan bawahan yang tak banyak jumlahnya, namun makin ke bawah makin bertambah banyak, dan akhirnya sejumlah besar pengikut berada di dasar piramida kekuasaan.

Yang lebih menyedihkan, hierarki yang menjulang ke atas itu sering diklaim mendapatkan kuasa dari Allah sendiri. Itu sebabnya mengapa kata "hierarki" dipakai; yang terdiri atas dua kata: hieros (suci) dan arche (tatanan atau kepemimpinan).  "Tak jarang sebuah hierarki memakai nama Allah untuk melestarikan kekuasaan yang sudah tertata."

Terhadap budaya umum dunia. Yesus menawarkan sebuah budaya alternatif radikal-budaya tandingan (counter-culture). Yesus sangat memahaminya kala berkata, "... mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka" (ay. 42). Inilah hierarki yang berlangsung di banyak tempat dan zaman. Namun, segera Yesus mengusulkan alternatif radikal-Nya: siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah menjadi pelayan (ay. 43-44).

Model kepemimpinan baru Yesus itu sungguh menjungkirbalikkan piramida hierarkis hingga sungsang-terbalik 180 derajat. Sang pemimpin haruslah menjadi pelayan. Yang pertama menjadi yang terakhir. Inilah kepemimpinan-hamba atau doularki (doulos + arche). Sering juga disebut servant-leadership.

Ketika memasuki sebuah komunitas dengan semangat berkarya, pikirkanlah satu hal! Siapa komunitas yang akan kita kembangkan itu? Siapa manusia-manusia yang akan kita sapa itu? Jika kita memasukinya dengan mentalitas juruselamat dan menampilkan diri sebagai pemimpin besar, bos yang harus dihormati, percayalah kegagalan tinggal menunggu waktu.

Masukilah komunitas tersebut, sapalah orang-orang di dalamnya dengan sikap takzim dan hormat. Sebab, kita diutus ke dalamnya, bukan untuk menjadi pemimpin yang berada di atas mereka, namun menjadi pelayan mereka. Jika kita harus melaksanakan tugas kepemimpinan, jadilah pemimpin yang melayani. Hanya dengan cara itulah, kita dapat menyuarakan pesan Injil yang menentang semua pola penguasaan hierarkis, semua pola kepemimpinan yang menekan rakyat atau umat.