CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

CALVIN: BERUBAH ARAH DI LOSMEN MURAH

 


Untuk memperkenalkan tulisan-tulisannya tentang reformasi gereja, Yohanes Calvin pergi ke Ferrara, di Italia Utara, la menginap di istana Putri Renee yang suka membagi-bagi buku gerakan reformasi, padahal putri ini adalah adik Raja Francois I yang mau membunuh Calvin.

Dalam perjalanan pulang ke Basel, Calvin menginap satu malam di sebuah losmen murah di Jenewa. Pemilik losmen tidak bisa percaya bahwa tamu berpakaian sederhana itu adalah Jean Chauvin, penulis buku-buku terkenal. Bangga losmennya diinapi orang termasyhur, ia langsung menceritakan kabar ini kepada semua tetangganya.

Kabar ini pun tiba di telinga Guillame Farel, pendeta setempat yang berusia 20 tahun lebih tua daripada Calvin. Malam itu juga Farel datang ke losmen dan meminta Calvin untuk menjadi pendeta di Jenewa. Tentu saja Calvin menolak sebab ia punya tugas di Basel untuk menyebarluaskan konsep reformasi di kalangan akademik.

Mendengar penolakan ini Farel berteriak, "Tuan Chauvin, Allah akan mengutuk Tuan jika Tuan menolak tugas ini!"

Calvin terkejut bukan kepalang. Belum pernah ia mengalami ancaman seperti itu. la lama berpikir. Reformasi gereja di tingkat akademik yang selama ini ia kerjakan memang penting, namun Reformasi gereja di tingkat gereja lokal juga penting. Akhirnya, ia menerima tugas ini.

Tumpukan tugas langsung dikerjakan oleh Calvin. Setiap hari ia menjelaskan isi Alkitab pasal demi pasal kepada kelompok anak, pemuda, dan dewasa. la menertibkan tata ibadah. Orang yang terlambat datang ke ibadah, apalagi absen, harus bayar denda sekian franc. Di gereja tidak boleh ada orgel, lilin, dan salib. Pendeta dilarang pakai jubah. Orang yang suka berjudi, mabuk, berdansa, dan nonton sandiwara ditegur atau dikucilkan. la menetapkan bahwa sehari-hari gereja diurus oleh dewan yang terdiri atas empat jabatan, yaitu pendeta, pengajar, penatua, dan syamas. la menetapkan persyaratan ketat bagi orang yang minta dibaptis, ikut perjamuan kudus, dan menikah. Ia menetapkan hukuman bagi mereka yang melecehkan orang tuanya.

Ketetapan Calvin disambut pro dan kontra. Ketika golongan kontra. menguasai pemerintah kota, Calvin diusir dari Jenewa. la menjadi pendeta di Strasbourg. Empat tahun kemudian konstelasi politik di Jenewa berubah lagi sehingga Calvin diminta kembali ke Jenewa. Begitulah untuk masa 23 tahun selanjutnya Calvin menjadi pendeta gereja Jenewa sampai akhir hidupnya.

Umat gereja mendorong Calvin untuk menikah, namun ia selalu menjawab, "Aku tidak punya waktu. Kalau toh menikah, ada syaratnya, janganlah pekerjaanku jadi terganggu." Akhirnya, ia menikah dengan Idelette de Bure. Mereka mempunyai tiga orang anak, namun dalam usia balita anak-anaknya itu meninggal.

Calvin, istri, dan ketiga anak itu memang berbadan lemah. Makanan mereka sehari-hari kurang memadai. Gaji yang diterima Calvin membuat keluarga ini serba kekurangan. Honor penulisan buku dipakai untuk penyebarluasan buku.

Baru sembilan tahun menikah Calvin kehilangan istri. Tulis Calvin, "la adalah teman hidup, teman menderita, dan teman melarat."

 Calvin meneruskan reformasinya. la mendirikan Academie de Geneve untuk mendidik calon pendeta. Jenjang awal untuk belajar bahasa-bahasa selama tiga tahun dan jenjang berikut untuk belajar teologi, kedokteran, atau hukum selama lima tahun. Pelajaran dimulai pukul 6.00 pagi. Sepuluh menit di muka, guru dan murid sudah ada di kelas bersaat teduh sambil membaca buku renungan. Tepat pukul 6.00 pagi pintu gerbang kampus ditutup. Tulis Calvin, "Tidak bisa jadi pendeta kalau tidak disiplin jadi kutu buku."

Calvin sendiri adalah kutu buku. Ia hafal semua buku Luther la memang mengagumi Luther yang 16 tahun lebih tua. Pernah ia Calin Jalan Hi menulis surat kepada Luther, "Aku menyukai semua buku Tuan. Alangkah inginnya aku bertemu dan belajar kenal dengan Tuan."

Sering Calvin mengenang ibunya dengan pilu. la merasa begitu rindu untuk berada dengan ibunya. Ketika Calvin menulis betapa perlunya kita menyatu dengan gereja, ia mengibaratkan gereja sebagai seorang ibu.

Tulis Calvin, "... the Church, into whose bosom God is pleased to gather His children, ... that they may be nourished by her help... that they may be guided by her motherly care... For what God has joined together, it is not lawful to put asunder (Mark 10:9), so that, for those to whom God is Father, the Church may also be mother" (Inst. IV.i.1).

Artinya, "... Gereja, di dadanya Allah mantap meletakkan anak anak-Nya... supaya mereka disusuinya dengan bantuannya... supaya mereka dituntun dengan asuhan keibuannya... karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mrk. 10:9). sehingga, untuk mereka yang Allah adalah Bapa, Gereja juga adalah ibu" (Inst. IV.i.1).

Calvin tahu betul bahwa ayat tadi berkonteks perceraian suami istri, namun ia sengaja menekankan bahwa hubungan kita dengan gereja janganlah sampai tercerai sebagaimana juga hubungan dengan ibu kita.

Tiada terbanding hubungan kita dengan ibu yang telah mengandung, menyusui, dan mengasuh kita. Tiap kali Calvin terbaring lemah karena kesehatannya yang kurang terawat, ia selalu pilu mengenang ibunya. Calvin meninggal saat usianya belum lagi mencapai 55 tahun.

GEREJA BUTUH KONTEKS

GEREJA BUTUH KONTEKS

 

Di rumah ada tiga pot tanaman: kaktus, anggrek, dan teratai Ketiga tanaman itu berakar dan bertumbuh dalam potnya masing-masing. Pot itu pasti ada isinya. Mustahil tanaman bisa hidup dalam pot yang isinya hanya udara alias kosong. Apa isi pot itu? Ada yang menyebutnya hara, media, atau lahan tanaman. Untuk mudahnya kita sebut saja tanah.

Apa tanah ketiga pot tadi sama? Tidak. Ketiga jenis tanaman itu butuh tanah yang berbeda-beda. Kaktus tumbuh dalam pot berisi pasir kering. Anggrek tumbuh dalam pot berisi potongan-potongan batang pakis lembab. Teratai tumbuh dalam pot berisi lumpur becek.

 Jangan coba-coba menukar tanahnya. Kaktus akan busuk jika ditanam di lumpur. Sebaliknya, teratai akan layu jika ditanam di pasit. Tiap tanaman perlu konteksnya masing-masing.

Sebagaimana tanaman hidup dan berakar di sebuah konteks, gereja pun hidup dan berakar di sebuah konteks. Gereja hidup di antara orang-orang di sekitarnya dan di zamannya. Sebutlah itu masyarakat. Nah, itulah konteks gereja, yaitu orang di sekitarnya dan di zamannya.

Pernah ada suatu komunitas umat Allah berjumlah sekitar delapan nbu orang dari Israel tinggal di Babel (sekarang Iran, Irak, Suriah) pada abad ke-6 SM. Mereka enggan bergaul dengan penduduk setempat karena perbedaan bahasa, budaya, dan agama. Mereka eksklusif.

Lalu Nabi Yeremia menyurati mereka, "Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak ..." (Yer. 29:5-6).

Itu pesan agar umat keluar dari pagar buatannya sendiri dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Umat disuruh berakar dan bertumbuh di konteksnya, yaitu masyarakat kota Babel. Lanjut surat itu, "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu

Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu" (ay. 7).

Umat dipesan agar berbuah dan menjadi berkat bagi penduduk sekitar. Simak verba imperatif usahakanlah (lbr. darasy: 'lakukanlah dengan sengaja', 'lakukanlah sampai berhasil').

Perhatikan motif atau dasarnya, yaitu "sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu". Artinya, nasib kita dan nasib masyarakat sekitar saling bergantung. Panen masyarakat berhasil, kita bisa makan. Panen masyarakat gagal, kita lapar.

Pada zaman itu agama masih bersifat etnosentris, artinya bangsa Xhanya boleh beragama X dan hanya peduli pada bangsa serta agama sendiri. Akan tetapi, surat Nabi Yeremia itu membarui pola pikir dengan menyuruh komunitas umat Allah agar "mengusahakan kesejahteraan" untuk konteks di sekitar mereka. Ini sebuah kontekstualisasi.

Lalu, apa artinya kontekstualisasi gereja atau kontekstualisasi teologi? Kontekstualisasi gereja adalah upaya kita memahami diri kita dan diri masyarakat sekitar dalam keadaannya yang riil dan konkret. Apa artinya keadaan riil dan konkret? Artinya, bukan keadaan yang diidamkan, melainkan keadaan yang adalah kenyataan, dengan segala baik dan buruknya. Lalu apa faedah upaya kontekstualisasi ini? Supaya pewartaan gereja juga riil dan konkret, bukan tentang cara hidup nanti sesudah kematian, melainkan tentang cara hidup sekarang ini sebelum kematian.

Dari penjelasan itu tampak bahwa gereja perlu berkonteks supaya bisa bertumbuh dan berbuah bagi masyarakat sekitar. Gerrit Singgih dalam keempat bukunya, yakni Dari Israel ke Asia, Berteologi dalam Konteks, Dua Konteks, dan Mengantisipasi Masa Depan menguraikan banyak isu tentang kontekstualisasi gereja.

Singgih menekankan bahwa gereja yang kontekstual adalah gereja yang sadar akan konteksnya, yaitu mengidentifikasi dan menyadari banyaknya masalah di dalam masyarakat dan banyaknya sudut pandang tentang masalah-masalah itu. Singgih mencatat bahwa kontekstualisasi teologi di Indonesia dipelopori di Sekolah Teologi Balewijoto Malang pada tahun 1920-an oleh Barend Schuurman.

Kini kontekstualisasi teologi diajarkan di sekolah-sekolah teologi bukan hanya sebagai sebuah mata pelajaran terpisah, melainkan juga sebagai penerapan di tiap mata pelajaran lain. Dalam mata pelajaran Didaktik Pendidikan Agama Kristen, misalnya, dipelajari konteks yang perlu diperhitungkan jika mengajar katekese tentang Alkitab sebagai firman Allah. Apakah itu berarti para penulis Alkitab didiktekan oleh Allah? Apakah para penulis itu diilhami hanya oleh ilham dari Allah ataukah juga oleh ilham pengalaman, latar belakang, dan jalan pikiran pribadinya? Banyak katekesan terbiasa meyakini bahwa kitab suci tiap agama berasal dari Allah. Tiap tanggal 17 Ramadhan dirayakan Nuzululquran, yaitu turunnya wahyu Alquran pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira. Apakah Alkitab juga turun dari surga?

Dalam pelajaran Didaktik juga dipelajari konteks jika mengajar anak-anak tentang Yesus yang turun ke dunia. Banyak anak terbiasa dengan cerita-cerita dewa yang menjelma sebagai bayi dalam buah semangka atau dalam batang bambu.

Masih dalam pelajaran Didaktik dipelajari konteks jika mengajar orang dewasa tentang "Anak yang Hilang". Beberapa budaya menabu kan seorang ayah merangkul dan mencium putra yang durhaka karena meminta warisan selagi ayahnya masih hidup.

 Contoh-contoh tadi dipelajari dalam Didaktik PAK dalam sesi tentang bingkai acuan. Tujuannya supaya pendeta peka terhadap bingkai-bingkai acuan naradidiknya, baik bingkai acuan kepribadian, bingkai acuan budaya, bingkai acuan religius, dan sebagainya. Di satu pihak kontekstualisasi berita Injil memperhitungkan rupa-rupa konteks umat masa kini, dan di lain pihak memperhitungkan rupa-rupa konteks zaman terjadinya perikop itu dua ribu tahun yang lalu. Memadukan kontekstualisasi dengan mata pelajaran lain tentu menambah muatan kerumitan. Sebagai pengampu pelajaran Didaktik saya harus mengaku bahwa di kelas saya sering pusing tujuh keliling.

Mungkin Anda berpikir bahwa kontekstualisasi ini cuma urusan sekolah teologi, bukan urusan gereja. Anda keliru. Memang yang mempelajarinya adalah sekolah teologi, namun yang mempraktikkan dan membutuhkannya adalah gereja.

Kontekstualisasi adalah upaya mengaitkan berita Injil dengan keadaan dan permasalahan umat. Gereja perlu dimampukan untuk mengerti makna dan relevansi berita Injil di dalam situasi di mana gereja itu ada.

Jika kita ingin berita Injil berbuah di masyarakat, langkah per tamanya adalah mengupayakan gereja berakar di masyarakat. Dengan istilah surat Yeremia tadi, "dirikanlah rumah .... ambillah istri akarlah! usahakanlah kesejahteraan ..." Maksudnya, berbuatlah kebun....

Bisakah kaktus, anggrek, dan teratai hidup kalau tidak berakar di tanah?

KONTEKSNYA KONTEKS INDONESIA

KONTEKSNYA KONTEKS INDONESIA

 

Tak ayal lagi Rasul Paulus jago bahasa. Ia menguasai bahasa Aram, Ibrani, Latin, dan Yunani. Ia juga jago filsafat dan budaya. la akrab dengan budaya Helenis Yunani-Romawi dan budaya Apokalips Yahudi. Maklumlah, ia orang Yahudi, lahir di Turki, berkewarganegaraan Romawi, dan bersekolah di Tarsus, sebuah kota pendidikan dengan banyak perpustakaan lengkap.

Ketujuh surat Perjanjian Baru yang pasti dikarang Paulus menunjukkan kemahirannya itu (lih. "HUT ke-2000 Rasul Paulus" di Selamat Bergereja). Pokoknya ia piawai bahasa, baik bahasa tutur maupun bahasa tulis, baik ragam cakapan maupun ragam hormat. Meskipun begitu, Paulus pernah tersandung justru gara-gara bahasa. la dan Barnabas mengunjungi Likaonia untuk mengabarkan Injil. Likaonia terpencil di pegunungan. Penduduknya jarang berhubungan dengan dunia luar dan hanya mengenal bahasa setempat. Di Likaonia itu Paulus berkhotbah. Tentulah ia memakai bahasa

Yunani, padahal penduduk setempat tidak mengerti bahasa itu. Ketika penduduk melihat Paulus menyembuhkan penyandang lumpuh, mereka takjub dan berteriak dalam bahasa Likaonia, "Dewa telah turun ke tengah-tengah kita dalam rupa manusia" (Kis. 14:11).

Penduduk setempat mengira Paulus adalah Dewa Hermes dan Barnabas adalah Dewa Zeus. Langsung mereka bersikap khidmat dan takzim kepada kedua rasul (lih. ay. 12). Lalu mereka menyiapkan sajian atau sesajen berupa daging lembu jantan dan bunga untuk kedua rasul (lih. ay. 13).

Apa perlunya sajian itu? Buku klasik karya Ovidius bercerita bahwa dulu Dewa Zeus dan Hermes mengunjungi Likaonia secara inkognito, namun penduduknya cuek. Hanya sepasang suami-istri miskin men jamu kedua tamu itu. Akibatnya, bencana alam menin Semua penduduk tewas, kecuali pasangan suami-istri itu, bahkan gubuk mereka berubah menjadi kuil yang megah. Pesan legenda itu, "Supaya luput bencana, hargailah tamu. Mereka adalah dewa yang menyamar."

Pembacaan Alkitab kita tidak mencatat cerita itu. Entahlah apa para rasul tahu atau tidak tentang cerita itu.

Apakah yang diperbuat para rasul ketika penduduk mempersembahkan sajian? Tertulis, "Barnabas dan Paulus mengoyakkan pakaian mereka ..." (ay. 14).

Dalam budaya Yahudi merobek pakaian adalah tanda sedih. Para rasul sedih bahwa penduduk setempat masih percaya takhayul.

Akan tetapi, penduduk setempat tidak mengerti budaya Yahudi. Mereka anggap perbuatan itu aneh. Mengapa menolak santapan yang disajikan, lalu merobek pakaian? Mereka tersinggung.

Perbedaan bahasa bikin runyam. Tamu tidak mengerti bahasa setempat. Penduduk setempat tidak mengerti bahasa tamu. Mungkin di situ ada penerjemah, namun rupanya penerjemah itu salah kaprah. Muncullah bahasa dadakan: bahasa tarzan.

Lalu kedua rasul memberi penjelasan. Pertama, mereka bukan dewa, melainkan orang biasa. Kedua, mereka datang untuk mengabarkan kabar baik, yaitu bahwa Allah tidak menuntut sajian. Ketiga, Allah bermurah hati tanpa membedakan siapa pun (lih. ay. 15-17).

Apakah penduduk setempat mengerti? Boro-boro mengerti, mereka malah menjadi makin bingung. Lalu pada saat itu datang orang-orang dari luar yang menghasut penduduk. Keadaan jadi rusuh Mereka melempari para rasul dengan batu.

Rasul Paulus luka parah. Ia terkapar. Penduduk mengira ia tewas Lalu tubuhnya diseret ke luar kota sebab budaya mereka menajiskan jenazah orang asing. Akhirnya, Paulus dibawa ke suatu rumah untuk diobati. Keesokan harinya para rasul meninggalkan daerah itu (lih. Ay 19-20).

Pekabaran Injil di situ gagal. Gara-gara bahasa. Senjang bahasa. Senjang budaya. Timbul miskomunikasi.

Untuk mengabarkan Injil, yang perlu kita ketahui bukan hanya Alkitab dan konteks penulisannya zaman dulu, melainkan juga konteks masyarakat yang membaca Alkitab itu zaman sekarang. Buku Apa itu Teologi? karangan Drewes dan Mojau merumuskan, "Kontekstualisasi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita."

Proses penggabungan itu menyangkut berbagai masalah rumit. Langkah awalnya adalah bahasa. Bagaimana kita bisa memahamil situasi masyarakat kalau kita tidak menguasai bahasanya? Bagaimana pula masyarakat memahami amanat Alkitab kalau bahasa yang kita gunakan terdengar asing di benak mereka?

Bahasa turut menentukan berhasil tidaknya kontekstualisasi Injil. Dari lima bab kerangka analisis di buku Kontekstualisasi Teologi karangan Hesselgrave dan Rommen terbitan Gunung Mulia, tiga bab menyangkut isu linguistik atau ilmu kebahasaan.

Bagi kita konkretnya itu adalah bahasa Indonesia. Gereja di Indonesia hanya bisa berkembang dan berbuah jika berakar dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, sungguh janggal jika ibadah kita memakai istilah-istilah semisal Yehovah Tsidgenu, Melekh Yarev, Mizbeakh Haggadol, Hakhokem, dan sebagainya. Ada pula ibadah yang memakai istilah seperti Pantokrator, Salutatio, Benediksi, Leiturgos, dan sebagainya.

 Apa perlunya ibadah dilayankan dengan istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia? Padahal yang dilayani adalah orang Indonesia. Apakah bahasa Indonesia kurang sahih di hadapan Allah?

 Tugas gereja adalah memberitakan Injil dalam bahasa yang jelas supaya dimengerti oleh umat. Apa faedahnya sebuah pemberitaan jika tidak bisa dimengerti? Kalau begitu mengapa khotbah sering kurang jelas? Tata kalimatnya semrawut. Imbuhannya porak-poranda. Kata kerja, kata benda, kata sifat, kata ganti, dan kata sandangnya kocar-kacir. Padahal seyogyanya gereja menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa. Gereja diharapkan memberi teladan dalam segala hal, termasuk dalam berbahasa.

Kalau cinta nusa, bangsa, dan bahasa, maka hargailah bahasa, bukan merusaknya. Perkayakan khazanah bahasa, bukan memiskin kannya.

Keindonesiaan kita bukan lahir karena proklamasi tahun 1945 dan bukan pula karena Sumpah Pemuda tahun 1928, melainkan karena ratusan tahun sebelumnya para penulis dan penutur sudah mengembangkan bahasa Indonesia. Sekadar contoh, pada tahun 1891 di Surabaya ada sebuah kelompok sandiwara rakyat yang dipimpin oleh Yap Gwan Thay. Para pemainnya beretnik Jawa, Tionghoa, Minang, Ambon, Indo Belanda, dan lainnya. Cerita yang paling laku adalah Nyai Dasima. Grup sandiwara ini mempersatukan ribuan penonton yang berbahasa ibu berbeda-beda dengan sebuah bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

Pada tahun 1946 STT Jakarta secara berangsur mengubah bahasa pengantar dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Niat itu mempertaruhkan mutu sekolah sebab ketika itu belum ada buku teologi berbahasa Indonesia. Lalu pada tahun itu juga didirikanlah BPK Gunung Mulia agar buku-buku Kristen turut mengembangkan bahasa Indonesia dan menumbuhkannya sebagai bahasa ilmiah untuk ilmu teologi.

Akan tetapi, yang paling bertanggung jawab melakukan kontekstualisasi adalah gereja setempat. Sangat disayangkan jika gereja mengabaikan tanggung jawab itu. Tata ibadahnya impor. Seni bangunannya impor. Lagunya impor. Jubah pendetanya impor. Me mang benar iman Kristen bersifat global, namun pengungkapannya bersifat lokal.

Di tanah manakah gereja kita berbenih dan berakar? Kalau me mang di tanah Indonesia, janganlah kita berjati diri Kristen Israel atau Kristen Eropa. Jati diri kita adalah Kristen Indonesia. Tepatnya, Kristen Nusantara.

Pernah seorang pembaca bertanya, "Yesus itu bangsa apa, orang apa?" Jawab saya, "Terserah. Silakan orang Pakistan membayangkan Yesus sebagai orang Pakistan yang berbahasa Urdu. Orang Kamboja silakan menggambarkan Yesus berbangsa Kamboja yang berbahasa Khmer. Untuk saya, Yesus adalah orang Indonesia. Akan tetapi,.... Yesus bukan orang Indonesia yang bahasa Indonesia-Nya amburadul, acak-acakan, dan berlepotan. Amit-amit, jauhlah itu dari Dia. Yesus berbahasa Indonesia yang baik dan benar."

REFORMASI DIRI

REFORMASI DIRI

 

Pemuda ini tiap hari hanya bermain anggar. Sesudah itu, membaca novel tentang kesatria yang merayu-rayu putri cantik. Khayalan pemuda Spanyol ini tak kepalang tanggung, yaitu menikahi Putri Katalina yang wah dari Austria.

Akan tetapi, jiwa pemuda bangsawan ini pada suatu waktu berubah total gara-gara dua jilid buku yang dibacanya. Jalan hidupnya berubah sama sekali. la menjadi pendiri Ordo Yesuit. la menjadi Reformator Gereja, Luther dan Calvin di barisan Protestan, ia di barisan Katolik. Pola pikirnya masih berpengaruh sampai hari ini di bidang pekabaran Injil, persekolahan, dan pendidikan agama. la adalah Ignatius Loyola (1491-1556). Akan tetapi, bukankah Ignatius Loyola itu seorang tokoh kontra reformasi?

Loyola terlahir dengan nama Inigo Lopez. la 8 tahun lebihmuda dari Luther dan 8 tahun lebih tua dari Calvin la anak bungsu dari 14 bersaudara.

Persekolahan formal yang diterima Loyola pada masa kecil sungguh minim. Ada guru pribadi yang datang kepuri, namun pengetahuan yang diperolehnya sedikit. Yang banyak dipelajarinya hanya peraturan protokol keningratan. Demikian juga pendidikan imannya amat minim. Sehari-hari ia hanya bersantai dan berfoya-foya dengan teman sebayanya yang membawa dia ke dalam pergaulan buruk.

Kelak menjelang akhir hidupnya, Loyola mendiktekan autobiografinya kepada Luis da Camara (edisi Indonesia: Wasiat dan Petuah Santo Ignatius, terbitan Kanisius). Tertulis, "Sampai umur 26 tahun dia (aku) hanyalah memikirkan permainan duniawi, dan kegembiraan terbesar adalah memenangi pertandingan senjata demi mendapat kehormatan."

Perubahan besar terjadi ketika Loyola berusia 26 tahun. la tergabung dalam pasukan yang mempertahankan benteng Pampelona dari serangan Prancis. Saat komandannya berniat menyerah, Loyola tetap gigih bertempur. la terkena peluru meriam. Kedua kakinya patah sehingga dibedah ulang. Beberapa minggu kemudian ia diusung dengan brankar berhari-hari ke daerah asalnya.

Mungkin akibat tergoyang-goyang ketika diusung brankar, tulang yang dibedah itu berubah posisi. Lalu para dokter mematahkan kembali tulang itu dan melakukan operasi kedua kali.

Beberapa bulan kemudian hasil bedah itu ternyata mengecewakan. Kaki kiri lebih pendek dari kaki kanan. Loyola yang selalu ingin tampak gagah minta dioperasi kembali.

Berbulan-bulan Loyola tidak turun dari ranjang. Sungguh membosankan. la pun meminta buku, namun tidak ada buku roman kesatria kasmaran kepada putri genit. la mendapat dua buku yang sama sekali tidak menarik. Apa boleh buat. Loyola pun mulai membaca. Ternyata kedua buku ini mengubah jalan hidupnya secara total.

Buku pertama adalah renungan tentang hidup dan sosok Yesus. Buku kedua renungan tentang kiprah para tokoh iman. Loyola tercengang-cengang membaca Fransiskus Assisi, anak pengusaha besar, bertukar pakaian dengan seorang pengemis (lih. "Doa Fransiskus dari Assisi" di Selamat Pagi Tuhan,dan"Makhluk itu Majemuk"di Selamat Berkarunia).

Kedua buku itu dibacanya berulang-ulang. Loyola merasa malu kepada dirinya sendiri. Tertulis, "Dia (aku) merasa jijik teringatakan perilaku kedagingan dulu." Akan tetapi, tidak lama kemudian ia ingin lagi melakukan perbuatan-perbuatan jijik itu.

Tiap hari selama beberapa bulan Loyola bergumul dalam kebimbangan memilih menjalani hidup yang lama ataukah membarui hidupnya. Tertulis, "la (aku) mulai berpikir lebih serius mengenai hidup dan merasa perlu membuat pilihan." Dalam perkembangan waktu ia menulis, "Akhirnya pikiran pertama, yaitu mengenai hal-hal duniawi, mulai ditinggalkan. Hal-hal duniawi dikalahkan oleh keinginan yang luhur ... ia (aku) merasa muak terhadap hidup yang dulu, khususnya mengenai kehidupan seksual ... "

Dengan tekad itu Loyola pergi ke Barcelona. Di hadapan seorang imam ia membuat pernyataan melepas semua hak atas harta benda. la mengganti pakaiannya yang mahal dengan pakaian sederhana. Selama setahun ia bersemedi di sebuah goa untuk meminta penglihatan dari Allah.

Pada tahap usia ini pikiran Loyola diwarnai oleh buku Meniru Kristus (The Imitation of Christ) karya Thomas Kempis (1380-1471). Di situ tertulis, "Banyak orang mau mendapat kegembiraan dari Kristus, namun hanya sedikit yang rela menderita demi Dia. Banyak orang mengikut Kristus karena cari untung, hanya sedikit yang bersedia menanggung rugi." Padahal kita adalah anak dan ahli waris "jika kita menderita bersama-sama dengan Dia" (Rm. 8:17). BukuThomas Kempis itu yang terbit tahun 1427 hingga kini masih terusdicetak ulang dalam rupa-rupa bahasa (lih. "Swami Vivekananda" di Selamat Berjuang).

Tak lama kemudian Loyola berlayar ke Israel. Namun, penguasa militer Turki yang menduduki Israel melarang Loyola mengabarkan Injil. Paraimam Ordo Fransiskan di Israel menyarankan Loyola untuk membekali diri dengan pengetahuan dasar pekabaran Injil.

Loyola pun kembali ke Spanyol untuk masuk universitas. la ditolak karena tidak tahu bahasa Latin. Namun, ia pantang menyerah. Mes kipun berusia 33 tahun, ia duduk di kelas bersama murid-murid SMA. Dua tahun kemudian ia diterima di Universitas Alcala.

Kecerdasan dan kesungguhannya melejitkan Loyola di perguruan itu. Di luar kelas ia mencari kesibukan. la mengumpulkan orang-orang gelandangan dan ia mengajar katekese kepada mereka.

Kegiatan Loyola itu tidak disukai para pastor. la pun dipanggil menghadap tim pemeriksa ajaran agama (inkuisisi), namun ternyata tidak ditemukan penyimpangan atau kesesatan.

Meskipun demikian, beberapa bulan setelah itu ia dijebloskan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Di penjara pun ia mengajar katekese. Akhirnya, ia dibebaskan dengan syarat tidak boleh mengajar agama.

Terkekang oleh larangan itu Loyola pindah kota dan masuk Universitas Salamanka. Di sini pun ia dipenjara sekian minggu karena mengajar katekese.

Loyola kecewa, ia berjalan kaki melewati pegunungan Pirene yang diselimuti salju menuju Paris. la masuk Universitas Montaigu tempat Calvin juga bersekolah, namun mereka tidak saling jumpa karena berbeda angkatan.

IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

 

Di Paris prestasi kerja Ignatius Loyola memuncak. Selain bersekolah ia juga mengembangkan pemikiran yang telah digelutinya selama beberapa tahun, yaitu rancangan program pendidikan spiritualitas. Berbeda dengan pendidikan agama yang berisiajaran religi, pendidikan spiritualitas berisi upaya menghaluskan perasaan religiositas, tak soal apa religinya, bahkan tak soal apa menganut religi atau tidak. Kiprahnya ini membuat Loyola lagi-lagi diperiksa oleh tim inkuisisi.

Loyola menulis pemikirannya itu yang kelak terbit berjudul Latihan Rohani, yang merupakan semacam modul atau program belajar.

Tujuan yang lebih mendasar dari buku Latihan Rohani yang ditulls Loyola selama 15-20 tahun ini adalah agar kita sedikit demi sedikit belajar melepaskan diri dari mental swakasih, swakehendak, dan swakepentingan. Pernah dalam pelajaran Didaktik di STT Jakarta sebuah unit latihan Loyola saya praktikkan dan seluruh kelas termasuk saya harus mengaku betapa banyaknya energi yang terkuras.

Selama belajar di Paris Loyola pun membina kelompok studi, yang terdiri atas sepuluh orang mahasiswa yang penuh kesungguhan. Serikat Sepuluh Teman ini menganalisis kegagalan gereja di Eropa yangcenderung berpihak kepada kaum bangsawan dan raja yang mencekik rakyat dengan harga sewa tanah yang mahal.

Serikat Sepuluh ini juga mencatat bahwa para rohaniwan lebih suka upacara dan kemegahan ibadah ketimbang tekun belajar meningkatkan pengetahuan supaya cakap mengajar umat. Serikat Sepuluh ini menjadi cikal bakal berdirinya Serikat Yesus atau Ordo Yesuit pada tahun 1540. Salah seorang di antara teman Loyola ini adalah Fransiskus Xaverius yang pada tahun 1546 mengabarkan Injil di Ambon, Ternate dan Halmahera (lih. "Siapa Pembawa Injil ke Indonesia?" di Selamat Berpadu).

Loyola dan teman-temannya juga mempelajari tulisan Luther. Mereka setuju dengan Luther bahwa gereja perlu dibarui. Akan tetapi, mereka tidak mau ikut dengan Luther mempersoalkan ajaran gereja dan sistem jabatan gereja. Yang mereka persoalkan adalah keburukan perilaku para pejabat gereja. Memang benar, pada kemudian hari atas desakan Kaisar Karel V yang menghimpun Konsili Trente (1547-1563), semangat ordo ini dimanfaatkan oleh para raja dan pemuka gereja untuk melawan reformasi, namun Loyola sendiri tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk mencurigai dan melawan Luther. Loyola bukan kontra reformasi. la sendiri berkali-kali dicurigai oleh tim inkuisisi, bahkan juga setelah ia ditahbis sebagai imam. Kelompok kontra reformasi yang ditokohi oleh Kaisar Karel V dan putranya Raja Philips Il terdiri atas para raja dan pejabat gereja yang merasa kepentingannya terganggu. Loyola tidak merasa terganggu oleh Luther. Sebaliknya, ia malah merasa terilhami oleh Luther.

Seusai masa studi di Paris, Loyola semakin sibuk lagi. la merasa diri sebagai orang "yang menantikan tuannya yang pulang dari perkawinan,supaya jika ia datang dan mengetuk pintu, segera dibuka pintubaginya" (Luk. 12:36). la teringat pesan Kristus, "Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala" (ay. 35). la ingin "didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang" (ay. 37). Ia ingin "siap sedia, karena Anak manusia datang pada saat yangtidak kamu sangkakan" (ay. 40). la ingin "didapati tuannya melakukan tugasnya itu ketika tuannya datang" (ay. 43).

Gaya hidup Loyola adalah selalu siaga dan bekerja supaya saat Kristus datang semua pekerjaan sudah dikerjakan. la ingin membuat Kerajaan Allah menjadi nyata. Semua ini dilakukan sesuai dengan moto ordonya: "Demi Semakin Meningkatnya Kemuliaan Allah".

Ignatius Loyola memang merindukan Kristus. Dulu ia rindu untuk mencium tangan Putri Katalina, mendapat saputangannya, dan berkata, "Daulat, Tuanku Putri." Sekarang Loyola mengajak kita rindu ingin mencium tangan Kristus, menerima saputangan-Nya, dan berdoa:       

Kristus, Jiwa-Mu, sucikan aku Tubuh-Mu, selamatkan aku Darah-Mu, lepaskan dahagaku Air lambung-Mu, bersihkan aku Derita-Mu, kuatkan aku. Dalam luka-Mu, sembunyikan aku. Jangan biarkan aku terpisah dari-Mu. Dari segala yang jahat, belalah aku. Pada saat kematian, panggillah aku. Undanglah aku mendekati-Mu. Agar bersama-sama orang kudus. Aku memuja-Mu. Sepanjang masa. Amin.

MEMBARUI SADAR KEMATIAN

MEMBARUI SADAR KEMATIAN

 

Setiap mengakhiri salat, saya senantiasa menengok ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam, antara lain kepada malaikat Izrail. Semoga suatu saat ketika tiba waktunya menjemput roh saya, dia akan melakukannya dengan bersahabat." Demikian tulis Komaruddin Hidayat, rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah.

Itu sebuah contoh tentang sadar kematian, yaitu sikap siuman bahwa kematian sungguh nyata untuk kita. Salam yang diucapkan oleh Komaruddin kepada malaikat Izrail itu adalah, "Assalamu'alaikum, ya Izrail. Di tanganmu sudah ada jadwal kapan kematian saya. Ya Izrail, doakan aku semoga bisa mengisi lembaran hidupku dengan cerita yang indah ... ? demikian tulis Komaruddin dalam bukunya berjudul Psikologi Kematian.

Sadar kematian sungguh berbeda dengan tahu tentang kematian. Kalau tahu, tiap orang pun tahu bahwa suatu waktu nanti ia akan meninggal. Tidak ada orang yang tidak tahu bahwa ia akan mati.

Sadar kematian juga bukan keinginan cepat-cepat meninggal dunia. Juga, bukan suka mikirin dan ngomongin kematian. Juga, bukan kecenderungan bunuh diri. Juga, bukan firasat, perasaan, atau perkiraan akan meninggal.

Apakah sadar kematian sama dengan naluri kematian dan naluri kehidupan? Ya dan tidak. Keduanya memang bertumpang tindih dalam beberapa hal, namun juga berbeda dalam hal lain (lih. "Naluri Kematian" di Selamat Berjuang).

Untuk memudahkan, mari kita lihat pengertian sadar dalam ungkapan sadar budaya dan sadar lingkungan. Jika sadar budaya, maka kita berperilaku secara berbudi dan beradab, dan menempatkan diri dalam tata krama yang berlaku. Jika sadar lingkungan, maka kita tidak akan merusak, mematikan, atau mengotori lingkungan, tetapi justru menjaga dan melestarikan lingkungan supaya bersih, sehat, dan asri.

Sadar kematian adalah jujur terhadap diri sendiri dan mau berpikir tentang kematian, mau membaca perenungan tentang kematian, dan mau membicarakan kematian.

Sadar kematian adalah sikap engah bahwa maut bisa merenggut nyawa bukan hanya mereka yang sakit dan renta, melainkan juga beli yang segar bugar dan muda belia.

Sadar kematian adalah sikap realistis bahwa meskipun maut diharapkan masih jauh, namun dalam kenyataannya bisa berada begitu dekat dengan kita, baik di rumah maupun di luar rumah. Di Indonesia tiap hari rata-rata 80 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas.

Sadar kematian adalah sikap antisipatif terhadap dampak ke matian yang secara drastis akan merenggut segala sesuatu yang ada pada kita: keluarga, teman, rumah, pekerjaan, dan segala sesuatu.

Sadar kematian adalah sikap celik terhadap arti kehidupan. Hidup punya arti yang sungguh luhur. Kita diberi hidup supaya saling hidup dengan orang lain, yaitu saling menghargai dan saling membantu, bukan saling cuek, benci, dan dengki.

Sadar kematian adalah sikap siuman bahwa kita harus mempertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Hidup apa yang telah kita perbuat dengan dan di dalam hidup ini.

Jangan-jangan berbagai rumusan saya malah membuat penje lasan menjadi semakin tidak jelas. Oleh sebab itu, baiklah sekarang kita meringkaskannya. Seorang pemazmur meringkaskannya dalam doa, "Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi" (Mzm. 90:12, BIMK). Menurut teks TB, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga beroleh hati yang bijaksana."

Itu dia. Orang yang sadar kematian adalah orang yang bijaksana atau berbudi. Dalam nyanyian paduan suara ciptaan Johann Sebastian Bach (1685-1750) ada kalimat, "Ach, Herr, lehre uns bedenken das wir sterben mussen, auf das wir klug werden." Klug berarti 'bijaksana', hati-hati", "tahu diri', 'penuh pertimbangan', 'bertenggang rasa".

Selama menjadi pendeta GKI Samanhudi saya mengamati tingkat sadar kematian umat dewasa dan lansia. Tingkatannya ternyata rendah. Umat cenderung enggan berpikir dan berbicara tentang kematian. Tentu mereka tahu bahwa maut itu dekat, namun mereka pura-pura tidak tahu. Seorang kakek dari pembaringannya masih mengatur perusahaan. Seorang nenek masih bernada benci terhadap suaminya yang sudah meninggal sepuluh tahun. Ada yang belum mau memaafkan dan belum mau minta maaf. Ada yang terkesan kurang merasa perlu ikut berdoa pada saat saya berdoa dengan dia. Ada yang terkesan mempersalahkan masa lalunya dan masih marah kepada dirinya sendiri (lih. "Bersiaplah Bertemu dengan Allahmu" di Selamat Panjang Umur, dan "Memento Mori", "Seorang Musuh" di Selamat Mewaris).

Sebaliknya, di antara umat GKI ada pula yang tinggi sadar kematian. Ada yang sudah berpesan minta lagu tertentu untuk pemakamannya. Ada ibu sudah memisahkan kain dan kebaya yang ingin dikenakannya pada waktu dunia. Seorang ibu setiap kali saya berkunjung tersenyum lemah dan berlirih, "Pendeta Andar, sebentar waktu berdoa, jangan minta Tuhan sembuhkan saya. Saya sudah menunggu dipanggil pulang." Seorang penatua sering mengingatkan, "Wewenang kita hanya tinggal beberapa tahun lagi, apakah keputusan kita ini akan dinilai bijak oleh Majelis Gereja angkatan berikut?"

Selama menjadi pendeta saya juga mengamati bahwa umat yang semasa hidupnya berwatak ramah, akur, dan suka menolong, biasanya menghadapi ajal dengan tenang. Sebaliknya, umat yang suka bertengkar dan benci sana-sini biasanya terguncang dan berontak pada saat ajalnya. Temuan ini sejalan dengan dalil-dalil psikologi dan pedagogi orang dewasa.

Dari uraian itu tampak bahwa sadar kematian diperlukan bukan hanya nanti menjelang kematian, melainkan justru sejak sekarang. Sadar kematian justru berurusan dengan hidup kita sekarang, yaitu bagaimana kita menyikapi hidup. Apakah kita menyia-nyiakan atau membuahkan masa hidup, apakah kita mengisi hidup dengan serakah dan benci ataukah dengan murah hati dan cinta sayang. Oleh sebab itu, sadar kematian perlu kita perbarui tiap hari.

Demikian juga, sadar kematian bukan hanya urusan dengan Tuhan secara vertikal, melainkan juga urusan dengan orang sekitar secara horizontal. Sadar kematian menyangkut hubungan hidup. Sadar kematian berinti pemaafan dan pengampunan. Mau mengampuni dan minta diampuni. Bukan setahun sekali, melainkan setiap hari.

Sadar kematian adalah gaya hidup. Apakah kita mengumbar kehendak kita, ataukah kita belajar menempatkan segala kehendak kita di bawah kehendak Tuhan? Kehendak Tuhan sudah jelas, yaitu agar tiap hari kita mencintai Tuhan, orang lain, dan diri kita sendiri. Doa Kristus ini mengungkap sadar kematian-Nya, "... Jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi" (Luk. 22:42, TB2).