TELUR COLOMBUS

TELUR COLOMBUS

Bertahun-tahun petapa itu menjauhkan diri dari segala perkara duniawi. Ketekunan imannya sungguh mengagumkan. Godaan apa pun tidak mempan menjatuhkan dia. la bersih dari sifat buruk. Ia tidak pernah membenci seseorang. Ia tidak pernah marah. Hidupnya betul-betul suci.

Pada suatu hari seorang teman mengunjungi petapa itu dan membawa berita tentang adik petapa itu yang juga menjadi petapa di tempat yang lain. "Adikmu telah diangkat menjadi kepala paguyuban petapa." Mendengar berita tersebut, petapa itu langsung berdiri dengan mata melotot. Mukanya merah karena amarah. Dengan nada jengkel ia berteriak, "Mengapa dia? Mengapa bukan aku?!"

Apa sebabnya petapa itu tiba-tiba bereaksi demikian? Bagaimana analisis psikologis memahami reaksi itu? Jawabnya singkat sekali, hanya sebuah kata yang terdiri atas tiga huruf: iri. Iri adalah sifat yang tersembunyi di lapisan bawah hati orang. Iri hati alias sirik, dengki atau cemburu bisa tersembunyi di balik kebaikan hati, senyum, dan keramahtamahan. Seperti kata Yesus, "... dari dalam, dari hati orang, timbul... iri hati..." (Mrk. 7:21-22).

Faktor-faktor apa yang menimbulkan rasa iri? Alfred Adler (1870-1937) menelaah gejala kejiwaan yang disebut dorongan untuk mengungguli, yaitu dorongan untuk selalu melebihi orang lain dan berada di atas orang lain. Pengidap gejala ini mudah panas hati sebab dalam kenyataannya memang mustahil untuk selalu berada pada posisi unggul melebihi orang lain. Perasaan tersebut bisa berkembang menjadi kompleks inferior atau rasa rendah diri.

Ini sebuah contoh. Di kelas ada seorang juara kelas. Reaksi kejiwaan para murid lain berbeda-beda. Ada yang merasa biasa-biasa saja. Ada yang kecewa bahwa ia tidak menjadi juara, namun mengakui bahwa ia memang kalah pandai. Ada yang kagum pada juara kelas itu. Ada yang merasa turut gembira bahwa kawannya itu menjadi juara kelas dan mengucapkan selamat. Tetapi ada pula murid yang merasa panas hati. la kurang senang bahwa kawannya menjadi juara kelas. Perasaan ini timbul karena di dalam dirinya ada dorongan untuk selalu harus mengungguli atau melebihi orang lain. Rasa iri ini bisa berkembang menjadi perilaku benci, memusuhi, dan menyingkirkan. Gejala ingin selalu mengungguli bisa jadi timbul akibat pendidikan yang keliru dalam keluarga. Mungkin orangtua anak itu memberi teladan sikap "tidak mau kalah" dari orang lain. Atau, orangtua itu suka pilih kasih dan membanding-bandingkan adik dan kakak. Akibatnya, di rumah itu ada suasana iri yang membuat sulit merasa bahagia. Karena ia selalu mempunyai kebutuhan untuk mengungguli atau melebihi orang lain, ia sering menjadi kecewa atau panas hati. Ia tidak mampu mencapai target yang dipasangnya sebab memang tidak ada orang yang dalam segala bidang selalu menjadi nomor satu. Akibatnya, ia merasa dikalahkan. Menurut Adler perasaan iri tersebut menjadi inti banyak macam gangguan kejiwaan.


Sebenarnya, seorang pengiri tahu bahwa ia menjadi korban sikapnya sendiri. Ketika kawannya membuat lukisan bagus dan memasang lukisan itu di kantor, ia berpura-pura tidak tahu, padahal semua orang di kantor itu memuji dan menikmati keindahan lukisan itu. Tiap kali ia melewati lukisan itu ia buang muka. Ia bersikap seolah-olah lukisan itu tidak eksis. Akan tetapi, hatinya panas setiap kali melihat lukisan itu. Ketenangan hatinya terganggu oleh iri hati. Seperti kata Amsal, "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang" (14:30). Rasa iri membuat kita selalu merasa kurang senang melihat orang lain berada di atas kita. Akibatnya kita sirik dan ingin menjadi sekaya si A, sepandai si B, dan secantik si C. Titah dalam Sepuluh Firman memang relevan untuk tiap orang, "Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya atau apa pun yang dipunyai sesamamu" (Kel. 20:17).

Perasaan iri membuat kita membohongi diri sendiri. Ketika kawan kita membuat lukisan yang bagus, kita bukan mengakui kenyataan bahwa dia memang lebih pandai melukis daripada kita. Sebaliknya, kita malah berkata, "Ah, cuma lukisan sederhana. Itu mudah. Aku juga bisa. Cuma aku belum sempat."

Ketika Columbus menjadi orang pertama yang berhasil mengarungi samudra menuju bagian dunia yang baru, ada beberapa rekannya yang iri. Mereka berkata, "Ah, itu mudah. Kami juga bisa." Melihat sikap mereka, Columbus mengundang mereka duduk di sekitar meja. Lalu Columbus mengeluarkan sebutir telur rebus sambil bertanya, "Siapa bisa membuat telur ini berdiri tegak di meja?" Seorang demi seorang mencoba. Tetapi tidak ada yang sanggup. Mana bisa telur lonjong dibuat berdiri tegak? Akhirnya mereka menyerah. Columbus ke permukaan meja memegang telur rebus itu lalu menghentakkan ujungnya ke permukaan meja. Pada saat itu juga telur rebus itu berdiri tegak. Melihat itu orang-orang tadi berkata, "Oh, begitu. Itu gampang. Kami juga bisa." Sejak itu ada ungkapan "Telur Columbus". Itulah telur yang berdiri di antara seorang yang betul-betul mencari dan berprestasi dengan seorang yang kerjanya cuma mengiri dan berpretensi.