KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

KRISTUS SANG TELADAN PELAYANAN, TERNYATA HARUS MATI!

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mrk. 10:45)

Menjadi pelayan adalah citra kepemimpinan tandingan yang Yesus ajarkan untuk menghadapi dan menjawab tantangan budaya umum yang ditandai dengan hierarki meruncing ke atas. Model alternatif ini menjungkirbalikkan piramida kepemimpinan hingga meruncing ke bawah. Yang pertama menjadi terakhir; pemimpin menjadi pelayan. Mengapa model alternatif ini sungguh menawan? Tidak lain karena Yesus tidak sekadar menyarankan, namun Ia meneladankannya, melalui kehidupan-Nya sendiri.

Itulah sebabnya, segera setelah ia mengusulkan model kepemimpinan-hamba sebagai alternatif atas model kepemimpinan tangan-besi (Mrk. 10:42-44), la berkata bahwa Anak Manusia-yaitu diri-Nya sendiri-menunjukkan hidup seorang pelayan itu melalui kehidupan-Nya sendiri (ay. 45). Paulus, dengan kekaguman yang sangat besar atas keteladanan Yesus Kristus ini, mengutip sebuah madah tentang kehidupan Yesus yang berani dan rela mengosongkan diri (Flp. 2:5-11).

Bagian pertama madah (ay. 5-8) menggambarkan Sang Allah yang mengosongkan diri-Nya (kenosis) dan menjadi seperti manusia. Tak berhenti di situ. Dia menjadi hamba yang menderita dan mati. Bahkan mati di atas kayu salib. Sebuah insan menuruni anak tangga kehinaan, hingga nadir. Itulah sebabnya bagian kedua madah ini (ay. 9-11) menuturkan tentang Sang Bapa yang meninggikan Dia di atas segala-galanya.

Acap kali, orang-orang Kristen, mungkin juga kita, lebih menyukai bagian kedua madah tadi. Yesus yang dimuliakan lebih ketimbang Yesus yang merendahkan diri. Ini terlihat jelas dalam khotbah-khotbah serta nyanyian-nyanyian rohani kita. Dan sungguh mengkhawatirkan jika kita beranggapan bahwa salib adalah bagian Yesus: kita hanya menikmati kemuliaan sebagai hasil dari salib itu. Jika memang demikian, sesungguhnya kita sedang mengejar sebuah kemuliaan murahan. Padahal, menurut Martin Luther. "cruz sola est nostra theologia"-salib merupakan satu-satunya teologi kita.

Salib Kristus merupakan identitas sesungguhnya dari komunitas Kristen. Itu sebabnya, Paulus memunculkan madah Kristus itu setelah menasihati warga jemaat di Filipi untuk membangun komunitas iman di atas dasar "pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus" (ay. 50)-pikiran dan perasaan yang sudi mengosongkan diri serta melayani sesama. Pikiran dan perasaan yang tersalib!

Yang seharusnya paling kita khawatirkan dalam kehidupan gereja ialah kesediaannya dan semangat besarnya dalam mengadopsi kepemimpinan-hamba, namun memanipulasinya sedemikian rupa hingga yang muncul dalam praktik masih saja sebuah hierarki meruncing ke atas.

Para pemimpin Kristen terlalu mudah untuk menuturkan kata-kata seperti "melayani" atau "pelayanan", namun dalam kenyataannya justru mempraktikkan dan melestarikan pola hierarkis yang berporos pada semangat "kekuasaan atas" [power over) sesama. Persis seperti para murid yang tak henti-hentinya berebut tempat pertama dan utama (Mrk. 10:35-41). Sungguh mengenaskan!

PELAYANAN SEORANG TEMAN

PELAYANAN SEORANG TEMAN

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Mrk. 15:21)

Bacalah Markus 15:20 langsung diteruskan ke ayat 22. Apa kesan Anda? Saya sendiri menangkap kesan kuat bahwa alur kisah atau drama sengsara Yesus mengalir lancar. Artinya, tanpa ayat 21 pun, tak akan ada yang berubah. Namun, penulis Injil Markus secara sengaja menyisipkan sebuah interupsi terhadap alur tersebut, dengan memasukkan tiga nama yang tidak dominan dalam seluruh Injil: Simon orang Kirene dan kedua anaknya, Alexander dan Rufus. Sebuah interupsi yang pada akhirnya justru membawa perubahan radikal dalam kehidupan keluarga ini.

"Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela- sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita."

Sungguh sial nasib Simon dari Kirene. Dalam perjalanan ke luar kota (mungkin untuk berbisnis atau berwisata dengan kedua anaknya), ia tersedot ke dalam gelombang massa yang menyaksikan arak-arakan di via dolorosa-jalan sengsara. Yesus memikul salib-Nya dalam getir dan derita. Para penyiksa Yesus pun di Remang Pagi kemudian memaksa Simon untuk mengangkat salib Yesus menuju ke Golgota.

Pernahkah Anda berada di dalam sebuah situasi keterpaksaan. Terpaksa mengantar teman yang rumahnya berjarak belasan kilometer: terpaksa menunggui teman yang dirawat di rumah sakit, terpaksa melakukan sebuah karya yang jika tidak dilakukan nasib banyak orang akan terlantar. Padahal, kita sendiri memiliki seribu satu agenda penting yang akhirnya tak terpenuhi.

Simon dari Kirene sungguh dipaksa memikul salib Yesus. Jelas, la terpaksa memikul salib Yesus itu. Memang, kita tak mendapat informasi cukup, apakah keterpaksaan Simon akhirnya berubah menjadi kerelaan yang dilakoninya dengan penuh sukacita. Sangat mungkin tidak. Namun, sesuatu yang baik ternyata sungguh terjadi dari balik keterpaksaan itu. Bukan saja Yesus yang sudah tak kuat lagi memikul salib akhirnya tertolong, namun Dia juga memperoleh seseorang yang berada di samping-Nya; seseorang yang menemani-Nya.

Tak heran, di sepanjang via dolorosa itu, Yesus tak pernah sekali pun mengeluh. Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela-sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita. Barulah setelah Simon dari Kirene itu selesai memikul salib dan tiba di Bukit Golgota, dan ia raib dari kisah sengsara itu, Yesus merasakan kesendirian yang amat sangat; kesendirian yang membuat ia berteriak, "Eli, Eli, lama sabakhtani?...Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mrk. 15:34).

Di dalam teriakan itulah, kita menyaksikan Yesus yang bukan hanya tidak merasakan kehadiran Allah di dalam penderitaannya, namun juga merasakan ketidakhadiran seorang teman-seperti Simon dari Kirene.


 

MELIHAT SINGA DI DALAM SEBONGKAH BATU

MELIHAT SINGA DI DALAM SEBONGKAH BATU

 


Allah melihat bahwa semuanya itu baik. (Kej. 1:10)

Suatu kali, seorang anak kecil dengan penuh kekaguman bertanya pada seorang pematung, "Bagaimana caranya, Bapak bisa menciptakan patung singa dari batu yang sangat indah ini?" Lalu, dengan bijak, sang pematung menjawab, "Ketika mulai memahat sebongkah batu, saya melihat seekor singa di dalamnya. Saya hanya mengeluarkan singa itu dari bongkahan batu itu."

Melihat singa di dalam sebongkah batu!

Makna hidup sangat ditentukan oleh bagaimana kita melihat seluruh kenyataan. Melihat (contemplate) merupakan sebuah tindakan iman, yang percaya bahwa ada kebaikan yang mendalam dan indah di balik semua kenyataan telanjang yang tampak. Melihat juga merupakan satu dari tindakan-tindakan Allah yang pertama kali dicatat di dalam Alkitab. Setelah Allah menciptakan unsur-unsur semesta, la "melihat bahwa semuanya itu baik." (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). "Melihat dengan mata ketiga, mata iman, berarti melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang tampak depan mata..."

Dunia memang tampak makin menggelisahkan untuk ditinggali. Penderitaan menjadi berita sesehari yang memasuki indra: Penglihatan serta pendengaran dan bahkan pikiran serta hati. Akan tetapi, setiap pegiat sosial diundang untuk tetap beriuang mendatangkan kesejahteraan, perdamaian, dan keadilan. Dan perjuangan seperti ini tentulah bakal luruh dengan cepat jika kita punya kemampuan dan kemauan untuk melihat realitas iman, yaitu, berusaha melihat kebaikan Allah di dalam dan di semua realitas yang sangat mungkin buruk itu.

Victor Frankl, seorang Yahudi yang pernah mengalami kepahitan hidup di kamp tahanan Nazi, berkisah tentang pilihan yang diambilnya untuk bertahan hidup di dalam situasi ekstrem yang sangat mungkin menghancurkan martabat kemanusiaannya itu. la memilih untuk melihat kebaikan di dalam peristiwa-peristiwa kecil di dalam keseharian hidup yang menyedihkan itu. Frankl berkisah tentang seorang tahanan yang rela memberikan satu-satunya roti yang dimilikinya kepada sesama tahanan. Atau, seorang prajurit NAZI yang memberi bubur sedikit lebih banyak kepada seorang tahanan Yahudi yang tua. Ternyata, masih saja ada kebaikan yang muncul di dalam samudera penderitaan.

Melihat dengan mata ketiga, mata iman, berarti melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang tampak di depan mata; sama seperti Tuhan yang melihat kebaikan di balik dan di dalam semua yang diciptakan-Nya. Namun, melihat dengan mata iman juga berarti melihat masa depan yang melampaui kenyataan masa kini. Spiritualitas semacam inilah yang muncul di dalam Wahyu 21, ketika Kristus mengundang semua manusia, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu barul" (Why. 21:5). Selalu ada yang baik dan yang baru di dalam dan di balik sema yang tampak di depan mata. Belajarlah, untuk mampu melihat seekor singa di dalam sebongkah batu.

AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

 


Susan Hayward adalah bintang film top pada tahun 60-an. Pernah ia berperan sebagai wanita yang kena kanker otak dan bergumul dengan maut sambil merintih, "Aku ingin hidup!? Pernah pula ia berperan sebagai seorang napi yang kena vonis hukuman mati, lalu meronta dan berteriak-teriak, "Aku ingin hidup!"

Mengharukan bahwa ternyata akhirnya ia sendiri kena penyakit kanker otak dan di akhir hidupnya ia pun berteriak, "Aku ingin hidup!"

Buku biografinya mengabadikan teriakan itu sebagai judul, yaitu: I want to live!

Bukan hanya Susan Hayward, melainkan kita semua pun ingin hidup. Buktinya kita segera meloncat ke pinggir kalau melihat sebuah bis akan menyeruduk.

Sebenarnya bukan hanya ingin hidup, tetapi kita pun ingin mempertahankan hidup. Korban-korban kapal yang tenggelam selama empat hari empat malam berpegang kepada papan melawan gelombang laut. Untuk apa? Untuk mempertahankan hidup. Orang masuk rumah sakit, dibedah, disinar, diinfus, dan sebagainya. Untuk apa? Untuk memperpanjang hidup.

Kita ingin hidup. Tiap hari Minggu kita pun mengucapkan pengakuan iman: "... dan hidup yang kekal". Apa artinya? Banyak orang mengira bahwa hidup yang kekal adalah hidup sesudah meninggal dunia yang sifatnya baka.

Tetapi menurut Tuhan Yesus, "Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus" (Yoh. 17:3).

Apa artinya "mengenal Engkau" dan "mengenal Yesus Kristus"?

Dalam Alkitab kata "mengenal" bukan digunakan dalam arti mengetahui, seperti kita mengenal Pak RT. Di Alkitab "mengenal" berarti mempunyai hubungan yang khusus dan akrab. Jadi, hidup kekal adalah hidup dalam persekutuan yang benar dengan Tuhan. Sebagai konsekwensi logisnya, itu pun harus berarti hidup dalam persekutuan yang benar dengan orang lain. Karena itu, hidup kekal bukan pertama-tama menekankan pan jangnya waktu, melainkan mutu dan isinya hidup. Hidup yang kekal berarti hidup yang sejati atau hidup yang bermutu. Dari keempat ki tab Injil, yang paling menekankan hal itu adalah Injil Yohanes. Lamar Williamson dalam buku Preaching the Gospel of John menulis, "The life John is interested in is not primarily biological, nor is eternal life only chronological. For John life (zoe) is relational and qualitative. It signifies an intimate knowledge of God, available only through knowing Jesus Christ, God's only son, and it issues in abundant living."

Bilamana hidup yang sejati itu bisa terlaksana? Bukan nanti kalau sudah mati. Melainkan mulai dari sekarang ini, selagi kita berada di dunia ini. Di dalam Yohanes 14:7, Yesus berkata, "Sekarang ini ka mu mengenal Dia."

Mengapa sejak sekarang ini hidup yang bermutu itu sudah dapat dimulai? Karena hidup yang seperti itu terdapat dalam Yesus Kristus. Kristuslah yang memberi hidup itu. la berkata, "Akulah ... hidup." Oleh peristiwa Paskah, pemberian-Nya itu menjadi berlaku.


Dengan demikian, hidup kita mempunyai tujuan yang shidup berharga: Hidup untuk Tuhan dan hidup untuk orang lain, sebagai mana juga Tuhan hidup untuk kita dan orang lain hidup untuk kita. itulah tujuan hidup: Untuk saling hidup!

 Kalau itu tujuan hidup, bukankah kita jadi bersemangat, dan hidup ini menjadi patut dihidupi atau worth living? Bukankah kita pun jadi ingin berteriak, "Aku ingin hidup!"

Bahkan, kalau hidup begitu berharga - walaupun banyak luka dan bisanya bukankah kita juga ingin hidup penuh semangat juang seperti Chairil Anwar: Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari hingga hilang pedih perih. Dan aku akan lebih tidak peduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi!!

MASIH ADAKAH MUJIZAT?

MASIH ADAKAH MUJIZAT?

 


Sebagai orang zaman modern apa kita percaya akan cerita-cerita mukjizat di Alkitab? Sebetulnya, apa itu mukjizat? Mukjizat adalah kejadian yang tidak lazim dan tidak masuk akal. Apa sekarang masih ada mukjizat?

Kesulitan pertama untuk memahami cerita mukjizat adalah perbedaan cara berpikir kita dengan cara berpikir para penulis Perjanjian Lama. Kita membedakan kejadian biasa dan kejadian ajaib. Kita membedakan kejadian masuk akal dan tidak masuk akal. Akan tetapi, para penulis Perjanjian Lama tidak berbuat begitu. Mereka memakai ragam sastra yang tidak membedakan kenyataan dan keyakinan. Fakta dan opini tidak dibedakan. Juga, kejadian biasa dan kejadian ajaib tidak dibedakan.

Misalnya, turunnya hujan disebut nifla'ot yang berarti "ajaib" (lih. Ayb. 5:9-10). Kejadian biasa semisal kabut, kilat, dan angin disejajarkan dengan kejadian ajaib semisal terbelahnya laut (lih. Mzm. 135:6-12). Jadi, untuk penulis Perjanjian Lama kejadian biasa terkadang dinilai ajaib, sebaliknya kejadian ajaib terkadang dinilai biasa-biasa saja.

Selanjutnya, para penulis Perjanjian Baru mengartikan mukjizat bukan dari dampaknya, yaitu sensasi, melainkan dari fungsinya, yaitu sebagai tanda datangnya Kerajaan Allah dalam diri Yesus. Kata mukjizat adalah terjemahan dari tiga kata berbeda, yaitu semeia (artinya tanda'), dunameis (artinya 'kuasa'), dan terata (artinya 'ajaib').

Tentang fungsi mukjizat Yesus berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa-Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Luk. 11:20).

 Itu berarti bahwa Yesus melakukan mukjizat bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat atau tanda yang menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Mesias yang sudah ditunggu berabad-abad.

Itu fungsi mukjizat. Kalau begitu tujuannya apa? Ketika mendengar bahwa Lazarus meninggal dan sudah dimakamkan, berkatalah Yesus,"... syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu ... supaya kamu dapat belajar percaya" (Yoh. 11:15). Kemudian di depan kuburan Yesus berdoa memohon kuasa melakukan mukjizat, "... supaya mereka percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (ay. 42).

 Jelaslah, tujuan Yesus melakukan mukjizat adalah agar umat percaya dan bertobat kepada Allah. Dalam hubungan itu, Yesus mengecam penduduk Khoraizim dan Betsaida karena mereka ingin melihat mukjizat, namun tidak mau bertobat (lih. Luk. 10:13).

Oleh sebab itu, Yesus menolak melakukan mukjizat jika itu hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu dan sensasi (lih. Mrk. 8:11-13). Yesus melakukan mukjizat sebagai tanda. Sebuah tanda berfungsi menandakan. Apa yang ditandakan?Tanda itu menandakan bahwa Kerajaan Allah yang ditunggu sejak zaman Musa kini sudah datang.

Akan tetapi, biasanya orang kurang teliti membedakan tanda dan apa yang ditandakan. Orang tertarik pada cerita mukjizat, namun mengabaikan pesan yang tersembunyi di dalamnya.

Mukjizat terdiri atas dua unsur. Unsur pertama, ia menyimpang dari kelaziman hukum alam. Unsur kedua, ia diyakini sebagai ran cangan Allah untuk maksud tertentu.

Dalam praktiknya orang cuma memegang salah satu unsur. Ada orang yang hanya memegang unsur perbuatan Allah. Sebaliknya, ada orang yang hanya memegang unsur hukum alam. Padahal kedua unsur itu sama-sama diperlukan untuk menemukan pesan terselubung dalam cerita itu.

Misalnya, di Yosua 10 ada cerita bahwa matahari berhenti selama sehari penuh di atas kota Gibeon. Orang yang hanya pegang unsur perbuatan Allah berkata, "Pokoknya aku percaya sebab ada di Alkitab." Sebaliknya, orang yang hanya pegang hukum alam berkata, "Tiap pelajar juga tahu bahwa benda-benda jagat raya tidak pernah berhenti."

Padahal, jika kedua unsur itu dipegang tampak pesan ceritany yakni bahwa Allah memperpanjang kesempatan kepada umat unic melawan para raja Amori.

Contoh lain, cerita Yunus masuk perut ikan besar. Orang yang cuma pegang unsur perbuatan Allah berkata, "Jangankan Yunus masuk perut ikan paus, jika ikan paus masuk perut Yunus pun aku percaya." Sebaliknya, orang yang cuma pegang unsur hukum alam berkata, "Mana ada ikan paus yang tenggorokannya begitu besar?"

Padahal, jika kedua unsur itu dipegang tampak pesan cerita itu, yakni bahwa Allah bukan cuma mencintai bangsa Israel, melainkan segala bangsa termasuk bangsa Niniwe. Tertulis, "Bagaimana tidak Aku sayang kepada Niniwe ...?" (Yun. 4:11).

Baik sikap membela maupun sikap menolak cerita mukjizat menunjukkan ketidakmengertian tentang fungsi sebuah cerita mukjizat. Kedua sikap itu merugikan iman kita sendiri.

Penulis Alkitab tidak mempersoalkan apa cerita itu betul atau tidak, tetapi apa pembaca menemukan pesannya atau tidak. Oleh sebab itu, sekolah teologi melakukan hermeneutika, yaitu penelitian ilmiah prinsip-prinsip menafsirkan Alkitab secara historis kritis. Alkitab memang bisa ditafsirkan secara naif sambil berlindung di balik semboyan iman, "Pokoknya aku percaya, sebab ia tertulis di Alkitab." Dalam jangka panjang cara itu akan mengerdilkan gereja.

 Cerita-cerita mukjizat adalah ibarat bungkusan. Pembungkusnya bisa jadi adalah cerita yang bukan merupakan kebenaran hukum alam, namun di dalam bungkusan itu ada isi. Isinya adalah pesan Allah yang justru merupakan kebenaran yang lebih berharga. Maksud Alkitab bukanlah menceritakan hukum alam, melainkan menceritakan ke hendak Allah. Sama seperti sebungkus biskuit, yang maksudnya dikunyah dan dicerna bukan bungkusnya, melainkan biskuitnya.

Dalam buku Jesus Christ and Mythology, Rudolf Bultmann menulis, :hidden in the mythical language of the New Testament lies a supreme truth - nothing less than God's word addressed to us ..." Artinya, "... tersembunyi dalam bahasa mitos Perjanjian Baru terkandung kebenaran tertinggi-tidak kurang dari firman Allah yang ditujukan kepada kita..."

Kembali ke pertanyaan awal tentang apa itu mukjizat. Dalam buku A. van de Beek, Mukjizat dan Cerita-Cerita Mukjizat terbitan BPK Gunung Mulia diterangkan bahwa mukjizat adalah terobosan Allah menembus kelaziman untuk membuat gereja mendengarkan dan menerima rancangan-Nya. Tertulis, "... mukjizat menerobos tatanan yang biasa dan menunjuk kepada Allah."

Mukjizat adalah terobosan Allah yang menyimpang dari kelazim an. Lalu orang beriman menemukan rancangan Allah di dalamnya. Untuk menemukan rancangan Allah itu diperlukan nalar sehat atau akal waras. Jika ada orang menjanjikan keberhasilan atau kesembuhan kita berpikir dengan waras. Apakah itu rancangan Tuhan ataukah alkan kita menyerahkan sejumlah uang atau benda tertentu, perlu cuma rancangan palsu dan tipu orang itu. Janganlah kita membiarkan pikiran kita yang waras dikecoh oleh fanatisme keagamaan.

Dalam mukjizat ada penyimpangan dari kelaziman, namun bukan penyimpangan dari nalar sehat dan logika.

Pernah di kelas mahasiswa bertanya, "Apa Bapak percaya mukjizat terjadi zaman sekarang?" Saya terkejut dan terdiam. Lalu menjawab, "Saya kenal seorang pemuda berusia 17 tahun yang ingin jadi pendeta. Kepala sekolahnya mengatakan bahwa sekolah yang terbaik adalah STT Jakarta. Pemuda itu ingin masuk ke situ. Akan tetapi, ia tahu bahwa itu mustahil, sebab ia hanya punya ijazah SMP. Jelas, ia tidak memenuhi syarat."

Tampak rasa ingin tahu di kelas. Saya melanjutkan, "Akan tetapi, kemudian hari pemuda itu, yang sudah menjadi setengah baya, menerima surat resmi dari Prof. Dr. Ihromi, rektor STT Jakarta, atas nama Dewan Pengajar dan Dewan Pengurus. Isi suratnya adalah permintaan agar pemuda itu bersedia menjadi dosen penuh waktu STT Jakarta."

Tampak wajah kurang percaya di kelas. Saya meneruskan, "Ternyata itu terlaksana. Orang itu jadi dosen di sekolah kita. Sudah hampir 20 tahun ia mengajar di sini, bahkan pernah menjadi dekan program pascasarjana. Padahal ia tidak memenuhi syarat untuk jadi mahasiswa sebab ia tidak punya ijazah SMA. Terobosan ini belum pernah terjadi dalam sejarah STT Jakarta."

Kelas tampak resah. Mereka menginterupsi, "Apa Bapak sedang bergurau?" Saya menjawab, "Tidak, saya tidak bergurau. Pemuda usia 17 tahun itu adalah saya. Kalau pagi ini saya datang ke kantor dan mengisi formulir calon mahasiswa, saya pasti ditolak sebab jangankan lulus SMA, masuk SMA pun saya belum pernah. Sampai hari ini saya tidak punya ijazah SMA,"

 Reaksi kelas beragam. Ada yang mengernyitkan dahi. Ada yang geleng kepala. Ada yang berbisik-bisik.

 Lalu saya berkata, "Itu terobosan dari kelaziman. Saya yakin di belakang terobosan itu ada rancangan Tuhan. Itu mukjizat."

 Kelas menjadi hening. Ada yang menatap saya. Ada yang menunduk. Lalu saya berlirih, "Bagaimana mungkin saya tidak percaya bahwa mukjizat masih terjadi. Saya sendiri adalah produk dari sebuah mukjizat."

Bel berbunyi. Kelas masih tetap hening. Saya meninggalkan kelas itu ...