MASIH ADAKAH MUJIZAT?

MASIH ADAKAH MUJIZAT?

 


Sebagai orang zaman modern apa kita percaya akan cerita-cerita mukjizat di Alkitab? Sebetulnya, apa itu mukjizat? Mukjizat adalah kejadian yang tidak lazim dan tidak masuk akal. Apa sekarang masih ada mukjizat?

Kesulitan pertama untuk memahami cerita mukjizat adalah perbedaan cara berpikir kita dengan cara berpikir para penulis Perjanjian Lama. Kita membedakan kejadian biasa dan kejadian ajaib. Kita membedakan kejadian masuk akal dan tidak masuk akal. Akan tetapi, para penulis Perjanjian Lama tidak berbuat begitu. Mereka memakai ragam sastra yang tidak membedakan kenyataan dan keyakinan. Fakta dan opini tidak dibedakan. Juga, kejadian biasa dan kejadian ajaib tidak dibedakan.

Misalnya, turunnya hujan disebut nifla'ot yang berarti "ajaib" (lih. Ayb. 5:9-10). Kejadian biasa semisal kabut, kilat, dan angin disejajarkan dengan kejadian ajaib semisal terbelahnya laut (lih. Mzm. 135:6-12). Jadi, untuk penulis Perjanjian Lama kejadian biasa terkadang dinilai ajaib, sebaliknya kejadian ajaib terkadang dinilai biasa-biasa saja.

Selanjutnya, para penulis Perjanjian Baru mengartikan mukjizat bukan dari dampaknya, yaitu sensasi, melainkan dari fungsinya, yaitu sebagai tanda datangnya Kerajaan Allah dalam diri Yesus. Kata mukjizat adalah terjemahan dari tiga kata berbeda, yaitu semeia (artinya tanda'), dunameis (artinya 'kuasa'), dan terata (artinya 'ajaib').

Tentang fungsi mukjizat Yesus berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa-Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Luk. 11:20).

 Itu berarti bahwa Yesus melakukan mukjizat bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat atau tanda yang menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Mesias yang sudah ditunggu berabad-abad.

Itu fungsi mukjizat. Kalau begitu tujuannya apa? Ketika mendengar bahwa Lazarus meninggal dan sudah dimakamkan, berkatalah Yesus,"... syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu ... supaya kamu dapat belajar percaya" (Yoh. 11:15). Kemudian di depan kuburan Yesus berdoa memohon kuasa melakukan mukjizat, "... supaya mereka percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (ay. 42).

 Jelaslah, tujuan Yesus melakukan mukjizat adalah agar umat percaya dan bertobat kepada Allah. Dalam hubungan itu, Yesus mengecam penduduk Khoraizim dan Betsaida karena mereka ingin melihat mukjizat, namun tidak mau bertobat (lih. Luk. 10:13).

Oleh sebab itu, Yesus menolak melakukan mukjizat jika itu hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu dan sensasi (lih. Mrk. 8:11-13). Yesus melakukan mukjizat sebagai tanda. Sebuah tanda berfungsi menandakan. Apa yang ditandakan?Tanda itu menandakan bahwa Kerajaan Allah yang ditunggu sejak zaman Musa kini sudah datang.

Akan tetapi, biasanya orang kurang teliti membedakan tanda dan apa yang ditandakan. Orang tertarik pada cerita mukjizat, namun mengabaikan pesan yang tersembunyi di dalamnya.

Mukjizat terdiri atas dua unsur. Unsur pertama, ia menyimpang dari kelaziman hukum alam. Unsur kedua, ia diyakini sebagai ran cangan Allah untuk maksud tertentu.

Dalam praktiknya orang cuma memegang salah satu unsur. Ada orang yang hanya memegang unsur perbuatan Allah. Sebaliknya, ada orang yang hanya memegang unsur hukum alam. Padahal kedua unsur itu sama-sama diperlukan untuk menemukan pesan terselubung dalam cerita itu.

Misalnya, di Yosua 10 ada cerita bahwa matahari berhenti selama sehari penuh di atas kota Gibeon. Orang yang hanya pegang unsur perbuatan Allah berkata, "Pokoknya aku percaya sebab ada di Alkitab." Sebaliknya, orang yang hanya pegang hukum alam berkata, "Tiap pelajar juga tahu bahwa benda-benda jagat raya tidak pernah berhenti."

Padahal, jika kedua unsur itu dipegang tampak pesan ceritany yakni bahwa Allah memperpanjang kesempatan kepada umat unic melawan para raja Amori.

Contoh lain, cerita Yunus masuk perut ikan besar. Orang yang cuma pegang unsur perbuatan Allah berkata, "Jangankan Yunus masuk perut ikan paus, jika ikan paus masuk perut Yunus pun aku percaya." Sebaliknya, orang yang cuma pegang unsur hukum alam berkata, "Mana ada ikan paus yang tenggorokannya begitu besar?"

Padahal, jika kedua unsur itu dipegang tampak pesan cerita itu, yakni bahwa Allah bukan cuma mencintai bangsa Israel, melainkan segala bangsa termasuk bangsa Niniwe. Tertulis, "Bagaimana tidak Aku sayang kepada Niniwe ...?" (Yun. 4:11).

Baik sikap membela maupun sikap menolak cerita mukjizat menunjukkan ketidakmengertian tentang fungsi sebuah cerita mukjizat. Kedua sikap itu merugikan iman kita sendiri.

Penulis Alkitab tidak mempersoalkan apa cerita itu betul atau tidak, tetapi apa pembaca menemukan pesannya atau tidak. Oleh sebab itu, sekolah teologi melakukan hermeneutika, yaitu penelitian ilmiah prinsip-prinsip menafsirkan Alkitab secara historis kritis. Alkitab memang bisa ditafsirkan secara naif sambil berlindung di balik semboyan iman, "Pokoknya aku percaya, sebab ia tertulis di Alkitab." Dalam jangka panjang cara itu akan mengerdilkan gereja.

 Cerita-cerita mukjizat adalah ibarat bungkusan. Pembungkusnya bisa jadi adalah cerita yang bukan merupakan kebenaran hukum alam, namun di dalam bungkusan itu ada isi. Isinya adalah pesan Allah yang justru merupakan kebenaran yang lebih berharga. Maksud Alkitab bukanlah menceritakan hukum alam, melainkan menceritakan ke hendak Allah. Sama seperti sebungkus biskuit, yang maksudnya dikunyah dan dicerna bukan bungkusnya, melainkan biskuitnya.

Dalam buku Jesus Christ and Mythology, Rudolf Bultmann menulis, :hidden in the mythical language of the New Testament lies a supreme truth - nothing less than God's word addressed to us ..." Artinya, "... tersembunyi dalam bahasa mitos Perjanjian Baru terkandung kebenaran tertinggi-tidak kurang dari firman Allah yang ditujukan kepada kita..."

Kembali ke pertanyaan awal tentang apa itu mukjizat. Dalam buku A. van de Beek, Mukjizat dan Cerita-Cerita Mukjizat terbitan BPK Gunung Mulia diterangkan bahwa mukjizat adalah terobosan Allah menembus kelaziman untuk membuat gereja mendengarkan dan menerima rancangan-Nya. Tertulis, "... mukjizat menerobos tatanan yang biasa dan menunjuk kepada Allah."

Mukjizat adalah terobosan Allah yang menyimpang dari kelazim an. Lalu orang beriman menemukan rancangan Allah di dalamnya. Untuk menemukan rancangan Allah itu diperlukan nalar sehat atau akal waras. Jika ada orang menjanjikan keberhasilan atau kesembuhan kita berpikir dengan waras. Apakah itu rancangan Tuhan ataukah alkan kita menyerahkan sejumlah uang atau benda tertentu, perlu cuma rancangan palsu dan tipu orang itu. Janganlah kita membiarkan pikiran kita yang waras dikecoh oleh fanatisme keagamaan.

Dalam mukjizat ada penyimpangan dari kelaziman, namun bukan penyimpangan dari nalar sehat dan logika.

Pernah di kelas mahasiswa bertanya, "Apa Bapak percaya mukjizat terjadi zaman sekarang?" Saya terkejut dan terdiam. Lalu menjawab, "Saya kenal seorang pemuda berusia 17 tahun yang ingin jadi pendeta. Kepala sekolahnya mengatakan bahwa sekolah yang terbaik adalah STT Jakarta. Pemuda itu ingin masuk ke situ. Akan tetapi, ia tahu bahwa itu mustahil, sebab ia hanya punya ijazah SMP. Jelas, ia tidak memenuhi syarat."

Tampak rasa ingin tahu di kelas. Saya melanjutkan, "Akan tetapi, kemudian hari pemuda itu, yang sudah menjadi setengah baya, menerima surat resmi dari Prof. Dr. Ihromi, rektor STT Jakarta, atas nama Dewan Pengajar dan Dewan Pengurus. Isi suratnya adalah permintaan agar pemuda itu bersedia menjadi dosen penuh waktu STT Jakarta."

Tampak wajah kurang percaya di kelas. Saya meneruskan, "Ternyata itu terlaksana. Orang itu jadi dosen di sekolah kita. Sudah hampir 20 tahun ia mengajar di sini, bahkan pernah menjadi dekan program pascasarjana. Padahal ia tidak memenuhi syarat untuk jadi mahasiswa sebab ia tidak punya ijazah SMA. Terobosan ini belum pernah terjadi dalam sejarah STT Jakarta."

Kelas tampak resah. Mereka menginterupsi, "Apa Bapak sedang bergurau?" Saya menjawab, "Tidak, saya tidak bergurau. Pemuda usia 17 tahun itu adalah saya. Kalau pagi ini saya datang ke kantor dan mengisi formulir calon mahasiswa, saya pasti ditolak sebab jangankan lulus SMA, masuk SMA pun saya belum pernah. Sampai hari ini saya tidak punya ijazah SMA,"

 Reaksi kelas beragam. Ada yang mengernyitkan dahi. Ada yang geleng kepala. Ada yang berbisik-bisik.

 Lalu saya berkata, "Itu terobosan dari kelaziman. Saya yakin di belakang terobosan itu ada rancangan Tuhan. Itu mukjizat."

 Kelas menjadi hening. Ada yang menatap saya. Ada yang menunduk. Lalu saya berlirih, "Bagaimana mungkin saya tidak percaya bahwa mukjizat masih terjadi. Saya sendiri adalah produk dari sebuah mukjizat."

Bel berbunyi. Kelas masih tetap hening. Saya meninggalkan kelas itu ...