PELAYANAN SEORANG TEMAN

PELAYANAN SEORANG TEMAN

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Mrk. 15:21)

Bacalah Markus 15:20 langsung diteruskan ke ayat 22. Apa kesan Anda? Saya sendiri menangkap kesan kuat bahwa alur kisah atau drama sengsara Yesus mengalir lancar. Artinya, tanpa ayat 21 pun, tak akan ada yang berubah. Namun, penulis Injil Markus secara sengaja menyisipkan sebuah interupsi terhadap alur tersebut, dengan memasukkan tiga nama yang tidak dominan dalam seluruh Injil: Simon orang Kirene dan kedua anaknya, Alexander dan Rufus. Sebuah interupsi yang pada akhirnya justru membawa perubahan radikal dalam kehidupan keluarga ini.

"Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela- sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita."

Sungguh sial nasib Simon dari Kirene. Dalam perjalanan ke luar kota (mungkin untuk berbisnis atau berwisata dengan kedua anaknya), ia tersedot ke dalam gelombang massa yang menyaksikan arak-arakan di via dolorosa-jalan sengsara. Yesus memikul salib-Nya dalam getir dan derita. Para penyiksa Yesus pun di Remang Pagi kemudian memaksa Simon untuk mengangkat salib Yesus menuju ke Golgota.

Pernahkah Anda berada di dalam sebuah situasi keterpaksaan. Terpaksa mengantar teman yang rumahnya berjarak belasan kilometer: terpaksa menunggui teman yang dirawat di rumah sakit, terpaksa melakukan sebuah karya yang jika tidak dilakukan nasib banyak orang akan terlantar. Padahal, kita sendiri memiliki seribu satu agenda penting yang akhirnya tak terpenuhi.

Simon dari Kirene sungguh dipaksa memikul salib Yesus. Jelas, la terpaksa memikul salib Yesus itu. Memang, kita tak mendapat informasi cukup, apakah keterpaksaan Simon akhirnya berubah menjadi kerelaan yang dilakoninya dengan penuh sukacita. Sangat mungkin tidak. Namun, sesuatu yang baik ternyata sungguh terjadi dari balik keterpaksaan itu. Bukan saja Yesus yang sudah tak kuat lagi memikul salib akhirnya tertolong, namun Dia juga memperoleh seseorang yang berada di samping-Nya; seseorang yang menemani-Nya.

Tak heran, di sepanjang via dolorosa itu, Yesus tak pernah sekali pun mengeluh. Seorang teman yang berada di samping-entah terpaksa atau sukarela-sungguh memberi kekuatan untuk mampu melakoni derita. Barulah setelah Simon dari Kirene itu selesai memikul salib dan tiba di Bukit Golgota, dan ia raib dari kisah sengsara itu, Yesus merasakan kesendirian yang amat sangat; kesendirian yang membuat ia berteriak, "Eli, Eli, lama sabakhtani?...Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mrk. 15:34).

Di dalam teriakan itulah, kita menyaksikan Yesus yang bukan hanya tidak merasakan kehadiran Allah di dalam penderitaannya, namun juga merasakan ketidakhadiran seorang teman-seperti Simon dari Kirene.