CIRI-CIRI CENDEKIAWAN
Cendekia atau inteligen berarti tajam pikiran dalam memahami masalah serta cakap mencari jalan keluarnya. Cendekiawan adalah orang yang mampu berpikir dengan tajam untuk memahami masalah dan menyumbangkan jalan keluar dari masalah itu bagi kebaikan orang banyak. Jadi, sebenarnya kaum cendekiawan atau inteligensia bukan hanya mereka yang bergelar sarjana atau berkedudukan manajer. Seorang petugas di kantor yang hanya lulusan sekolah dasar bisa saja memilik sifat cendekia. Sebaliknya, manajer yang bergelar MBA bisa jadi kurang cendekia. Namun, dalam praktiknya, cendekiawan memang berarti orang yang terpelajar atau pandai.
Pengertian terpelajar juga perlu diluruskan. Banyak mahasiswa dan sarjana yang baru lulus mengira bahwa ciri orang pandai adalah berbicara secara sulit dan rumit. Mereka mengira bahwa ciri makalah yang ilmiah adalah adanya istilah-istilah yang hebat dan berbau asing. Padahal, ciri sebuah pemikiran yang ilmiah adalah adanya uraian yang teratur dan jelas, adanya penilaian yang pada satu pihak didukung oleh penalaran yang mendasar, namun pada lain pihak tetap terbuka untuk diperbaiki atau diubah lagi.
Ciri utama cendekiawan adalah kejernihan pemikirannya dan manfaat pemikiran itu bagi kepentingan umum. Seorang cendekiawan tidak hanya pandai berpikir untuk kepentingan dirinya atau kepentingan golongannya sendiri, tetapi untuk kepentingan semua golongan yang ada. Jika masalahnya menyangkut pertikaian antara dua pihak, ciri pola pikir cendekiawan adalah sumbangan pemikirannya yang membawa kebaikan dan mendamaikan kedua pihak. Dalam istilah gagahnya, ciri pemikiran cendekiawan adalah inklusif (dari to include = mengikutsertakan, merangkul, atau memasukkan) sebagai lawan dari ekslusif (dari to exclude = menyisihkan, menyingkirkan, mengeluarkan). Ciri pemikiran cendekiawan yang lainnya adalah kontributif (dari to contribute = menyumbang manfaat) bagi semua pihak.
Oleh karena itu, fungsi utama organisasi cendekiawan adalah menelaah masalah masyarakat umum dan menyumbangkan jalan keluar yang berguna untuk orang banyak. Merupakan salah kaprah kalau orang masuk sebuah ikatan cendekiawan untuk mencari kedudukan atau pengaruh, sebab ciri cendekiawan bukanlah kedudukan melainkan pemikiran. Kalau orang ingin mencari kedudukan, jalurnya bukanlah organisasi cendekiawan, melainkan organisasi sosial politik. Juga keliru kalau sebuah ikatan cendekiawan hanya memperjuangkan kepentingan satu golongan lalu menyisihkan kepentingan golongan lain sebab ciri cendekiawan adalah justru mengikutsertakan semua golongan dan menyumbangkan manfaat bagi semua golongan tanpa membuat pembedaan (diskriminasi) atas dasar apa pun. Cendekiawan yang bersifat eksklusif dan diskriminatif menyangkal hakikat dirinya sendiri sebagai cendekiawan.
Sebab itu, tempat di mana para cendekiawan belajar dan bekerja merupakan ajang utama perwujudan sifat-sifat cendekia. Sebuah perguruan tinggi, misalnya, adalah tempat di mana para pelajar dan pengajarnya melakukan banyak penelitian (kepustakaan, lapangan, laboratorium, dsb.) dan menyumbangkan hasil penelitian itu dalam bentuk buku, penemuan, atau karya lainnya. Tiap orang yang cendekia berhak untuk berkarya di perguruan tinggi tanpa pembedaaan atas dasar apa pun. Dalam hubungan ini Sekolah Tinggi Teologi Jakarta membuat pernyataan inklusif itu secara tertulis, "Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tidak membuat pembedaan atas dasar jenis kelamin, suku keturunan/kebangsaan, aliran gereja, pandangan teologi, pandangan ideologi, keadaan fisik, usia, atau faktor-faktor non-akademis/non psikis lainnya."
Pola kerja cendekiawan adalah sifat inklusif dan kontributif. Beberapa cerita kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa Tuhan Yesus berpola kerja seperti itu, misalnya cerita dalam Yohanes 9. Masalah dalam cerita itu adalah tempat para penyandang cacat fisik dalam masyarakat. Agaknya, pada zaman itu ada cukup banyak penyandang cacat di kota Yerusalem. Karena tidak mendapat pekerjaan mereka menjadi peminta-minta. Akibatnya kehadiran mereka terasa mengganggu.
Lalu orang-orang mulai mempersoalkan siapakah yang berdosa sehingga terjadi cacat itu, apakah penyandang cacat itu sendiri ataukah orangtuanya? Perhatikan pola pikir orang-orang ini. Yang mereka lakukan bukanlah menolong para penyandang cacat, melainkan menuduh bahwa penyandang cacat atau orangtuanya berdosa. Inikah cara berpikir orang beragama? Mempersoalkan wanita berpakaian minim sebagai dosa, tetapi tidak berbuat apa-apa bagi gelandangan berpakaian minim di kolong jembatan.
Rupanya hubungan antara cacat dengan dosa itu menimbulkan perbedaan pendapat. Sekelompok berpendapat itu dosa penyandang cacat sendiri, yang lain berpendapat itu dosa orangtuanya. Mungkin perbedaan pendapat itu ada juga di antara kedua belas murid Yesus. Sebab itu mereka bertanya, "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (ay. 2).
Pertanyaan itu cukup menjebak sebab jawabnya sudah digiring pada salah satu dari pilihan yang hanya dua Jawaban itu dapat digunakan oleh satu kelompok untuk menjatuhkan kelompok yang lain. Tetapi, baik jawaban pertama maupun jawaban kedua tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi penyandang cacat sebab ia tetap saja tersingkir dari masyarakat. Kedua jawaban itu juga tidak memberi manfaat bagi masyarakat sebab masyarakat tetap saja menghakimi penyandang cacat dan orangtuanya sebagai pendosa, dan kedua jawaban itu tetap memecah-belah masyarakat dalam dua golongan pendapat.
Lalu apa jawaban Tuhan Yesus? Ternyata Yesus tidak memilih jawaban pertama ataupun jawaban kedua. Yesus sama sekali tidak menghubungkan penderitaan atau penyakit penyandang cacat dengan dosa. Yesus menjawab, "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia" (ay. 3), Segera setelah itu Yesus menyembuhkan penyandang cacat tadi dan dengan demikian memulihkan dia untuk kembali ke masyarakat.
Perhatikanlah kejernihan jawaban Yesus, "... karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia". Lalu siapa yang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah itu? Yesus berkata, "Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia..." (ay. 4). Daripada mempersoalkan dosa penyandang cacat, menurut Yesus lebih baik kita menolong mereka. Memulihkan kembali harkat martabat para penyandang cacat sebagai ciptaan yang dihargai Allah, itulah pekerjaan yang perlu kita lakukan. Perhatikan pula kesempatan atau waktu untuk melakukan pekerjaan itu, "... selama masih siang; akan datang malam di mana tidak seorang pun yang dapat bekerja" (ay. 4). Artinya: sekarang!
Cerita ini menunjukkan bahwa Yesus berpola kerja sebagai cendekiawan. Yesus dengan jeli memahami masalah. Yesus memberi jalan keluar. Jalan keluar-Nya tidak memihak dan tidak menyisihkan pihak maupun. Jalan keluar-Nya memberi manfaat bagi semua pihak: penyandang cacat dipulihkan martabatnya, baik penyandang cacat maupun orangtuanya dibebaskan dari tuduhan dosa, kedua kelompok yang bertikai didamaikan dan masyarakat dididik untuk bersikap terbuka pada para penyandang cacat.
Itulah ciri karya cendekiawan: inklusif dan kontributif terhadap semua orang.
Pdt. Andar Ismail
(Disadur dari buku Selamat Berkarya)