ALLAH JADI TUKANG KEBUN

ALLAH JADI TUKANG KEBUN

Halaman-halaman pertama Alkitab sebenarnya mencengangkan. Orang yang pertama kali membaca Alkitab mulai dari halaman pertama akan tercengang melihat bagaimana caranya Allah digambar kan di situ. Semula orang mungkin mengira bahwa di dalam Alkitab Allah digambarkan sebagai seorang raja yang sedang duduk di singga sana berlapis emas dengan segala keagungan. Akan tetapi, ternyata halaman pertama Alkitab tidak memberi gambaran yang begitu tentang Allah. Kitab pertama dalam Alkitab bukan menggambarkan suasana dan konteks sebuah istana yang megah, melainkan suasana dan konteks sebuah kebun yang bersahaja. Allah bukan digambarkan sebagai seorang raja yang dikelilingi oleh para dayang, melainkan sebagai seorang tukang kebun yang berjalan seorang diri di kebun. Allah digambarkan sedang menyingsingkan lengan dan bekerja dengan tangan sendiri di suatu kebun.

Baiklah secara sepintas kita melihat halaman-halaman pertama itu. Di situ terdapat dua buah cerita tentang penciptaan, yang pertama di dalam Kejadian 1:1-2:4a dan yang kedua di dalam kejadian 2:4b-25. Kedua cerita itu, yang berasal dari dua kelompok pengarang yang berbeda zaman, mengandung beberapa perbedaan. Misalnya, dalam cerita pertama manusia diciptakan sebagai makhluk yang terakhir, padahal dalam cerita kedua manusia diciptakan sebagai makhluk yang mula-mula.

Akan tetapi, persamaannya juga banyak. Yang jelas kedua cerita itu menggambarkan Allah yang sibuk bekerja. Di situ beberapa kali digunakan kata bara, sebuah kata yang khas dipakai untuk Allah, yang berarti 'menciptakan sesuatu tanpa bahan. Berkali-kali ditulis, "Berfirmanlah Allah, jadilah", maka jadilah apa yang disebut Nya itu. Allah mengungkapkan apa yang dimaksud-Nya dengan sabda, lalu terciptalah sabda-Nya itu. Namun, pada lain pihak cerita ini juga memakai kata kerja asah (di 1:7, 16, 25, 26, 31. dan 2.2), sebuah kata umum yang berarti membuat dengan memakai bahan atau melalui proses pembuatan' Jadi, walaupun di cerita pertama ada kesan bahwa Allah hanya berfirman atau memerintah, sebenarnya di situ pun Allah menciptakan melalui cara atau proses mengerjakan dan mengolah.

Dalam cerita kedua, proses kerja Allah ditampakkan lebih ril bagaikan sebuah laporan kerja. Perhatikan kesibukan Allah melalui banyaknya kata kerja ini (semuanya diambil dari Kej, 2): "menjadikan bumi dan langit (ay 4), "belum menurunkan hujan" (ay. 5), "mem bentuk manusia dari debu tanah" (ay. 7), "menghembuskan nafas" (ay. 7), "membuat taman", (ay, 8), "ditempatkan-Nya manusia™ (ay 8). "menumbuhkan berbagai-bagai pohon" (ay. 9), "mengambil manusia dan menempatkannya" (ay. 15), "memberi perintah" (ay 16), "mem bentuk dari tanah" (ay. 19), "dibawa-Nyalah" (ay 19), "melihat" (ay. 19), "membuat manusia itu tidur" (ay, 21), "dibangun-Nyalah seorang perempuan (ay, 22), "dibawa-Nya kepada manusia" (ay 22).

Kalau cerita itu kita baca dengan menggunakan imajinasi, peker jaan Allah itu menjadi sebuah drama yang hidup. Allah berjalan di suatu kebun. Diperhatikan Nya segala sesuatu. Di suatu pojok la duduk Diambil Nya tanah hat. Jari-jari Nya membentuk sesuatu. Ber kali kali la menghaluskan bentukan tanah liat itu Dengan sangat telite dirampungkan Nya hasil bentukan Nya itu Lalu, Allah perlahan-lahan meniup tanah liat yang dibentuk Nya itu. Tiba tiba bergeraklah tanah liat itu menjadi makhluk hidup. Allah tersenyum. Dengan ramah ta menyapa, "Hai kamu dibuat dari adamah Namamu Adam" (tbranc adamah tanah) Lalu, Allah mengambil lagi segumpal tanah liat Dibentuk-Nya binatang Lalu binatang itu seekor demi seekor dielus dan dibelai Nya dengan penuh rasa sayang. Lalu Allah membersihkan tangan Nya dari sisa-sisa tanah liat yang masih melekat Setelah itu, Allah mengajak Adam dan binatang binatang itu berjalan. Mereka menyusuri empat anak sungai yang ada di situ. Kemudian, Allah membungkuk menggemburkan tanah la berjongkok menanam be berapa batang pohon, la menyiram pohon-pohon itu, Allah membuat sebuah taman yang indah Allah bercocok tanam. Tangan dan kaki-Nya kotor Allah asyik berkebun. Allah menjadi tukang kebun.

Itulah berita halaman pertama Alkitab: Allah adalah Allah yang mau berlelah dan bekerja. Allah adalah Allah yang aktif. Keaktifan Allah digambarkan terus sepanjang Alkitab. Puluhan macam kata kerja dipakai untuk menggambarkan apa yang diperbuat Allah bagi umat-Nya: membimbing, mengajar, menolong, membela, mendengarkan, memperhatikan, memberi, menegur, menghukum, mengampuni, menyuruh, menopang, mengutus, mengaruniakan, me nyelamatkan, menyertai, menunjukkan, mendidik, menebus, menun tun, melindungi, memegang, menaungi, memulihkan, menyinari, menguatkan, menyembuhkan, menghidupkan, menumbuhkan, menggendong, melayani, dan seterusnya.

Allah adalah Allah yang bekerja. la bekerja untuk kita. Mulai dari halaman pertama dalam Alkitab Allah sudah bekerja. Sampai halaman terakhir pun Allah terus bekerja. la bekerja melalui Roh dan firman Nya. la bekerja melalui Putra-Nya. Menarik untuk menyimak apa yang dicatat pada halaman terakhir Alkitab tentang pekerjaan Allah. Di situ dicatat bahwa Allah mem bangun sebuah kota (Why 21 dan 22). Allah mengawali pekerjaan. Nya dengan membuat sebuah kebun, dan la mengakhirinya dengan membuat sebuah kota. Dari kebun sampai kota, dari rural sampai residensial. Allah bekerja menyediakan lingkungan yang dapat meng hidupi dan dihidupi oleh makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik di hutan maupun di kota. Dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Allah terus bekerja. Allah terus berkarya.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


BUKTI KESETIAAN

BUKTI KESETIAAN

Beragam cara orang menunjukkan kesetiaannya. Ada pasangan yang terus mengenakan cincin kawin. Kata mereka, "Ini bukti kesetiaan kami di hadapan Tuhan dan manusia." Ada pula yang membawa foto istri dan anak anaknya di dalam dompet. Kalau tiba-tiba rindu, foto itu dapat sedikit mengobati rasa kangen.

Sumarsih, ibunda Wawan korban tragedi Mei 1998, setiap pagi sebelum berangkat kerja singgah menabur bunga dan berdoa di makam putranya. Teman saya tak pernah sehari pun melewatkan tanggal di kalender mejanya. Ia memberi tanda silang begitu selesai jam kerja kantor. Teman yang lain telah menghasilkan puluhan ribu catatan harian. Buku-buku tebal berisi catatan itu ia simpan dengan baik.


Tetapi lebih dari semua yang telah kita lakukan, pernahkah kita berpikir tentang kesetiaan Tuhan kepada kita? Tuhan ibarat sang fajar yang setia terbit setiap hari. Ia tak pernah alpa. Seperti angin yang senatiasa berembus, seperti matahari bersinar bagi siapa saja, seperti itulah kesetiaan Tuhan. Bagaimana dengan Anda?

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

“Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” (1Kor. 15:10)

Menjadi pribadi yang autentik adalah panggilan semua pegiat sosial. Autentik berarti asli, sejati, tak berpura-pura, dan apa adanya. Tanpa kesejatian semacam itu, seribu satu masalah pelayanan-persahabatan akan bermunculan. Kita semua tahu, setiap karya Kristiani berpusat pada relasi antarpribadi. Oleh karena itu, Anda bisa bayangkan, betapa runyamnya ketika seorang pegiat sosial yang memiliki persoalan dengan kesejatian pribadinya harus berelasi dengan orang lain.

Apalagi jika orang itu pun memiliki masalah dengan penerimaan dirinya. Wah, yang bakal terjadi tentulah relasi-relasi yang palsu. Bisa jadi, yang muncul adalah relasi antartopeng, bukan relasi antarpribadi yang autentik dan membebaskan. "Hanya dengan menerima diri apa yang bisa dibayangkan, betapa kita dapat menerima orang lain apa adanya."

Dalam dunia psikologi, lawan dari "diri yang autentik" (authentic-self) adalah "diri yang fiktif" (fictional-self). Kita bisa berkata, "Jika yang pertama adalah siapa aku sebagai ciptaan Allah yang hidup dan berkembang sampai detik ini, maka yang kedua adalah siapa aku sebagaimana diimpikan oleh orang tersebut." Diri yang fiktif mungkin saja baik, indah, dan ideal.

Namun, tetap saja ia tidak nyata. Tidak autentik. Kita memang tidak pernah diundang untuk menjadi seorang pribadi yang serba-sempurna. Itu memang impian kita. Namun sementara kita bergumul di tengah dunia ini, itu jelas tak mungkin. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi diri kita apa adanya. Hanya dengan menerima diri apa adanyalah kita dapat menerima orang lain apa adanya. Oleh karena itu, berdamai dengan diri kita sendiri merupakan pintu gerbang menuju pelayanan-persahabatan yang sejati pula.

Rasul Paulus yang pernah menjadi seorang penyiksa jemaat Kristus itu (bdk. ay. 9) menyadari benar pentingnya penerimaan diri seutuhnya, apa adanya. Setelah bertobat, ia sadar bahwa masa lalunya yang kelam tidak pernah bisa diubahnya. Itu semua menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang. Namun, Paulus juga percaya kasih karunia Allah ternyata lebih berkuasa dari pada kekuatan masa lalunya. la terbebas ketika kasih karunia Allah itulah yang mengubahnya dan ia pun bisa hidup sebagaimana ia ada sekarang. Kasih karunia Allah, yang menerima Paulus sebagaimana adanya ia mendorong Paulus untuk juga dapat menjadikan karyanya sebagai sebuah pelayanan-persahabatan yang membebaskan, berbuah dan bermakna. Jika Paulus dapat mengalami itu, kita pun tentu dapat.

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia akan berbuah banyak sebab diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15.5)

Dalam kehidupan Kristiani terdapat perbedaan mencolok antara hidup produktif dan hidup berbuah. Keduanya sama-sama berbicara tentang menghasilkan sesuatu. Bedanya produktivitas berfokus pada hasil sedang berbuah lebih menekankan kesuburan hidup. Bagi yang terakhir banyak-sedikitnya buah bukan hal utama Yesus memakai gambaran pokok anggur dan ranting yang subur serta berbuah untuk menunjukkan pentingnya sebuah perayaan di dalam Tuhan.

Merayakan hidup berarti menyadari bahwa hidup ini bermakna hanya jika melekat dan diam di dalam Sumber Hidup: Yesus Kristus. "Semangat dunia modern lebih sebagai suka mengukur produktivitas kita." Itu berarti sebagaimana kata-kata Yesus tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia." Hanya dengan cara itulah kita bisa berbuah banyak.

Henri J.M. Nouwen pernah menangkap kebenaran ini: Kita hanyalah satu bagian yang sangat kecil dari sejarah dan hanya memiliki satu kehidupan yang sangat singkat untuk dihidupi. Namun jika kita mengangkat buah-buah karya kota di tangan kita dan merentangkannya kepada Allah di dalam keyakinan yang mendalam bahwa Allah mendengarkan kita dan menerima pemberian kita maka kita tahu bahwa semua kehidupan kita diberikan bagi perayaan.

Spiritualitas macam begini sungguh berlawanan dengan semangat dunia modern yang lebih suka mengukur produktivitas seseorang. Dan hasil yang dicapai semata mata menunjukkan usaha keras dan kemampuan diri sendiri. Manusialah yang menentukan makna hidupnya sendiri.

Tak heran, banyak orang yang kalah dan sedikit saja yang menang serta unggul dalam hidup manusia modern. Dengan demikian, diwamai kecemasan jika tak mampu lagi berproduksi, karena semua orang saling bersaing serta kehampaan karena di titik akhir hidup, seluruh produksi hidup kita tidak membuat hidup makin bermakna.

Sebaliknya gaya hidup yang diajarkan Yesus ialah gaya hidup berbuah yang berlawanan dengan produktivitas. Dia tidak menawarkan kecemasan, namun kegembiraan. Karena hidup kita yang tak berarti ini ternyata dihargai Allah dan diperkenankan untuk berbuah bagi-Nya. la juga tidak menciptakan isolasi, namun persekutuan sama seperti ranting-ranting yang dipersatukan di dalam pokok anggur yang satu semua secara bersama-sama menghasilkan buah. Akhirnya dengan melekat pada Sang Pokok Anggur itu, hidup tidak lagi diwarnai kehampaan, namun kepenuhan yang bukan berasal dari diri sendiri, namun dari Sang Kehidupan itu sendiri.


 

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dan pada dirinya sendiri dan janganlah tiap tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4).

Akhir pekan lalu saya berkesempatan menyaksikan konserpaduan suara di Goethe Institut, Jakarta, Saya cukup antusias menikmati alunan vokal Paduan Suara BMS-yang menurut pengamat musik termasuk dalam daftar paduan suara berkualitas di Indonesia.

Bunyi gong menjadi tanda dimulainya konser malam itu. Didahului sambutan seorang master of ceremony, para anggota paduan suara pun memasuki panggung. "Pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim!"

Satu per satu, lagu-lagu klasik dari Renaisance dan Zaman keseluruhan tim!" Barok dinyanyikan dengan merdu oleh paduan suara tersebut. Malam hari itu, penampilan mereka luar biasa! Uniknya, sampai lagu terakhir yang mereka bawakan, saya tetap tidak dapat membedakan antara wars penyanyi A, penyanyi B, penyanyi C. Tentu saja, saya masih dapat membedakan suara kelompok sopran atau alto dan suara kelompok tenor atau bas namun sulit untuk membedakan antara suara penyanyi sopran yang berdiri disisi paling kanan dengan penyanyi sopran berdiri di sisi paling kini. Suara mereka sungguh blend voices.

Apa yang menjadi kunci keberhasilan mereka? Mereka saling mendengarkan. Mereka tidak sekedar bernyanyi, tetapi juga mendengarkan untuk menjaga keseimbangan suara mereka dengan rekan yang ada di sisi sebelah kanan, sisi sebelah kiri, bahkan keseimbangan antara kelompok suara yang satu dengan kelompok suara yang lain. Ada pengendalian diri serta pemahaman bahwa pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim! Saya harus melakukan semua upaya yang saya bisa, namun tetap menjaga keseimbangan dan keutuhan tim.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus mengajarkan bahwa orang beriman hendaknya mengutamakan orang lain, sehati, sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Paulus ingin agar orang percaya di Filipi berbeda dari orang yang tidak percaya, hanya mementingkan diri sendiri. Di dalam Kristus, egoisme, individualisme tidak mendapat tempat. Sebaliknya di dalam Kristus orang akan rela untuk saling mendengarkan, menasihati, menghiburkan, bersekutu dalam Roh, mengobarkan kasih mesra dan belas kasihan.

Mari, nyatakan kembali hidup Kristus melalui hidup kita yang mendengarkan orang lain, sehingga dengan suara yang padu kita dapat menyanyikan tembang keadilan dan kebenaran dengan merdu!

DIFABEL ADALAH ANUGERAH

DIFABEL ADALAH ANUGERAH



“Barangsiapa datang kepada-Ku: ia tidak akan Kubuang” (Yoh. 6:37b)

Saya menyarankan Anda menyanyikan Kidung Jemaat 27 yang berjudul "Meski Tak Layak Diriku.” Kidung tersebut berbicara soal artinya menerima din apa adanya. Kidung indah ini digubah oleh Charlotte Elliott pada usia empat puluh tujuh tahun. Dalam usia yang seharusnya produktif itu, ia justru terbaring sakit karena kelumpuhan yang harus diterimanya seumur hidup.

Hari itu semua orang di rumahnya pergi untuk mengadakan bazar penggalangan dana bagi pembangunan sebuah sekolah. Charlotte ditinggal sendirian di rumah. Dalam kesepian dan kesedihan, ia menggumuli dan merenungi hidupnya yang tak mampu menyumbangkan apa-apa bagi pembangunan sekolah tersebut. "Allah menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu."

la kemudian mengambil alat tulis dan mulai menggubah puisi yang bertutur tentang kesediaan datang kepada Allah sebagaimana adanya kita. Cacat dan kelemahan fisik tak perlu menjadi penghalang untuk hidup bermakna dan berguna. Tanpa sepengetahuannya, puisi tersebut akhimya menyebar dan malah menghasilkan lebih banyak uang daripada kegiatan bazar yang diadakan sebelumnya.

Kisah hidup Charlotte Elliott menjadi saksi hidup dan spiritualitas yang sama yang ditulis Paulus dalam 1 Korintus 15. Kasih karunia Allah memampukan kita untuk menerima diri apa adanya untuk berkarya dalam keterbatasan kita. Yesus pun berkata bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang Nya: menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu.

Sabda Yesus ini sungguh bertolak belakang dengan masyarakat kita yang sudah terlanjur menganut sebuah mitos kenormalan (a myth of normalcy). Hanya orang-orang yang disebut "normal yang diterima dan dihargai.” Mereka yang lumpuh, cacat dan memiliki ketidakmampuan tertentu dilecehkan dicemooh dan dibuang. Mereka disebut sebagai orang-orang tak mampu (disabled). Untunglah sekarang kita memiliki istilah lain yang lebih mampu mengapresiasi dan mendorong mereka untuk juga mengapresiasi diri mereka sendiri. Istilah itu adalah diffable (differentability). Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) memuat lema "difabel" ini.

Semua orang ternyata memiliki kemampuan yang berbeda beda Orang cacat pun memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang yang tak cacat. Charlotte Elliott membuktikan hal ini, Anda pun dapat juga membuktikannya. Jika Anda memiliki cacat tertentu, terimalah diri Anda apa adanya dan berkaryalah semampu Anda Jika Anda tidak cacat, terimalah mereka yang cacat dan berilah mereka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka yang berbeda dan yang tak jarang lebih-dari yang Anda miliki.