IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

IGNATIUS LOYOLA: REFORMASI GEREJA KATOLIK

 

Di Paris prestasi kerja Ignatius Loyola memuncak. Selain bersekolah ia juga mengembangkan pemikiran yang telah digelutinya selama beberapa tahun, yaitu rancangan program pendidikan spiritualitas. Berbeda dengan pendidikan agama yang berisiajaran religi, pendidikan spiritualitas berisi upaya menghaluskan perasaan religiositas, tak soal apa religinya, bahkan tak soal apa menganut religi atau tidak. Kiprahnya ini membuat Loyola lagi-lagi diperiksa oleh tim inkuisisi.

Loyola menulis pemikirannya itu yang kelak terbit berjudul Latihan Rohani, yang merupakan semacam modul atau program belajar.

Tujuan yang lebih mendasar dari buku Latihan Rohani yang ditulls Loyola selama 15-20 tahun ini adalah agar kita sedikit demi sedikit belajar melepaskan diri dari mental swakasih, swakehendak, dan swakepentingan. Pernah dalam pelajaran Didaktik di STT Jakarta sebuah unit latihan Loyola saya praktikkan dan seluruh kelas termasuk saya harus mengaku betapa banyaknya energi yang terkuras.

Selama belajar di Paris Loyola pun membina kelompok studi, yang terdiri atas sepuluh orang mahasiswa yang penuh kesungguhan. Serikat Sepuluh Teman ini menganalisis kegagalan gereja di Eropa yangcenderung berpihak kepada kaum bangsawan dan raja yang mencekik rakyat dengan harga sewa tanah yang mahal.

Serikat Sepuluh ini juga mencatat bahwa para rohaniwan lebih suka upacara dan kemegahan ibadah ketimbang tekun belajar meningkatkan pengetahuan supaya cakap mengajar umat. Serikat Sepuluh ini menjadi cikal bakal berdirinya Serikat Yesus atau Ordo Yesuit pada tahun 1540. Salah seorang di antara teman Loyola ini adalah Fransiskus Xaverius yang pada tahun 1546 mengabarkan Injil di Ambon, Ternate dan Halmahera (lih. "Siapa Pembawa Injil ke Indonesia?" di Selamat Berpadu).

Loyola dan teman-temannya juga mempelajari tulisan Luther. Mereka setuju dengan Luther bahwa gereja perlu dibarui. Akan tetapi, mereka tidak mau ikut dengan Luther mempersoalkan ajaran gereja dan sistem jabatan gereja. Yang mereka persoalkan adalah keburukan perilaku para pejabat gereja. Memang benar, pada kemudian hari atas desakan Kaisar Karel V yang menghimpun Konsili Trente (1547-1563), semangat ordo ini dimanfaatkan oleh para raja dan pemuka gereja untuk melawan reformasi, namun Loyola sendiri tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk mencurigai dan melawan Luther. Loyola bukan kontra reformasi. la sendiri berkali-kali dicurigai oleh tim inkuisisi, bahkan juga setelah ia ditahbis sebagai imam. Kelompok kontra reformasi yang ditokohi oleh Kaisar Karel V dan putranya Raja Philips Il terdiri atas para raja dan pejabat gereja yang merasa kepentingannya terganggu. Loyola tidak merasa terganggu oleh Luther. Sebaliknya, ia malah merasa terilhami oleh Luther.

Seusai masa studi di Paris, Loyola semakin sibuk lagi. la merasa diri sebagai orang "yang menantikan tuannya yang pulang dari perkawinan,supaya jika ia datang dan mengetuk pintu, segera dibuka pintubaginya" (Luk. 12:36). la teringat pesan Kristus, "Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala" (ay. 35). la ingin "didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang" (ay. 37). Ia ingin "siap sedia, karena Anak manusia datang pada saat yangtidak kamu sangkakan" (ay. 40). la ingin "didapati tuannya melakukan tugasnya itu ketika tuannya datang" (ay. 43).

Gaya hidup Loyola adalah selalu siaga dan bekerja supaya saat Kristus datang semua pekerjaan sudah dikerjakan. la ingin membuat Kerajaan Allah menjadi nyata. Semua ini dilakukan sesuai dengan moto ordonya: "Demi Semakin Meningkatnya Kemuliaan Allah".

Ignatius Loyola memang merindukan Kristus. Dulu ia rindu untuk mencium tangan Putri Katalina, mendapat saputangannya, dan berkata, "Daulat, Tuanku Putri." Sekarang Loyola mengajak kita rindu ingin mencium tangan Kristus, menerima saputangan-Nya, dan berdoa:       

Kristus, Jiwa-Mu, sucikan aku Tubuh-Mu, selamatkan aku Darah-Mu, lepaskan dahagaku Air lambung-Mu, bersihkan aku Derita-Mu, kuatkan aku. Dalam luka-Mu, sembunyikan aku. Jangan biarkan aku terpisah dari-Mu. Dari segala yang jahat, belalah aku. Pada saat kematian, panggillah aku. Undanglah aku mendekati-Mu. Agar bersama-sama orang kudus. Aku memuja-Mu. Sepanjang masa. Amin.

SETIA DALAM PERKARA KECIL

SETIA DALAM PERKARA KECIL

Kita cenderung menghargai orang yang berjasa dalam tugas atau perkara yang besar. Orang yang melakukan perkara kecil biasanya disepelekan. Tetapi melalui perumpamaan dalam Matius 25:14-30 Tuhan Yesus justru menghargai orang yang setia dalam perkara kecil. Di situ diceritakan tentang tiga orang hamba yang diberi modal sebesar lima, dua dan satu talenta. Talenta memang merupakan pecahan mata uang yang besar, namun kalau jumlahnya hanya lima atau dua talenta, maka artinya menjadi kecil (bandingkan dengan jumlah utang sepuluh ribu talenta yang disebut dalam Mat. 18:24) Apalagi kalau mau dipakai sebagai modal, maka lima atau dua talenta sangat kecil artinya.

Akan tetapi, dua dari tiga hamba itu berhasil mengembangkan modal yang kecil ini. Lalu sang majikan memuji mereka sebagaimana diucapkan oleh Yesus di ayat 21 dan 23. Di sini Kerajaan Surga diumpamakan oleh Tuhan sebagai keadaan di mana orang yang setia menjalankan tugas yang kecil dihargai dan dipuji.

Berbicara tentang setia dalam memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, saya jadi teringat akan Pdt. Titus Yansaputra, teman sekelas dan seasrama di Sekolah Teologi Balewijoto Malang selama enam tahun, yang kini sudah meninggal dunia. Dibandingkan dengan rekan-rekan pendeta lain, agaknya Yansaputra tergolong "pendeta kecil". la bukan pendeta yang suka keliling ke sana kemari memimpin kebaktian kebangunan rohani sehingga namanya terkenal. Wajahnya tidak pernah muncul di TV, suaranya tidak pernah terdengar di radio, dan namanya tidak pernah tertera di koran.

Di sekolah pun Yansaputra cenderung agak pemalu dan pendiam la tidak suka menonjolkan diri. Prestasi akademisnya biasa-biasa saja. la termasuk mahasiswa berpredikat antara Charlie dan Beta. Tetapi, ia bersahabat dengan mereka yang berprestasi Alfa. la bukan seorang pengiri, la bisa berdamai dengan dirinya. Di asrama, ia disukai semua orang.

Karakter Yansaputra yang mencolok adalah kesetiaannya. Sampai jauh malam ia terus menekuni tugas dari para guru. Semua itu dikerjakannya dengan tenang dan senang. Tidak pernah ia menggerutu kalau ada dosen yang memberi tugas terlalu banyak. Semua tugas dilaksanakannya dengan tuntas. Tulisannya rapi. Tidak pernah saya melihatnya terburu-buru supaya cepat terbebas dari tugas. Tenang, tekun, rapi, akurat, lengkap, tuntas, dan setia. Itulah keunggulannya. la setia pada perkara kecil.

Setamat sekolah, Yansaputra menjadi pendeta jemaat GKI Banjar dan Ciamis. Kemudian ia bermutasi ke Indramayu. Dari situ ke GKI Halimun Jakarta. Semua jemaat itu termasuk kategori jemaat kecil. Ternyata di jemaat pun kepribadian Yansaputra tetap konsisten: tidak suka menonjol tetapi tekun dan rapi melaksanakan tugasnya. Selama 33 tahun ia melayani gereja pada tingkat akar padi. Ia bukan selebriti yang pergi ke sana-sini. Selama 33 tahun ia tinggal di tempat untuk memelihara apa yang harus dipelihara, yaitu domba-domba milik Gembala Agung.

Mutu pekerjaan Yansaputra pernah pula memukau seorang mantan gurunya. Pada suatu hari Minggu pagi secara mendadak mantan dosennya dari Belanda muncul di GKI Indramayu. Sengaja ia tidak memberitahukan kedatangannya, supaya segala sesuatu berjalan wajar. Ternyata ia sangat terkesan pada kinerja Yansaputra di mimbar pada pagi itu, khotbah dan liturgi yang dipersiapkan matang, eksegese yang teliti dan kepatuhan pada tahun gerejawi yang jitu.

Kini Yansaputra telah tiada. Selama beberapa bulan terakhir kesehatannya sering terganggu. Tetapi, dalam keadaan demikian ia tetap bekerja. Beberapa waktu yang lalu ia sempat menghadiri kebaktian peluncuran buku. Mulai dari Musa dan Segala Nabi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Gayanya masih seperti empat puluh tahun silam, tersenyum tersipu-sipu dan menyimak apa yang didengar dan dilihatnya dengan kening yang berkerut. Pada siang itu, sambil melongok ke dalam kantor saya, ia berucap, "Sama seperti kamarmu dulu di Balewijoto, meja tulisnya dipasang miring di pojok." Itulah ucapannya yang terakhir di telinga saya.

Sekarang Yansaputra hanya tinggal kenangan. Gereja kehilangan seorang tenaga andal. Pagi subuh itu, ketika ada telepon yang mengabarkan bahwa Pdt. Titus Yansaputra meninggal dunia, saya terdiam dan menerawang jauh. Saya seolah-olah melihat Yansaputra berdiri di depan sebuah gedung dengan raut muka yang khas; senyum sipu tetapi pandangan mata yang hidup dengan kening berkerut. Lalu saya seolah-olah melihat Yesus keluar dari gedung itu, berjalan menuruni tangga, menyambut dan menyapa Yansaputra. Lalu mereka berdua berjalan bersama menaiki tangga gedung itu. Yesus memegang dan menepuk-nepuk pundak Yansaputra sambil berkata, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu."

PATHOS, BUKAN A-PATHOS!

PATHOS, BUKAN A-PATHOS!

Dibaca secara sepintas, perikop 2 Korintus 8:1-15 tampaknya ber bicara tentang kekayaan. Uang dan kekayaan memang menarik untuk dibicarakan dan dipelesetkan. Ada beberapa pelesetan tentang orang kaya, misalnya OKB: Orang Kaya Baru; OKD: Orang Kaya Dadak an; OKP: Orang Kaya Proyek; dan yang paling banyak seperti kita semua, adalah OKM: Orang Kaya Monyet. Ada juga pelesetan "Kaya Seven Up", artinya 'kaya tujuh turunan anak dan cucu'. Bahkan kita pun mempunya pelesetan KGB. Bukan hanya di Moskow, tetapi juga di Jakarta ada KGB: Kaya Gara-gara Babe.

Memang benar di sini Rasul Paulus berbicara tentang uang dan kekayaan. Ketika itu ia sedang berada di Makedonia, sebuah daerah pedalaman yang miskin. Tetapi, ternyata orang Makedonia yang miskin memberikan banyak bantuan uang kepada gereja di Yerusalem. Meli hat keadaan ini Paulus terdorong untuk menulis surat kepada warga gereja di Korintus. la menulis, "... kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang... jemaat-jemaat di Makedonia ... meskipun me reka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan... mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan" (ay, 1-5). Korintus sebenarnya bukan bandingan Makedonia. Korintus adalah kota besar. Korintus adalah titik temu jalan perdagangan darat utara-selatan di Provinsi Akhaya. Lagi pula Korintus adalah kota pelabuhan. Penduduknya makmur. Di Korintus hanya ada 200 ribu penduduk, tetapi di situ ada 600 ribu tenaga pelayan. Bandingkan rasionya, yaitu 1:3. Untuk satu orang tersedia tiga pelayan. Orang Korintus memang makmur.

Akan tetapi, walaupun warga gereja Korintus makmur, mereka kurang suka memberi bantuan kepada gereja di Yerusalem. Mereka kurang perhatian terhadap gereja lain. Gereja Korintus hanya sibuk dengan urusan diri sendiri. Yang mereka sibuki adalah persoalan rebutan kedudukan pemimpin, ada dari golongan Paulus, atau go longan Apolos, atau golongan Kefas. Yang juga mereka sibuki adalah persoalan makanan sembahyang, persoalan tutup kepala perempuan dalam ibadah, persoalan bahasa lidah dan sebagainya. Singkatnya, yang mereka sibuki hanyalah urusan internal.

Kalau tentang urusan menyokong gereja lain mereka kurang peduli. Oleh karena itu, Paulus menegur secara halus, "Memang sudah sejak tahun yang lalu kamu mulai melaksanakannya dan mengambil keputusan menyelesaikannya juga. Maka sekarang, selesaikan jugalah pelaksanaannya itu!" (ay. 10-11).

Sekali lagi, memang benar di sini Rasul Paulus sedang bicara ten tang uang. Tetapi sebetulnya, di balik kalimat-kalimatnya tersirat satu pokok bahasan yang jauh lebih dalam. Di sini Paulus sedang mendidik dan mengubah gaya hidup orang Korintus. Ia mengajar, "... hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini" (ay. 7).


Rasul Paulus di sini sedang mengajar, sebab ia sendiri baru saja belajar sesuatu dari orang-orang Makedonia, "... meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan" (ay. 2). Paulus mengajar orang Korintus supaya bercermin pada gaya hidup orang orang Makedonia Orang-orang Makedonia miskin dalam hal harta, namun kaya dalam kemurahan. Sebaliknya, orang Korintus kaya dalam harta, namun miskin dalam kemurahan. Di Makedonia ada kasih Di Korintus kebalikannya. Apa itu kebalikan dari kasih?

Kita cenderung beranggapan bahwa kebalikan dari kasih adalah benci. Tetapi, benarkah itu? Benarkah gereja Korintus membenci gereja lain? Sama sekali tidak! Lawan kata kasih bukanlah benci

Psikoterapis Rollo May dalam bukunya Love and Will menulis, "Hate is not the opposite of love, apathy is." Lawan kata kasih bukanlah benci, melainkan apati atau a-pathos. May menjelaskan, "Apathy is a state of feelinglessness... affectlessness, lack of passion... indifference, it is a withdrawal of feeling, it may begin as playing it cool... unconcerned, unaffected... uninvolved." A-pathos adalah ketiadaan perasaan atau miskin rasa terhadap orang lain. A-pathos tumbuh secara bertahap mulai dari sikap yang tampaknya innocent (tidak apa-apa) seperti sikap cuek, tetapi kemudian bisa bertumbuh menjadi perbuatan kejam dan destruktif.

A-pathos bisa muncul dalam pelbagai bentuk yang berbeda beda. Seseorang membunuh dengan darah dingin, itu fenomena a-pathos. Seorang ayah menggebuk anaknya hanya karena anak itu mengucapkan kritik, itu contoh a-pathos. Akibatnya, anak itu bisa menjadi a-pathos, bahkan semua anak lain akhirnya menjadi a-pathos. Seseorang menggunakan kekuasaannya secara berlebihan dan gan drung melanggengkan kekuasaannya, itu bisa jadi gejala a-pathos yang kemudian menimbulkan sikap a-pathos pada orang-orang lain.

A-pathos adalah ketiadaan perasaan atau miskin rasa terhadap perasaan orang lain. A-pathos timbul ketika orang hanya merasakan perasaan diri sendiri. A-pathos bisa bervariasi mulai dari perilaku pasif, introver, dan isolasi diri sampai ke perilaku beringas, agresif, dan sadis. A-pathos bisa muncul dalam rupa-rupa wujud: cuek, menyendiri, masa bodoh, acuh tak acuh; kemudian bisa berkembang menjadi hilang rasa peduli, keterasingan, serakah, gila kekuasaan, represi, eksploitasi, dan dominasi. A-pathos tampak dalam gaya hidup kenyang sendiri, maju sendiri, menang sendiri, enak sendiri, pintar sendiri, benar sendiri Rasul Paulus mensinyalir gejala a-pathos itu pada warga gereja Korintus. Gereja Korintus bukan membenci gereja lain, tetapi gereja Korintus a-pathos kepada gereja lain. Gereja Korintus kaya harta, tetapi miskin rasa. Sebab itu, Paulus mendidik, "Hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih" (ay. 7).

Gejala a-pathos tentunya bukan khas Korintus, melainkan bisa terdapat pada siapa saja. Sebuah pemerintah bisa menjadi a-pathos, begitu juga rakyatnya. Agama bisa menjadi a-pathos. Gereja bisa menjadi a-pathos. Mungkin sinyalemen Rasul Paulus itu juga berlaku untuk gereja-gereja kita. Kita mengaku diri anggota-anggota satu tubuh. Kita bertemu. Kita berjabat tangan. Tetapi sesudah itu? Kita bersikap a-pathos lagi.

Gejala a-pathos, itulah pokok bahasan yang tersirat dalam per kop Rasul Paulus ini. A-pathos yaitu miskin perasaan, miskin afeks miskin pelayanan kasih. Karena itu, Paulus mengajarkan gaya hidup yang sebaliknya, yaitu kaya pathos: kaya perasaan, kaya afeksi, kaya pelayanan kasih. Kata Paulus, "Hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


PANGGILAN TUHAN

PANGGILAN TUHAN

Kita menyebut mereka pekerja bangunan. Pekerjaan mereka ada Klah mengaduk semen, mengangkat batu, mendirikan tembok, memasang genting, dan sebagainya. Di Israel mereka disebut aneshe melakah. Tahukah Anda apa sebenarnya arti kata itu? Melakah sebe narnya berarti 'suruhan Allah'. Kata melakah akarnya sama dengan malak, yaitu 'pesuruh Allah'. Sebab itu, kata malaikat dalam bahasa Ibrani adalah malak. Bayangkan betapa tingginya sebutan itu. Para pekerja bangunan disebut pesuruh Allah.

Kata melakah itu banyak terdapat di dalam Kitab Tawarikh dan Nehemia. Memang yang dimaksud di situ adalah pekerja bangunan Bait Allah. Namun, di bagian-bagian lain dalam Alkitab, kata melakah itu juga digunakan untuk semua orang yang bekerja dan untuk semua jenis pekerjaan. Misalnya, kata melakah digunakan dalam Sepuluh Perintah, "Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh.. jangan melakukan sesuatu pekerjaan..." (baik versi Kel. 20 maupun Ul. 5 menggunakan kata melakah).

Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari penggunaan kata melakah untuk pelbagai jenis pekerjaan itu? Kesimpulannya adalah bahwa segala jenis pekerjaan dinilai sebagai suruhan Tuhan Dengan demikian, Alkitab mencatat bahwa suruhan Tuhan bukan hanya terbatas pada pekerjaan imam dan Lewi di Bait Allah, melainkan juga pada segala macam pekerjaan lain seperti bertanı, beternak, berdagang, dan se bagainya.

Sikap para pengarang Alkitab itu sebenarnya melawan arus bu daya yang lazim Dalam budaya Mesir dan Yunani yang dominan pada zaman itu, pekerjaan yang bersifat rohani dianggap lebih luhur daripada pekerjaan jasmani. Tugas seorang imam di kuil dianggap se bagai suruhan ilahi, sedangkan tugas petani atau pekerja bangunan dianggap tidak ada hubungannya dengan para dewa, Akan tetapi para penulis Perjanjian Lama mengembangkan budaya kerja yang sebaliknya. Petani, peternak, pedagang dan pekerja bangunan pun disebut melakah atau pesuruh Allah. Dari situ lahir tradisi Yahudi yang mengagungkan semangat kerja keras dan ulet untuk melakukan pekerjaan apa pun juga.

Tradisi Kristen tentang kerja merupakan kelanjutan dari tradisi Ya hudi. Yohanes Calvin, Pembaru Gereja, menekankan bahwa tiap jenis pekerjaan adalah penetapan dan panggilan dari Allah. Dalam bukunya, Institutio Pengajaran Agama Kristen, ia menulis, "Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya panggilan... Tidak ada pekerjaan apa pun betapapun kecil dan hinanya yang tidak akan bersinar-sinar dan dinilai berharga di mata Tuhan."

Pengakuan bahwa pekerjaan adalah panggilan dari Tuhan me ngandung beberapa implikasi. Calvin menulis, "Setiap orang diben oleh Tuhan jalan hidup sendiri-sendiri sebagai pos penjagaan", artinya Tuhan menempatkan kita pada suatu tanggung jawab tertentu. "Tidak ditinggalkannya tempat yang diperuntukkan baginya oleh Tuhan", artinya kita harus setia, berakar dan bertumbuh dalam pekerjaan itu. Calvin juga menulis, "Tanpa gerutu... masing-masing menanggung yang kurang enak, yang susah, yang sedih, yang membosankan, jika mereka yakın bahwa setiap orang diberi beban oleh Allah." Calvin juga menulis," tidak sembrono melampaui batas melebihi panggilan nya", artinya kita perlu tahu betul apa deskripsi dan definisi tugas kita. Selanjutnya, Calvin menghibur bahwa jika kita mengaku pekerjaan kita sebagai panggilan dan penugasan dari Tuhan, maka dari Tuhan juga kita bisa mengharapkan pimpinan dan kekuatan untuk pekerjaan itu, "Bagi setiap orang, kesusahan, kesulitan dan beban-beban berat lainnya akan lebih ringan bila diketahui bahwa Allah jadi pembimbing dalam semuanya ini."

Dengan ajaran ini, Calvin menegaskan bahwa apa pun pekerjaan seseorang, pekerjaan itu adalah panggilan dari Tuhan. Itu berarti bah wa bila kita menjadi montir, kita terpanggil untuk menjadi montir yang bertanggung jawab, bersungguh-sungguh, berdedikasi, bermutu, jujur dan setia, sebab kita mengaku bahwa dari Tuhan sendirilah ber asal penugasan ini.

Dengan demikian, Calvin menolak anggapan bahwa panggilan Tuhan hanya berlaku bagi pekerjaan rohani. Segala jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi keberlangsungan hidup, meru pakan panggilan dari Tuhan. Bukan hanya masuk sekolah teologi dan menjadi pendeta yang memerlukan panggilan Tuhan, melainkan juga masuk sekolah teknik dan menjadi insinyur.

Pengakuan bahwa tiap jenis pekerjaan yang menopang kehidupan adalah panggilan Tuhan secara tidak langsung tersirat dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Inggris, pekerjaan disebut vocation yang akarnya berasal dari kata Latin vocatio/vocationem (= memanggil). Dalam bahasa Belanda, kata beroep (= pekerjaan) berasal dari kata roep (= memanggil). Begitu juga dalam bahsa Jerman, beruf (= pekerjaan) dan berufung (= penugasan) berasal dari kata ruf (= memanggil).

Sebab itu, sebenarnya adalah keliru untuk menyebut pendeta se bagai hamba Tuhan sebab semua orang percaya, apa pun pekerjaan nya, adalah hamba Tuhan. Kalau hanya pendeta disebut hamba Tuhan, lalu hamba siapakah para warga gereja yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, manajer, buruh, pedagang, dan sebagainya? Apakah mereka hamba Iblis? Gereja Abad Pertama tidak mengenal kelaziman. memakai sebutan hamba Tuhan hanya bagi orang tertentu. Semua orang yang bertobat dan percaya disebut hamba Tuhan (lihat Rm. 6:22).

Jadi, tanpa kecuali setiap orang mendapat panggilan Tuhan Yang penting, panggilan itu kita jalankan dengan taat dan gembira. Panggilan itu berbeda-beda, tetapi tiap panggilan itu mempunyai keluhuran dan kegunaannya masing-masing kepelbagaian panggilan bukanlah soal tinggi atau rendah, melain kan soal saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Masyarakat membutuhkan sopir taksi Namun, kalau semua orang menjadi sopir taksi, siapa penumpangnya? Lagi pula, lalu lintas langsung akan macet total. Sebaliknya, kalau semua orang hanya mau menjadi penumpang, siapa sopimnya? Nah, itu sebabnya saya menjadi pengarang dan Anda menjadi pembaca. Untung saja Anda merasa terpanggil menjadi pembaca, bukan menjadi pengarang. Apa jadinya kalau Anda semua "sama gilanya" seperti saya, yaitu "gila mengarang"? Gunung Mulia akan langsung bangkrut sebab siapa yang akan membeli buku Seri Selamat?

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


ALLAH JADI TUKANG KEBUN

ALLAH JADI TUKANG KEBUN

Halaman-halaman pertama Alkitab sebenarnya mencengangkan. Orang yang pertama kali membaca Alkitab mulai dari halaman pertama akan tercengang melihat bagaimana caranya Allah digambar kan di situ. Semula orang mungkin mengira bahwa di dalam Alkitab Allah digambarkan sebagai seorang raja yang sedang duduk di singga sana berlapis emas dengan segala keagungan. Akan tetapi, ternyata halaman pertama Alkitab tidak memberi gambaran yang begitu tentang Allah. Kitab pertama dalam Alkitab bukan menggambarkan suasana dan konteks sebuah istana yang megah, melainkan suasana dan konteks sebuah kebun yang bersahaja. Allah bukan digambarkan sebagai seorang raja yang dikelilingi oleh para dayang, melainkan sebagai seorang tukang kebun yang berjalan seorang diri di kebun. Allah digambarkan sedang menyingsingkan lengan dan bekerja dengan tangan sendiri di suatu kebun.

Baiklah secara sepintas kita melihat halaman-halaman pertama itu. Di situ terdapat dua buah cerita tentang penciptaan, yang pertama di dalam Kejadian 1:1-2:4a dan yang kedua di dalam kejadian 2:4b-25. Kedua cerita itu, yang berasal dari dua kelompok pengarang yang berbeda zaman, mengandung beberapa perbedaan. Misalnya, dalam cerita pertama manusia diciptakan sebagai makhluk yang terakhir, padahal dalam cerita kedua manusia diciptakan sebagai makhluk yang mula-mula.

Akan tetapi, persamaannya juga banyak. Yang jelas kedua cerita itu menggambarkan Allah yang sibuk bekerja. Di situ beberapa kali digunakan kata bara, sebuah kata yang khas dipakai untuk Allah, yang berarti 'menciptakan sesuatu tanpa bahan. Berkali-kali ditulis, "Berfirmanlah Allah, jadilah", maka jadilah apa yang disebut Nya itu. Allah mengungkapkan apa yang dimaksud-Nya dengan sabda, lalu terciptalah sabda-Nya itu. Namun, pada lain pihak cerita ini juga memakai kata kerja asah (di 1:7, 16, 25, 26, 31. dan 2.2), sebuah kata umum yang berarti membuat dengan memakai bahan atau melalui proses pembuatan' Jadi, walaupun di cerita pertama ada kesan bahwa Allah hanya berfirman atau memerintah, sebenarnya di situ pun Allah menciptakan melalui cara atau proses mengerjakan dan mengolah.

Dalam cerita kedua, proses kerja Allah ditampakkan lebih ril bagaikan sebuah laporan kerja. Perhatikan kesibukan Allah melalui banyaknya kata kerja ini (semuanya diambil dari Kej, 2): "menjadikan bumi dan langit (ay 4), "belum menurunkan hujan" (ay. 5), "mem bentuk manusia dari debu tanah" (ay. 7), "menghembuskan nafas" (ay. 7), "membuat taman", (ay, 8), "ditempatkan-Nya manusia™ (ay 8). "menumbuhkan berbagai-bagai pohon" (ay. 9), "mengambil manusia dan menempatkannya" (ay. 15), "memberi perintah" (ay 16), "mem bentuk dari tanah" (ay. 19), "dibawa-Nyalah" (ay 19), "melihat" (ay. 19), "membuat manusia itu tidur" (ay, 21), "dibangun-Nyalah seorang perempuan (ay, 22), "dibawa-Nya kepada manusia" (ay 22).

Kalau cerita itu kita baca dengan menggunakan imajinasi, peker jaan Allah itu menjadi sebuah drama yang hidup. Allah berjalan di suatu kebun. Diperhatikan Nya segala sesuatu. Di suatu pojok la duduk Diambil Nya tanah hat. Jari-jari Nya membentuk sesuatu. Ber kali kali la menghaluskan bentukan tanah liat itu Dengan sangat telite dirampungkan Nya hasil bentukan Nya itu Lalu, Allah perlahan-lahan meniup tanah liat yang dibentuk Nya itu. Tiba tiba bergeraklah tanah liat itu menjadi makhluk hidup. Allah tersenyum. Dengan ramah ta menyapa, "Hai kamu dibuat dari adamah Namamu Adam" (tbranc adamah tanah) Lalu, Allah mengambil lagi segumpal tanah liat Dibentuk-Nya binatang Lalu binatang itu seekor demi seekor dielus dan dibelai Nya dengan penuh rasa sayang. Lalu Allah membersihkan tangan Nya dari sisa-sisa tanah liat yang masih melekat Setelah itu, Allah mengajak Adam dan binatang binatang itu berjalan. Mereka menyusuri empat anak sungai yang ada di situ. Kemudian, Allah membungkuk menggemburkan tanah la berjongkok menanam be berapa batang pohon, la menyiram pohon-pohon itu, Allah membuat sebuah taman yang indah Allah bercocok tanam. Tangan dan kaki-Nya kotor Allah asyik berkebun. Allah menjadi tukang kebun.

Itulah berita halaman pertama Alkitab: Allah adalah Allah yang mau berlelah dan bekerja. Allah adalah Allah yang aktif. Keaktifan Allah digambarkan terus sepanjang Alkitab. Puluhan macam kata kerja dipakai untuk menggambarkan apa yang diperbuat Allah bagi umat-Nya: membimbing, mengajar, menolong, membela, mendengarkan, memperhatikan, memberi, menegur, menghukum, mengampuni, menyuruh, menopang, mengutus, mengaruniakan, me nyelamatkan, menyertai, menunjukkan, mendidik, menebus, menun tun, melindungi, memegang, menaungi, memulihkan, menyinari, menguatkan, menyembuhkan, menghidupkan, menumbuhkan, menggendong, melayani, dan seterusnya.

Allah adalah Allah yang bekerja. la bekerja untuk kita. Mulai dari halaman pertama dalam Alkitab Allah sudah bekerja. Sampai halaman terakhir pun Allah terus bekerja. la bekerja melalui Roh dan firman Nya. la bekerja melalui Putra-Nya. Menarik untuk menyimak apa yang dicatat pada halaman terakhir Alkitab tentang pekerjaan Allah. Di situ dicatat bahwa Allah mem bangun sebuah kota (Why 21 dan 22). Allah mengawali pekerjaan. Nya dengan membuat sebuah kebun, dan la mengakhirinya dengan membuat sebuah kota. Dari kebun sampai kota, dari rural sampai residensial. Allah bekerja menyediakan lingkungan yang dapat meng hidupi dan dihidupi oleh makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik di hutan maupun di kota. Dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Allah terus bekerja. Allah terus berkarya.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

MENJADI PRIBADI YANG AUTENTIK

“Tetapi karena kasih karunia Allah, aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.” (1Kor. 15:10)

Menjadi pribadi yang autentik adalah panggilan semua pegiat sosial. Autentik berarti asli, sejati, tak berpura-pura, dan apa adanya. Tanpa kesejatian semacam itu, seribu satu masalah pelayanan-persahabatan akan bermunculan. Kita semua tahu, setiap karya Kristiani berpusat pada relasi antarpribadi. Oleh karena itu, Anda bisa bayangkan, betapa runyamnya ketika seorang pegiat sosial yang memiliki persoalan dengan kesejatian pribadinya harus berelasi dengan orang lain.

Apalagi jika orang itu pun memiliki masalah dengan penerimaan dirinya. Wah, yang bakal terjadi tentulah relasi-relasi yang palsu. Bisa jadi, yang muncul adalah relasi antartopeng, bukan relasi antarpribadi yang autentik dan membebaskan. "Hanya dengan menerima diri apa yang bisa dibayangkan, betapa kita dapat menerima orang lain apa adanya."

Dalam dunia psikologi, lawan dari "diri yang autentik" (authentic-self) adalah "diri yang fiktif" (fictional-self). Kita bisa berkata, "Jika yang pertama adalah siapa aku sebagai ciptaan Allah yang hidup dan berkembang sampai detik ini, maka yang kedua adalah siapa aku sebagaimana diimpikan oleh orang tersebut." Diri yang fiktif mungkin saja baik, indah, dan ideal.

Namun, tetap saja ia tidak nyata. Tidak autentik. Kita memang tidak pernah diundang untuk menjadi seorang pribadi yang serba-sempurna. Itu memang impian kita. Namun sementara kita bergumul di tengah dunia ini, itu jelas tak mungkin. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi diri kita apa adanya. Hanya dengan menerima diri apa adanyalah kita dapat menerima orang lain apa adanya. Oleh karena itu, berdamai dengan diri kita sendiri merupakan pintu gerbang menuju pelayanan-persahabatan yang sejati pula.

Rasul Paulus yang pernah menjadi seorang penyiksa jemaat Kristus itu (bdk. ay. 9) menyadari benar pentingnya penerimaan diri seutuhnya, apa adanya. Setelah bertobat, ia sadar bahwa masa lalunya yang kelam tidak pernah bisa diubahnya. Itu semua menjadi bagian dari siapa dirinya sekarang. Namun, Paulus juga percaya kasih karunia Allah ternyata lebih berkuasa dari pada kekuatan masa lalunya. la terbebas ketika kasih karunia Allah itulah yang mengubahnya dan ia pun bisa hidup sebagaimana ia ada sekarang. Kasih karunia Allah, yang menerima Paulus sebagaimana adanya ia mendorong Paulus untuk juga dapat menjadikan karyanya sebagai sebuah pelayanan-persahabatan yang membebaskan, berbuah dan bermakna. Jika Paulus dapat mengalami itu, kita pun tentu dapat.

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

MERAYAKAN HIDUP DAN BERBUAH

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia akan berbuah banyak sebab diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15.5)

Dalam kehidupan Kristiani terdapat perbedaan mencolok antara hidup produktif dan hidup berbuah. Keduanya sama-sama berbicara tentang menghasilkan sesuatu. Bedanya produktivitas berfokus pada hasil sedang berbuah lebih menekankan kesuburan hidup. Bagi yang terakhir banyak-sedikitnya buah bukan hal utama Yesus memakai gambaran pokok anggur dan ranting yang subur serta berbuah untuk menunjukkan pentingnya sebuah perayaan di dalam Tuhan.

Merayakan hidup berarti menyadari bahwa hidup ini bermakna hanya jika melekat dan diam di dalam Sumber Hidup: Yesus Kristus. "Semangat dunia modern lebih sebagai suka mengukur produktivitas kita." Itu berarti sebagaimana kata-kata Yesus tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia." Hanya dengan cara itulah kita bisa berbuah banyak.

Henri J.M. Nouwen pernah menangkap kebenaran ini: Kita hanyalah satu bagian yang sangat kecil dari sejarah dan hanya memiliki satu kehidupan yang sangat singkat untuk dihidupi. Namun jika kita mengangkat buah-buah karya kota di tangan kita dan merentangkannya kepada Allah di dalam keyakinan yang mendalam bahwa Allah mendengarkan kita dan menerima pemberian kita maka kita tahu bahwa semua kehidupan kita diberikan bagi perayaan.

Spiritualitas macam begini sungguh berlawanan dengan semangat dunia modern yang lebih suka mengukur produktivitas seseorang. Dan hasil yang dicapai semata mata menunjukkan usaha keras dan kemampuan diri sendiri. Manusialah yang menentukan makna hidupnya sendiri.

Tak heran, banyak orang yang kalah dan sedikit saja yang menang serta unggul dalam hidup manusia modern. Dengan demikian, diwamai kecemasan jika tak mampu lagi berproduksi, karena semua orang saling bersaing serta kehampaan karena di titik akhir hidup, seluruh produksi hidup kita tidak membuat hidup makin bermakna.

Sebaliknya gaya hidup yang diajarkan Yesus ialah gaya hidup berbuah yang berlawanan dengan produktivitas. Dia tidak menawarkan kecemasan, namun kegembiraan. Karena hidup kita yang tak berarti ini ternyata dihargai Allah dan diperkenankan untuk berbuah bagi-Nya. la juga tidak menciptakan isolasi, namun persekutuan sama seperti ranting-ranting yang dipersatukan di dalam pokok anggur yang satu semua secara bersama-sama menghasilkan buah. Akhirnya dengan melekat pada Sang Pokok Anggur itu, hidup tidak lagi diwarnai kehampaan, namun kepenuhan yang bukan berasal dari diri sendiri, namun dari Sang Kehidupan itu sendiri.


 

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

PADUSUARA DALAM MENEMBANGKAN KEBENARAN DAN KEADILAN!

“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dan pada dirinya sendiri dan janganlah tiap tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:2-4).

Akhir pekan lalu saya berkesempatan menyaksikan konserpaduan suara di Goethe Institut, Jakarta, Saya cukup antusias menikmati alunan vokal Paduan Suara BMS-yang menurut pengamat musik termasuk dalam daftar paduan suara berkualitas di Indonesia.

Bunyi gong menjadi tanda dimulainya konser malam itu. Didahului sambutan seorang master of ceremony, para anggota paduan suara pun memasuki panggung. "Pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim!"

Satu per satu, lagu-lagu klasik dari Renaisance dan Zaman keseluruhan tim!" Barok dinyanyikan dengan merdu oleh paduan suara tersebut. Malam hari itu, penampilan mereka luar biasa! Uniknya, sampai lagu terakhir yang mereka bawakan, saya tetap tidak dapat membedakan antara wars penyanyi A, penyanyi B, penyanyi C. Tentu saja, saya masih dapat membedakan suara kelompok sopran atau alto dan suara kelompok tenor atau bas namun sulit untuk membedakan antara suara penyanyi sopran yang berdiri disisi paling kanan dengan penyanyi sopran berdiri di sisi paling kini. Suara mereka sungguh blend voices.

Apa yang menjadi kunci keberhasilan mereka? Mereka saling mendengarkan. Mereka tidak sekedar bernyanyi, tetapi juga mendengarkan untuk menjaga keseimbangan suara mereka dengan rekan yang ada di sisi sebelah kanan, sisi sebelah kiri, bahkan keseimbangan antara kelompok suara yang satu dengan kelompok suara yang lain. Ada pengendalian diri serta pemahaman bahwa pertunjukan yang baik memang tergantung kepada saya, tapi saya sebagai bagian dari keseluruhan tim! Saya harus melakukan semua upaya yang saya bisa, namun tetap menjaga keseimbangan dan keutuhan tim.

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Paulus mengajarkan bahwa orang beriman hendaknya mengutamakan orang lain, sehati, sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Paulus ingin agar orang percaya di Filipi berbeda dari orang yang tidak percaya, hanya mementingkan diri sendiri. Di dalam Kristus, egoisme, individualisme tidak mendapat tempat. Sebaliknya di dalam Kristus orang akan rela untuk saling mendengarkan, menasihati, menghiburkan, bersekutu dalam Roh, mengobarkan kasih mesra dan belas kasihan.

Mari, nyatakan kembali hidup Kristus melalui hidup kita yang mendengarkan orang lain, sehingga dengan suara yang padu kita dapat menyanyikan tembang keadilan dan kebenaran dengan merdu!

DIFABEL ADALAH ANUGERAH

DIFABEL ADALAH ANUGERAH



“Barangsiapa datang kepada-Ku: ia tidak akan Kubuang” (Yoh. 6:37b)

Saya menyarankan Anda menyanyikan Kidung Jemaat 27 yang berjudul "Meski Tak Layak Diriku.” Kidung tersebut berbicara soal artinya menerima din apa adanya. Kidung indah ini digubah oleh Charlotte Elliott pada usia empat puluh tujuh tahun. Dalam usia yang seharusnya produktif itu, ia justru terbaring sakit karena kelumpuhan yang harus diterimanya seumur hidup.

Hari itu semua orang di rumahnya pergi untuk mengadakan bazar penggalangan dana bagi pembangunan sebuah sekolah. Charlotte ditinggal sendirian di rumah. Dalam kesepian dan kesedihan, ia menggumuli dan merenungi hidupnya yang tak mampu menyumbangkan apa-apa bagi pembangunan sekolah tersebut. "Allah menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu."

la kemudian mengambil alat tulis dan mulai menggubah puisi yang bertutur tentang kesediaan datang kepada Allah sebagaimana adanya kita. Cacat dan kelemahan fisik tak perlu menjadi penghalang untuk hidup bermakna dan berguna. Tanpa sepengetahuannya, puisi tersebut akhimya menyebar dan malah menghasilkan lebih banyak uang daripada kegiatan bazar yang diadakan sebelumnya.

Kisah hidup Charlotte Elliott menjadi saksi hidup dan spiritualitas yang sama yang ditulis Paulus dalam 1 Korintus 15. Kasih karunia Allah memampukan kita untuk menerima diri apa adanya untuk berkarya dalam keterbatasan kita. Yesus pun berkata bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang Nya: menerima seutuhnya dan sebagaimana adanya orang itu.

Sabda Yesus ini sungguh bertolak belakang dengan masyarakat kita yang sudah terlanjur menganut sebuah mitos kenormalan (a myth of normalcy). Hanya orang-orang yang disebut "normal yang diterima dan dihargai.” Mereka yang lumpuh, cacat dan memiliki ketidakmampuan tertentu dilecehkan dicemooh dan dibuang. Mereka disebut sebagai orang-orang tak mampu (disabled). Untunglah sekarang kita memiliki istilah lain yang lebih mampu mengapresiasi dan mendorong mereka untuk juga mengapresiasi diri mereka sendiri. Istilah itu adalah diffable (differentability). Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008) memuat lema "difabel" ini.

Semua orang ternyata memiliki kemampuan yang berbeda beda Orang cacat pun memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang yang tak cacat. Charlotte Elliott membuktikan hal ini, Anda pun dapat juga membuktikannya. Jika Anda memiliki cacat tertentu, terimalah diri Anda apa adanya dan berkaryalah semampu Anda Jika Anda tidak cacat, terimalah mereka yang cacat dan berilah mereka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka yang berbeda dan yang tak jarang lebih-dari yang Anda miliki.


 

MENERIMA PENERIMAAN

MENERIMA PENERIMAAN

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, la melihat ke atas dan berkata Zakheus segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu "Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita” (Luk 19.5-6).

Pada masa kini, salah satu tema paling populer dalam buku-buku psikologi modern adalah "penerimaan atau self-acceptance). Orang diajak untuk berdamai dengan dirinya sendiri menerima kelebihan dan kekurangannya, lantas melangkah maju dengan seluruh plus dan minus hidupnya itu. Syukur-syukur ia bisa mengembangkan kelebihannya dan menutupi kekurangannya.

Terlepas dari kebaikan yang telah disumbangkan banyak buku psikologi modern itu, salah satu kritik pendekatan ini adalah antroposentrisme, yaitu pemusatan pada manusia yang berlebihan. Manusia dianggap mampu memulai dan memutuskan perjalanan panjangnya dalam menerima diri sendiri. Di dalami iman Kristen, penenamaan-diri ternyata tidak bisa dilepaskan dari penerimaan Allah atas orang tersebut. Dan inilah wilayah yang tidak terjamah dalam perbincangan psikolog modern tersebut. "Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu."

Dalam bukunya The Courage to Be (1952) Paul Tillich menegaskan bahwa titik terpenting dalam proses penerimaan diri adalah menerima kenyataan bahwa ia memang diterima oleh Allah. Tanpa menerima penerimaan (accepting-acceptance) ini seseorang tak mungkin bisa menerima diri sendiri, apalagi menerima orang lain. Dalam bahasa Kristiani kita mengenal penerimaan ilahi ini sebagai pengampunan dosa. Dalam hal ini anugerah merupakan kata paling pas untuk menjelaskan penerimaan ilahi atas hidup manusia itu, terlepas dari menggelembungnya dosa.

Memperjuangkan proses penerimaan-diri tanpa menerima kenyataan bahwa ia sudah diterima oleh Allah hanya akan membawa seseorang ke dalam sebuah perjalanan palsu. Kita dapat dan harus menerima diri sendiri semata-mata karena Allah sudah menerima kita terlebih dahulu. Tidak ada doktrin, ritus atau hukum rohani mana pun yang menyediakan penerimaan ilahi ini. Mengapa? Sebab, penerimaan ilahi atas hidup manusia berdosa ini hanya mungkin terjadi lewat perjumpaan pribadi-dengan-pribadi itulah sebabnya pengampunan dosa di dalam kekristenan, senantiasa menukik pada sebuah pribadi yang ilahi sekaligus insani Yesus Kristus.



Dialah Allah yang menerima manusia, sekaligus manusia yang menerima penerimaan Allah. Di dalam Kristuslah, Anda dan saya memperoleh jalan masuk untuk menerima penerimaan ilahi menerima diri sendiri dan akhirnya menerima orang lain.

Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam perjumpaan Yesus dan Zakheus. Si pemungut cukai kecil ini menerima Yesus dengan sukacita (ay. 6) setelah ia diterima oleh Yesus (ay 5), terlepas dari menggunungnya dosa dari kesalahan Zakheus. Peristiwa menerima penerimaan ini-uniknya-berlangsung ketika Yesus menawarkan diri untuk menjadi tamu di rumah Zakheus. Pada saat itulah, Yesus Sang Tamu yang diterima oleh Zakheus, berubah menjadi Yesus Tuan Rumah yang menerima Zakheus. Kini, dengarkanlah suara Yesus yang juga berkata kepada Anda, "... hari ini Aku harus menumpang dirumahmu." Dan terimalah penerimaan ilahi itu.