KAMBING HITAM

KAMBING HITAM

Seorang karyawan dimarahi oleh atasannya di kantor. la tidak senang dimarahi, namun ia tidak bisa melawan. Rasa jengkelnya dipendam. Setibanya di rumah seperti biasa ia mengetuk pintu. Ketika istrinya membuka pintu, karyawan tadi langsung marah, "Mengapa buka pintu begitu lama?!" Istrinya heran dan berpikir ini tidak lama, ini seperti biasa, tetapi mengapa dia dimarahi? Istrinya menjadi jengkel, namun ia tidak bisa melawan. Ketika kemudian anaknya pulang, sang istri langsung marah, "Mengapa bajumu begini kotor? Ibu capek mencuci baju, mengerti?" Anak itu merasa heran, mengapa ia tiba tiba dimarahi. Tiap hari pun bajunya seperti begini, mengapa sekarang tiba-tiba dimarahi? Namun, anak ini tidak bisa melawan. Ketika kucing nya lewat, dengan perasaan marah ia menendang kucing itu. Keruan saja kucing itu terkejut dan lari sambil mengeong kesakitan.

Itu disebut pengalihan agresi atau displacement of aggression. Gejala itu terjadi ketika perilaku agresif verbal atau fisik dialihkan dari sumber frustrasi yang sesungguhnya ke sumber frustrasi pengganti. Suami merasa jengkel kepada atasannya, namun mengalihkan itu kepada istrinya, lalu istri kepada anak, dan anak kepada kucing.

Yang lebih pelik lagi adalah proyeksi. Seseorang mengalami perlakuan buruk pada masa kecilnya. Akibatnya, ia membenci keluarganya. Ketika ia sudah dewasa, di mental bawah sadarnya terpendam rasa benci. Namun, ia tidak mengakui hal itu. Yang dirasakannya adalah justru kebalikannya, yaitu bahwa orang-orang di sekitarnya membenci dia. la memproyeksikan rasa benci yang ada pada dirinya kepada orang lain. Proyeksi adalah pengalihan sifat dan perasaan dari mental bawah sadar seseorang kepada orang lain. Baik dalam proyeksi maupun pengalihan agresi terjadi pelemparan kesalahan. Ada pihak yang tidak tahu apa-apa dan juga tidak bersalah apa-apa, namun dijadikan pihak yang bersalah. Ini gejala kambing hitam.

Perilaku mencari kambing hitam sering terjadi di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Direktur memarahi kepala bagian, kepala bagian memarahi bawahannya, bawahan itu memarahi lagi orang yang di bawahnya, dan seterusnya. Sebuah benda pun bisa dijadikan kambing hitam. Seorang sekretaris yang jengkel kepada atasannya menimpakan rasa jengkel itu dengan melempar pulpen ke meja. Sebuah persamaan dari pelbagai bentuk perilaku mengambinghitamkan adalah bahwa yang dipilih menjadi kambing hitam adalah pihak yang tidak bisa membalas dan yang kedudukannya lebih lemah.

Apa itu sebenarnya perilaku cari kambing hitam? Orang mencari kambing hitam ketika ingin melindungi diri dari suatu kenyataan yang tidak mau diterimanya. Untuk melindungi diri dari suatu "serangan", ia membuat strategi mempertahankan diri. Misalnya, karena takut dipersalahkan atau karena tidak mau bertanggung jawab atas suatu kesalahan, ia cepat-cepat mempersalahkan orang lain. Perbuatan mencari kambing hitam merupakan "pasang kuda-kuda" atau strategi bersiap karena khawatir akan diserang. Psikoanalisis menerangkan bahwa perilaku cari kambing hitam merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan ego.

Kebiasaan cari kambing hitam bisa jadi terbentuk karena pengaruh orangtua. Ketika pintu kamar terbuka sehingga nyamuk masuk, ibu langsung berkata, "Tono sih, keluar masuk, jadi pintu terbuka." Padahal pintu itu terbuka sendiri. Anak yang sering dipersalahkan atau digugat padahal ia sama sekali tidak bersalah, kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang suka cari alasan untuk membenarkan diri, suka bela diri padahal tidak ada yang menyerang dia, atau suka mempersalahkan orang lain. la mudah membuat alibi atau menghindar dari suatu tanggung jawab dengan berkata, "Maaf, saya tidak bisa mengerjakan karena komputer saya rusak," atau "Maaf, laporan saya terlambat karena anak saya sakit." Atau, ia mudah sekali membela diri kalau ada persoalan dengan cepat-cepat berkata, "Bukan saya," atau "Saya tidak tahu. Atau, ia mudah mempersalahkan orang lain dengan berkata, "Dia sih..." atau "Kamu sih..."

Budaya mengkambing-hitamkan bisa juga timbul karena kebiasaan dalam masyarakat. Ketika ada musibah kereta api anjlok dari rel, pejabat langsung berkata, "Akan diselidiki kalau-kalau ada sabotase." Pernyataan seperti itu menggiring opini publik ke arah mencari kambing hitam. Demikian pula pernyataan seperti, "Bahaya laten partai terlarang harus terus diwaspadai", "Ada pihak tertentu yang senang melihat ekonomi kita ambruk", "Dalangnya sudah diidentifikasi, tetapi belum waktunya untuk ditangkap", atau "Ada negara tetangga yang cuma mau untung". Sikap seperti itu tidak edukatif sebab kita tidak ditolong untuk melihat dan memperbaiki kesalahan, malah melemparkan kesalahan itu kepada pihak lain.

Dari mana asal-usul istilah kambing hitam? Sebetulnya, istilahnya adalah kambing dosa (Sundenbock atau zondebok) atau kambing lari scape goat). Asal-usulnya adalah tradisi umat Israel di zaman Eksodus. Mereka melakukan upacara penyucian dosa setahun sekali dengan jalan menjadikan seekor kambing sebagai lambang pembawa dosa seluruh umat lalu kambing itu disuruh lari ke gurun (lih. Im. 16).

Agaknya, mental mempersalahkan orang lain sudah ada pada kita "dari sononya". Dalam cerita Kejadian Tuhan bertanya kepada Adam, "Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang...?" Adam cepat-cepat menjawab, "Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi ..." Lalu Hawa juga cepat-cepat melempar kesalahan dan berkata, "Ular itu yang memperdayakan aku..." (lih. Kej. 3).

Kita begitu mudah melempar kesalahan. Kambing hitam begitu mudah dicari. Ada sebuah cerita lucu tentang seorang pendeta gemuk yang doyan makan kambing guling dan sering dijadikan kambing hitam. Apa hubungannya kambing guling dengan kambing hitam? Begini ceritanya. Ada seorang pendeta ... Wah, maaf pembaca. Saat ini di rumah saya tiba-tiba listrik padam. Saya tidak bisa meneruskan cerita ini. Rumah saya gelap. Bagaimana saya bisa menulis? Ini bukan salah saya. Listriknya sih...