TIDAK ADA KERJA YANG HINA

TIDAK ADA KERJA YANG HINA


Anda mungkin tidak percaya, saya pernah jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua dolar sejam. Ceritanya begini.

Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak. Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.

Tidak lama kemudian, rupanya "perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung. Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga senang.

Nah, langganan saya itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang, halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah. Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.

Tugas saya cukup mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11 orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.

Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada. Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan. Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss." Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis. Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia. Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka jadi baby-sitter.

Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead, sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur, saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ. Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki bukit.

Ada lagi pengalaman kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran. Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak resmi masih ada lagi.

Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya. Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat "enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat pemberitahuan).

Alkitab memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia. Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis, "Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan, "The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of the world and of human nature."

Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.

Begitulah dalam hidup ini saya sudah menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.

Mungkin Anda bertanya, dari semua pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa tahu...

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG

 

Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.

Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).

Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.

Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).

Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).

Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!

Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?

Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.

Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.

Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

PENSIUN ITU MENAKUTKAN

 

Seorang ibu dalam usia 30-an tahun sedang repot mengurus anak-anaknya. la berpikir alangkah bebasnya kalau kelak ia sudah tidak usah melakukan tugas-tugas seperti ini. Suaminya yang juga dalam usia 30-an tahun sedang terjebak dalam kemacetan lalu lintas. la juga sedang membayangkan betapa enaknya kelak kalau ia pensiun dan tiap hari menikmati suasana santai di rumah.

Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian pikiran kedua orang itu berubah total. Mereka bukan lagi mendambakan masa pensiun. Sebaliknya, sekarang mereka sedang cemas memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun lagi kalau mereka pensiun. Pensiun memang mencemaskan. Kalau ada orang yang tidak merasa cemas, barangkali ia belum berpikir tentang masa pensiun, atau ia belum tahu apa itu sebetulnya pensiun. Soalnya, masa pensiun itu banyak "batu"nya.

Baiklah kita mulai dengan soal yang "mudah" (padahal sebetulnya ini sama sekali tidak mudah), yaitu soal uang. Pada hari kita mulai pensiun, pada hari itu juga gaji kita akan dipotong secara drastis. Segala macam tunjangan dihentikan. Yang namanya uang pensiun itu cuma sepersekian dari gaji. Yang paling terasa adalah dihapusnya tunjangan pengobatan. Mulai hari itu segala biaya untuk dokter, apotek, laboratorium, atau rumah sakit harus kita tanggung sendiri. Padahal justru semakin tua semakin sering kita berobat. Sungguh mencemaskan.

Bagi mereka yang selama ini menikmati pinjaman kendaraan dinas atau rumah dinas, persoalannya menjadi bertambah. Kendaraan perlu dikembalikan dan rumah harus dikosongkan. Kita harus pindah. Pindah ke mana? Akan tetapi, baiklah kita andaikan bahwa semua persoalan itu tidak ada atau sudah teratasi. Itu belum berarti bahwa masa pensiun otomatis akan menyenangkan. Ada banyak persoalan lain yang lebih rumit lagi.

Persoalan pertama adalah rasa hampa. Mari kita bayangkan diri sebagai seorang manajer. Selama sekian belas atau sekian puluh tahun kita telah menyatu dengan fungsi atau peran tertentu. Peran itu telah menjadi suatu bagian dari jati diri kita. Sekarang tiba-tiba kita harus melepaskan peran itu. Hati kita padat dengan pelbagai macam perasaan ketika kita mengosongkan meja dan ruangan kantor kita. Apalagi tatkala kita mencabut papan nama dari meja atau pintu ruangan itu. Berpisah dengan teman-teman sekerja juga merupakan beban emosi. Seorang demi seorang kita salami: para sekretaris, pesuruh, operator telepon, direksi, kepala bagian, satpam, dan lainnya.

Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Akan tetapi, setelah itu kita mulai merasa bingung, "Apa yang harus kukerjakan?" Kita merasa kehilangan peran. Lalu kita mulai merasa kehilangan jati diri. Kita merasa ada sesuatu yang kosong dalam diri kita. Kita merasa hidup ini menjadi hampa. Bisa jadi kita mulai bertanya dalam hati, "Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup?"

Perasaan-perasaan seperti itu dapat juga timbul pada seorang ibu rumah tangga. Selama sekitar dua puluh tahun ia mengurus anak-anaknya. Kini semua anak itu sudah mandiri atau berumah tangga sendiri. Mereka sudah mempunyai dunianya masing-masing. Akibatnya, ibu ini tidak tahu siapa yang sekarang perlu dia urus. Ibu ini kehilangan sasaran kesibukan. Mungkin beberapa tahun kemudian ibu ini sibuk merawat suaminya yang lanjut usia. Kemudian, ketika suaminya meninggal, ibu ini lagi-lagi merasa kehilangan peran. Ia merasa bingung, "Siapa yang harus kurawat sekarang?" la merasa hidup ini kini menjadi hampa.

Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang ibu rumah tangga, atau saya seorang manajer bank dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya, ketika peran itu harus dilepaskan, kita pun kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup.

Akibatnya, yang juga dapat timbul adalah post power syndrome. Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Kita mencari serta memperoleh kepuasan dengan cara memainkan atau memberlakukan kekuasaan. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sangat suka mengatur dan melindungi anaknya secara berlebihan. la memberlakukan kekuasaan. Atau seorang manajer yang suka tampil sebagai penguasa dan pembesar. Orang yang banyak memberlakukan biasanya akan merasa kehilangan kekuasaan pada masa pensiunnya. Akibatnya, mungkin ia mencari jalan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Mantan manajer itu bisa jadi berusaha mengendalikan penggantinya atau menjelek-jelekkan kebijakan penggantinya.

Pensiun memang dapat menjadi suatu krisis yang menimbulkan sindrom, kompleks atau persoalan kejiwaan lain. Dalam skala Penyesuaian Sosial yang disusun oleh Holmes dan Rahe tercantum sekitar empat puluh penyebab stres, dan pensiun tercantum sebagai penyebab nomor 10 di bawah urutan kematian suami/istri, perceraian, musibah, penyakit dan pemenjaraan.

Masa pensiun memang rentan terhadap krisis karena masa pensiun ditandai oleh banyak pengurangan atau pemerosotan, yaitu merosot dalam peran, penghasilan, kekuasaan dan kekuatan fisik. Rasul Paulus dalam usianya yang lanjut juga mengalami banyak kemerosotan. Namun serempak ia juga mengalami pembaruan atau penambahan di bidang yang lain. Ia menulis, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari" (2Kor 4:16).

Inilah "sisi lain dari koin" yang bernama masa pensiun. Secara fisik dan finansial kita berkurang, namun secara emosional dan spiritual kita bisa bertambah. Pola pikir kita bisa menjadi integratif, yaitu mampu mengintegrasikan masa pensiun ini dengan masa kerja yang telah kita tuntaskan dengan baik selama sekian puluh tahun. Lalu kita mensyukuri perjalanan karier yang telah kita lewati itu sebagai suatu pemberian dari Tuhan. Tuhan telah memberi peran kepada kita selama sekian puluh tahun. Tuhan telah menuntun kita menjalankan peran itu sehingga akhirnya sekarang kita boleh menyelesaikannya dengan selamat.

Selanjutnya pola pikir kita pun bisa menjadi generatif, yaitu mampu mengakui bahwa kesempatan berkarya telah kita peroleh, karena itu sekarang kita menyiapkan generasi berikutnya untuk mengisi kesempatan itu. Kita telah mendapat giliran berbakti, sekarang bakti kita telah purna (penuh, selesai), lalu kita menyerahterimakan giliran itu kepada generasi penerus. Itulah "manusia batiniah" yang bisa berkembang justru pada masa pensiun. Sebab itu, masa persiapan pensiun (sering disingkat: MPP) bukanlah sekadar persiapan lahiriah (tabungan, rumah, asuransi kesehatan dsb.) melainkan terutama persiapan batiniah atau persiapan mental. Kalau yang disiapkan hanya urusan material, MPP bisa di pelesetkan menjadi "mati pelan-pelan" sebab walaupun secara material kita beres, mental kita akan tetap krisis. Sebaliknya, kalau kita siap mental, MPP bisa berarti "masa pematangan pribadi".

Akan tetapi, persiapan mental ini tidak mudah. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis "cathectic flexibility versus cathectic impoverishment". Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karier, dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain. Itu sebabnya salah satu bentuk pengisian masa pensiun yang konstruktif adalah mencari pengganti peran atau pengganti kesibukan dengan cara membantu panti asuhan, panti wredha, sekolah, gereja, poliklinik, dan sebagainya.

Kalau perhatian kita sempit dan hanya mengarah pada diri sendiri, memang masa pensiun adalah menakutkan. Kita menjadi tawar hati, sebab "manusia lahiriah" kita makin lama makin merosot. Namun, bila perhatian kita terbebas dari kesempitan itu lalu terarah pada dimensi hidup yang lebih luas dan lebih luhur, masa pensiun justru melegakan. Memang "manusia lahiriah" kita merosot, namun "manusia batiniah" kita mengembang dan mematang.

DICARI YANG BERPENGALAMAN

DICARI YANG BERPENGALAMAN

 


Ada seorang nabi yang mempunyai mantra untuk menghidupkan tulang orang mati. Murid-muridnya berkali-kali meminta agar nabi itu memberikan mantra tersebut kepada mereka. Tetapi nabi selalu menjawab, "Sabarlah. Kamu perlu pengalaman lebih dulu. Kamu perlu belajar bijak dari pengalaman. Tunggulah sampai kamu menjadi lebih matang. Nanti saya pasti akan memberikan mantra itu.”

Akan tetapi, murid-muridnya tetap mendesak. Mereka terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati nabi itu memberikan mantra yang mereka minta itu. Para murid itu gembira. Mereka langsung meninggalkan sang guru. Mereka ingin mencoba mantra itu. Di perjalanan mereka melihat ada beberapa batang tulang berserakan. "Mari kita coba sekarang!" Lalu mereka menggunakan mantra itu. Apa yang terjadi? Tulang-tulang itu mulai bergerak. Mantera itu ampuh! Dengan mata terbelalak mereka melihat tulang-tulang itu mulai ditumbuhi daging. Lalu menjadi kerangka. Ternyata kerangka itu menjadi serigala yang hidup dengan mata yang liar. Murid-murid itu lari ketakutan. Namun, mereka dikejar serigala itu. Mereka diterkam. Mereka tewas terkoyak-koyak.

Kepandaian dan kekuasaan bukan segala-galanya. Orang yang pandai dan berkuasa belum tentu bijak dalam menggunakan kepandaian dan kekuasaannya. Mereka belum berpengalaman. Namun, apa artinya pengalaman? Pdt. A sudah sepuluh tahun bekerja, sedangkan Pdt. B lima tahun. Siapa yang lebih berpengalaman? Apa Pdt. A? Belum tentu. Kedua pendeta itu tiap tahun mengajar katekese. Pdt. A sudah sepuluh kali mengajar, tetapi bahan yang digunakan selalu sama, begitu juga cakupan, urutan dan caranya. Pdt. B sudah menggunakan lima macam pendekatan yang berbeda. la lalu membandingkan dan menilai kelima macam kelas yang berbeda itu. Nah, siapa yang lebih berpengalaman? Jelas, Pdt. B lebih berpengalaman walaupun masa kerjanya lebih singkat. Pengalaman belum tentu identik dengan panjangnya masa kerja.

Pengalaman lebih dari sekadar mengalami sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar, atau kerjakan belum tentu menjadi pengalaman. Apa yang kita kerjakan baru menjadi pengalaman kalau kelak kita bisa memanfaatkan kesalahan dan keberhasilannya untuk pekerjaan kita yang selanjutnya. Kualitas sebuah pengalaman diukur dari kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari pengalaman itu. Pakar pendidikan John Dewey (1859-1952) dalam buku Experience and Education menulis, "Everything depends upon the quality of the experience which is had. The quality of any experience... is its influence upon later experiences... wholly independent of desire or intent, every experience lives on in further experiences."

Dalam pengertian itu kita berkata bahwa cara belajar yang terbaik adalah belajar dari pengalaman. Bukan pengalaman dalam arti sekadar mengalami, melainkan bertanya apa yang aku pelajari dari apa yang kualami, apa kelemahanku, apa kekuatanku, apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu diubah, apa manfaat yang diperoleh orang banyak dari semua ini?

Pengalaman baru bisa disebut pengalaman kalau apa yang dialami itu diuji secara kritis. Untuk itu, dibutuhkan sikap jujur terhadap diri sendiri dan mau mengakui kebodohan sendiri. Orang yang cepat berpuas diri biasanya miskin pengalaman, walaupun apa yang dialaminya banyak. Kualitas pengalaman diukur dari intensitas. Hidup Yesus di bumi hanya 33 tahun, tetapi hidup-Nya begitu intens (= dalam, hebat, padat, berarah), karena la mempunyai intensi (= tujuan, maksud) yang jelas, yaitu "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45).

Hidup yang bermutu menghasilkan pengalaman. Pengalaman menghasilkan sikap bijak. Pengalaman menjadikan orang berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatu secara tenang dan matang. la melihat persoalan bukan hanya dari satu perspektif atau darii kepentingan sendiri, melainkan juga dari pelbagai perspektif atau dari kepentingan orang banyak. Ia tidak begitu saja maju dan menerjang. Jika perlu, ia bersedia berhenti dan menepi. Seperti ditulis oleh pengarang Amsal, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (22:3).

Perhatikan bahwa ayat itu mempertentangkan antara "bijak" dan "tak berpengalaman". Pola itu terdapat di sepanjang Kitab Amsal (contoh eksplisit lain ada di dalam 14:15). Menurut Amsal, orang yang mau bijak perlu belajar dari pengalaman. Pandai dan berkuasa belum berarti bijak dan berpengalaman. Murid-murid nabi tadi sudah pandai dan berkuasa karena mereka mempunyai mantera yang mampu menghidupkan tulang. Namun, mereka terburu nafsu untuk menggunakan kepandaian dan kekuasaan. Tulang yang mereka hidupkan ternyata tulang serigala. Mereka menghidupkan sesuatu yang kemudian mematikan mereka. Mereka sudah mempunyai kepandaian dan kekuasaan. Namun, mereka belum mempunyai sifat bijak dan pengalaman.

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

KRISIS VERSUS KEMUDAHAN

 


Enggano adalah sebuah pulau kecil dekat Bengkulu. Pada Perang Dunia Il pulau itu dijadikan tempat penyimpanan persediaan makanan untuk pasukan Jepang. Ketika Jepang menyerah, semua gudang itu ditinggalkan untuk penduduk setempat. Ternyata isi gudang itu luar biasa banyaknya. Padahal pada waktu itu jumlah penduduk Pulau Enggano hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka, dibagilah isi gudang itu. Tiap jiwa termasuk bayi mendapat 4 karung beras, 1 peti corned beef, 1 peti ikan sarden, 10 kaleng besar biskuit, dan banyak jenis makanan lain dalam peti besar. Dengan persediaan makanan yang begitu banyak di tiap rumah, orang tidak merasa perlu lagi bersawah dan berkebun. Tiap hari mereka hanya bersantai-santai.

Dua tahun kemudian persediaan makanan itu mulai habis. Lalu mereka mulai menggarap sawahnya lagi. Tetapi, apa yang terjadi? Sawah dan kebun mereka sudah penuh dengan alang-alang. Diperlu kan waktu beberapa bulan untuk mengolah tanah itu kembali. Ketika kemudian mereka bisa menanam, keadaan sudah terlambat. Persediaan makanan sudah betul-betul habis. Untuk menunggu panen diperlukan waktu setengah tahun. Akibatnya mereka kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi? Penduduk pulau itu mendapat kemudahan. Mereka tidak usah bekerja karena ada persediaan makanan untuk sekian tahun. Kerja keras berubah menjadi malas-malas. Ketika mereka mau bekerja lagi, sawah sudah menjadi belukar. Kemudahan membuat orang jadi terlena.

Pada hakikatnya orang cenderung memilih yang mudah. Mudah berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakannya. Mudah berarti tidak berat, tidak sukar dan tidak melelahkan. Di sekolah murid lebih senang mendapat soal yang mudah. Di tempat kerja kita memilih tugas yang mudah. Begitu juga dalam hidup, kita lebih senang berada dalam keadaan yang mudah. Kebalikan dari ke mudahan adalah kesulitan, tantangan, dan krisis. Memang kemudahan terasa menyenangkan. Kemudahan terasa sebagai berkat. Namun, dalam jangka panjang, apakah kemudahan itu berkat, ataukah bencana?

Menurut psikologi perkembangan, orang bertumbuh kepribadiannya melalui delapan tahap. Pada tiap tahap terjadi krisis. Misalnya pada tahap pertama, ketika anak berusia sekitar 1,5 tahun, ia mengalami krisis kecurigaan dasar versus kepercayaan dasar. Ia merasa curiga bahwa dirinya kurang diterima oleh pengasuhnya dan bahwa ia akan ditinggalkan sebatang kara. Jika bayi tidak berhasil mengatasi krisis ini, kelak ia menjadi orang dewasa yang cenderung berprasangka dan kurang bisa memercayai orang lain. Ia menjadi orang yang usianya dewasa, namun tahap kepribadiannya belum beranjak dari masa usia 1,5 tahun. Sebaliknya, jika bayi ini berhasil mengatasi krisis lalu merasa diterima dan bisa memercayai bahwa pengasuhnya ada meskipun tidak kelihatan, bayi ini bisa bertumbuh kepribadiannya ke tahap berikutnya. Kepribadian tumbuh melalui krisis. Keberhasilan mengatasi krisis adalah syarat untuk bisa maju ke tahap berikut.

Prinsip ini juga tampak dalam teori perkembangan masyarakat Kelompok masyarakat mana yang lebih maju? Arnold Toynbee, pakar sejarah kebudayaan, mengamati bahwa dari zaman purba hingga kini kelompok masyarakat yang lebih cepat maju adalah kelompok pendatang atau migran. Berbeda dari penduduk lama, kaum migran lebih terbuka dan lebih siap menghadapi ketidakpastian, perubahan, dan krisis. Mereka datang dengan tangan kosong, namun dengan hati yang penuh idealisme. Penduduk lama sudah mapan dengan pelbagai kemudahan sehingga tidak mempunyai dorongan untuk banting tulang, padahal para pendatang masih harus bergerak untuk survive. Karena itu, pada umumnya para pendatang lebih ulet, lebih hemat, dan lebih rajin. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan dapat membuat orang jadi statis, sedangkan krisis dapat membuat orang menjadi dinamis.

Para pengarang Perjanjian Lama bersaksi bahwa walaupun Allah mengasihi umat pilihan-Nya, Allah tidak memberi kemudahan kepada umat-Nya. Sebaliknya, Allah malah membawa umat-Nya berjalan melalui krisis. Kasus itu tampat mencolok pada peristiwa Eksodus. Umat menempuh perjalanan dari delta Nil ke Kanaan yang berjarak sekitar 250 km atau kira-kira seperti dari Jakarta ke Cirebon. Secara wajar perjalanan itu dapat ditempuh dalam beberapa minggu. Namun, Allah membawa umat-Nya ke jalur yang lebih jauh dan lebih sulit sehingga akibatnya perjalanan mereka memakan waktu 40 tahun. Selama 40 tahun itu umat bukan menghadapi kemudahan, melainkan justru kesulitan dan krisis. Umat mengira bahwa mereka tidak dikasihi Allah. Akan tetapi, sebenarnya justru karena Allah mengasihi umat-Nya, la membawa mereka berjalan melalui pelbagai kesulitan sebab Allah bermaksud agar dengan kesulitan dan krisis itu umat-Nya ber tumbuh menjadi bangsa yang tangguh.

Cara Allah mendidik ini juga kemudian dicatat oleh pengarang Surat Ibrani sebagai berikut, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan la menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang... Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya" (Ibr. 12:5b 11).

Dari perikop tersebut dapat ditarik paling sedikit enam dalil teologi yang pedagogis (atau: dalil pedagogi yang teologis). Pertama, Allah digambarkan sebagai orangtua dan kita sebagai anak-anak-Nya yang dikasihi. Kedua, karena itu Allah mendidik kita. Ketiga, cara mendidik yang baik bukanlah dengan memberi kemudahan, melainkan dengan memberi ganjaran (Yunani: paideia.k.k. paideuo = menegur, memarahi, menghukum, mendisiplin, menghajar). Keempat, sebab itu Allah memberi paideia kepada kita. Kelima, paideia tidak terasa menyenangkan, malah menyakitkan. Keenam, tetapi dalam jangka panjang, paideia memberi manfaat kepada kita. Jadi, pokok utama perikop ini adalah: Allah mendidik kita sebab itu la tidak memberi kemudahan, tetapi kesulitan dan tantangan. Di sini Allah digambarkan sebagai Allah yang edukatif atau sebagai pendidik ulung yang mempunyai visi tujuan mendidik untuk jangka panjang.

Konteks perikop ini adalah Surat Ibrani yang menekankan pokok bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam mewujudkan perbuatan-Nya dalam sosok Yesus. Itu berarti bahwa hidup Yesus merupakan petunjuk cara Allah mendidik. Sebab itu, hidup Yesus tidak berisi kemudahan tetapi krisis. Selama 33 tahun Yesus memilih jalan yang tidak mudah tetapi jalan yang penuh penderitaan. Akan tetapi, justru karena Yesus menempuh jalan itu dan setia sampai akhir, la menjadi simbol kemenangan atas penderitaan. Teologi Yesus bukan teologi kemudahan, melainkan teologi ketangguhan, yaitu tangguh dalam kesulitan dan krisis.

Lima ratus tahun sebelum Yesus mengajar, ternyata Kung Fu Tse memandang krisis dan kesulitan sebagai unsur yang positif dalam proses didik-mendidik. Dalam bahasa Cina krisis adalah wei-ji dan aksaranya merupakan gabungan dari aksara wei-jien (= bahaya) dan aksara ji-hwee (= peluang). Maksudnya adalah bahwa peluang mengandung bahaya atau risiko. Mereka yang mau mendapat peluang atau kesempatan harus mau menanggung risiko. Sebaliknya, dalam tiap risiko tersembunyi peluang. Orang yang pasif hanya bisa meratap kalau ditimpa kesulitan, tetapi orang yang kreatif dan produktif justru bisa memanfaatkan kesulitan sebagai peluang untuk bangkit kembali dengan strategi baru. Dalam aksara wei-ji terkandung hikmah yang dalam: peluang untuk maju timbul bukan dari kemudahan, melainkan dari kesulitan.

Sebetulnya kita tahu bahwa kemudahan bisa membuat orang jadi malas, sedangkan tantangan dan kesulitan bisa membuat orang jadi tangkas. Namun, kalau kita boleh memilih antara kemudahan dan kesulitan, kita akan memilih kemudahan sebab kemudahan itu enak padahal kesulitan terasa kejam dan menyakitkan.

Itu sebabnya banyak orangtua demi cinta melimpahkan pelbagai kemudahan kepada anaknya. Coba perhatikan, banyak anak TK dibawakan tas dan botolnya oleh penjemputnya. Ada anak yang sudah mampu mengikat tali sepatu sendiri, namun ibunya masih turun tangan. Ada calon mahasiswa yang formulir pendaftarannya diisi oleh orangtua. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi sering kali cinta itu diwujudkan dalam bentuk yang keliru, yaitu dalam bentuk kemudahan dan proteksi berlebihan. Hidup anak itu menjadi sangat mudah. Segala macam kemudahan sudah tersedia.

Anak yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemudahan, nantinya bisa menjadi orang yang kepribadiannya rapuh dan cepat ambruk. Artinya, ia tidak kuat menanggung beban frustrasi. Ia juga enggan berprakarsa. Motivasinya lemah dan daya juangnya rendah. la takut pada kesulitan; padahal hidup ini terdiri atas deretan persoalan yang sulit: pelajaran, pekerjaan, pergaulan, pernikahan, kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sebab itu, tokoh Pendidikan Agama Kristen Friedrich Froebel (1782-1852) berkata bahwa anak sejak kecil perlu dibimbing untuk menerima dan mengatasi pelbagai kesulitan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam hidup. Froebel menentang pandangan bahwa kesulitan merupakan hukuman dari Tuhan atau bahwa kemudahan merupakan upah dari Tuhan atas kebaikan kita. Menurut Froebel, hidup baik dan saleh itu sendiri sudah merupakan keuntungan sebab itu hidup baik dan saleh tidak perlu diupahi dengan kemudahan, sukses, dan keuntungan duniawi.

Contoh tentang kemudahan biasanya tampak dalam bisnis keluarga. Banyak bisnis keluarga berawal dari seorang miskin yang banting tulang dan peras keringat. Usahanya mulai dari nol. Berkat sifatnya yang rajin dan hemat, usahanya berkembang menjadi besar. Kemudian perusahaan ini diwariskan kepada generasi kedua yang berupaya untuk bertahan. Namun, begitu tiba pada generasi ketiga, banyak bisnis keluarga bangkrut sebab sifat rajin dan hemat dari generasi pertama sudah luntur.

Laporan konferensi tentang Bisnis Keluarga di Asia Pasifik berbunyi, "Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dan berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa oleh generasi kedua, akhirnya hancur oleh generasi ketiga karena generasi ini hidup dalam kemewahan dan tidak pernah melihat pengorbanan dan kegigihan orangtua mereka... generasi ketiga, sebagai anak-anak orang kaya tidak melihat perlunya bekerja keras. Mereka tidak mau susah dan tidak memiliki semangat ..." Kemudahan memang tampak enak. Akan tetapi, kemudahan bisa membuat kita jadi terlena. Di mana seorang pengemudi mobil m ngantuk? Bukan di jalan yang sulit dan sempit, melainkan di jalan yang mudah dan mulus.

Kemudahan membuat kita lengah. Maka, demi cinta kepada umat-Nya Allah tidak memberi kemudahan. Allah malah membawa kita berjalan melalui kesulitan dan krisis. Sebab itu, kesulitan dan krisis jangan dilihat sebagai hukuman Allah, melainkan sebagai didikan Allah. Adanya krisis bukanlah tanda bahwa Allah marah, melainkan bahwa Allah prihatin kepada kita. Kata pengarang Ibrani, "Allah menghajar kita untuk kebaikan kita" (12:10).

Memang tiap krisis terasa menyakitkan dan membahayakan. Namun, tiap krisis juga mengandung peluang; peluang untuk memperbaiki diri, memperbaiki perencanaan, dan memperbaiki kebijakan. Kita bisa terpuruk akibat krisis, tetapi kita bisa juga bangun dari krisis itu dengan jiwa yang lebih dewasa. Umat Allah di zaman Eksodus mengalami krisis selama 40 tahun lalu muncul sebagai bangsa yang tangguh. Kemudahan membuat orang menjadi rapuh, kesulitan membuat orang menjadi tangguh.

Dalam hidup Yesus tidak ada kemudahan, yang ada malah penderitaan. Namun, la bangkit dari penderitaan itu sebagai pemenang. Rasul Paulus turut merasakan kemenangan itu sehingga ia bersaksi, "Syukur bagi Allah yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya" (2 Kor. 2:14).

TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

TIKUS ITU MEMANG ORANG RAKUS

 

Pernahkah Anda memperhatikan perangkap tikus yang terbuat dari kawat? Di dalamnya ada kaitan tempat menggantungkan sepotong makanan sebagai umpan. Kalau makanan itu tergoyang, lepaslah kaitan kawat itu dan terjeratlah tikus itu.

Mengapa tikus bisa terjerat di situ? Apakah karena kurang berhati-hati? Sama sekali bukan. Tikus justru terkenal sebagai binatang yang sangat tinggi tingkat kewaspadaannya. Tikus juga sangat cerdas dan gesit. la tahu bahwa makanan yang digantung itu merupakan umpan. Sebab itu, ia sangat berhati-hati. Seekor tikus bisa memakan sebagian dari umpan itu tanpa menggoyangkan kaitan kawat. Orang yang suka memasang jerat tikus tahu bahwa umpan itu sering sebagian dimakan oleh tikus, namun tikusnya sendiri tidak terjerat. Memang, kalau umpan itu dimakan dengan hati-hati, ada kemungkinan bahwa kaitannya tidak tergoyang.

Kalau toh tikus begitu hati-hati dan pandai, mengapa pada suatu hari ia terjerat juga? Sebabnya adalah karena tikus itu serakah. la berpikir bahwa sejauh ini ternyata kaitan itu tidak tergoyang, maka ia datang lagi dan menggerogoti lagi umpan. Namun, pada suatu saat kaitan itu tergoyang juga dan terjeratlah dia.

Dibandingkan dengan beberapa binatang lain, tikus memang termasuk rakus. Walaupun sudah kenyang, ia masih mencari makanan. Beda halnya dengan ular, misalnya. Ada jenis ular yang tidur selama beberapa bulan ketika ia sudah kenyang. Ada pula binatang buas yang jinak selama ia masih kenyang. Namun, tikus tidak ada puasnya. la terus makan walaupun sudah kenyang. Sebetulnya, ia tidak memerlukan makanan itu, namun ia terus makan. Itulah serakah, loba, tamak alias rakus.


Manusia punya kecenderungan seperti itu: rakus kekayaan, kedudukan, kekuasaan, jabatan, rakus ini dan rakus itu. Sudah punya, masih mau punya lagi. Sudah kaya, mau lebih kaya lagi. Sudah cukup, mau lebih dari cukup. Sekali ingin, keterusan ingin. Bagai seekor buaya, diberi jari ingin tangan, diberi tangan ingin seluruh badan.

Tuhan Yesus menilai sifat rakus sebagai kebodohan. Dalam Lukas 12 dicatat tentang seseorang yang bertikai dengan saudaranya mengenai harta warisan. Yesus berkata, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (ay.15).

Lalu Yesus melanjutkan dengan sebuah cerita. Ada seorang kaya yang panennya berlimpah padahal gudangnya masih penuh. Ia tidak punya tempat lagi untuk menyimpan segala miliknya. Sebab itu, ia memperluas gudangnya dan membangun gudang baru. Katanya, "Aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (Luk. 12:18, 19). Lalu Tuhan Yesus berkata, "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (ay. 20).

Mengapa Tuhan Yesus menyebut orang itu bodoh? Bukan karena ia membangun gudang tambahan dan bukan pula karena menyimpan kekayaannya, melainkan karena ia mengandalkan hari depannya pada kekayaan. Kekayaan dijadikan faktor jaminan. Kalau kaya, semua urusan terjamin beres. Sebab itu, ia ingin menjadi lebih kaya lagi, la menjadi serakah.

Yesus menyebut gaya hidup serakah itu bodoh sebab kekayaan bukan faktor andalan. Orang serakah justru akan terjerat oleh keserakahannya sendiri. Pengarang 1 Timotius menulis, "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat... Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang" (6:8-10). Perhatikan kata "jerat" dalam ayat 9. Terjemahan itu tepat sebab kata pagida dalam Alkitab Yunani memang berarti 'perangkap' atau 'jerat'.

Seperti tikus yang terjerat tadi. Sebetulnya ia sudah kenyang dan tidak memerlukan lagi sepotong ikan asin kecil di ujung kawat itu. Akan tetapi, ia menggigit juga ikan itu. Ternyata ia berhasil. Kawat itu tidak bergoyang. Keadaannya aman. Maka, ia menggigit lagi. Situasi masih terus memungkinkan. Mumpung masih memungkinkan, ia menggigit lagi. Tetapi, tiba-tiba perkawat itu menjepret. Terjeratlah dia. Barulah ia sadar bahwa keserakahannya telah menjerat dia.

Setinggi-tingginya tingkat kehati-hatian tikus, akhirnya ia terjerat juga. Tamatlah sudah riwayatnya cuma gara-gara sepotong gigitan kecil. Tikus itu memang orang rakus. Lho, kenapa tikus disebut orang? Karena tikus itu seperti orang dan orang itu seperti tikus, yaitu sama sama rakus.

NEPOTISME

NEPOTISME

 

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos yang berarti "keponakan' atau 'kemenakan'. Nepotisme adalah pemberian kedudukan, fasilitas, atau hak istimewa kepada orang yang mempunyai ikatan keluarga atau kerabat. Nepotisme bisa terjadi di pemerintah, perusahaan, gereja, sekolah, yayasan, atau lembaga lainnya. Kemungkinan nepotisme bisa juga terjadi pada orang-orang sekitar Tuhan Yesus. Dalam cerita Markus 10:35-45 kedua bersaudara Yakobus dan Yohanes mendekati Yesus dan meminta agar kelak mereka boleh duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus. Menurut versi penginjil Matius, permintaan itu bukan diajukan oleh kedua orang itu, melainkan oleh ibu mereka, yaitu Salome (Mat. 20:20-28; mungkin karena pengarang Injil mau melindungi nama baik kedua rekan rasul itu). Ada dugaan bahwa Salome masih berkerabat dengan Bunda Maria, namun paling tidak hubungan mereka akrab. Yang diminta oleh kedua bersaudara itu, atau oleh ibu mereka, adalah kedudukan istimewa melebihi para rasul yang lain. Namun, dengan tegas Yesus menolak permintaan itu.

Kecenderungan nepotisme juga tampak dalam cerita kunjungan ibu dan saudara-saudara Yesus. Menurut Matius 12:46-50, Bunda Maria dan beberapa adik Yesus berusaha menemui Yesus ketika la sedang mengajar di suatu rumah. Agaknya, rumah itu sudah dipadati pengunjung sehingga Bunda Maria dan adik-adik Yesus tidak dapat masuk. Lukas mencatat,"... tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak" (Luk. 8:19). Mereka "berdiri di luar dan berusaha menemui Dia" (Mat. 12:46). Apakah Bunda Maria dan adik-adik Yesus meminta agar orang-orang meminggir dan memberi tempat kepada mereka? Agaknya tidak. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa Akan tetapi, rupanya hadirin merasa risi dan kikuk. Pikir mereka, masakan kita duduk dekat Yesus padahal ibu dan saudara-saudara-Nya sendiri berdiri di luar? Bukankah sepatutnya ibu dan saudara saudara-Nya mendapat tempat yang istimewa?

Maka, seseorang menginterupsi Yesus, "Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau" (ay. 47). Mungkin hadirin berharap bahwa Yesus akan berhenti sebentar, lalu meminta beberapa orang yang duduk di baris depan untuk memberi tempat kepada ibu dan saudara-saudara Yesus. Akan tetapi, ternyata Tuhan Yesus tidak berbuat begitu. Yesus malah bertanya secara retoris, "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" (ay. 48). Lalu sambil menunjuk kepada hadirin, Yesus menegaskan, "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku" (ay. 49-50).

Bayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang hadir dalam ruangan itu. Mereka tidak menyangka bahwa Yesus akan berkata begitu. Mereka terkejut mendengar kata-kata yang begitu tegas. Mereka khawatir kalau-kalau ibu dan saudara-saudara Yesus menjadi tersinggung. Namun, mereka juga bangga bahwa mereka dianggap atau disamakan seperti ibu dan saudara-saudara kandung Yesus. Sikap Yesus di sini terasa sangat egaliter (= bersifat menyamaderajatkan). Sikap Yesus ini belum lazim di masyarakat feodal yang diskriminatif. Baru kemudian hari masyarakat modern mengenal sikap egalitarian, yaitu sikap tidak membedakan orang sehingga tiap orang mendapat hak yang sama. Egalitarianisme bertolak belakang dengan nepotisme.

Dari sikap Yesus yang egaliter ini tampak bahwa Yesus tidak terjebak dalam budaya nepotisme. Memang nepotisme sama sekali tidak egaliter. Nepotisme memberi hak istimewa pada orang tertentu bukan berdasarkan kualifikasi, melainkan berdasarkan ikatan famili. Secara sepintas nepotisme tampak menguntungkan pihak pemberi dan penerima perlakukan istimewa itu. Namun, sebetulnya tidak. Ambillah kasus seorang direktur yang memilih keponakannya sebagai karyawan. Karyawan itu belum tentu cakap karena ia terpilih bukan berdasarkan kriteria itu. Direktur itu rugi sebab ia mempunyai karyawan yang kurang cakap. Keponakan itu juga rugi sebab ia tidak bertambah pandai. la naik pangkat bukan karena prestasi, melainkan hanya karena keponakan bos. Rekan-rekannya pun tahu dan mencemoohkan dia.

Nepotisme memang selalu jadi bahan cemoohan. Coba bayang kan jika seandainya saya menjadi ketua sebuah yayasan. Sekretaris: ipar saya. Bendahara: paman saya. Direktur Pelaksana: menantu saya. Kepala Bagian Keuangan: sepupu saya (dia jujur lho). Kepala Bagian Pembelian: besan saya. Kepala Bagian Hukum: tetangga paman saya sejak dulu. Kepala Bagian Personalia: saudara kandung mertua saya (orangnya sabar). Kepala Bagian Logistik: adik lelaki terkecil nenek saya (memang sudah uzur dan pernah stroke, tetapi beliau harus terus diberi jabatan sebab dulunya pejuang). Kepala Bagian Pelatihan: bibi saya. Kepala Hubungan Masyarakat: saudara angkat ibu saya (orangnya murah senyum). Kepala Bagian Tender: saya sendiri (saya terpaksa merangkap jabatan, bukan karena ambisi, melainkan demi penghematan dan efisiensi). Kepala Proyek Khusus: kemenakan saya. Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan: cucu saya (dia sudah dewasa dan orangnya lihai). Dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin ada yang bertanya kenapa istri dan anak-anak saya tidakikut?

Oh, tentu saja mereka ikut. Istri saya jadi pimpinan dewan penghimpun dan penyantun Dana Jaminan Sosial bagi yayasan ini Anak-anak saya juga semuanya ikut. Seperti diketahui semua putra dan putri saya jadi pengusaha (mereka semua berjiwa sosial lho). Karena yayasan ini banyak membangun rupa-rupa proyek, perlu ada pengusaha yang jadi pemborong. Tentu melalui tender. Nah, itulah putra-putri saya. Mereka ikut tender. Itu sebabnya saya merangkap Kepala Bagian Tender. Maksudnya supaya semua berjalan lancar, tertib, dan sesuai dengan prosedur. Harap Anda jangan mencemoohkan saya. Tender ini dijamin objektif. Anda 'kan tahu, saya ini anti nepotisme. Ya, sungguh, saya anti nepotisme.

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

KAPAKNYA MUNGKIN SUDAH TUMPUL

 


Seorang tukang kayu sibuk menebang kayu dengan kapak. Dari pagi hingga sampai petang ia mengayunkan kapaknya. Temannya menegur, "Hai, tidak pernah aku melihat kau mengasah kapakmu. Kapakmu itu sudah tumpul. Mengapa kau tidak menajamkan kapakmu itu?" Tukang kayu itu berhenti sebentar. Tanpa menoleh ia menjawab, "Karena aku terlalu sibuk." Lalu ia mengayunkan lagi kapaknya dan mengayunkan lagi dan mengayunkan lagi.

Makin tajam sebuah kapak, makin ampuh faedahnya dan makin ringan serta cepat kerja tukang kayu. Sebab itu, tiap penebang kayu dari waktu ke waktu mengasah kapaknya. Sungguh bodoh tukang kayu yang begitu sibuk mengapak sehingga ia merasa tidak punya waktu untuk mengasah kapaknya. Bodoh? Mungkin kita juga bodoh, sebab tiap hari kita juga bersibuk diri sehingga tidak punya waktu untuk menajamkan diri. Apa itu menajamkan diri? Tiap hari kita sibuk berpraktik: sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, karyawan, manajer atau lainnya sehingga kita tidak punya waktu untuk berteori dan berpraksis. Apa itu berteori dan berpraksis?

Kata praksis sering kali digunakan secara keliru. Ada yang berkata, "Dalam praksisnya...." padahal yang dimaksud adalah "Dalam praktik. nya". Praksis bukan berarti praktik. Praksis dalam bahasa Yunani berarti 'sebuah pelaksanaan yang dikerjakan sebagai hasil perenungan'. Praksis adalah pekerjaan yang tujuannya sudah dipertimbangkan membawa kebaikan bagi semua pihak. Praksis adalah praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis terpadulah teori dan praktik. Kata Yunani theoria mula-mula berarti 'menonton drama sambil mengamati dan merenungkannya. Kita berteori ketika kita mengambil jarak dari pe kerjaan lalu menyusun ulang sistematika pekerjaan kita.

Jadi, praksis adalah pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti oleh pekerjaan. Pengertian hidup dan bekerja secara praksis dipopulerkan oleh pakar pendidikan Paolo Freire (1921-1997) dalam buku The Pedagogy of the Oppressed. Namun, sebenarnya pengertian itu telah ada dari zaman Romawi. Filsuf pendidikan Aristoteles (384-322 SM) menulis dalam The Nicomachean Ethics tentang tiga gaya hidup: hidup kontemplatif (merenung), hidup praksis (melakonkan hidup sebagai buah renungan) dan hidup produktif (mewujudkan buah itu dalam karya nyata).

Dalam hidup praksis, kita bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah, demikian pula bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak. Manusia yang utuh adalah manusia yang merenung dan bekerja. Artinya, yang merenungkan pekerjaannya dan menger jakan renungannya.

Itu sebabnya di tengah kesibukan perjalanan mengajar di pelbagai kota, Tuhan Yesus menyediakan waktu untuk menyendiri dan berdoa baik pagi, siang maupun malam. Di dalam Markus 1:35 tertulis, "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, la bangun dan pergi ke luar. la pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." Di Markus 6:46 tertulis bahwa setelah Yesus memberi makan lima ribu orang, "la berpisah dari mereka, la pergi ke bukit untuk berdoa." Di Lukas 6:12 tertulis, "Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman la berdoa kepada Allah.

Tuhan Yesus yang kapak-Nya sudah tajam, ternyata masih menyediakan waktu untuk mengasah kapak-Nya. Ia merenung. la berefleksi. la berkontemplasi. la bermeditasi. Hati-Nya dipasang untuk menerima bisikan pengertian. Seperti kata pemazmur, "Yang direnungkan hatiku ialah pengertian" (Mzm. 49:3 RSV, "the meditation of my heart shall be understanding"). Itulah praksis, kesibukan dan keheningan saling menjalin.

Gaya hidup praksis ini terasa di desa Taize, pegunungan Burgundy, Prancis. Para bruder Komunitas Taize sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Mereka hidup dari pekerjaan tangan sendiri karena mereka tidak mau menerima pemberian, bahkan warisan orangtua pun tidak. Namun, kesibukan para bruder Taize itu terjalin dengan keheningan seperti sebuah ritme. Sebelum bekerja tiap pagi mereka bertelut dengan teduh. Tidak terdengar suara apa pun. Sekali-kali ada ayat Alkitab dibacakan dengan sayup-sayup. Pekerjaan sudah menunggu mereka di ladang, di klinik, di bengkel, di studio musik, di percetakan, di kantor, di dapur dan lainnya. Lalu dengan teduh para bruder itu meninggalkan ruang ibadah sambil bernyanyi:

Wait for the Lord, Whose day is near. Wait for the Lord, Keep watch, take heart.

Siang hari para bruder berkumpul lagi dan bertelut lagi. Lalu malam harinya setelah bekerja sepanjang hari mereka bersaat teduh lagi. Mereka bersenandung: In God alone my soul can find rest and peace, In God my peace and joy. Only in God my soul can find its rest, find its rest and peace. Di Taize bekerja menyatu dengan ibadah. Ribuan pemuda dari seluruh dunia yang ikut retret di situ merasakan kekuatan yang timbul dari keheningan. Di Taize orang bukan hanya mengapak, melainkan juga mengasah. Sebaliknya, mereka juga bukan hanya mengasah, melainkan juga mengapak.

Kita adalah orang sibuk. Begitu sibuk sehingga tidak sempat memikirkan apa sebabnya kita begitu sibuk. Apa sebenarnya tujuan kita dengan kesibukan ini? Dari mana dan mau ke mana perjalanan hidup ini? Mengapa kita sibuk? Untuk siapa sebetulnya kita sibuk? Betulkah kita perlu sesibuk ini? Apa yang mau kita raih? Masih adakah kekuatan kita? Apa sumber kekuatan kita? Kita mengayunkan kapak. Mungkin kapak kita sangat bagus. Tetapi sebagus-bagusnya sebuah kapak ia perlu diasah. Mana ada kapak yang tidak perlu diasah.

Kita sibuk. Kita terus mengayunkan kapak. Namun, sesibuk sibuknya mengapak, masakan kita tidak punya waktu untuk mengasah kapak itu? Mungkin kapak kita sudah tumpul. Mungkin sudah lama tumpul.

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

SUDAH DUDUK LUPA BERDIRI

 


Sebuah kursi tidak semahal meja, lemari atau ranjang. Di mana-mana ada kursi. Di ruang tunggu dokter pasti ada kursi. Di apotek ada kursi. Di stasiun bis juga ada kursi. Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan. Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi. Sebuah bangsa pecah dan ribuan orang saling bunuh hanya karena ada dua orang yang memperebutkan sebuah kursi. Kursi ternyata bukan cuma tempat duduk, melainkan juga kedudukan. Rebutan kursi terjadi di mana-mana: di partai, di organisasi, di perusahaan, bahkan juga di gereja. Mengapa bisa terjadi rebutan kursi? Tentu ada pelbagai macam penyebabnya.

Mungkin karena ada dorongan dari kelompok. Sebuah kelompok boleh jadi merasa muak dengan pemimpin yang ada. Mungkin pemimpin itu sudah terlalu lama masa jabatannya. Mungkin dalam organisasi itu tidak ada mekanisme suksesi. Lalu mereka menjagokan seseorang untuk merebut kursi kepemimpinan. Mereka menganggap tokoh ini simbol dari aspirasi mereka. Boleh jadi tokoh ini didorong untuk merebut kursi guna melawan kemapanan dan membuat perubahan.

Faktor lain adalah watak. Ada orang yang memang mempunyai kebutuhan untuk menguasai orang lain. la merasa dari kecil selalu diatur orang lain, sebab itu ia suka mengatur orang lain. la cenderung memaksakan kemauannya pada orang lain. Ia mendapat kepuasan kalau ia mengendalikan orang lain. Orang yang berwatak begini biasanya berambisi menduduki kursi pemimpin.

Namun, penyebab utama yang mendorong orang untuk begitu gigih mendapat dan kemudian mempertahankan kursi pemimpin biasanya adalah faktor imbalan-imbalan yang ada di balik kursi itu. Kita ambil kasus jabatan ketua sinode. Ada gereja yang tidak mengenal jabatan ketua sinode penuh waktu. Ketua sinodenya adalah pendeta gereja setempat. Ia tidak diberi honorarium apa pun untuk tugasnya sebagai ketua sinode. Di sinode itu tidak pernah ada kericuhan tentang kursi ketua sinode. Pemilihan ketua sinode berlangsung tenang-tenang saja. Jarang tampak suasana ambisi. Bahkan sidang sering kali sulit mendapat calon. Soalnya jarang ada orang yang bersedia dicalonkan menjadi ketua sinode. Jarang pula ada ketua sinode yang melebihi satu masa jabatan.

Namun, keadaan menjadi lain ketika gereja itu mengubah jabatan ketua sinode menjadi penuh waktu. Gereja itu menetapkan beberapa ketentuan yang berlaku bagi ketua sinode: tempat tinggalnya di kota lokasi kantor sinode (itu berarti di kota besar, padahal pendeta-pendeta lain tinggal di desa), kendaraannya mobil bagus (padahal pendeta lain cuma naik sepeda motor), ada pula tunjangan jabatan, dan sebagainya. Selanjutnya, ketua sinode juga diberi wewenang untuk mengatur penempatan dan mutasi pendeta.

Setelah jabatan ketua sinode diubah seperti itu, mulailah timbul pergesekan kekuasaan. Ada orang-orang yang berambisi menjadi ketua sinode. pemilihan ketua sinode terjadi kasak-kusuk mencari dukungan. Setelah terpilih ketua sinode itu bersikap pamer kekuasaan. Ia ingin dipilih lagi untuk masa jabatan yang berikutnya (walaupun ia sering berucap, "Saya tidak mempunyai ambisi untuk jabatan ini"). Ketika kemudian ada orang lain yang juga ingin menduduki kursi ketua sinode, terjadilah pertikaian. Kedua orang itu masing-masing mencari pengikut. Lalu, kedua kelompok pengikut itu mulai bertengkar. Pekerjaan gereja, seperti pekabaran Injil, penggembalaan, pendidikan, menjadi terlantar karena para pendeta sibuk dengan urusan sebuah kursi.


Orang ingin kursi. Kalau sudah diperolehnya ia berusaha menduduki kursi itu selama mungkin. Semua ini disebabkan karena orang beranggapan bahwa kursi itu memberikan sejumlah keuntungan kepadanya. Inilah akar segala keributan di sekitar kursi. Kedudukan dan kekuasaan dijadikan kesempatan untuk menarik keuntungan bagi dirinya sendiri: uang, fasilitas, wewenang, pengaruh, koneksi, dan sebagainya. Kedudukan dipakai untuk menguntungkan diri sendiri. Kedudukan dipakai untuk melayani kepentingannya sendiri (walaupun ia sering berteriak dengan nyaring bahwa ia melayani Tuhan dan ke pentingan umum).

Sungguh berbeda dengan apa yang diperbuat oleh Yesus. Selama tiga tahun Yesus mempunyai kedudukan. Kedudukan itu bukan dipakai oleh Yesus untuk menguntungkan diri-Nya sendiri. Kedudukan itu tidak dipakai sebagai kesempatan untuk mencari uang, fasilitas, wewenang, atau koneksi apa pun, tetapi "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10:45). Sebab itu, tidaklah menjadi soal apa kedudukan kita tinggi atau rendah yang soal adalah bagaimana dan untuk apa kita menggunakan kedudukan itu. Yesus telah memberi teladan. Kedudukan-Nya dipakai untuk membela kepentingan orang lain.

Ketika kemudian hari Rasul Paulus merenungkan kembali "masa jabatan" Yesus tersebut, ia mengomentari Yesus dengan kata-kata, "Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya ..." (Flp. 2:6-7). Perhatikan dua kata yang bertolak belakang: "mempertahankan" dan "mengosongkan". Orang lain mempertahankan diri, padahal Yesus mengosongkan diri. Kata "mengosongkan diri" itu diuraikan oleh Paulus dengan "mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diri-Nya dan taat" (ay. 7 dan 8).

Agaknya, itu yang sulit kita pelajari dari Yesus. Sebab apa yang kita perbuat sungguh bertolak belakang dengan Yesus. Kalau kita sudah duduk di kursi kita bukan mengambil rupa seorang hamba, melainkan mengambil rupa seorang baginda. Kita bukan merendahkan diri, melainkan kita merendahkan dan menekan orang lain. Kita bukan taat, kita malah membentak supaya orang lain taat pada kita. Itulah yang terjadi kalau kita sudah dapat kursi. Kita jadi mabuk kursi. Kursi itu terasa begitu enak diduduki. Oh, empuk sekali. Begitu empuk sehingga sekali kita duduk, kita lupa berdiri.

MEREKNYA BAGUS

MEREKNYA BAGUS

 


Memang, semua merek bagus. Lihat saja merek produk atau nama perusahaan dan badan apa pun. Ada Hotel Nirwana, tetapi tidak ada Hotel Neraka. Toko lampu bernama Terang Benderang, bukan Gelap-gulita. Koran bernama Sinar Harapan, bukan Putus Harapan. Kita makan di restoran Sudi Mampir, bukan Enyah Bedebah. Di gereja ada paduan suara Nafiri Malaikat, bukan Nafiri Iblis. Ada Taman Kanak-kanak Si Mungil, mana ada Si Jahil. Banyak nama perumahan membubuhkan kata Elok, Indah, Permai, bukan Jelek, Banjir, Kotor. Merek berfungsi untuk meyakinkan konsumen. Untuk merek mobil dipilih nama binatang yang kuat dan berlari cepat seperti Kijang atau Panther, bukan Bekicot atau Penyu. Kapal terbang memakai nama burung yang anggun seperti Garuda atau Merpati, bukan Kalong atau Kampret yang terbangnya cuma berputar-putar dekat pohon jambu. Pokoknya semua merek barang bagus. Buku yang sedang Anda baca adalah Seri Selamat terbitan BPK Gunung Mulia, bukan Seri Celaka terbitan BPK Gunung Nista.

Merek atau nama yang bagus sama sekali tidak salah. Silakan pikir dan ciptakan merek yang bagus. Bukankah konsumen menyukai merek yang bagus? Mana ada ibu-ibu yang sengaja mencari bedak Cap Kulit Badak atau shampo Cap Kutu Busuk? Merek bagus bukan soal. Yang menjadi soal adalah kalau dari luar bungkus dan mereknya bagus, tetapi apa yang ada di dalamnya jelek. Pemangkas rambut itu bermerek Pangkas Rapih, tetapi pangkasannya sembrono. Penjahit itu bermerek Halus, tetapi jahitannya kasar. Maskapai penerbangan itu bermoto nyaman dan aman, tetapi ternyata keberangkatannya selalu tertunda dan bagasinya sering hilang. Bis itu bermerek Suka Maju, tetapi selalu mogok atau mandeg, Botol saus tomat itu bergambar tomat, padahal bahannya bukan tomat, melainkan ubi dan labu yang diberi zat pewarna dan zat rasa. Itu bohong. Yang lebih bohong adalah iklan yang mengatakan bahwa es krim bisa mencerdaskan otak. Atau bahwa obat kebugaran bisa membuat nyonya tampak dua puluh tahun lebih muda. Ah, yang bener aja.

Akan tetapi, yang lebih jadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merek yang kita pasang. Kita memasang sebutan hamba Tuhan, tetapi dalam praktiknya kita hamba uang sebab yang kita utamakan adalah rezeki, berkat, sukses, persembahan dan perpuluhan. Kita pasang merek pelayan gereja, tetapi kita bersikap sebagai tuan besar. Kita disebut gembala sidang, tetapi jarang menggembalakan domba-domba kita yang jompo dan jelata sebab kita sibuk tampil di kebangunan rohani di hotel-hotel berbintang atau seminar di luar negri. Kita disebut pengusaha yang berjiwa sosial, tetapi sebetulnya kekayaan kita itu diperoleh secara tidak jujur. Kita bermerek pemimpin yang arif dan bijaksana, tetapi di belakang layar kita menyalahgunakan kekuasaan kita. Kita menyebut diri Kristen, tetapi gaya hidup kita jauh berbeda dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai, dan mau berkorban.


Mereknya bagus, tetapi isinya buruk. Itulah kecaman Tuhan Yesus terhadap para pemimpin agama di dalam Matius 23. Yesus mengecam, "... kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ay. 27, 28).

Jangan salah paham. Yesus tidak menentang ajaran para pemimpin agama. Yesus malah menganjurkan umat untuk menaati ajaran para pemimpin itu. Namun, Yesus menyuruh umat untuk tidak meniru perbuatan para pemimpin itu. Kepada umat Yesus menegaskan, "... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada mu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Mat. 23:3).

Merek para pemimpin agama itu bagus, tetapi isinya berbeda. Perhatikan kecaman Yesus, "... persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan..." (ay. 23). "... cawan dan pinggang kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan... bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih" (ay. 25, 26).

Luarnya bersih, dalamnya kotor. Luarnya bagus, dalamnya jelek. Barangkali begitu juga hidup kita. Atau pekerjaan kita. Barangkali begitu juga rumah kita. Atau perusahaan, yayasan dan lembaga kita. Barangkali begitu juga gereja kita. Dari luar berkilau-kilau, dalamnya kacau-balau. Dari luar tampak berkembang, dalamnya banyak yang curang. Mereknya bagus. Memang semua merek juga bagus.