MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

MENERUSKAN HARAPAN KERJA YESUS

 


Orang itu mencangkul. Sebutir biji jagung dimasukkannya ke dalam tanah. Apa yang sedang diperbuatnya? la sedang menanam "sebutir pengharapan". Dalam benaknya ada pengharapan bahwa biji itu kelak bertumbuh dan menghasilkan jagung. la mencangkul dengan suatu motivasi besar: pengharapan. Akan tetapi, pengharapan bukan perkara sembarangan. Pertama, pengharapan harus mempunyai dasar. Dan sebuah dasar selalu berasal dari masa lampau: biji semacam itu ternyata bisa tumbuh dan menghasilkan jagung. Tanpa suatu dasar, pengharapan mudah berubah menjadi untung-untungan. Kedua, pengharapan harus disertai usaha nyata. Tanahnya digemburkan. Dipupuki. Diamankan dari gangguan binatang. Disiram. Dipelihara. Ketekunan. Kerja keras. Tanpa usaha nyata, pengharapan merosot menjadi lamunan.

Ketiga, pengharapan harus berpijak atas kewajaran. Kewajaran waktu: tak mungkin jagung itu sudah panen dalam satu bulan. Kewajaran hasil: tak mungkin satu tanaman jagung bisa memberi hasil sebanyak satu gerobak. Tanpa kewajaran, pengharapan cuma melahirkan kekecewaan. Kalau itu yang dituntut dari pengharapan akan sebutir jagung, apalagi pengharapan tentang manusia dan masa depan. Apakah pengharapan Kristen tentang manusia dan masa depan? Apa yang kita harapkan? Yang kita harapkan adalah datangnya Kerajaan Allah ke bumi ini. Apa yang dimaksud? Kerajaan Allah adalah keadaan di mana kedaulatan dan pemerintahan Allah ditaati oleh manusia. Jadi, yang kita harapkan adalah suatu keadaan baru di bumi di mana hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya menjadi hubungan damai yang sempurna (lih. Why. 21:1-4).

Apa yang menjadi dasar dari pengharapan itu? Dasarnya adalah kenyataan bahwa Kerajaan Allah sudah dimulai di dalam pekerjaan Yesus. la berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat. 12:28). Selama tiga tahun Yesus "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas dan memberitakan datangnya tahun rahmat Allah" (Luk. 4:16-22).

Dengan pekerjaan Yesus itu, dimulailah suatu zaman baru di mana manusia melihat kehadiran Allah sebagai raja. Jadi pengharapan kita tentang Kerajaan Allah bukan timbul karena kita mencita-citakan sesuatu yang belum ada. Sebaliknya, pengharapan kita berdasarkan apa yang sudah ada, yakni zaman baru hasil pekerjaan Yesus. Pengharapan Kristen adalah merindukan perwujudan dari zaman baru yang telah dimulai oleh Yesus. Zaman itu berlangsung hingga ke masa kini dan akan berlangsung ke masa depan, di mana pengharapan itu akan menjadi kenyataan yang sempurna.

Akan tetapi, adakah dasar bagi kita untuk mengharapkan bahwa di masa depan Kerajaan Allah akan diwujudkan secara sempurna? Ya, karena di masa lampau sudah diperlihatkan bahwa Allah memimpin sejarah seperti menarik suatu garis ke depan. Hal itu disaksikan dalam Kisah Keluaran Umat Israel. Di situ Allah bukan digambarkan sebagai Allah yang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, melainkan sebagai Allah yang berjalan bersama-sama dengan umat itu. Ia menuntun perjalanan umat itu dengan sebuah tiang awan. Bahkan la hadir dalam bentuk tiang awan (lihat Kel. 13:21-22).

Dengan begitu, la menjadi Allah yang berada di depan manusia la menjadi Allah yang menarik manusia untuk berjalan terus ke masa depan. la menjadi Allah yang turun tangan dalam urusan-urusan persediaan pangan (urusan ekonomi), perundangan-undangan dan perbudakan (urusan sosial), kebaktian dan hari-hari raya (urusan agama), perang dan pengangkatan pemimpin (urusan politik). Dengan turun tangannya Allah dalam urusan-urusan itu, la menunjukkan diri-Nya sebagai Allah atas segala bidang hidup manusia pada masa itu dan sebagai Allah yang mempersiapkan manusia untuk menghadapi masa depan. Dalam Kisah Keluaran itu, Allah mengajar umat-Nya untuk mempunyai pengharapan atas masa depan. Akan tetapi, pengharapan harus disertai usaha. Dalam kisah Keluaran hal itu pun tampak jelas. Umat itu harus berjalan melintasi gurun selama empat puluh tahun dengan bersusah payah.

Tiap pengharapan menuntut usaha. Demikian pula pengharapan kita akan datangnya Kerajaan Allah. Akan tetapi, justru itulah yang tidak mudah. Setiap hari Minggu kita berseru, "Datanglah Kerajaan-Mu." Namun, apakah usaha kita untuk menampakkan tanda-tanda situasi Kerajaan Allah di pelbagai bidang hidup sehari-hari? Atau tidak usah jauh-jauh, adakah di dalam gereja sendiri tampak tanda-tanda dan keadaan Kerajaan Allah? Jika kita mengharapkan datangnya keadaan Kerajaan Allah, itu berarti kita harus resah terhadap keadaan di mana terdapat praktik praktik yang adalah kebalikan dari keadaan Kerajaan Allah tersebut. Perasaan resah itu harus mendorong kita untuk lebih banyak berusaha.

Pengharapan harus berpijak atas kewajaran, baik kewajaran dalam hal waktu maupun hasil. Dalam pengharapan kita akan Kerajaan Allah, ukuran kewajaran itu bukan terletak di tangan kita, melainkan tergantung dari "kerelaan kehendak" Allah sendiri (Ef. 1:5). Sebab, bukankah Allah sendiri yang akan menyempurnakan perwujudan Kerajaan-Nya (lih. Why. 21). Kita disuruh oleh Yesus untuk meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh-Nya sambil berpengharapan bahwa la akan menggenapkan pekerjaan-Nya itu secara sempurna.

Antara angan-angan dan pengharapan memang bisa terjadi kekaburan. Akan tetapi adanya dasar, usaha dan kewajaran, menjadikan pengharapan kita akan Kerajaan Allah bukan angan-angan, melainkan pengharapan. Berbahagialah orang yang mempunyai pengharapan dan yang bersedia membayar harga untuk membuat pengharapannya menjadi kenyataan
MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

MUSIBAH, APA ITU TAKDIR ALLAH?

 

Pesawat terbang jatuh, semua penumpangnya diduga tewas. Lima orang buruh pertambangan terperangkap dalam tambang. Truk masuk sungai. Tabrakan beruntun di jalan tol, dua orang tewas, lima luka berat. Dua orang buruh bangunan terjepit tiang beton. Gerbong kereta api tergelincir keluar rel. Kapal motor dengan sepuluh nelayan hilang di samudra. Bis terguling, tujuh orang tewas, dua puluh cedera. Panen dirusak hama. Kebakaran hutan. Asap melanda. Bencana kekeringan. Tanah longsor. Kelaparan. Banjir. Mendengar segala musibah itu, kita menundukkan kepala. Mengapa bencana itu terjadi? Apa arti semua musibah ini? Sambil menarik napas panjang-panjang biasanya orang berkata, "Yah, dasar sudah takdir Allah. Kita cuma bisa berserah."

Apa yang sebenarnya dimaksudkan orang dengan ucapan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, takdir berarti 'ketetapan Tuhan, dan menakdirkan berarti Tuhan menentukan lebih dahulu'. Jadi, dengan ungkapan "takdir Allah" itu orang menganggap bahwa segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup ini sudah ditentukan terlebih dahulu oleh Allah. Akan tetapi, apakah Alkitab berkata demikian? Benarkah bahwa celaka atau selamat, rezeki atau rugi, perang atau damai, miskin atau makmur, semua itu sudah lebih dulu ditetapkan oleh Allah? Benarkah bahwa Allah menyetel hidup manusia dengan cara demikian?

Kalau memang celaka atau selamat sudah ditetapkan lebih dulu, untuk apa kita berhati-hati ketika mengemudi mobil. Kalau memang ditakdirkan celaka, biarpun kita hati-hati, kita toh akan celaka. Sebaliknya, biarpun kita menyetir gila-gilaan, tetapi kalau ditakdirkan selamat, kita pasti akan selamat. Sebab itu, kita berserah saja kepada takdir Allah. Benarkah jalan pikiran seperti itu? Jika demikian halnya, maka manusia cuma ibarat wayang saja yang segala geraknya tergantung sang dalang. Bagaimanakah maksud Allah dengan manusia? Apakah supaya manusia pasrah dan pasif saja, menunggu dan menerima apa yang ditakdirkan Allah?

Bukan itu gambaran Alkitab tentang manusia. Di dalam cerita penciptaan yang terdapat dalam Kejadian 1-3 diperlihatkan bahwa Allah memberi kepada manusia kemungkinan untuk menentukan arah hidupnya. Allah menempatkan pohon-pohon yang boleh dimanfaatkan. Namun, la pun membuat batasan: ada pohon tertentu yang tidak boleh diganggu. Lalu Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk membuat pilihan: menghargai batasan itu atau melanggarnya. Yang penting adalah isi pilihan itu. Sebab, nilai manusia bukan terletak sekadar pada kebebasan dan kemampuan membuat keputusan, melainkan pada bagaimana ia membuat keputusan itu dan apa isi keputusannya.

Yang dijadikan tolok ukur isi keputusannya adalah apakah isi keputusannya itu mengungkapkan hormat dan ketaatan kepada Allah? Apakah isi keputusannya itu selaras dengan tugasnya untuk memelihara  kelangsungan hidup manusia dan menjunjung harkat martabatnya? Apakah isi keputusannya itu sejalan dengan tugasnya untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan segala bentuk kehidupan di bumi ini? Isi keputusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Adam tidak bisa berkata, "Dasar sudah takdir Allah bahwa saya makan buah terlarang itu." la memakan buah itu bukan karena keputusan Allah melainkan karena keputusannya sendiri.

Jadi, manusia itu sendiri yang bertanggung jawab atas jalan hidupnya. Untung atau malang, selamat atau celaka, langkah kaki manusia jugalah yang menentukan. Itu bukan berarti bahwa Allah lepas tangan. Jelas bahwa Allah memerintah dan memimpin sejarah. Dengan kiasan, Tuhan Yesus berkata bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang jatuh di luar kehendak Allah dan bahwa tiap helai rambut manusia terhitung semuanya oleh Allah (lih. Mat. 5 dan 6). Akan tetapi, cara Allah memimpin sejarah bukanlah dengan menetapkan segala sesuatu terlebih dulu secara mutlak sehingga manusia tinggal terima jadi saja. Dalam cerita Sodom dan Gomora Allah membolehkan Abraham untuk turut menentukan nasib kedua kota itu. Dalam cerita itu diperlihatkan bahwa Allah sudah mengambil keputusan, tetapi Allah bersedia ditawar oleh Abraham. Allah mengajak manusia untuk turut serta menentukan arah sejarah. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk turut menentukan nasibnya sendiri.

Kebebasan yang diberikan Allah kepada manusuia memungkinkan manusia berpartisipasi dalam mengarahkan sejarah. Manusia mendapat kesempatan untuk menjadi kodeterminator nasib dan sejarahnya sendiri. Penentuan nasib dan sejarah manusia adalah ibarat lalu lintas dua arah. Di satu pihak Allah memelihara dan menuntun, namun di lain pihak manusia itu sendiri yang membuat langkah-langkah dalam perjalanan itu. Bagaimana halnya dengan musibah? Langkah manusiakah yang menentukan dan menyebabkannya? Memang ada musibah yang berada di luar kuasa manusia. Misalnya, gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Namun, ada juga musibah yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahan manusia sendiri. Tanah longsor dan banjir sering kali disebabkan karena manusia menggunduli hutan dan lereng gunung atau di hulu sungai. Musibah kecelakaan perjalanan pun banyak disebabkan karena kesalahan sikap dan perbuatan manusia.

Lalai, ceroboh, teledor, alpa, semau gue, masa bodoh, kurang hati-hati, cari gampangnya, semua itu adalah sikap yang menjadi akar dari rupa-rupa kecelakaan. Kalau sebuah bus masuk jurang, sebabnya bukanlah karena takdir Allah, melainkan karena kepala bengkel perusahaan bus itu kerjanya kurang beres sehingga rem bis blong. Kalau tukang las menjadi buta karena percikan bunga api, sebabnya bukanlah karena suratan takdir, melainkan karena ia lalai memakai kaca pelindung mata.

Sebab itu, ucapan, "Yah dasar takdir Allah" yang kita ucapkan sesudah suatu musibah tidak banyak membawa faedah. Ucapan itu terdengarnya sebagai suatu tanda beriman dan berserah. Tetapi sebenarnya ucapan itu cuma membiusi diri. Ucapan itu menyebabkan kita bukan berserah, melainkan menyerah. Kita menjadi pasif dan bertopang dagu sambil mengeluh "apa boleh buat". Dalam praktiknya, ucapan "dasar sudah takdir Allah" disalahgunakan untuk menutupi kemalasan manusia sendiri atau sebagai alasan untuk mengelak tanggung jawab.

Apa yang bisa kita tarik sebagai suatu refleksi teologis tentang manusia dari musibah ini? Refleksi yang dapat kita tarik bukanlah (sekali lagi: bukan) bahwa manusia lemah dan mudah ditelan musibah. Refleksi semacam itu tidak memberi sumbangsih apa-apa kepada masyarakat kecuali menjadikan orang berpikir sentimentil serta kerdil dan tetap berputar-putar di situ-situ juga. Sebaliknya, refleksi yang dapat kita tarik adalah bahwa manusia sebenarnya diberi kemampuan dan tanggung jawab untuk mengamankan kehidupan. Ke dalam tangan manusia, Allah telah memercayakan tugas mengelola kehidupan di bumi ini.

Selamat tidaknya suatu perjalanan ditentukan oleh tangan-tangan manusia. Tangan itu bisa jadi adalah tangan sopir atau tangan montir di bengkel, tangan pengatur sinyal atau tangan penjaga pintu kereta, tangan pilot atau tangan pemeriksa barang bawaan, tangan syah bandar yang mengeluarkan izin kapal itu berlayar atau tangan seorang penumpang dek yang memegang rokok sebab bukankah sebatang puntung rokok bisa membakar habis sebuah kapal?

Tangan manusia jugalah yang bisa menjadi penyebab rupa-rupa bencana banjir dan longsor. Entah itu tangan peladang yang mengambil kayu bakar atau tangan seorang menteri yang menandatangani kontrak hak pengusahaan hutan. Manusia diberi otak dan tangan untuk menentukan hidupnya Kita diberi kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan hidup manusia. Kemampuan itu bisa kita gunakan, tetapi bisa juga terjadi bahwa kemampuan itu tidak kita gunakan atau kita salah gunakan. Oleh karena itu, kalau terjadi musibah, jangan cepat-cepat berkata bahwa itu takdir Allah sebab bisa jadi sebetulnya kita jugalah yang bikin ulah.

 

MANAJEMEN YESUS

MANAJEMEN YESUS

Kalau manajemen kita pahami sebagai proses mengupayakan agar tugas-tugas terlaksana secara baik dengan mendayagunakan sumber daya manusia untuk berperan secara efektif, maka Yesus bisa disebut manajer yang ulung. Hampir semua prinsip manajemen personalia yang sekarang dipelajari para manajer modern sudah diterapkan oleh Tuhan Yesus.

Pertama, prinsip seleksi. Memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat merupakan langkah pertama. Untuk itu dibutuhkan persiapan. Itu sebabnya sebelum mengawali pekerjaan-Nya, Yesus menyepi terlebih dahulu (lih. Mrk. 1:12-13). Yesus seakan-akan merumuskan visi apa yang mau dicapai, bagaimana melaksanakannya, di mana dan kapan, siapa orang-orang yang akan turut melakukannya, apa kualifikasi mereka, apa rincian tugas mereka, apa yang perlu mereka pelajari, bagaimana menyiapkan mereka menjadi penerus pekerjaan Yesus. Untuk merenungkan semua itu, Yesus sampai menyediakan waktu empat puluh hari.

Seusai hari-hari menyepi itu, Yesus pun mulai memilih orang-orang yang diperlukan-Nya. Seleksi ini bukan berlangsung sekaligus. Agaknya jumlah dua belas orang yang dipilih baru rampung seluruhnya setelah beberapa minggu, yaitu setelah kejadian-kejadian seperti pesta pernikahan di Kana, penyucian Bait Allah, dan penolakan di Nazaret. Itu berarti bahwa Yesus melakukan seleksi secara bertahap sambil memulai pekerjaan-Nya.

Kedua, prinsip asosiasi. Yesus mengajak kedua belas orang itu untuk tinggal, makan, beribadah, dan bekerja bersama-sama dengan Dia. Ke mana-mana la pergi bersama mereka. Apa yang dimakan para murid, itulah juga yang dimakan oleh Yesus. la tidak membuat tangga seperti atasan dan bawahan. Ia mengasosiasikan diri dengan mereka.

Ketiga, prinsip edukasi. Setiap kegiatan, seperti kunjungan, khotbah, penyembuhan, pengusiran setan, debat dengan para ahli Taurat dan Farisi dimanfaatkan Yesus sebagai teachable moments atau kesempatan untuk mendidik dan mengajar kedua belas orang itu. Seluruh masa kerja Tuhan Yesus yang sekitar tiga tahun itu dijadikan waktu untuk membina, melatih, dan membekali dua belas orang itu.

Keempat, prinsip delegasi. Yesus tidak memegang wewenang seorang diri. Ia memberi kesempatan kepada kedua belas orang itu untuk ambil bagian. Ia mengutus mereka untuk pergi dalam tim kecil yang terdiri atas dua orang. Perhatikan bahwa la mendelegasikan wewenang, "la memberi mereka kuasa ..." (Mrk. 6:6b). Sebelum itu, Yesus mempersiapkan mereka untuk mengantisipasi kesulitan dan hambatan (lih. Mrk. 6:6b-13). Agaknya, para murid itu berpencar selama beberapa minggu.

Mendelegasikan tugas dan wewenang bukan berarti berpangku tangan. Selama para murid pergi, Yesus bekerja penuh seperti biasa. Matius mencatat: "Setelah Yesus selesai berpesan kepada kedua belas murid-Nya, pergilah la dari sana untuk mengajar dan memberitakan Injil..." (11:1). Mendelegasikan juga bukan berarti cuci tangan. Setelah kedua belas orang itu kembali, Yesus menyimak apa yang telah mereka kerjakan dan ajarkan (Mrk. 6:30). Setelah itu, Yesus mengajak mereka menyepi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk beristirahat (ay. 31).

Kelima, prinsip supervisi. Yesus mencermati hidup dan kerja kedua belas orang itu. Ia mencari tahu, "Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?" (lih. Mrk. 9:33-37). la memuji seorang murid yang menjawab dengan jitu, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu..." (Mat. 16:17-19). Namun, orang yang sama itu juga ditegur karena sikapnya keliru, Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku..." (lihat Mat. 16:21-28). Selanjutnya dalam rangka supervisi Yesus juga mendampingi, menggembalakan, dan menguatkan (lih. Yoh. 19:19-29 dan 21:15-19). Yesus pun mendoakan mereka seperti dicatat di Yohanes 17.

Keenam, prinsip suksesi dan regenerasi. Berkali-kali Yesus memberitahukan bahwa la akan ditangkap, disiksa, mati, bangkit kembali, dan naik ke surga. Dengan itu Yesus menyiapkan para murid untuk jadi penerus pekerjaan Yesus. Ketika tiba saat serah-terima, maka Yesus menyerahkan tugas-tugas dan menjanjikan penyertaan atau dukungan-Nya (lih. Mat. 28:18-20).

Bagaimanakah penilaian akhir manajemen personalia Yesus ini? Pada suatu pihak bisa dikatakan sangat berhasil. Dua belas orang dari latar belakang watak, pendidikan, pekerjaan, dan pandangan politik yang berbeda (ada yang bekerja untuk pemerintah Romawi, ada yang justru menjadi anggota kelompok ekstrem anti pemerintah Romawi) bisa bertumbuh menjadi satu tim kerja. Dalam waktu hanya sekitar tiga tahun mereka yang semula orang biasa (beberapa orang semula nelayan) berkembang menjadi pemimpin yang tangguh. Memang mereka tidak luput dari rasa bimbang dan takut, namun mereka ternyata mampu menjadi perintis lahirnya Gereja Abad Pertama. Mereka mampu mengatasi hambatan dari pihak pemerintah Romawi dan pihak masyarakat agama Yahudi. Proses pembinaan oleh Yesus selama tiga tahun itu ternyata menghasilkan insan-insan yang karyanya masih tampak sampai sekarang, yaitu gereja.

Namun, pada lain pihak, manajemen personalia Yesus mencatat angka drop out yang cukup berarti. Satu dari dua belas orang, atau 8,3% ternyata gagal. Akan tetapi, di manakah ada pendidikan atau pembinaan yang sama sekali luput dari drop out? Walaupun seleksi dilakukan sangat teliti dan pendidikan sangat efektif, drop out tetap bisa terjadi. Keberhasilan proses didik-mendidik bukan hanya tergan tungpada pendidik, melainkan juga pada naradidik. Itulah "faktor Yudas".

Timbul pertanyaan: Apakah Tuhan Yesus sudah memperhitungkan hal itu? Apakah Yesus sudah tahu sejak awal bahwa ada seseorang yang akan drop out? Mengapa orang itu dipilih? Apakah Yesus sengaja memilih Yudas sebagai bagian dari jalan penderitaan-Nya? Apa ini merupakan strategi manajemen Yesus? Semoga tidak ada "pendeta manajer" atau "manajer pendeta yang merasa punya jawab atas pertanyaan itu. Sebab, kalau dia mempunyai jawab, dia lebih ulung daripada Tuhan Yesus.
SEPERTI MEMILIH JODOH

SEPERTI MEMILIH JODOH

 


Pacar Anda berkata dengan serius, "Aku hanya mau kawin dengan kamu. Kalau kamu tidak mau kawin dengan aku, lebih baik aku mati!" Bagaimana reaksi Anda? Apa dia pacar yang sejati? Bukan! Dia pacar yang bodoh sekali. Dia bodoh, bukan karena dia mencintai Anda. Oh, bukan. Dalam hal itu mungkin dia pinter. Namun, dia bodoh dalam cara berpikir.

Cobalah kita berpikir jernih. Kita mencintai seseorang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa orang itu juga mencintai kita? Kita membuat pilihan cinta, itu berarti kita mempunyai kebebasan. Kalau kita mempunyai kebebasan untuk menentukan, bukankah orang itu juga perlu diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Sebab itu, sikap "aku cuma mau kawin dengan kamu" Atau "kalau aku tidak kawin dengan kamu, aku tidak akan kawin seumur hidup" merupakan semacam campur tangan kepada pihak lain dalam menen tukan pilihan. Kenapa kita ingin menikah dengan seseorang? Karena kita tertarik pada dia. Kita menyukai dia. Sorotan matanya. Senyumannya. Aduh, cakep banget.

Itu tanda kita sedang jatuh cinta. Namanya juga jatuh, terjadinya mendadak tanpa dipikir dulu dan berlangsungnya hanya untuk sementara waktu. Sesudah jatuh, kita berdiri lagi. Apa yang terjadi kalau kita terbangun dari jatuh cinta? Pikiran dan perasaan kita akan berubah. Ternyata ada orang lain yang sorotan mata dan senyumnya juga menarik. Ternyata ada orang lain yang kita juga sukai.

Sebab itu, kita tidak bisa pasang patok harga mati "aku cuma mau kawin dengan kamu". Kita perlu memberi kebebasan kepada diri kita sendiri. Biarkanlah diri kita memilih dari sejumlah calon. Jangan berpikir dengan pola calon tunggal. Di sini tampak faedahnya pergaulan yang luas dan terbuka. Di lain pihak, kita juga perlu memberi kebebasan memilih kepada pacar kita.

Memilih jodoh merupakan pergumulan pelik. Setiap orang pada masa mudanya bergumul dengan tiga pilihan penting: pegangan hidup (untuk apa aku hidup?), pekerjaan hidup (mau jadi apa aku dalam hidup ini?) dan teman hidup (dengan siapa nanti aku hidup?). Memilih jurusan studi dan jenis pekerjaan merupakan bagian dari pergumulan pelik tersebut. Dalam hal ini juga terdapat bahaya bahwa kita "jatuh cinta", yaitu tidak berpikir jernih dan tidak memberi kebebasan kepada diri sendiri untuk membuat pilihan. Dalam menentukan jurusan studi dan pekerjaan janganlah kita terpaku pada satu kemungkinan saja. Orang yang terpaku pada satu pilihan tertentu sebenarnya sedang menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Kita sendiri yang rugi apabila kita tidak mau memakai kesempatan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Hal lain yang terjadi dalam memilih jodoh adalah menganalisis diri kita dan diri "si dia". Apakah faktor-faktor kelemahan dan kekuatan yang ada pada kita? Idem yang ada pada diri "si dia". Dalam hal-hal apa akan terjadi kecocokan dan dalam hal-hal apa akan terjadi ketidak cocokan? Apa risikonya? Apakah aku bersedia memikul risiko itu? Analisis seperti itu juga perlu dilakukan sebelum kita memilih pekerjaan. Tiap pekerjaan ada suka dukanya. Sudahkah kita pertimbangkan faktor duka itu. Kalau kita tidak mau menanggung risiko dan duka itu, lebih baik sejak sekarang kita berganti haluan daripada meneruskan arah, namun kemudian hari kecewa.

Kalau pihak kita boleh berganti haluan, tentunya pihak sana juga boleh. Semula pihak sana sudah menjanjikan lowongan, namun kemudian lowongan itu diberikan kepada pihak lain. Dalam hal jodoh, perubahan haluan ini tentu lebih menyakitkan hati. Semula dia mencintai kita, tetapi sekarang ternyata dia mencintai orang lain. Ini menyayat hati. Akan tetapi, cobalah melihat hikmahnya. Bukankah ini lebih baik terjadi sekarang daripada nanti? Apa jadinya kalau pernikahan sudah terjadi, tetapi kemudian dia berubah haluan dan mencintai orang lain? Memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kita ada lah pelik seperti memilih jodoh. Hal itu pelik karena ada banyak faktor yang perlu diperhitungkan dan sebagian dari faktor itu berada di tangan pihak lain.

Seperti memilih jodoh, demikian juga memilih bidang kerja yang tepat merupakan bagian dari perjalanan hidup. Yang tampak dalam sebuah perjalanan hanyalah apa yang bisa kita lihat dekat di depan kita. Kita tidak bisa melihat apa yang ada jauh di depan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, tiap perjalanan mengandung perasaan kurang pasti. Kemudian rasa kurang pasti itu bisa berwujud dalam bentuk pelbagai variasi sikap dan perilaku. Ada yang jadi resah ada pula yang jadi serakah. Ada yang jadi pasif ada pula yang menjadi agresif.

Gereja bercikal bakal dari Abraham yang disuruh menempuh perjalanan. Abraham juga diliputi rasa kurang pasti. Perasaan kurang pasti itu terwujud dalam pelbagai sikap dan perilaku seperti dicatat dalam kejadian 12-24. Namun, pada suatu malam di tengah ketidakpastian itu Abraham kagum melihat keindahan langit yang ditaburi bintang. Abraham memahami bintang-bintang itu sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam perjalanan ini. Inilah yang dicatat, "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran" (Kej. 15:6). Percaya dan memercayakan diri kepada Tuhan bisa menjadi salah satu sikap dan perilaku kita dalam perjalanan panjang mencari pegangan hidup, pekerjaan hidup, dan teman hidup. Mungkin Anda berpikir kenapa mencari pekerjaan dibicarakan secara berbelit begini? Yang penting bisa kerja. Kerja apa saja tidak soal. Pikiran Anda benar. Mendapat lowongan kerja saja sudah bagus.

Daripada menganggur atau di-PHK, kerja apa saja boleh. Benar, namun kalau dalam perjalanan ini sejak dini kita bisa mengembangkan minat dan bakat lalu melakukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat itu, bukankah dengan demikian aktualisasi diri kita menjadi lebih optimal? Mungkin Anda masih berpikir, mengapa memilih pekerjaan di sejajarkan dengan memilih jodoh? Bukankah kedua hal itu banyak bedanya? Memang banyak berbeda. Untuk urusan kerja kita bisa berpedoman "pokoknya aku kerja, kerja apa saja aku mau"; padahal untuk urusan jodoh kita tidak berpedoman "pokoknya aku kawin, kawin dengan siapa saja aku mau".

Mengapa begitu berbeda? Sebab, hidup kita bukan dinilai dengan urusan jodoh. Yesus tidak punya jodoh. Yesus tidak cari pacar. Yesus sama sekali tidak menikah. Akan tetapi, la bekerja. la berkarya. Dan itulah yang menjadikan hidup-Nya begitu berharga.

TELUR COLOMBUS

TELUR COLOMBUS

Bertahun-tahun petapa itu menjauhkan diri dari segala perkara duniawi. Ketekunan imannya sungguh mengagumkan. Godaan apa pun tidak mempan menjatuhkan dia. la bersih dari sifat buruk. Ia tidak pernah membenci seseorang. Ia tidak pernah marah. Hidupnya betul-betul suci.

Pada suatu hari seorang teman mengunjungi petapa itu dan membawa berita tentang adik petapa itu yang juga menjadi petapa di tempat yang lain. "Adikmu telah diangkat menjadi kepala paguyuban petapa." Mendengar berita tersebut, petapa itu langsung berdiri dengan mata melotot. Mukanya merah karena amarah. Dengan nada jengkel ia berteriak, "Mengapa dia? Mengapa bukan aku?!"

Apa sebabnya petapa itu tiba-tiba bereaksi demikian? Bagaimana analisis psikologis memahami reaksi itu? Jawabnya singkat sekali, hanya sebuah kata yang terdiri atas tiga huruf: iri. Iri adalah sifat yang tersembunyi di lapisan bawah hati orang. Iri hati alias sirik, dengki atau cemburu bisa tersembunyi di balik kebaikan hati, senyum, dan keramahtamahan. Seperti kata Yesus, "... dari dalam, dari hati orang, timbul... iri hati..." (Mrk. 7:21-22).

Faktor-faktor apa yang menimbulkan rasa iri? Alfred Adler (1870-1937) menelaah gejala kejiwaan yang disebut dorongan untuk mengungguli, yaitu dorongan untuk selalu melebihi orang lain dan berada di atas orang lain. Pengidap gejala ini mudah panas hati sebab dalam kenyataannya memang mustahil untuk selalu berada pada posisi unggul melebihi orang lain. Perasaan tersebut bisa berkembang menjadi kompleks inferior atau rasa rendah diri.

Ini sebuah contoh. Di kelas ada seorang juara kelas. Reaksi kejiwaan para murid lain berbeda-beda. Ada yang merasa biasa-biasa saja. Ada yang kecewa bahwa ia tidak menjadi juara, namun mengakui bahwa ia memang kalah pandai. Ada yang kagum pada juara kelas itu. Ada yang merasa turut gembira bahwa kawannya itu menjadi juara kelas dan mengucapkan selamat. Tetapi ada pula murid yang merasa panas hati. la kurang senang bahwa kawannya menjadi juara kelas. Perasaan ini timbul karena di dalam dirinya ada dorongan untuk selalu harus mengungguli atau melebihi orang lain. Rasa iri ini bisa berkembang menjadi perilaku benci, memusuhi, dan menyingkirkan. Gejala ingin selalu mengungguli bisa jadi timbul akibat pendidikan yang keliru dalam keluarga. Mungkin orangtua anak itu memberi teladan sikap "tidak mau kalah" dari orang lain. Atau, orangtua itu suka pilih kasih dan membanding-bandingkan adik dan kakak. Akibatnya, di rumah itu ada suasana iri yang membuat sulit merasa bahagia. Karena ia selalu mempunyai kebutuhan untuk mengungguli atau melebihi orang lain, ia sering menjadi kecewa atau panas hati. Ia tidak mampu mencapai target yang dipasangnya sebab memang tidak ada orang yang dalam segala bidang selalu menjadi nomor satu. Akibatnya, ia merasa dikalahkan. Menurut Adler perasaan iri tersebut menjadi inti banyak macam gangguan kejiwaan.


Sebenarnya, seorang pengiri tahu bahwa ia menjadi korban sikapnya sendiri. Ketika kawannya membuat lukisan bagus dan memasang lukisan itu di kantor, ia berpura-pura tidak tahu, padahal semua orang di kantor itu memuji dan menikmati keindahan lukisan itu. Tiap kali ia melewati lukisan itu ia buang muka. Ia bersikap seolah-olah lukisan itu tidak eksis. Akan tetapi, hatinya panas setiap kali melihat lukisan itu. Ketenangan hatinya terganggu oleh iri hati. Seperti kata Amsal, "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang" (14:30). Rasa iri membuat kita selalu merasa kurang senang melihat orang lain berada di atas kita. Akibatnya kita sirik dan ingin menjadi sekaya si A, sepandai si B, dan secantik si C. Titah dalam Sepuluh Firman memang relevan untuk tiap orang, "Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya atau apa pun yang dipunyai sesamamu" (Kel. 20:17).

Perasaan iri membuat kita membohongi diri sendiri. Ketika kawan kita membuat lukisan yang bagus, kita bukan mengakui kenyataan bahwa dia memang lebih pandai melukis daripada kita. Sebaliknya, kita malah berkata, "Ah, cuma lukisan sederhana. Itu mudah. Aku juga bisa. Cuma aku belum sempat."

Ketika Columbus menjadi orang pertama yang berhasil mengarungi samudra menuju bagian dunia yang baru, ada beberapa rekannya yang iri. Mereka berkata, "Ah, itu mudah. Kami juga bisa." Melihat sikap mereka, Columbus mengundang mereka duduk di sekitar meja. Lalu Columbus mengeluarkan sebutir telur rebus sambil bertanya, "Siapa bisa membuat telur ini berdiri tegak di meja?" Seorang demi seorang mencoba. Tetapi tidak ada yang sanggup. Mana bisa telur lonjong dibuat berdiri tegak? Akhirnya mereka menyerah. Columbus ke permukaan meja memegang telur rebus itu lalu menghentakkan ujungnya ke permukaan meja. Pada saat itu juga telur rebus itu berdiri tegak. Melihat itu orang-orang tadi berkata, "Oh, begitu. Itu gampang. Kami juga bisa." Sejak itu ada ungkapan "Telur Columbus". Itulah telur yang berdiri di antara seorang yang betul-betul mencari dan berprestasi dengan seorang yang kerjanya cuma mengiri dan berpretensi.

KARYAWAN DAN MAJIKAN

KARYAWAN DAN MAJIKAN

 

Kaki terjepit, kita menjerit. Kaki siapa? Kaki kita tentu saja. Masakan kaki orang lain terjepit kita yang menjerit. Kita diam saja, kita merasa kasihan. Kita memang melihat, memikirkan, dan merasakan segala sesuatu paling-paling dan sudut pandang atau perspektif diri kita sendiri. Persoalannya mulai timbul kalau itu menyangkut kepentingan dan hak. Kita sangat peka tentang hak kita sendiri. Kita menjerit kalau hak kita dijepit. Tetapi kita tenang-tenang saja kalau itu hak orang lain.

Persoalan bisa berkembang menjadi konflik kalau ada dua pihak saling berhadapan dengan kepentingan dan haknya masing-masing. Anak remaja jengkel karena merasa kebebasannya dibatasi oleh orangtua. Sebaliknya, orangtua marah karena merasa wewenangnya diabaikan oleh anaknya. Demikian juga dalam hubungan suami-istri atau karyawan-majikan. Di sini ada dua pihak, tetapi masing-masing hanya melihat dari perspektif sendiri. Ini namanya "cuma mikir diri sendiri" alias "emang gue pikirin".

Berpikir dari sudut pandang orang lain memang tidak mudah. Sebab itu, pengarang Efesus mengajak kita belajar menempatkan diri pada pihak lain. Ia memberi pedoman kepada kedua belah pihak. Dalam Efesus 5 ia menulis, "Hai istri, ..." (ayat 22-24) dan "hai suami, ..." (ayat 25-32). la melanjutkan dengan hubungan anak-orangtua, "Hai anak-anak,..." (6:1-3) serta "Dan bapa-bapa, ..." (6:4). Walaupun kata-kata yang digunakan untuk menasihati tiap pihak itu berbeda, ukuran dan berat muatan nasihat itu sama.

Lalu pengarang Surat Efesus ini memasuki persoalan hubungan karyawan-majikan (zaman itu: budak belian dan pemilik). Ia menulis, "Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu..." (6:5-8). Pengarang Efesus segera melanjutkan, "Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan la tidak memandang muka" (ay. 9). Di sini pun tampak bahwa meskipun panjangnya pedoman itu berbeda, inti dan bobotnya sama (perhatikan: "perbuatlah demikian juga" di ay. 9).

Apakah inti pedoman itu? Intinya adalah nasihat untuk bersikap seperti kepada Kristus (perhatikan "sama seperti kamu taat kepada Kristus" di ayat 5 dan "seperti orang-orang yang melayani Tuhan" di ayat 7). Itu nasihat kepada karyawan, lalu para majikan dinasihati, "perbuatlah demikian juga terhadap mereka" (ay. 9). Jadi, Surat Efesus memberi pedoman agar karyawan memperlakukan majikan seperti Kristus, demikian juga agar majikan memperlakukan karyawan seperti Kristus. Bukan main dalamnya pengertian itu.

Kalau kita sebagai karyawan dan majikan saling memperlakukan diri seperti Kristus, itu berarti kita berlaku benar, jujur, dan adil. Itulah pedoman baik untuk karyawan maupun untuk majikan. Pedoman itu bersifat timbal balik. Berlaku benar, jujur, dan adil sebagai karyawan berarti kita bekerja dengan kesungguhan dan mutu. Berlaku benar, jujur, dan adil sebagai majikan berarti kita menghargai martabat karyawan dan menggaji mereka dengan baik. Hubungan timbal balik itu bisa terjadi kalau dari kedua belah pihak ada iktikad baik: karyawan berprestasi secara optimal dan majikan menggaji secara optimal. Bertepuk sebelah tangan tiada akan berbunyi.

Kedua belah pihak juga perlu saling menghargai dan saling memerlukan. Karyawan memerlukan majikan karena majikan menyediakan lapangan kerja. Tanpa lapangan kerja kita semua menjadi penganggur. Sebaliknya majikan juga memerlukan karyawan. Tanpa pekerja pabrik kita akan berhenti. Jadi, kita saling memerlukan. Kalau begitu kita bukan hanya melihat kepentingan kita sendiri, melainkan juga kepentingan pihak lain. Karyawan melihat kepentingan majikan, yaitu agar produksi berjalan secara optimal. Karena itu, karyawan perlu berdedikasi dan berprestasi secara optimal. Pada pihak lain, majikan melihat kepentingan karyawan, yaitu agar gaji dapat menghidupi dan mengembangkan kesejahteraan keluarga karyawan.

Menempatkan diri pada pikiran dan perasaan pihak lain, itulah akar hubungan timbal balik. Karyawan belajar melihat majikan bukan hanya sebagai bos, melainkan juga sebagai manusia yang punya pelbagai perasaan. Pada pihak lain, majikan belajar melihat karyawan hanya sebagai tenaga kerja, melainkan juga sebagai manusia yang punya kebutuhan dihargai, disapa, dan dihormati. Kita memang peka atas kepentingan kita, sebab itu kita gigih memperjuangkan hak itu. Agaknya, kita masih perlu belajar untuk merasa peka atas kepentingan pihak lain dan bisa ikut membela hak pihak lain.

Kita berteriak kalau kaki kita diinjak. Kalau begitu kita perlu bisa menyelami dan ikut merasakan nyeri yang dialami orang lain ketika kakinya terinjak. Yang pasti, kalau kita tidak mau diinjak, janganlah kita menginjak kaki pihak lain. Hubungan timbal balik terjadi ketika kedua pihak mau menempatkan diri pada pikiran, perasaan, dan sudut pandang masing-masing. Seperti doa yang diucapkan orang Indian Sioux: Great Spirit, grant that I may not criticize my neighbor until I have walked one moon in his moccasins. Roh yang Agung, ajarlah aku tidak mengecam tetangga sampai aku berjalan selama satu rembulan dengan sandal ikat kakinya.

 

Tema 31

Titanic Ternyata Tenggelam

Mendengar kata teknologi orang biasanya membayangkan peralatan canggih yang serba modern. Perkataan itu sendiri baru populer pada abad ke-18. Namun, kata tekne dan logos sudah digunakan tiga ratus tahun sebelum Masehi dalam tulisan Sokrates. Lagi pula sebenarnya teknologi sudah dipraktikkan orang dari zaman dulu. Apa itu teknologi? Batang kayu adalah benda alam. Ketika batang kayu itu dikerjakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah perahu untuk menyeberangi danau, batang kayu itu telah berubah dari benda alam menjadi benda hasil karya teknologi.

Sebuah mobil harganya mahal. Bahan baku utama mobil itu adalah sekian ratus kilo besi. Sebenarnya, harga sekian ratus kilo besi jauh lebih murah daripada harga mobil itu. Katakanlah harga bahan bakunya itu hanya 1/10 dari harga mobil. Sisa harganya, yaitu 9/10 kita bayar untuk teknologi mobil tersebut.

Dari dua contoh itu tampak arti teknologi. Teknologi adalah kemampuan mengolah dan membuat benda atau bahan menjadi alat yang berdaya guna untuk maksud tertentu. Jelas, teknologi sangat berguna untuk kehidupan. Apa jadinya hidup kita tanpa teknologi pengobatan. Akan tetapi, pada pihak lain, teknologi bisa juga mengancam hidup, misalnya limbah akibat teknologi nuklir atau kemusnahan akibat teknologi perang. Teknologi bisa menghidupkan dan juga bisa mematikan. Lepas dari dampak menghidupkan atau mematikan, sebuah karya teknologi dapat membuat orang lupa diri atau arogan alias takabur. Gejala takabur itu tampak dalam kecenderungan menjadikan teknologi sebagai ukuran atau matra tunggal. Mutu rumah sakit hanya diukur dari faktor teknologi, akibatnya faktor lain seperti kebersihan, keramahan, dan kejujuran diabaikan. Kemajuan negara diukur hanya dengan kemajuan teknologi sehingga demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi dikesampingkan.

Akibatnya, manusia juga diukur dengan matra tunggal. Makna manusia melulu dianggap sebagai sumber daya, yaitu sumber daya untuk teknologi. Pendidikan di sekolah pun dipersempit dengan tujuan ke arah tunggal, yaitu menyiapkan tenaga untuk teknologi. Pendidikan seperti ini memerosotkan naradidik yang sebenarnya adalah subjek bermatra ganda dalam hidup yang berarah ganda menjadi objek yang bermatra tunggal dalam hidup yang berarah tunggal.

Gejala takabur lain, misalnya, adalah penganak-emasan teknologi dan menjadikannya sebagai proyek mercusuar. Ada negara yang berhasil mengirim astronot ke ruang angkasa, padahal rakyatnya harus antri berebut roti. Ada negara yang bisa membuat senjata nuklir, padahal rakyatnya jadi gelandangan di tepi jalan. Ada negara yang punya program mengekspor pesawat terbang, padahal untuk kebutuhan yang paling sederhana seperti jagung dan keledai, cangkul dan jala ikan masih harus impor, itu pun dengan meminjam uang dari negara lain.

Teknologi dapat membuat kita mempunyai rasa yakin diri berlebihan (over-selfconfidence). Karena peralatan bedah di rumah sakit begitu canggih, baik pihak rumah sakit maupun pihak pasien merasa begitu yakin bahwa operasi jantung ini tidak mungkin gagal. Ternyata kuman kecil di jari perawat menimbulkan infeksi. Akibatnya, pasien meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Rasa takabur dan sombong ini tampak pada Raja Hosea dan para jenderalnya. Mereka baru berhasil mengembangkan teknologi perang yang paling mutakhir untuk zaman itu, yaitu kereta berkuda. Dengan peralatan canggih ini, yang tidak dimiliki pihak lawan, raja yakin bahwa pertempuran tidak mungkin gagal. Beberapa tahun sebelum Raja Hosea menjadi raja, arogansi ini sudah dinubuatkan Nabi Hosea (nama sama!), ketika ia berkata, "Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu, maka keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan..." (Hos. 10:13-14). Nabi menegur raja ketika raja lebih mengandalkan teknologi daripada Tuhan. Ternyata teguran itu benar. Beberapa belas tahun kemudian negara hancur, sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-Raja 17.

Takabur akan teknologi juga terjadi pada kasus kapal Titanic yang tenggelam pada tahun 1912. Kapal itu dirancang dan dibangun selama beberapa tahun dengan teknologi yang paling modern untuk zaman itu. Kapal ini adalah kapal yang paling canggih peralatannya, paling kuat, paling cepat, paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Dengan penuh rasa yakin diri orang berkata, "Kapal ini unsinkable. Kapal ini tidak bisa tenggelam." Akan tetapi, ternyata pada pelayarannya yang pertama dari Southampten ke New York kapal ini menyerempet gumpalan es lalu konstruksi dindingnya robek. Air masuk. Beberapa jam kemudian tubuh kapal ini pecah menjadi dua bagian. Lalu, ia tenggelam ke dalam dasar samudra. Kisah nyata ini difilmkan secara memukau oleh sutradara James Cameron. la menerangkan, "Saya ingin memperlihatkan bahwa kekuatan manusia justru hancur oleh kelemahannya sendiri, yaitu kesombongan dan keserakahan."

Perancang dan kapten kapal ini tidak bisa percaya pada mata sendiri ketika melihat air masuk. Kapal mulai miring. Makin lama makin miring. Semburan air masuk dari kanan dan kiri. Penumpang menjerit dan berlarian kian kemari dengan ketakutan dan kepanikan. Di tengah keributan itu perancang dan kapten kapal cuma terbisu dan terpaku. Tidak mungkin! Tidak mungkin Titanic tenggelam! Akan tetapi, ternyata Titanic tenggelam. Titanic hasil teknologi tertinggi. Titanic yang tercanggih, terkuat, terbesar, terbagus, tercepat, dan termahal ternyata tenggelam. Titanic ternyata toh tenggelam. Trenyuh. Tragis. Teramat trenyuh. Teramat tragis.

KAMBING HITAM

KAMBING HITAM

Seorang karyawan dimarahi oleh atasannya di kantor. la tidak senang dimarahi, namun ia tidak bisa melawan. Rasa jengkelnya dipendam. Setibanya di rumah seperti biasa ia mengetuk pintu. Ketika istrinya membuka pintu, karyawan tadi langsung marah, "Mengapa buka pintu begitu lama?!" Istrinya heran dan berpikir ini tidak lama, ini seperti biasa, tetapi mengapa dia dimarahi? Istrinya menjadi jengkel, namun ia tidak bisa melawan. Ketika kemudian anaknya pulang, sang istri langsung marah, "Mengapa bajumu begini kotor? Ibu capek mencuci baju, mengerti?" Anak itu merasa heran, mengapa ia tiba tiba dimarahi. Tiap hari pun bajunya seperti begini, mengapa sekarang tiba-tiba dimarahi? Namun, anak ini tidak bisa melawan. Ketika kucing nya lewat, dengan perasaan marah ia menendang kucing itu. Keruan saja kucing itu terkejut dan lari sambil mengeong kesakitan.

Itu disebut pengalihan agresi atau displacement of aggression. Gejala itu terjadi ketika perilaku agresif verbal atau fisik dialihkan dari sumber frustrasi yang sesungguhnya ke sumber frustrasi pengganti. Suami merasa jengkel kepada atasannya, namun mengalihkan itu kepada istrinya, lalu istri kepada anak, dan anak kepada kucing.

Yang lebih pelik lagi adalah proyeksi. Seseorang mengalami perlakuan buruk pada masa kecilnya. Akibatnya, ia membenci keluarganya. Ketika ia sudah dewasa, di mental bawah sadarnya terpendam rasa benci. Namun, ia tidak mengakui hal itu. Yang dirasakannya adalah justru kebalikannya, yaitu bahwa orang-orang di sekitarnya membenci dia. la memproyeksikan rasa benci yang ada pada dirinya kepada orang lain. Proyeksi adalah pengalihan sifat dan perasaan dari mental bawah sadar seseorang kepada orang lain. Baik dalam proyeksi maupun pengalihan agresi terjadi pelemparan kesalahan. Ada pihak yang tidak tahu apa-apa dan juga tidak bersalah apa-apa, namun dijadikan pihak yang bersalah. Ini gejala kambing hitam.

Perilaku mencari kambing hitam sering terjadi di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Direktur memarahi kepala bagian, kepala bagian memarahi bawahannya, bawahan itu memarahi lagi orang yang di bawahnya, dan seterusnya. Sebuah benda pun bisa dijadikan kambing hitam. Seorang sekretaris yang jengkel kepada atasannya menimpakan rasa jengkel itu dengan melempar pulpen ke meja. Sebuah persamaan dari pelbagai bentuk perilaku mengambinghitamkan adalah bahwa yang dipilih menjadi kambing hitam adalah pihak yang tidak bisa membalas dan yang kedudukannya lebih lemah.

Apa itu sebenarnya perilaku cari kambing hitam? Orang mencari kambing hitam ketika ingin melindungi diri dari suatu kenyataan yang tidak mau diterimanya. Untuk melindungi diri dari suatu "serangan", ia membuat strategi mempertahankan diri. Misalnya, karena takut dipersalahkan atau karena tidak mau bertanggung jawab atas suatu kesalahan, ia cepat-cepat mempersalahkan orang lain. Perbuatan mencari kambing hitam merupakan "pasang kuda-kuda" atau strategi bersiap karena khawatir akan diserang. Psikoanalisis menerangkan bahwa perilaku cari kambing hitam merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan ego.

Kebiasaan cari kambing hitam bisa jadi terbentuk karena pengaruh orangtua. Ketika pintu kamar terbuka sehingga nyamuk masuk, ibu langsung berkata, "Tono sih, keluar masuk, jadi pintu terbuka." Padahal pintu itu terbuka sendiri. Anak yang sering dipersalahkan atau digugat padahal ia sama sekali tidak bersalah, kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang suka cari alasan untuk membenarkan diri, suka bela diri padahal tidak ada yang menyerang dia, atau suka mempersalahkan orang lain. la mudah membuat alibi atau menghindar dari suatu tanggung jawab dengan berkata, "Maaf, saya tidak bisa mengerjakan karena komputer saya rusak," atau "Maaf, laporan saya terlambat karena anak saya sakit." Atau, ia mudah sekali membela diri kalau ada persoalan dengan cepat-cepat berkata, "Bukan saya," atau "Saya tidak tahu. Atau, ia mudah mempersalahkan orang lain dengan berkata, "Dia sih..." atau "Kamu sih..."

Budaya mengkambing-hitamkan bisa juga timbul karena kebiasaan dalam masyarakat. Ketika ada musibah kereta api anjlok dari rel, pejabat langsung berkata, "Akan diselidiki kalau-kalau ada sabotase." Pernyataan seperti itu menggiring opini publik ke arah mencari kambing hitam. Demikian pula pernyataan seperti, "Bahaya laten partai terlarang harus terus diwaspadai", "Ada pihak tertentu yang senang melihat ekonomi kita ambruk", "Dalangnya sudah diidentifikasi, tetapi belum waktunya untuk ditangkap", atau "Ada negara tetangga yang cuma mau untung". Sikap seperti itu tidak edukatif sebab kita tidak ditolong untuk melihat dan memperbaiki kesalahan, malah melemparkan kesalahan itu kepada pihak lain.

Dari mana asal-usul istilah kambing hitam? Sebetulnya, istilahnya adalah kambing dosa (Sundenbock atau zondebok) atau kambing lari scape goat). Asal-usulnya adalah tradisi umat Israel di zaman Eksodus. Mereka melakukan upacara penyucian dosa setahun sekali dengan jalan menjadikan seekor kambing sebagai lambang pembawa dosa seluruh umat lalu kambing itu disuruh lari ke gurun (lih. Im. 16).

Agaknya, mental mempersalahkan orang lain sudah ada pada kita "dari sononya". Dalam cerita Kejadian Tuhan bertanya kepada Adam, "Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang...?" Adam cepat-cepat menjawab, "Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi ..." Lalu Hawa juga cepat-cepat melempar kesalahan dan berkata, "Ular itu yang memperdayakan aku..." (lih. Kej. 3).

Kita begitu mudah melempar kesalahan. Kambing hitam begitu mudah dicari. Ada sebuah cerita lucu tentang seorang pendeta gemuk yang doyan makan kambing guling dan sering dijadikan kambing hitam. Apa hubungannya kambing guling dengan kambing hitam? Begini ceritanya. Ada seorang pendeta ... Wah, maaf pembaca. Saat ini di rumah saya tiba-tiba listrik padam. Saya tidak bisa meneruskan cerita ini. Rumah saya gelap. Bagaimana saya bisa menulis? Ini bukan salah saya. Listriknya sih... 

KAMULAH TANGAN-KU

KAMULAH TANGAN-KU

 


Kabayan sedang menggali lubang. Tetangganya heran dan bertanya.

T: Kabayan, untuk apa gali lubang? K: Untuk tanam pisang. T: Untuk apa tanam pisang? K: Untuk dimakan. T: Untuk apa makan pisang? K: Untuk dapat tenaga. T: Untuk apa dapat tenaga? K: Untuk gali lubang ...

Untuk apa kita bekerja? Apa kita bekerja untuk makan? Ataukah kita makan untuk bekerja? Semua orang bekerja. Menanggung lelah. Menahan jengkel. Memeras pikiran. Mengucurkan keringat. Menghabiskan tenaga. Membanting tulang dari pagi sampai petang.

Bayangkanlah seorang paramedis di bagian gawat darurat yang sepanjang hari berdiri menunduk menjahit robekan tubuh korban yang mengerang kesakitan karena ususnya terburai keluar dari perut yang berlumuran darah. Atau, bayangkan seorang masinis kereta api yang pukul tiga pagi sudah menyalakan tungku batu bara lokomotif, Atau, manajer bank yang sampai larut malam menghadapi setumpuk hitungan. Atau, ibu rumah tangga yang pekerjaannya tidak pernah ada habisnya. Untuk apa mereka bekerja? Untuk apa kita bekerja? Kita bekerja untuk mendapat nafkah. Akan tetapi, sesempit itukah tujuan kerja? Masakan hidup ini hanya bertujuan untuk mencari nafkah?

Kita adalah makhluk yang lebih dari sekadar punya mulut dan perut. Kita mempunyai martabat diri dan hati nurani. Diri itu tidak akan terwujud kalau kita cuma goyang-goyang kaki. Karena itu, kita bekerja. Dengan bekerja diri kita diaktualkan. Dengan bekerja diri kita jadi berarti dan memberi arti.

Punya arti dan memberi arti bisa dilakukan tiap orang, betapapun "kecil" pekerjaannya. Pekerjaan yang tampak kecil mempunyai dampak besar. Yang diperbuat seorang penjaga pintu perlintasan kereta api bukan sekadar menjaga sebuah pintu kereta, melainkan menjaga puluhan nyawa manusia. Yang diperbuat seorang ibu bukan sekadar menyiapkan nasi, melainkan menyiapkan masa depan putra dan putri.

Setiap orang perlu bekerja. Sebab itu, yang pertama-tama diberikan Tuhan kepada Adam bukanlah istri, melainkan pekerjaan (lih. Kej. 2:15). Sebab itu pula Paulus menulis, "Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2Tes. 3:10). Kita bekerja, bahkan untuk itu kita disuruh oleh Amsal 6:6 untuk belajar dari semut, yaitu belajar bekerja dengan rajin dan tekun, tidak banyak bicara dan tidak egois. Di pihak lain kita juga disuruh beristirahat, sebab Tuhan sendiri juga beristirahat (lih. Kej. 2:2-3). Kerja adalah ibarat senar gitar. Terlalu kencang dia putus, terlalu kendor dia tidak bunyi.

Kita bekerja karena Tuhan bekerja. Tiap pagi Tuhan membangunkan surya. Tiap petang la menidurkan senja. la meniup awan. la meneteskan hujan, la menghidupkan indung telur. la mengembuskan napas jabang bayi. Ia mengajar anak ikan berenang. la sibuk terbang kian kemari sebagai burung merpati.

Kita bekerja karena diajak bekerja bersama-sama Tuhan. Kita adalah "kawan sekerja Allah" (1 Kor. 3:9). Ketika kita bekerja Tuhan bekerja dekat kita. Sekali-kali la menoleh kepada kita. la tahu bahwa kita lelah. la juga letih. Ia mengangguk kagum melihat ketekunan kita. Kata filsuf Rabindrat Tagore, "Tuhan menghargai aku ketika aku bernyanyi, la menghormati aku ketika aku bekerja."

Pekerjaan kita masih banyak dan panjang. Hasilnya belum tampak. Benarkah belum tampak? Sebetulnya, sudah tampak dalam visi dan impian. Selangkah demi selangkah sambil terbungkuk Michelangelo menyeret sebuah batu besar dengan tali di pundak. Orang yang melihat itu bertanya, "Mau apa kamu susah-susah dengan batu macam begitu?" Michelangelo, pemahat besar dari abad ke-16 itu, menjawab, Karena di dalamnya ada malaikat."

Kristus bekerja untuk kita, dan kita bekerja untuk Dia. Seperti kata Paulus, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan..." (Kol. 3:23). Dalam Perang Dunia I sebuah gereja di Munster rusak kena bom. Patung Kristus di situ juga rusak. Kedua lengan patung itu putus. Tinggallah patung Kristus itu berdiri di situ tanpa tangan. Kemudian di bawah patung itu orang memasang tulisan, "Aku tidak punya tangan selain kamu. Kamulah tangan-Ku."

Kita bekerja karena hidup ini mempunyai arti. Kita bekerja supaya hidup ini memberi arti. Hidup ini cuma sekali. Sekali berarti sesudah itu mati. Soalnya, apakah hidup kita sekarang ini sudah mempunyai arti dan sudah memberi arti?

Selama tenaga masih ada. Selama waktu masih tersedia. Kata Yesus, "Selama masih siang..." (Yoh. 9:4). Kita bekerja. Kata Yesus pula, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh. 5:17), Itu sebabnya kita bekerja. Selamat bekerja. Selamat berkarya. Segala sumber kerja kita berasal dari Kristus. Semoga segala hasil kerja kita berkenan bagi Kristus. Seperti doa kita di dalam Kidung Jemaat 322:4: Tenaga dan kuat,                                          kerja yang kubuat kepunyaan-Nya. Dengan rendah hati hendak kuhormati.                                         Yang Mahaesa.

HIDUP BARU

HIDUP BARU

 

Rasa baru! Kemasan baru! Sensasi baru! Kenikmatan baru! Formula baru! Aroma baru! Model baru! Jenis baru! Gaya baru! Bintang baru! Pengalaman baru! Suguhan baru! Barang baru! Kesegaran baru! Tradisi baru! Suasana baru! Warna baru! Edisi baru! Mutu baru! Kepuasan baru!

Itulah slogan-slogan iklan. Mulai dari iklan pasta gigi, obat batuk, sampo, sampai iklan properti, kulkas, atau mobil. Semua menawarkan kebaruan. Kata baru mempunyai daya jual yang tinggi. la menjadi jargon teknik pemasaran. Baru! Baru! Baru!

Astagfirullah! Ternyata Alkitab juga memakai kata yang berdaya. tarik itu. Di Alkitab ada puluhan kali penggunaan kata baru. Ini lebih tampak lagi dalam bahasa aslinya, yaitu khadasy, tirosy, beriah dalam Ibrani, dan kainos, neos, anakainizo dalam bahasa Yunani.

Memang kebanyakan kata-kata itu digunakan oleh Alkitab dalam pengertian sehari-hari, seperti kasut baru, pendatang baru, bulan baru, dan sebagainya.

Akan tetapi, Alkitab juga menggunakan kata baru dalam ungkapan kiasan atau lambang. Adjektiva baru disandingkan dengan benda atau hal sebagai sebuah lambang teologis. Ini beberapa contohnya.

Nama baru. Tertulis, "Maka bangsa-bangsa akan melihat kebenaranmu... dan orang akan menyebut engkau dengan nama baru yang akan ditentukan oleh TUHAN sendiri" (Yes. 62:2). Syair sepanjang sebelas pasal di Trito-Yesaya ini (pasal 56-66) merupakan prakarsa Yesaya untuk memulihkan harga diri umat yang selama ini dilecehkan oleh negara-negara tetangga.

Perjanjian baru. Yang dimaksud di sini sama sekali bukan kitab Perjanjian Baru. Tertulis, "... Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan... Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku" (Yer. 31:31-33). Yang sedang digambarkan oleh Yeremia adalah sebuah mutu komitmen hubungan Allah-manusia yang bukan lagi berdasarkan upaya-upaya religius pihak manusia, melainkan sepenuhnya berdasarkan pengampunan Allah.

Selanjutnya, di kitab nabi-nabi Yahudi ini terdapat pula lambang lambang teologis lain, misalnya rahmat yang baru, hati yang baru, roh yang baru, nyanyian yang baru, langit yang baru, bumi yang baru, dan sebagainya.

Kemudian hari Gereja Perdana menciptakan simbol-simbol yang khas Kristen yang disandingkan dengan adjektiva baru., misalnya, adonan yang baru, hidup yang baru, ciptaan yang baru, manusia baru, jalan yang baru, perintah yang baru, nama baru Allah, nama baru umat, Roh yang baru, perjanjian yang baru, kabar yang baru, dan sebagainya.

Selain itu, Gereja Perdana juga mengambil alih simbol-simbol agama Yahudi yang tadi disebut seperti nama yang baru, perjanjian yang baru, hati yang baru, nyanyian yang baru, langit yang baru, bumi yang baru, dan sebagainya. Sambil mengambil alih simbol-simbol itu, Gereja Perdana memberi arti yang khas Kristen.

Apa yang dimaksud oleh Gereja Perdana dengan arti yang khas Kristen? Jika kita secara cermat meneliti pemakaian kata baru itu, maka tampak benang merah yang mengarah pada sebuah babak zaman akhir yang ditandai dengan kedatangan atau kehadiran Yesus sebagai "Mesias atau Kristus. Dalam A Theological Word Book of the Bible, Richardson menulis, "The word new can be used in an absolute sense only in respect of the Parousia."

Simbol-simbol dengan adjektiva baru itu menunjuk pada keyakinan dan gagasan kompleks yang ada di kalangan umat bahwa Allah sedang mengarahkan kita menuju periode akhir sejarah yang me rupakan zaman keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan. Atau gampangnya, optimisme tentang hari esok yang lebih baik daripada hari ini. Lebih gampang lagi, barang baru yang bagus pengganti barang lama yang rusak.

Mungkin sekarang Anda berkata, "Kalau begitu, sekarang harap Bapak tolong jelaskan dan cantumkan ayat-ayat tentang simbol-simbol itu. Kami ingin tahu apa artinya adonan yang baru, rahmat yang baru, nama Allah yang baru, nyanyian yang baru, dan semua yang tadi Bapak sebut."

Bagus! Anda punya semangat yang baru. Akan tetapi, harap tunggu waktunya. Nanti pada waktunya akan dijelaskan. Bukan sekarang, sebab saya baru mulai. Ini baru Bab 1. Baru memperke nalkan. Baru menawarkan. Baru promosi. Baru soft opening. Baru buka. Baru pasang iklan. Baru permulaan. Pokoknya, baru mulai.

REVOLUSI, TRANSFORMASI ATAU REFORMASI?

REVOLUSI, TRANSFORMASI ATAU REFORMASI?

 


Membarui diri. Dibarui oleh Kristus. Pembaruan segenap hati, Membran akal budi. Apakah itu revolusi, transformasi, ataukah reformasi? Mari kita lihat pengertian ketiga istilah itu.

Revolusi. Revolusi berarti perubahan keadaan di suatu bidang; bisa bidang sosial, pemerintahan, kebudayaan, atau bidang lain. Ada revolusi yang terjadi dengan kekerasan, misalnya revolusi kemerdekaan. Ada juga yang sama sekali tidak memakai kekerasan, misalnya revolusi mental. Revolusi juga berarti perubahan radikal, misalnya revolusi mode dari terkurung menjadi terbuka. Penemuan mesin sebagai pengganti tangan manusia disebut revolusi industri. Istilah revolusi juga masuk dalam jargon teologi. Buku Harvey Cox, guru sekolah teologi Harvard, berjudul God's Revolution and Man's Responsibility.

Transformasi. Transformasi berarti perubahan bentuk. Juga, per ubahan sifat, fungsi, struktur, dan rupa. Ada kedekatan arti antara transformasi dengan metamorfosis. Ulat yang jelek dan jijik berubah bentuk menjadi kupu-kupu yang indah. Proses metamorfosis itu menghasilkan transformasi (lih. "Metamorfosis" di Selamat Berpadu).

Reformasi. Reformasi berarti perubahan yang mendasar. Perubahan itu bisa radikal. Cakupannya adalah bidang sosial, hukum, agama, atau lainnya. Yang diubah atau dibarui adalah sistem, peraturan, pola pikir yang paling dasar, ataupun yang ada di permukaan, misalnya reformasi hukum mencabut peraturan yang mendiskriminasi penyandang difabel.

Uraian itu menunjukkan bahwa istilah revolusi, transformasi, dan reformasi mempunyai konotasi yang berbeda-beda. Akan tetapi, ketiga istilah itu pun menunjukkan sejumlah persamaan arti. Pada ketiga istilah itu terdapat pengertian berubah atau perubahan dan membarui atau pembaruan.

Tentang arahnya. Perubahan dan pembaruan itu terjadi dari keadaan kurang baik menuju keadaan yang baik. Arahnya adalah dari buruk ke baik. Tujuannya adalah memperbaiki atau mengganti yang buruk.

Tentang waktunya. Perubahan dan pembaruan itu tidak bisa terjadi mendadak dan sekejap, tetapi dalam proses perubahan yang membutuhkan waktu panjang.

Tentang terjadinya. Perubahan dan pembaruan itu bukan terjadi begitu saja, melainkan perlu ada pihak-pihak yang berbuat sesuatu. Perlu perbuatan. Perlu langkah-langkah nyata. Perlu iktikad. Perlu kesungguhan. Perlu pengorbanan.

Semua pengertian itu tersirat dalam simbol-simbol teologis mengenai konsep membarui, pembaruan, mengubah, dan perubahan yang dipakai di dalam Alkitab.

Contohnya ada di perikop Efesus 4:17-32. Tertulis, "Hendaklah hati dan pikiranmu dibarui seluruhnya" (ay. 23, BIMK). Apanya yang dibarui atau diubah? Tertulis, "Hati dan pikiran". Apa artinya? Teks aslinya, pneumati tou noos. Arti harfiahnya, 'roh dari (bukan dan, tetapi dari) pikiran', 'roh yang di dalamnya berpikir', atau 'roh tempat berpikir'. Maksudnya, roh yang mengoordinasikan segala kecerdasan, atau segala keputusan, atau segala pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dibarui dari kondisi apa ke kondisi apa? Dari kondisi lama kekondisi baru. Kondisi lama prapembaruan digambarkan di ayat sebelumnya, yaitu "sebab itu tanggalkanlah manusia lama dengan pola kehidupan lama yang sedang dirusakkan oleh keinginan-keinginannya yang menyesatkan" (ay. 22, BIMK).

Sedangkan kondisi baru pascapembaruan digambarkan di ayat sesudahnya, yaitu "Hendaklah kalian hidup sebagai manusia baru yang diciptakan menurut pola Allah, yaitu dengan tabiat yang benar, lurus dan suci" (ay. 24, BIMK).

Perhatikan pergerakan arahnya. Perubahan itu bergerak dari "manusia lama" ke arah "manusia baru", dari "pola kehidupan lama" ke arah "pola Allah", dari "sedang dirusakkan oleh keinginan keinginannya yang menyesatkan" ke arah "tabiat yang benar, lurus dan suci".

Pergerakan itu disebut membarui diri, bertobat, atau lahir kembali. Pergerakan itu bukan terjadi dalam sejam atau sehari, melainkan dalam proses waktu yang panjang melalui proses belajar dan bertumbuh.

Sekarang kita perhatikan lebih lanjut isi ayat itu. Pada teks Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) tertulis, "... dibarui seluruhnya" (ay. 23). Kata seluruhnya itu tidak terdapat dalam teks Terjemahan Baru (TB). Kalau begitu teks mana yang betul?

Dalam teks aslinya tertulis, "... ananeousthai de toi pneumati tou noos humon." Verba ananeoun bukan sekadar berarti 'perubahan'. melainkan perubahan total'. Ini menyangkut perubahan pikiran. perasaan dan kehendak. Ini bukan perubahan sebagian, melainkan perubahan menyeluruh. Oleh sebab itu, teks BIMK membubuhkan kata seluruhnya.

Apa konsep dalam Alkitab tentang membarui dan pembaruan atau mengubah dan perubahan sepadan dengan revolusi, transformasi, dan reformasi? Meskipun tiap istilah itu punya konotasi berbeda, istilah-istilah itu bisa dipadankan dengan konsep Alkitab tentang pembaruan. Ada konsep pembaruan dalam perikop tertentu yang sepadan dengan istilah revolusi, di perikop lain sepadan dengan transformasi dan di perikop lain lagi sepadan dengan reformasi.

Oleh sebab itu, pembaruan ciptaan yang diajarkan dalam Alkitab bisa saja disebut revolusi, transformasi, rehabilitasi, restorasi, reformasi, perbaikan, perubahan, pembaruan, atau lainnya.

Apa pun sebutannya, yang lebih penting adalah pelaksanaannya. Kita membarui diri. Kita dibarui Kristus. Kita berubah. Kita diubah. Kita membetulkan diri. Kita dibetulkan. Dari tidak betul menjadi betul. Dari kurang betul menjadi lebih betul. Dari sudah betul menjadi lebih betul lagi.