BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

BISA! TIDAK BISA! TUHAN BISA!

Seandainya dibagi atas babak, maka hidup Musa terdiri atas tiga babak yang masing-masing berlangsung 40 tahun. Seandainya tiap babak diberi judul, maka babak pertama berjudul "Aku bisa!" Pada babak pertama, usia Musa baru menjelang 40 tahun. Ia masih ambisius, idealis, dan optimis. Cerita di dalam Keluaran 2:11-15 menggambarkan karakter itu. Musa mulai menemukan jati dirinya sebagai orang Israel (Sebutan lazim zaman itu: Ibrani). Ia panas hati melihat orang-orang sebangsanya diperbudak bangsa Mesir. Mungkin selama beberapa tahun ia memikirkan rencana untuk memimpin pemberontakan. la yakin bahwa ia mampu mendorong dan mengerahkan bangsanya untuk memberontak. Pada suatu, hari ia melihat kesempatan yang baik untuk memercik api pemberontakan. Ada seorang budak Israel dianiaya mandor Mesir. Musa langsung membela orang Israel itu. Musa memperhitungkan bahwa ia akan mulai dipercaya sebagai pemimpin bangsanya. Namun, dugaannya meleset. Orang-orang sebangsanya malah mencemooh dia. Musa terkejut dan takut. la pasti akan didakwa sebagai pembunuh dan pemberontak. Maka, cepat-cepat Musa melarikan diri ke negeri Midian.

Mulailah Musa memasuki babak hidupnya yang kedua. Kegagalannya yang lalu meninggalkan trauma yang membekas. la jadi takut berprakarsa dan memimpin. la jadi sangat hati-hati. Mungkin terlalu berhati-hati sehingga selalu diliputi keraguan. Begitulah selama 40 tahun ia bersembunyi di Midian sebagai seorang gembala. Babak kedua hidup Musa berjudul "Aku Tidak Bisa".

Hal itu tampak ketika pada suatu hari Tuhan menugaskan Musa menghadap Firaun dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Israel. Dulu tanpa disuruh pun Musa yakin dan bersemangat. Tetapi sekarang Musa merasa kurang yakin, la takut kegagalannya terulang lagi. Karena itu, ia menjawab, "Siapakah aku ini, maka aku yang menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Kel. 3:11). Melihat keragu-raguan Musa itu, Tuhan membesarkan hati Musa dan menjanjikan penyertaan-Nya. Sampai lima kali Tuhan menugaskan dan meyakinkan Musa, namun lima kali pula Musa menolak (ay. 11, 13 dan 4:1, 10, 13).

Akhirnya, Musa menerima juga penugasan itu. Ia memasuki babak ketiga dalam hidupnya. Selama 40 tahun ia memimpin perjalanan umatnya ke negeri yang dijanjikan. Bayangkan bagaimana repotnya memimpin rombongan yang begitu besar, termasuk anak kecil dan orang lanjut usia, menempuh perjalanan melalui padang pasir selama sekian puluh tahun. Itu sebuah pekerjaan yang begitu sulit, namun akhirnya terlaksana juga dengan baik. Janji Tuhan untuk menyertai ternyata betul. Tuhan bisa melakukan semua itu.

Babak ketiga hidup Musa berjudul "Tuhan Bisa!" Dengan penuh rasa pesona dan lega Musa bernyanyi, "Laksana rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya, melayang-layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya, menampung seekor dan mendukungnya di atas kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia ..." (Ul. 32:11, 12).

Kalau Musa duduk termenung menengok ke masa lampau, ia terkenang haru dan tersenyum kagum mengingat kembali babak-babak hidupnya. Pada babak pertama ia terlalu yakin akan dirinya dan selalu berkata, "Aku bisa!"; tetapi akhirnya ia jatuh. Pada babak kedua ia dihantui ketakutan bahwa ia akan jatuh kembali, maka ia hanya mengeluh, "Aku tidak bisa." Lalu pada babak ketiga ia mengalami bahwa pada waktu ia sudah menyerah dan berserah kepada Tuhan, justru Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu, sehingga Musa berseru dengan takjub, "Tuhan bisa!"

Barangkali itulah juga babak-babak dalam hidup kita. Ketika kita baru lulus atau baru mendapat kedudukan, kita merasa diri pandai dan hebat. Kita penuh rasa yakin diri. Kita melaju dengan cepat. Kita ambisius. Menilai diri berlebihan. Sok bisa. Sok kuat. Sok tahu. Tetapi sepandai-pandai tupai melompat, sekali ia terjatuh juga. Itulah babak pertama karier kita.

Trauma kejatuhan itu biasanya membekas. Kita takut jatuh untuk kedua kalinya. Kita menjadi ekstra hati-hati, atau mungkin terlalu berhati-hati. Akibatnya kita jadi gampang kecil hati. Itu babak kedua karier kita.

Pada babak ketiga, kita bertumbuh menjadi mantap dan tenang. Kita mulai mempunyai waktu untuk merenung. Kita mulai merasakan bahwa sebenarnya bukanlah kita yang berkarya, melainkan Tuhanlah yang berkarya melalui diri kita.

Itulah perjalanan babak-babak hidup kita. Pada babak pertama kita berjalan sendiri, cepat, lari, dan melompat, tetapi tiba-tiba jatuh dan tersentak. Lalu pada babak kedua kita kesakitan dan mungkin hampir tidak berani jalan lagi. Kemudian pada babak ketiga kita belajar berjalan sambil berpegang pada Tuhan, atau lebih tepat lagi belajar membiarkan diri dipegang oleh Tuhan. Pada babak pertama kita hidup dalam angan-angan, pada babak kedua dalam mimpi buruk, tetapi pada babak ketiga dalam pengharapan.

Pada babak pertama kita bersorak, "Saya bisa!" Pada babak kedua kita mengeluh, "Saya tidak bisa." Pada babak ketiga kita mengaku, "Tuhan bisa!"

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


MARI KERJA SAMBIL KETAWA

MARI KERJA SAMBIL KETAWA

Di Jakarta ada jalan yang bersih, tenang dan rindang untuk pejalan kaki. Namun, ada juga yang berdebu, hiruk pikuk dan pengap. Jalan Taman Sari bisa digolongkan pada yang kedua. Ketika masih bujangan, hampir tiap hari saya melewati jalan itu. Sebabnya, pacar saya tinggal di dekat situ. Karena itu, kami sering berjalan atau bersepeda melewati Jalan Taman Sari menyusuri kali yang penuh sampah. Namun, debu dan bau sampah itu sama sekali tidak terasa mengganggu. Yang saya rasakan hanyalah perasaan senang, apalagi pada saat-saat kami bersentuhan dan berpegangan. Sekarang saya akan pikir-pikir dulu kalau disuruh berjalan atau bersepeda di jalan yang penuh debu itu.

Mungkin Anda juga pernah mengalami hal seperti itu. Misalnya, menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan membosankan. Tetapi ketika Anda melakukan itu dalam suasana yang menyenangkan, kelelahan dan kebosanan itu tidak terasa. Atau, Anda melakukan suatu pekerjaan. Ketika dilakukan dengan perasaan jengkel, maka pekerjaan terasa berat. Namun, pekerjaan yang sama itu terasa ringan ketika dilakukan dengan hati yang senang. Nah, di sini letak rahasianya: perasaan senang. Pekerjaan yang berat sekalipun terasa ringan jika kita merasa senang melakukannya. Sebaliknya, pekerjaan yang ringan akan terasa berat jika kita merasa enggan dan jengkel.

Sebab itu, faktor yang banyak menentukan keberhasilan kerja adalah kegembiraan. Tanpa kegembiraan kerja, maka pekerjaan apa pun akan terasa bagaikan tekanan atau hukuman. Kalau kita berangkat atau memulai suatu pekerjaan dengan perasaan enggan dan jengkel, pekerjaan itu terasa menekan dan membosankan. Kita melakukannya dengan perasaan terpaksa. Dalam keadaan seperti itu kita cenderung untuk membuat kesalahan-kesalahan. Orang yang mengemudi mobil sambil marah-marah lebih gampang menabrak dari pada orang yang mengemudi sambil bersenandung.

Kegembiraan kerja juga turut memengaruhi pembentukan motivasi konsentrasi, kreativitas dan produktivitas kerja. Orang yang bekerja dalam suasana tegang dan terpaksa biasanya akan rendah motivasinya. Konsentrasinya mudah buyar. Kreativitasnya tidak muncul. Mutu hasil kerjanya buruk. Produknya juga sedikit. Untuk bekerja, diperlukan kegembiraan kerja. Kegembiraan itu akan menimbulkan semangat. Bagaimana kita mau hidup dan bekerja kalau kita tidak mempunyai semangat. Seperti kata pengarang Amsal, "Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat" (15:13). Ia juga menulis, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang" (17:22).

Pengarang Kitab Pengkhotbah bahkan menyatakan bahwa ke gembiraan kerja adalah hal yang paling diperlukan. Ia menulis, "Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya" (2:24a). Artinya, orang yang bahagia adalah orang yang bisa bergembira dengan pekerjaannya dan dengan rezeki hasil pekerjaannya. Sepiring nasi dengan ikan asin terasa lebih sedap jika kita mensyukurinya sebagai rezeki hasil jerih payah dengan rasa senang dari pada rupa-rupa makanan mahal yang sebenarnya bukan hasil kejujuran kerja atau yang kita makan dengan perasaan jengkel. Perhatikan bahwa ayat itu masih ada lanjutannya, "Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?" (Pkh. 2:24b dan 25). Pengkhotbah mengaku bahwa kesempatan kerja dan rezeki hasil kerja datang dari Tuhan, sebab itu ia mensyukurinya.

Bisa mensyukuri hasil pekerjaan adalah pangkal kegembiraan kerja. Itu hanya bisa terjadi kalau kita mempunyai sikap terbuka untuk menyenangi dan mensyukuri. Di dunia hanya ada satu orang yang dapat memberikan kegembiraan kerja kepada kita. Orang itu adalah kita sendiri. Pekerjaan adalah neraka kalau kita bekerja sambil cemberut, tetapi pekerjaan adalah surga kalau kita bisa menyukai pekerjaan itu. Baik buruknya suasana kerja tergantung dari sikap kita sendiri.

Sebab itu, kita bekerja dengan senyum. Tersenyum geli melihat kesalahan, tersenyum bangga melihat keberhasilan. Bekerja dengan ketawa. Tertawa melihat celah-celah yang jenaka dalam dunia kerja. Tertawa dan menertawakan diri sendiri atas kebodohan yang kita perbuat. Misalnya, menertawakan diri sendiri ketika kita terkecoh menghadapi pertanyaan yang sebetulnya sederhana sekali.

Konon petani Meksiko terkenal pandai menciptakan suasana kerja yang riang. Sepanjang hari mereka bekerja sambil bernyanyi. Lalu sore hari ketika semua pekerjaan selesai, mereka naik kuda pakai sombrero (topi pandan yang lebar) sambil membawa gitar mengelilingi ladang untuk memandangi hasil kerja mereka. Sekarang saya bertanya kepada Anda, "Mengapa para petani Meksiko itu naik kuda dengan membawa gitar?" Silakan Anda jawab. Supaya jelas, saya ulangi pertanyaannya, "Kenapa mereka membawa gitar?" Mau tahu jawabnya? Ini dia: Tentu saja gitar. Emangnya orang naik kuda mau disuruh bawa piano atau organ? Yang bener aja.

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

WAJAH-WAJAH YANG MENOPANG

Ketika akan masuk sekolah teologi, umur saya baru 17 tahun, badan ceking (tetapi ceking-ceking juga cakep), masih berceta pendek; pokoknya masih krucuk (anak bawang). Perasaan saya waktu itu campur baur: girang tetapi juga dag-dig-dug.

Banyak hal baru akan saya alami: meninggalkan rumah, lepas dari orangtua, mengatur hidup sendiri, merdeka dari "kolonialisme" kakak perempuan (saya punya tiga cici yang sama seperti cici di dunia, yaitu suka menyuruh-nyuruh), bebas dari "kerja rodi" (mengepel lantai, menimba air, dan menyapu kebun siap untuk diserahterimakan kepada adik). Banyak pula hal yang menarik: naik kereta api dari Bandung ke Malang (sebelum itu paling jauh cuma ke Sukabumi dan Cibatu), melihat Jawa Tengah dan Jawa Timur, tinggal di asrama dan masuk sekolah teologi. Saya merasa asyik, girang dan bersemangat, namun pada lain pihak bingung, bimbang, dan takut.

Bagaimana perasaan orang-orang terdekat dengan saya? Mereka tidak mengutarakannya. Tetapi mereka semua menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampak ingin berbuat sesuatu untuk saya. Saya merasa didukung. Saya merasa ditopang. Ini membesarkan hati. Seorang paman membuka lemari dan memberi beberapa celana panjang. Ajaib, celana itu sangat pas. Ia juga mengeluarkan sepatunya. Ajaib lagi, sepatu itu juga pas. Lalu cici-cici menghujani rupa-rupa hadiah: selimut, handuk, saputangan, sabun, piama, kaos dan lain-lain (eh, ternyata punya cici juga banyak gunanya!). Yang masih perlu adalah koper (zaman itu belum ada travel bag). Maka, seorang bibi memberi koper besi (sekarang di museum juga tidak ada, itu koper terbuat dari pelat seng dengan grendel besi). Koper itu sudah karatan (barangkali bikinan zaman VOC), tetapi oleh saya langsung dicat mengilap.

Lalu ada lagi topangan lain. Sehari menjelang keberangkatan tiba-tiba datang Empek Dji Leng. Baiklah saya ceritakan dulu siapa dia. Empek (= Opa) Dji Leng berusia hampir 70 tahun, anggota GKI Kebonjati. Saya sering bertemu dengan dia di rumahnya atau di gereja untuk urusan surat-surat pelawatan sebab ibu saya pelawat diakonia. Kemudian hari seorang cucu Empek Dji Leng, yaitu Sem Purwadisastra, juga masuk sekolah teologi. Nah, pada siang itu Empek Dji Leng disapah oleh istrinya yang juga sudah lanjut usia, sengaja datang ke rumah untuk memberi beberapa telur rebus sebagai bekal saya di kereta api. Empek Dji Leng tidak banyak berbicara. Becak yang membawa dia menunggu di depan rumah. Dengan suara yang bergetar lemah ia berkata, "Hong An, jadi boksu (= pendeta) jalannya panjang. Musti ada panggilan Tuhan. Empek doain biar Hong An jadi." Saya terdiam menunduk.

Keesokan harinya, ayah dan ibu sudah bangun pukul 3 pagi. Saya diantar ke stasiun. Maka, berangkatlah saya. Kereta api melewati Cikampek, belok ke Cirebon, menyusuri pantai utara Jawa Tengah (mata saya membelalak, itulah kali pertama saya melihat laut!), lewat Semarang dan tiba di Surabaya larut malam. Di sini saya merasakan lagi adanya topangan. Seorang mantan tetangga (orang Sunda beragama Islam) menjemput di stasiun. Saya menginap di kamarnya di asrama Akademi Pos. la membagi piring nasinya dengan saya. Keesokan harinya ia mengantar saya ke stasiun. la begitu ikhlas menolong.

Kereta api berangkat menuju Malang. Saya merenung. Begitu banyak orang menopang saya. Saya sedang bingung dan bimbang. lalu orang-orang yang terdekat semuanya bersikap menopang. Itu menguatkan. Tiap babak baru dalam perjalanan hidup dan karier beris banyak tanda tanya. Masa depan tidak menjamin kepastian. Kita jadi ragu-ragu, cemas, dan takut. Pada saat seperti itu kita merasakan betapa besar artinya topangan orang lain. Pada saat seperti itu pemazmur berbisik meminta topangan dari Tuhan, "Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu..." (Mzm. 119:116).

Kereta api berjalan terus. Bagi penumpang lain kereta ini menuju ke Malang, bagi saya kereta ini menuju ke masa depan. Masa depan yang penuh tanda tanya. Apakah saya akan diterima di sekolah teologi? Apakah saya bisa naik kelas? Apakah akhirnya saya akan lulus? Akan jadi apa saya nanti?

Perjalanan kereta api hanya tinggal setengah jam lagi. Tetapi perjalanan hidup dan kerja saya masih puluhan tahun. Akan jadi apa saya nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidup saya? Saya bingung dan bimbang. Tetapi saya merasa ada topangan. Pada bagian awal perjalanan ini pun saya sudah ditopang oleh banyak orang. Saya jadi mantap.

Kereta api melaju terus. Di jendela kanan tampak Gunung Arjuna dan Gunung Kawi. Di jendela kiri Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Tetapi di depan saya tampak wajah. Wajah yang menopang. Wajah ibu. Wajah ayah. Wajah kakak. Wajah adik. Wajah paman. Wajah bibi Wajah tetangga yang Muslim itu. Wajah Empek Dji Leng. Suaranya halus bergetar, "Empek doain biar Hong An jadi."


Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)


GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

GAMPANG, BERIKAN MEREKA SUKSES!

Pada suatu hari iblis mencari seseorang yang semula murah hati untuk dijadikan kikir, semula berserah untuk dijadikan serakah dan cepat marah. Iblis memilih seorang petani yang sedang bekerja di ladang. "Nah, petani miskin ini akan kujadikan lebih miskin lagi. Pasti dia akan jadi kikir dan serakah." 

Sebagai langkah pertama, Iblis mencuri bekal makanan milik petani itu. Pada waktu makan siang petani itu mencari-cari bekal makanannya. la merasa heran, "Aneh betul, makananku hilang. Aku akan lapar sepanjang hari ini. Mungkin ada tetangga yang mencurinya. Biarlah, barangkali tetanggaku itu sedang kesulitan makanan." Iblis heran melihat reaksi petani yang begitu ikhlas dan damai. Rencananya gagal. Dengan lesu ia melapor ke para Iblis lain. Mereka langsung menertawakan dia, "Tentu saja kau gagal. Kalau mau bikin orang jadi kikir dan serakah, jangan jadikan dia miskin. Jadikan dia kaya!"

Mulailah Iblis menyusun rencana jangka panjang. Ia memberi kesuburan khusus pada ladang petani itu. Ketika petani lain mengeluh akibat panen yang gagal, petani yang satu ini justru berlimpah panennya. Lumbungnya penuh dengan gandum. Petani miskin ini langsung menjadi kaya. Petani ini tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan kelebihan gandumnya. Lalu Iblis memberi ilham. Gandum itu bisa dibuat minuman keras vodka. Ternyata vodka bikinan petani ini laku di kota. Petani ini menjadi semakin kaya.

Untuk merayakan suksesnya, petani ini mengundang para tetangganya berpesta. Vodka disajikan lalu orang mulai mabuk. Dalam keadaan mabuk, petani itu menagih tetangga-tetangganya untuk mengembalikan gandum yang mereka pinjam. Petani itu langsung marah ketika para tetangga belum sanggup membayar akibat masa paceklik. la memaki-maki, "Bayar! Awas kalau kamu tidak membayar. Itu gandumku tahu? Gandum hasil keringatku!" Lalu mereka pun mulai bertengkar. Kacaulah pesta itu.


Iblis mengintip dari jauh dengan senyum kemenangan. Sambil menunjuk ia berkata kepada Iblis-Iblis lain, "Lihat, itu dia orangnya. Dulu ketika masih miskin, bekal makanannya ia ikhlaskan. Tetapi, sekarang meski lumbungnya sudah luber, ia begitu kikir."

Apa maksud Leo Tolstoy menuturkan cerita ini? Kalau disimak alur cerita ini banyak mirip dengan cerita-cerita lain dari pengarang yang sama. Bandingkan misalnya dengan cerita Tolstoy tentang pembeli tanah yang serakah di buku Selamat Mengikut Dia. Leo Tolstoy (1828-1910) adalah seorang bangsawan dan tuan tanah yang kaya raya di Rusia. Tetapi ia tidak mau hidup sebagai orang kaya. Ia membagikan tanahnya kepada petani-petani miskin. Ia belajar teologi dan menjadi pengarang. Untuk kebutuhan hidupnya ia bercocok tanam dan membuat roti sendiri.

Tolstoy menekankan bahwa Kerajaan Surga ada dalam diri Yesus. Lalu apa yang tampak dalam diri Yesus? Seorang yang tidak terikat pada harta benda. Seorang yang terbebas dari keserakahan. Seorang yang tidak mengejar keberhasilan. Seorang yang bahagia. Yesus berkata, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Luk. 6:20. Bandingkan dengan versi Mat. 5:3: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah...").

Tolstoy seakan-akan bertanya, "Kapan petani ini berbahagia?" la menjawab, "Sebelum petani ini menjadi kaya". Semula pikiran petani ini bebas dari belenggu harta benda. Hatinya damai. la tidak dikejar oleh keserakahan. Hubungannya dengan tetangga adalah hubungan manusia dengan manusia. Akan tetapi, kemudian pikirannya dikuasai oleh harta benda. Hatinya tidak damai lagi. Hubungannya dengan tetangga merosot menjadi hubungan antara pemilik benda dengan peminjam benda.

Dari luar tampaknya keluarga petani ini lebih beruntung. Namun, dari dalam keadaannya berbeda. Suasana keluarga yang semula tenang kemudian menjadi tegang. Hanya karena istrinya menumpahkan sedikit vodka, petani itu naik pitam bukan kepalang, "Bodoh! Kamu kira ini air hujan? Ini vodka. Ini mahal, tahu?" Ada lagi isu teologis yang hendak diangkat oleh Tolstoy. Benarkah sukses itu berkat dari Tuhan? Belum tentu. Sukses belum tentu berasal dari Tuhan sebab berkat Tuhan tidak selalu berbentuk sukses. Bisa jadi sukses diberikan oleh Iblis sebagai strategi untuk menjatuhkan kita.

Entah apa riwayat petani itu selanjutnya. Entah apa pula yang terjadi dengan Iblis ini. Bisa jadi Iblis ini kemudian menjadi penceramah seminar di hotel-hotel berbintang. Di situ ia memberi kiat kepada para Iblis lain tentang metode mengubah orang yang semula berserah menjadi orang yang serakah, yang semula murah hati menjadi kikir, semula jujur menjadi korup dan jahat. Di tiap seminar selalu ada peserta yang bertanya, "Apa kiatnya?" Lalu dengan senyum kemenangan ia menjawab, "Oh, Saudaraku yang terkasih. Itu gampang. Suruh mereka merindukan sukses. Ajak mereka berdoa minta sukses. Lalu berikan sukses."

Pdt. Andar Ismail

(Disadur dari buku Selamat Berkarya)

IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

IBU TERESA DAN PUTRI DIANA PERGI BERPEGANGAN TANGAN

 

Selama satu jam saya terpaku di depan televisi mengikuti ibadah pelepasan jenazah Putri Diana yang disiarkan langsung dari Gereja Westminster. Selangkah demi selangkah peti jenazah Putri Diana diusung masuk dan diletakkan di depan salib. Namun, yang saya bayangkan pada saat itu bukanlah hanya Putri Diana, melainkan juga Ibu Teresa. Hari itu koran terbit dengan berita utama: Ibu Teresa Tutup Usia. Di situ dimuat potret Ibu Teresa sedang berjalan berpegangan tangan dengan Putri Diana. Di bawahnya tertulis: "Ibu Teresa meninggal di Calcutta... Pendiri Ordo Misionari Cinta Kasih itu jatuh dan meninggal dunia setelah mengikuti ibadah khusus guna Putri Diana." Dalam satu pekan dunia kehilangan dua orang wanita yang telah merebut hati begitu banyak orang. Dunia telah menjadikan Ibu Teresa dan Putri Diana sebagai lambang cinta kasih.

Sebetulnya Putri Diana sungguh berbeda dari Ibu Teresa. Kedua orang itu sama sekali bukan bandingan. Yang satu tinggal di istana, yang lain di biara. Yang satu tiap kali tampil berganti busana, yang lain bajunya itu-itu saja. Yang satu bersantap malam di hotel-hotel berbintang, yang lain mungkin cuma makan sebutir kentang. Yang satu punya banyak harta, yang lain tidak punya apa-apa. Yang satu serba mewah, yang lain serba sederhana. Kedua wanita itu memang berbeda. Potret itu pun memperlihatkan perbedaan. Yang satu tinggi sampai, yang lain bungkuk mengerut. Yang satu berusia 36 tahun, yang lain 87 tahun.

Namun, persamaannya juga banyak. Kedua orang yang berpegangan tangan itu menatap dan tersenyum ke arah yang sama. Wajah mereka memancarkan kecerahan. Mereka seolah-olah sedang menatap kepada orang-orang yang menderita: para jompo, anak buangan, penderita kusta, korban perang, penderita AIDS. Keduanya peka terhadap penderitaan orang lain. Keduanya suka memberi bantuan; yang satu memberi dari kelebihannya, yang lain memberi dari kekurangannya.

Di sini tampak lagi perbedaan antara Putri Diana dan Ibu Teresa, bahkan perbedaan yang lebih asasi. Putri Diana memberi kasih dengan motivasi perikemanusiaan, sebuah motivasi yang sangat agung. Akan tetapi, Ibu Teresa didorong oleh motivasi yang lain. Ibu Teresa memberi kasih karena ia merasa sudah dikasihi oleh Kristus. Dalam buku The Way of the Cross yang dikarang bersama dengan Bruder Roger dari Taize, Ibu Teresa menulis, "... mencintai karena kita telah dicintai, karena Kristus dari salib telah mencintai kita."

Yang dibagi oleh Ibu Teresa bukan sekadar benda, melainkan diri yang rela turut menderita sebagaimana Kristus juga telah turut menderita dengan kita. Ibu Teresa menulis, "Tanpa ikut menderita, pekerjaan kita hanyalah pekerjaan sosial, yang memang baik dan berguna, tetapi itu bukan merupakan pekerjaan Kristus, bukan bagian dari karya penyelamatan."


Ibu Teresa menggali motivasi yang lebih dalam lagi. Bagi dia, cara mencintai Yesus adalah mencintai orang yang paling membutuhkan cinta. Sebab itu, tiap pagi ia memandangi salib dengan tubuh Yesus yang terluka sambil berbisik, "Kristus, tolong kami menemukan Engkau hari ini supaya kami dapat membalut luka-luka-Mu." Begitulah tiap hari ia menemukan orang jompo di lorong-lorong kumuh yang terbaring menunggu ajal. Ibu Teresa dan para suster membawa mereka ke rumah penampungan. Mereka dirawat dan disapa. Mereka diajak bernyanyi dan berdoa. Mereka diperlakukan dengan penuh martabat sampai pada peristirahatan yang terakhir: yang Muslim dimakamkan secara Islam dan yang Hindu dikremasi secara Hindu.

Oleh karena motivasi yang dalam itu, maka arah kepedulian Ibu Teresa juga luas. Ia tidak mempersempit kebutuhan cinta kasih hanya dalam arti material, tetapi juga dalam arti spiritual. Ia menulis, "Allah mengidentikkan diri dengan orang yang tidak punya rumah, bukan hanya rumah dalam arti perlindungan atap, melainkan juga rumah dalam arti penerimaan, penghargaan, dan perlindungan." Di buku yang sama Ibu Teresa mengubah ucapan Yesus dalam Matius 25 menjadi sebagai berikut, "... ketika Aku ketakutan, kamu menenteramkan Aku. Ketika Aku di tempat yang asing, kamu membuat Aku betah. Ketika Aku menganggur, kamu mencarikan Aku pekerjaan. Ketika Aku butuh keramahan, kamu merangkul Aku. Ketika Aku jadi orang Negro atau orang Cina yang diejek dan dicela, kamu menanggung salib-Ku. Ketika Aku gelisah, kamu mendengarkan Aku. Ketika Aku ditertawakan, kamu berdiri di pihak-Ku..."

Semua tulisan Ibu Teresa di buku itu merupakan ungkapan pikiran dan praktik hidupnya. Selama lebih dari 50 tahun Ibu Teresa berkarya dalam rangka mewujudnyatakan hal itu. Sementara itu ribuan orang dari puluhan negara juga menyerahkan diri untuk turut berkarya dengan Ibu Teresa.

Kita merenungkan hidup dan kerja Ibu Teresa dengan rasa syukur, kagum, dan haru. Ibu Teresa adalah manusia langka. Tidak tiap zaman melahirkan orang seperti Ibu Teresa. Gadis Albania yang lahir di Yugo slavia, bersekolah di Irlandia, dan kemudian menjadi biarawati di India ini telah menjadi lambang di seluruh dunia. Ia adalah lambang belas kasih, lambang kesederhanaan dan lambang pengabdian. Di tengah hidup yang serba konsumtif, serakah, haus kekuasaan, mabuk harta, gila sukses, cari pemuasan raga, cuek, fanatisme agama, fanatisme kebangsaan, dan sebagainya, maka gaya hidup Ibu Teresa merupakan bisikan-bisikan hati nurani.

Kembali pada Putri Diana. Ia juga merupakan lambang. Lambang kecantikan, lambang glamor, atau lainnya. Tetapi yang pasti, sama seperti Ibu Teresa, Putri Diana pun merupakan lambang belas kasih. Putri Diana dan Ibu Teresa telah merebut hati begitu banyak orang karena kepedulian mereka untuk memberi apa yang paling diperlukan oleh tiap orang, yaitu cinta kasih. Pembacaan 1 Korintus 13 pada ibadah pelepasan jenazah Putri Diana terasa menyentuh hati, "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."

Kedua lambang cinta kasih itu telah tiada. Mereka pergi berjalan berpegangan tangan. Meninggalkan bisikan-bisikan hati nurani.

TIDAK ADA KERJA YANG HINA

TIDAK ADA KERJA YANG HINA


Anda mungkin tidak percaya, saya pernah jadi baby-sitter. Baby sitter beneran selama empat tahun. Ketika itu saya sekolah Virginia. Seminggu sekali saya baby-sitting, yaitu menjaga anak dengan upah dua dolar sejam. Ceritanya begini.

Di Amerika hampir tidak ada keluarga yang mempunyai pembantu rumah tangga atau pengasuh anak. Sebab itu, orangtua mencari seorang untuk menjaga anak atau menitipkan anaknya di rumah kenalan selama beberapa jam. Sudah lazim bahwa tugas baby-sitting itu dibayar sekian dolar per jam. Beberapa bulan setelah tiba di Virginia, istri saya mulai mendapat tawaran untuk menjaga anak. Walaupun istri saya sibuk bersekolah penuh waktu di program magister, tawaran itu diterima secara langsung karena kuatnya iming-iming dolar. Lalu kedua anak kami yang adalah murid high-school juga mulai mendapat klien.

Tidak lama kemudian, rupanya "perusahaan" kami mulai tersohor. Telepon berdering terus dengan order. Begitulah setiap Sabtu maka kami sibuk. Istri saya baby-sitting di rumah A. Putri kami di rumah B. Putra kami di rumah C. Saya baby-sitting di rumah kami sendiri. Mula-mula tentu saja saya canggung. Seumur-umur saya belum pernah jaga bayi, apalagi bayi orang bule. Bayi itu pun tampak curiga. Matanya terus memelototi saya seperti melihat makhluk aneh dari planet lain. Tetapi, tak lama kemudian kami mulai akrab. Dia senang, saya juga senang.

Nah, langganan saya itu namanya Carter. Umurnya satu setengah tahun, masih belajar jalan. Badannya bongsor. Potongannya macam pemain sumo. Beratnya minta ampun. Rambutnya pirang, halus dan wangi. Masih belajar bicara. Logatnya medok. Dia menyebut nama saya dengan aksen yang khas, "Eendaaar!" Sorotan matanya hidup. Lincah. Cepat mengerti. Gampang ketawa. Pokoknya lucu banget.

Tugas saya cukup mudah. Pukul 6 Carter dibawa orangtuanya ke rumah kami. Langsung Carter bermain dengan saya. Main lompat-lompatan. Main petak umpat. Main jadi cowboy dan bandit. Main adu gulat di karpet. Pukul 7 makan. Carter makan bubur apel, saya nasi. Sekali waktu ia mencoba nasi, ternyata ia jadi ketagihan. Begitulah tiap kali selesai mengucapkan kata amen langsung ia menelan air liur dan berteriak, "Just rice!" Sesudah makan bercerita dan bernyanyi. Pukul 8 tidur. Makin cepat dia tidur, makin baik; sebab saya punya banyak pekerjaan: belajar, menulis paper, menyiapkan diri untuk ulangan, atau membuat khotbah. Pukul 11 orangtuanya datang dan menggotong Carter yang sedang nyenyak ke mobil. Itu dia tugas baby-sitting: bermain dan tertawa-tawa karena kelucuan anak. Tidak dibayar pun saya mau, apalagi dibayar.

Akan tetapi, jengkelnya kadang juga ada. Kadang-kadang Carter rewel. Terutama menjelang tidur. Matanya sudah dipejamkan. Tetapi sebentar-bentar dia melek dan merengek, "Gimmee another kiss." Padahal tadi sudah mendapat dan memberi good-night kiss. Atau dia lari lagi mengambil sebuah mainan. Lalu lari lagi mengambil mainan lain. Kadang-kadang saya sabar, tetapi kalau saya sedang sibuk saya jadi marah. Lalu dia menangis. Pernah dia meraung-meraung. Pernah juga dia terisak-isak sambil memeluk bantal dan berkata lirih, "I want my mom." Nah, kalau sudah begitu, malah saya yang jadi sedih. Bayangkan perasaan saya ketika kami pulang ke Indonesia. Setelah empat tahun begitu akrab, tiba-tiba putus hubungan. Saya merasa kehilangan. Carter sudah menjadi seperti anak atau cucu sendiri. Itu suka duka jadi baby-sitter.

Sekarang cerita lain. Mungkin Anda juga tidak percaya. Saya pernah menjadi tukang pel restoran di Inggris. Waktu itu saya dan istri bersekolah di Belanda. Selama dua bulan liburan kami bekerja di Hotel Butlin di Minehead, sejauh sehari perjalanan kereta api dari London. Hotel itu menampung puluhan ribu tamu. Gedungnya ada puluhan. Karyawannya ribuan, kebanyakan mahasiswa dari pelbagai negara Eropa. Istri saya bertugas di regu pencuci alat-alat dapur, saya di regu tukang pel lantai restoran. Sekitar seribu orang bisa duduk situ. Restoran itu sangat luas. Sesudah bagian depan dipel, saya pindah ke bagian tengah. Lalu ketika bagian tengah sudah bersih dipel bagian depan yang tadi sudah jadi kotor lagi. Begitu seterusnya. Jadi saya mengepel terus dari pagi sampai sore. Tangan pegel sampa ngaplek. Tetapi, enaknya juga banyak. Semua fasilitas tersedia gratis bagi karyawan. Pada jam libur kami jadi turis gratis: berenang, nonton teater, jalan-jalan di pantai, atau mendaki bukit.

Ada lagi pengalaman kerja yang lain. Ketika di sekolah dasar saya bekerja sebagai pengantar koran. Pada waktu libur di sekolah menengah saya menjadi pramuniaga di Toko Lima Bandung. Ketika belajar di sekolah teologi di Malang, saya bekerja sebagai penerjemah buku. Itu beberapa pekerjaan "yang resmi". Yang tidak resmi masih ada lagi.

Pendek kata, kalau soal pekerjaan saya sudah kenyang. Dari kecil saya sudah bekerja dan mencari upah. Dari SD sampai S-3 saya sekolah sambil bekerja. Bekerja telah menjadi bagian dari hidup saya. Alkitab memang menggambarkan kerja sebagai bagian dari ritme hidup. Menurut pemazmur, sebagaimana matahari terbit dan hewan mencari makan, demikianlah manusia juga bekerja, "Apabila matahari... manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang" (lihat Mzm. 104:19-23). Kita tidak usah disuruh bekerja, sudah dengan sendirinya kita bekerja, Kalimat "enam hari lamanya engkau akan bekerja" (Kel. 20:9) bukan merupakan kalimat imperatif (bersifat perintah) melainkan indikatif (bersifat pemberitahuan).

Alkitab memandang kerja sebagai bagian dari kehidupan yang dimaksudkan Allah untuk manusia. Menurut Kitab Kejadian, Allah menciptakan manusia dengan tujuan "untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15). Alkitab tidak pernah menggolongkan jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi kehidupan bersama, adalah mulia. Tanpa merasa malu, Alkitab mencatat bahwa Raja Saul semula adalah petani yang membajak dengan lembu (1Sam. 11:5) atau bahwa Raja Daud semula adalah penjaga ternak (1 Sam. 17:15). Jenis pekerjaan yang kasar dan mengotorkan badan pun adalah rancangan Tuhan. Sirakh 7:15 menulis, "Jangan benci kepada pekerjaan yang melelahkan atau kepada kerja di perladangan, yang ditentukan Yang Mahatinggi" (Kitab Sirakh terdapat di Perjanjian Lama Deuterokanonika yang seluruhnya terdiri atas 49 kitab). Pakar Alkitab Alan Richardson dalam buku The Biblical Doctrine of Work menyimpulkan, "The basic assumption of the biblical viewpoint is that work is a divine ordinance for the life of man... a part of the divinely ordered structure of the world and of human nature."

Bagi saya, bekerja juga merupakan bagian dari proses bertumbuh dan menjadi. Saya ada seperti saya sekarang ada karena pelbagai jenis pekerjaan yang saya alami. Semua itu turut membentuk diri dan karier saya. Pekerjaan telah melatih saya untuk mengatur waktu. Pekerjaan telah mengajar saya memikul tanggung jawab dan disiplin.

Begitulah dalam hidup ini saya sudah menempuh perjalanan karier yang panjang, mulai dari penjual kue di Cibatu sampai dekan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mulai dari pengantar koran di Bandung sampai dosen tamu di Universitas Doshisha di Jepang.

Mungkin Anda bertanya, dari semua pekerjaan itu manakah yang paling saya sukai. Jawabnya: jadi baby-sitter Carter. Saya merasa begitu dekat dengan Carter. Empat tahun lamanya Carter telah menjadi bagian dari hidup saya. Saya telah turut mendidik dan mewarnai kepribadiannya selama empat tahun. Saya telah turut membantu dia bertumbuh dari bayi yang belajar jalan sampai jadi murid TK. Saya harap dia bertumbuh terus. Siapa tahu nanti dia jadi presiden Amerika. Siapa tahu...